Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29

Asal gue punya lo dalam hidup gue, itu udah cukup.

— Mandala Deryaspati

***

Jef mati kutu begitu Jennie turun dari mobil.

Ini perasaannya saja karena lama tidak bertemu Jennie atau memang perempuan itu terlihat berbeda? Sumpah, seumur-umur mengenal Jennie, Jef belum pernah merasa Jennie secantik pagi ini. Dia tidak mengenakan gandulan gorden kebanggaannya, atau lipstik merah yang membuat resting bitch facenya terkesan makin dingin. Jennie hanya mengenakan kaus lengan pendek, celana panjang dan rambut yang dicepol asal—walau tetap rapi. Tadinya, Jef mengira Jennie akan merasa canggung karena ini pertemuan mereka usai apa yang terjadi di Jepang. Tapi ternyata tidak. Perempuan itu terlihat biasa saja, malah mendekat untuk menyapa Sashi yang berada di sebelahnya.

Jef kecewa.

Sashi lain lagi. Alih-alih mati kutu, dia justru kepingin hilang di telan Bumi saat itu juga. Gadis itu tak bisa menahan ringisannya ketika Ojun dan Dery mulai menapaki tangga di pelataran depan rumah untuk mendekatinya dan Jef. Keduanya terlihat sangat cool, bikin Sashi berasa kontestan Take Me Out yang tengah diperebutkan oleh dua cowok sekaligus. Langkah Ojun dan Dery akan terlihat seperti dicomot dari adegan sinetron remaja masa kini jika saja tak ada suara memanggil dari abang ojek yang terdengar.

"Mas, anu... sepurane tapi sampeyan durung mbayar ongkos..."

Refleks, Ojun berhenti melangkah dan menoleh. "Hah? Bukannya pake Gopay ya, Pak?"

"Wah, ndak tahu, ik. Tapi di sini pilihan pembayaran Mas'e pakek cash."

Ojun buru-buru mengecek ponselnya, disusul wajah merah karena malu karena dia sadar apa yang dikatakan abang ojek tersebut benar. Tergesa, Ojun kembali menghampiri abang ojek tersebut dan memberikan selembar uang padanya. "Makasih ya, Pak."

"Sip, sama-sama. Semoga Mas-nya sukses ya sama Mbak-nya!"

"Saya sih ngarepnya nggak sukses, Pak." Dery menyindir, bikin Ojun terbatuk, sedangkan Sashi langsung buang muka. Wajahnya serasa ditempeli dua setrika panas dan pasti sudah semerah saos tomat sekarang. Untung saja, Jef juga tampaknya sedang salah tingkah karena kehadiran Jennie. Jika tidak, sudah tentu Sashi bakal jadi bahan ledekan bokap gendhengnya yang satu itu.

Kecanggungan yang kental mengisi suasana, bikin mereka terjebak dalam keheningan yang cukup panjang hingga suara mobil lainnya terdengar memasuki halaman rumah yang memang luas. Itu mobil milik Talitha, yang disupiri oleh Jansen dan ditumpangi oleh Felix juga Tamara. Kehadiran ketiganya mampu memecahkan suasana. Terutama Tamara yang berhasil jadi 'penyambung' antara Ojun yang pendiam dengan Jennie juga sepupu Sashi yang lain. Tak lama setelahnya, Jo tiba dengan barang-barang miliknya dan Sashi.

Mereka membagi tugas, mulai bahu-membahu menurunkan serta menata barang, juga membersihkan rumah. Rumah itu sangat terawat, jadi sebetulnya tak butuh kerja banyak untuk membereskannya, selain barang-barang Sashi yang perlu ditata dan dimasukkan ke kamarnya—Sashi memilih satu kamar yang berada di lantai dua, dengan balkon luas yang menghadap ke halaman belakang, di mana terdapat sebuah kolam renang yang lama dibiarkan kering. Tamara bilang tempat itu menyeramkan, seperti balkon rumah di film horor, tapi Sashi tetap teguh pada pilihannya.

"Lo bilang apa ke Jennie?"

Sashi sedang mengeluarkan buku-buku dari dalam kardus untuk dia tata ke rak kosong yang memang telah tersedia di kamar pilihannya ketika sebuah suara terdengar. Sashi mengangkat wajah, menoleh dan mendapati Jef sedang berdiri di ambang pintu kamar. Lelaki itu melipat tangan ke dada, memandangnya sambil cemberut.

"Oy, gue ngomong ama lo!"

Sashi berhenti membereskan buku. "Mau sampai kapan sih Om Jeffrey pake gue-lo sama aku?"

"Sampai lo berhenti panggil gue om dan—"

"Dad."

Jef mengerjap, tampak kaget. "Apa?"

"I'll call you 'Dad' and in return, you have to stop using that gue-lo with me."

"But Dad is too—"

"—terlalu kebule-bulean? Yaudah, diganti aja jadi Ayah. Mau?"

Jef menggeleng, meneruskan dengan suara kecil. "—no, but Dad is ᵗᵒᵒ ᶜᵘᵗᵉ."

Sashi ternganga sejenak, kemudian tertawa. Jef terdiam mendengarnya, pada awalnya. Dia menyukai tawa lepas gadis itu. Tawa yang terdengar seperti musik paling indah sedunia. Tawa yang lagi-lagi mengingatkannya pada Tris. Kehadiran Sashi di rumah ini... rumah yang terlalu penuh oleh kenangan dengan perempuan itu, perempuan yang tidak pernah bisa Jef miliki... rasanya membangkitkan semua ingatan Jef akan masa lalu.

"KENAPA LO KETAWA?!"

"Abisnya lucu. Muehehe."

"DIH."

"Terus nggak mau dipanggil 'Dad'?"

"..."

"Oh, nggak mau. Yaudah, nggak usah."

"GUE NGGAK BILANG GITU!"

"Tapi kelihatannya nggak mau."

"MAU!" Jef nge-gas.

"Oh, udah nggak jual mahal lagi sekarang?" Sashi berdecak. "Oke, aku panggil pake 'Dad' dan Om—maksudku, Dad nggak boleh pake gue-lo lagi."

"Emangnya lo—maksud gue, emangnya kamu mau dipanggil apa?"

"Apa aja."

"Ciripa, mau?"

"KIRA-KIRA DONG, EMANGNYA AKU ANJING?!"

"Gu—Dad suka anjing. Anjing tuh lucu."

"No Ciripa."

"Oke, Pleki aja ya?"

"DAD!"

Jef tercengang, masih belum biasa pada panggilan itu, namun akhirnya dia tertawa sampai matanya membentuk garis lengkung. "Caci, mau?"

"Ogah. Sashi is fine."

"Acacia is more beautiful, honestly." Jef akhirnya bicara serius. "Tapi udah dipake sama tuh orang satu. Ogah deh samaan sama dia."

"Siapa?"

"You-know-who."

"Siapa?"

"Papi kamu."

"Deileh, pake you-know-who segala, dikira Papi aku tuh Voldemort?!" Sashi sewot. "Akur dikit kek sama Papi! Kalian tuh sama-sama ayahku, tau!"

"Derajat gue—derajat Dad lebih tinggi daripada dia."

"Atas dasar apa?!"

"Soalnya yang ngadon kamu dulu tuh Jeffrey, bukan Joshua."

((ngadon adalah proses pembuatan adonan)).

"WHAT THE JANCOK IS NGADON?!"

Sashi dan Jef dikejutkan oleh seruan sangar yang ternyata datang dari Jennie. Jennie cepat berjalan mendekat dengan sapu lidi tergenggam di tangan, membuat Jef otomatis merangsek masuk ke kamar Sashi dan berlindung di belakang anak perempuannya. Jennie berkacak pinggang dari ambang pintu, melotot pada Jef yang berusaha bersembunyi di balik punggung Sashi—jelas itu tidak banyak berguna sebab Sashi lebih pendek darinya.

"LO NGAJARIN APA KE ANAK LO?!"

"Cuma berbagi fakta!" Jef membela diri, sejenak lupa pada masalahnya dan Jennie.

"Nah, kebeneran Tante Jennie udah di sini!" Sashi menjentikkan jari. "Dad tanya aja langsung ke Tante Jennie, kenapa Tante Jennie mau datang ke sini—aw, ih jangan cubit pinggangku dong, sakit tau!"

"Mulut lo—mulut kamu tuh ya suka menebarkan hoax yang tidak bertanggung jawab!" Jef ngeles.

Jennie menyipitkan mata, kemudian mengembuskan napas pelan. "Ojo kege-eran koen, Jancok! Gue ke sini buat bantuin papa keren dan anak perempuannya yang mau pindahan—dan sori aja, papa keren yang gue maksud bukan lo tapi Jo! Lo sih bokap jamput, jauh dari kata keren!"

Jef bungkam, mau membantah tapi sudah keburu kehabisan kata-kata.

Sashi nyengir hingga dia teringat pada sesuatu yang lain. "Oh ya, Tante Jennie, pigura yang aku minta tolong bikinin udah ada?"

"Oh ya, yang itu ya? Udah ada di mobil Tante Jennie. Mau diambil sekarang?"

"Apaan sih apaan?"

"Kepo aja!"

Jef merengut, memajukan bibirnya beberapa sentimeter.

Namun lelaki itu tidak menyerah. Dia nekat mengekori Jennie dan Sashi, hingga memicu rasa ingin tahu Dery yang kebetulan sedang membersihkan sela-sela lukisan di lantai dua dengan sebatang kemoceng. Di dekatnya, Felix memegang botol semprot berisi antiseptik dengan muka super waspada. Dia sedang memburu seekor kecoak yang kebetulan tadi dilihatnya melintas. Dari raut wajahnya, mudah diduga bahwa Felix tidak akan bisa tidur nyenyak sampai dia menemukan kecoak yang dia cari dan mengirim kecoak tersebut ke alam barzah.

Dery satu skor lebih unggul daripada Ojun yang sedang sibuk membantu Tamara dan Jo merapikan ruang kerja, jadi mereka tidak melihatnya yang mengendap-endap ngintilin Jennie, Sashi dan Jef.

Mereka kembali ke pelataran depan, dimana mobil Jennie terpikir. Dia membuka kunci mobil dan mengeluarkan sebuah pigura besar yang tersimpan di jok belakang. Jef ternganga kala menyadari pigura itu berisi fotonya bersama Sashi, juga Jo. Foto itu diambil candid ketika mereka melakukan hanami di Jepang tempo hari. Sashi sedang berdiri berlatar pemandangan orang yang duduk di atas tikar di rerumputan, dinaungi oleh dahan sakura yang dijejali bunga merah jambu. Dia tersenyum lebar, dengan tangan terulur seperti hendak menggapai salah satu dahan. Di belakangnya, Jef dan Jo berdiri di sisi yang berlawanan. Mereka berdua sama-sama menatap pada Sashi, dengan ekspresi selayaknya orang buta baru melihat matahari.

"Foto ini... kapan diambil?"

"Mas Jansen seng motret, terus dikasih tunjuk ke aku." Sashi menukas. "Fotonya bagus dan kayaknya cocok dipajang di ruang tamu rumah ini. Ada aku. Ada Om—ada Dad. Ada Papi."

"Nggak bisa ya tuh orang di-edit aja biar jadi nggak ada?"

"Dad aja yang aku edit dari kehidupan, gimana?"

"Nanti kalau gu—kalau Dad nggak ada, kamu nangis."

"Wait." Jennie mengernyit. "Sejak kapan kalian dedi-dedi-an gini?"

"Kenapa emangnya?" Jef nyolot.

"Kalau Acacia yang pake panggilannya, unyu. Kalau lo, jijik."

"YAUDAH IYA GAUSAH PAKE DAD!"

"Dih, ngambek." Sashi mencibir. "By the way, seneng deh liat kalian udah ngobrol lagi! Yang bener tuh emang begini! Masa sama temen-tapi-naksir berantem?"

"Kita nggak ngobrol." Jennie membantah.

"Benar." Jef sependapat.

"Tante Jennie masih marah sama Dad aku?"

"Masih."

"Wah, padahal Dad udah nolak perempuan secantik Tante Leni karena belum move on dari Tante Jennie." Sashi mengedikkan bahu, sok lugu.

Jef melotot, sementara Sashi langsung menyeringai.

Skor 1 – 0. Buat Sashi.

"Tapi gimana mau move on ya, mulai aja belum. Tante Jennie nggak kepingin gitu coba jalan sama Dad aku? Emang yang bagus di dia tuh mukanya doang, tapi cobain sensasi dibucinin beliau, pasti nagih. Terus—"

Jef membekap mulut Sashi sebelum anak perempuannya itu bisa nyerocos lebih banyak. "Banyak omong banget ya kamu. Kenapa nggak—kenapa nggak—" Jef berpikir keras sejenak hingga sebuah ide terlintas dalam kepalanya. "—kenapa kamu nggak beli paku di toko matrial deket sini?! Kita bakal butuh paku buat ngegantung piguranya!"

"What?" Sashi mengernyit, merasa kata-kata Jef terlalu random.

"Iya! Beli paku!" Jef memandang ke sekelilingnya hingga matanya jatuh pada Dery yang berdiri sambil melongo. "NAH! Minta temenin sama si bocah ambyar! Dah, kalian beli paku berdua!"

"Beli paku mending minta tolong Ojun aja atau—"

"Juanda lagi bantuin Tamara." Jef menukas dengan nada penuh kemenangan dan beralih pada Dery. "Awakmu ngrungu ora? Ndang mrene!" (Kamu denger nggak? Buruan kesini!)

"Aku?" Dery menunjuk dirinya sendiri pakai jari.

"ISIH TAKON?!" (MASIH NANYA?!)

"AHSHIAP!" Dery melangkah cepat dan sigap mendekati Jef meski dia masih secanggung dan sekaku itu berada di dekat sang pujaan hati.

"DAD!" Sashi berseru tertahan.

"Sana, beli paku berdua ke toko matrial! Paku loh ya!"

Sashi melotot pada Jef, menekankan bahwa Jef akan dapat ganjaran atas tindakannya yang satu ini, namun Jef malah mesem-mesem kesenengan.

Skor 1 – 1. Buat Jeffrey.

*

"Udah, lo masuk. Gue aja yang beliin pakunya."

Sashi masih merasa seawkward itu berada di dekat Dery, tetapi dia mendengar cowok itu bicara demikian justru membuatnya tidak enak hati. Dia jadi merasa sangat jahat, padahal Dery sudah begitu baik padanya. Jika dipikir lagi, Dery adalah satu-satunya orang yang selalu ada buatnya dalam setiap situasi. Entah itu yang menyebalkan, hingga yang penting dan menyedihkan. Dery adalah satu-satunya teman Sashi yang membantu menguatkannya ketika Tris pergi. Tidak seharusnya Sashi memperlakukannya dingin secara terus-menerus.

"Nggak usah. Nggak apa-apa. Toko matrialnya deket, kan?"

"Deket sih, tadi gue sempat lihat waktu mau ke sini."

"Oke."

"Acacia," Sashi tidak suka ketika Dery memanggilnya begitu. Mereka punya panggilan akrab yang hanya mereka gunakan satu sama lain. Kalau Dery memanggilnya dengan nama depannya, itu membuat Sashi merasa dia telah jadi sebatas orang asing bagi Dery. "Nggak perlu maksain kalau emang jalan sama gue bikin lo nggak nyaman."

Sashi tidak bilang apa-apa lagi, langsung saja melangkah menuju pintu gerbang depan rumah yang terbuka lebar. Mau tidak mau, Dery mengikuti. Kakinya panjang, membuatnya bisa dengan mudah mengejar langkah Sashi. Mereka berjalan bersebelahan dalam diam, hingga Dery jadi yang pertama bicara.

"Acacia—"

"Can you stop calling me that?"

"What?" Dery mengerjap, tak mengerti.

"I don't wanna be your Acacia. I want to be your Sashi. I want to be your Cebol." Sashi menggigit bibir, memberanikan diri memandang Dery dan seketika dia tersadar bahwa dia sangat merindukan cowok itu. "I want to be your best friend."

"I am your best friend." Dery membalas. "Unfortunately, I want to be more than that to you."

"Dery—"

Dery menyentakkan kepalanya. "Jangan merasa bersalah. Gue nggak apa-apa. Lo tahu, asal gue punya lo dalam hidup gue, itu udah cukup. Gue menginginkan lebih, tapi gue nggak mau memaksa lo memberi lebih. Apa pun itu, selama lo bahagia, gue akan bahagia untuk lo."

Sashi menunduk, takut kalau lama-lama menatap sahabatnya, dia akan melakukan sesuatu yang bodoh seperti mulai menangis.

"Tapi tolong jangan jadi orang asing."

"..."

"Tolong jangan pergi dari hidup gue."

"..."

"Gue... gue nggak mau kehilangan lo."

Me too, Drol. Me too. Sashi membatin.

Sashi berhenti berjalan, lalu berjongkok begitu saja di atas trotoar. Dia melipat tangannya di atas lutut, kemudian membenamkan wajahnya di sana. Dery berseru, menyentuh lengannya, mengira dia sakit dan ada kepanikan yang kentara dalam suaranya.

Dery begitu baik dan Sashi tidak punya keberanian menatapnya.

"Sashi, lo nggak apa-apa?"

Sashi tidak menyahut, mengubur wajahnya kian dalam di atas tumpukan lengannya sendiri.

"Lo nggak sakit, kan?"

Sashi masih tidak menjawab.

"Sashi, jawab gue!" Dery mulai tegas.

Sashi menggeleng, menolak untuk mengangkat wajah dan memandang Dery. Dia ingin tetap berada dalam kegelapan. Dia tidak mau melihat mata Dery yang justru akan mempertegas kegentarannya.

Dery tidak berseru lagi, malah diam seribu bahasa. Menit demi menit terlewati, sampai Sashi mulai berburuk sangka, mengira Dery sudah berjalan pergi meninggalkannya. Akhirnya, gadis itu mengangkat wajah, hanya untuk dibikin hampir tersedak sesaat setelahnya.

Dery sedang berjongkok di depannya, menatap padanya seraya mengembuskan napas lega kala disadarinya Sashi tengah baik-baik saja.

"Lo... masih di sini?" Sashi mencicit lirih.

"Lo kira gue bakal ninggalin lo sendirian di sini?"

"Iya."

"Gue tersinggung."

"..."

"Kita udah temenan berapa lama sih?"

"Lama banget."

"Dengan begitu harusnya lo tahu kalau dalam situasi kayak gimanapun, gue nggak akan pernah ninggalin lo sendirian." Dery membuang napas pelan. "Maafin gue ya."

"Kenapa minta maaf?"

"Soalnya udah bikin lo nggak nyaman. Bikin lo awkward. Semuanya karena perasaan gue sendiri, yang nggak bisa gue kendalikan. Perasaan gue... nggak seharusnya membebani lo. Jadi sekali lagi, gue minta maaf."

"..."

"Gue tahu, cuma Ojun yang ada di hati lo. Kita nggak pernah tahu kepada siapa hati seseorang tuh bakal jatuh. Gue tolol karena sudah mempertanyakan perasaan lo. Gue nggak berhak melakukan itu. Perasaan lo adalah milik lo. Hak lo mau memberikannya pada siapapun, untuk alasan apapun."

"Dery,"

"Iya?"

"Gue bisa tanpa Ojun, tapi gue nggak bisa kalau nggak ada lo."

"Hah?"

"Sejak dari Jepang, gue banyak mikir dan..." Sashi meneguk ludah. "... nggak ada lo... rasanya sepi. Nggak enak. Gue kangen lo."

Dery membisu.

"Gue... sayang lo. Gue nggak bisa bilang sebagai teman, atau lebih dari teman. Jujur, gue sendiri nggak tahu gimana perasaan gue sekarang. Tapi... kalau gue harus memilih mana antara Ojun dan lo buat ada dalam hidup gue..." Sashi menunduk, tatapannya menusuk debu-debu di atas permukaan kelabu trotoar. "Gue... bakal memilih lo."

Itu sudah cukup buat Dery.

Cowok itu beranjak lebih dulu dari jongkoknya. Lantas, dia mengulurkan tangannya pada Sashi. "Gue ngerti."

Sashi menatap Dery sebentar, perlahan tersenyum dan balik meraih tangan Dery. Cowok itu membantunya berdiri sebelum melakukan tindakan yang tak Sashi duga—dia menarik Sashi ke dalam pelukannya. Dekapan itu erat, tapi cukup longgar untuk bisa membuat Sashi bernapas dengan nyaman.

Kali ini, Sashi tidak berusaha melepaskan diri.

*

"Mas Juan, aku boleh tidak menyetel lagu?"

Ojun sedang mengosongkan laci meja ruang kerja dari barang-barang yang tidak lagi diperlukan—seperti lilin yang sudah meleleh setengahnya, korek yang tak lagi menyala dan tajos-tajos berkarat yang sudah tidak jelas bentuknya—ketika Tamara tiba-tiba berujar.

"Boleh, Tamara." Ojun membalas kalem, tak lupa dengan senyum yang bikin jantung Tamara sejenak lupa pada ritme normalnya.

"Tapi lagunya lagu Korea. Mas Juan tidak apa-apa?"

"Lagunya BTS lagi?"

"Iya."

"Nggak apa-apa, dong! Kebetulan akhir-akhir ini aku sering dengar lagu mereka."

"Oh ya?!" Tamara berseru kegirangan, matanya berbinar dan itu bikin Ojun tertawa lepas. Tamara terlihat sangat cute ketika sedang antusias seperti sekarang. "Mas Juan suka sama BTS?!"

"Sebenarnya karena kamu minta tolong di-streaming-in. Beberapa lagu mereka enak, jadi aku sering dengar."

"Mas Juan pernah dengar yang judulnya Spring Day?"

Ojun menggeleng. "Itu lagu yang mana?"

"Sini! Lagu yang ini lebih enak didengarkan pakai earphone!" Tamara melambai sebagai gestur agar Ojun mendekat, kemudian dia mengeluarkan earphone berkabel. Dia memasang satu di telinganya, dan satu lain di telinga Ojun. Ojun sempat membeku sejenak saat Tamara memasangkan satu earphone ke telinganya. Namun senyum lebar Tamara yang terkesan innocent membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa selain balik tersenyum.

Lagu itu bagus, itu yang terlintas dalam pikiran Ojun ketika mendengarkannya.

Semula, Ojun bertanya-tanya kenapa Tamara bisa sesuka itu pada sebuah boygroup asal Korea Selatan tersebut—nama groupnya BTS, singkatan dari serentetan kata yang tidak bisa Ojun ingat. Ojun bukan penikmat musik Korea. Tapi dia ingin membantu Tamara setelah Tamara membantunya, jadilah dia meluangkan waktu untuk streaming sederetan video musik boygroup favorit Tamara di Youtube. Ojun sendiri tak paham apa pentingnya hitungan views yang bejibun, tapi Tamara berkata itu penting buat fandom dan oppanya jadi selama Tamara senang, Ojun tidak keberatan.

Gara-gara Tamara, Ojun jadi mencari tahu sedikit soal BTS dan... well, dia paham kenapa Tamara menyukai mereka. Lagu-lagu mereka bagus dan sepertinya mereka menyebarkan pesan yang positif. Selebihnya, Ojun tidak tahu banyak.

How much longer do I wait?
How many sleepless nights remain?
'Till I can see you
'Till I can see you
'Till I can meet you
'Till I can meet you

Ojun menoleh pada Tamara, bertepatan dengan Tamara menatap padanya. Mata mereka bertemu, terkunci dalam temu-pandang yang mencipta medan magnet magis. Tidak ada satupun dari mereka yang beralih, hingga suara ribut yang terdengar mirip benda berat jatuh dari dapur di lantai satu mengejutkan keduanya. Ojun dan Tamara tersentak, buru-buru keluar dari kamar untuk mendatangi dapur.

Ternyata bukan hanya mereka yang berpikir demikian. Jansen, Felix dan Jo juga melakukan tindakan yang sama. Mereka tiba lebih dulu, membatu di ambang pintu dapur. Tamara cepat menghampiri Felix yang ternganga, mengikuti arah pandang saudara kembarnya.

Jef berada di atas lantai dapur, terbaring dengan Jennie berada di atasnya. Seakan belum cukup dramatis, pemandangan itu diperparah dengan bibir keduanya yang kini saling melekat. Tidak terlihat mereka berencana melepaskan diri dalam waktu dekat.

Ojun melotot, buru-buru meraih kepala Tamara dan menutup matanya. Tindakan yang sama dilakukan oleh Jansen pada Felix. Jo masih speechless.

"PAKLIK, KALAU MAU SKIDIPAPAP BUKAN DI SINI TEMPATNYA!"






Bonus -1-

"Jadi, siapa nama pacar baru kamu itu?"

Talitha bertanya pada Erina dalam perjalanan mereka berdua menuju butik milik Jessica. Jessica sedang galau karena rumah tangganya dengan Donghae yang kembali terguncang prahara, jadi Talitha berinisiatif mengajak Erina menemani budhenya itu makan siang. Jansen sendiri sudah lelah menjadi penghubung antara kedua orang tuanya yang sama-sama gengsian dan keras kepala. Dia lebih senang menghabiskan waktunya jadi babysitter Tamara dan Felix—yang Talitha syukuri. Habisnya, lama-lama menghadapi Felix dan Tamara bisa bikin wajahnya kelihatan lebih tua sepuluh tahun.

"Lucas, Ma."

"Ah ya, Lucas. Kelihatannya dia anak baik. Sopan lagi. Mama suka."

"Sama, aku juga suka."

"Kalau kamu nggak suka, nggak bakal kamu jadiin pacar." Talitha berdecak. "Tapi Lucas ganteng lah ya, meski nggak tajir-melintir kayak Sony. Nggak apa-apa, perbaikan keturunan. Akhirnya ada yang ganteng di rumah."

"Lah, Papa sama Felix nggak Mama anggap?"

"Papamu iku ora ganteng, Nduk. Mesakke Felix, raine plek-ketiplek karo si Jamet."

Erina tertawa, telah sering mendengar Talitha mencerca Jajang sejak jaman purba. Walau begitu, Erina tahu kedua orang tuanya saling mencintai. Tak akan pernah Talitha menukar seorang Jajang dengan siapapun di dunia ini, bahkan dengan selusin Adam Levine.

"Lucas gerejanya di mana? Ajakin gereja bareng sama kita aja Minggu ini. Mumpung Mama sama Papa masih di Jakarta. Minggu depan kayaknya kita berangkat ke New York."

Erina terdiam seketika.

"Rin, awakmu ngrungu Mama opo ora?"

"Lucas nggak ke gereja, Ma."

"Hah, piye, piye?"

"Lucas nggak ke gereja." Erina menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Dia ke masjid."

"LHADALAH, PIYE TOH?!!!"





Bonus -2-

Malam lainnya di studio.

Biasanya, James menghabiskannya sendirian. Namun kali ini, Egi ngotot menemaninya. Gadis itu menunggu di luar dengan laptop terbuka di pangkuannya, mengerjakan urusan kantor yang belum sempat dia selesaikan. James membiarkannya, baru keluar dari studio setelah dia menyelesaikan penulisan lirik untuk satu lagu lainnya yang akan masuk ke dalam album barunya.

"Udah selesai, babe?"

"Dikit lagi—dan—" Jemari Egi menghempas tombol enter dan dia mengangkat wajah, tersenyum lebar pada James. "Selesai. Kamu udah selesai?"

"Udah."

"Mau langsung pulang?"

"Balkon dulu, mau?"

"Anything for my baby."

James tertawa mendengarnya dan mereka berpindah ke balkon studio milik James yang memang terletak di lantai tujuh belas sebuah bangunan kondominium. James membeli unit di kondominium mewah ini bertahun-tahun lalu, setelah tour Asia-nya menuai kesuksesan. Dia merombak keseluruhan unit, meniadakan kamar dan dapur untuk menyulapnya menjadi studio. Balkon adalah tempat favoritnya bersama Egi. Tempat lainnya adalah kubikel shower kamar mandi, untuk alasan yang hanya mereka berdua saja yang tahu.

James merokok, sengaja berdiri di sisi kemana angin bertiup agar asapnya tidak mengarah pada pacarnya. Egi berdiri di sampingnya, memuaskan diri menatap pada cahaya kota hingga secara tak terduga, dia menoleh dan bertanya pada James.

"Udah berapa tahun kita bareng-bareng?"

"Mmm... aku nggak inget. Lama banget, kan dari kamu kelas satu SMA."

Egi tertawa sumbang, ganti bicara soal sesuatu yang lain. "Can I have some?"

"Apanya?"

"Your cig."

James menyipitkan mata, menatap Egi dengan pandangan meneliti selama beberapa saat. Namun akhirnya dia melepaskan rokok yang terjepit diantara bibirnya, memberikannya pada Egi. Gadis itu menerimanya, mengambil beberapa isapan dan mengembuskan cincin asap ke udara.

"James,"

"Yes, babe?"

"Mau sampai kapan... hubungan kita stuck begini?" 






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

MAAP GAES KARENA KESALAHAN TEKNIS JADI NGARET BANGET HUHU TAPI ITUNGANNYA MASIH HARI INI LAH YA. AGAIN HAMPURA PISAN SEMOGA MENIKMATI CHAPTER INI. 

terus apa ya hm udah deh nggak usah cuap-cuap kepanjangan. 

karena aku sudah gabut gapapa kita pake target lagi jadi 2,4K votes dan comment aja buat chapter ini (moon maap targetnya ga rendah-rendah amat soalnya besok aing kudu update Noceur). 

dah sekian dan terimakasih mwah 




bonus paklik james yang tak kunjung direstui

Rumah Emakku, February 2nd 2020 

22.55

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro