28
Dulu ora gelem nyikat gigi nek odol'e dudu Kodomo rasa stroberi.
Sekarang ora gelem jatuh hati nek wedok'e dudu Sashi.
Kepriben iki putraku.
— Tedra Sunggana
***
Jadi singkat cerita, sehari setelah peristiwa terjebaknya Sashi dan Jo di lift, mereka kembali ke Jakarta bersama anggota Keluarga Gouw yang lain. Sashi sempat penasaran sama kelanjutan nasib Elmira pasca kabur dan balik bersama cowok asing—yang kata Pakdhe Yono, tidak cukup pantas menggantikan Yuta buat masuk ke dalam keluarga mereka—tapi tidak ada yang bicara soal itu, jadi dia menelan sendiri rasa penasarannya. Dery juga ikut pulang. Tidak jauh berbeda dengan Jennie dan Jef yang pura-pura tidak kenal, Sashi dan Dery juga saling diam. Hanya saja, sesaat sebelum boarding, di ruang tunggu, Dery menghampiri Sashi dan memberikan case earpodnya.
Sashi diam saja, memandang pada case earpod itu dengan alis terangkat.
"Gue denger dari Om Jo kalau earphone lo nggak sengaja masuk koper bagasi. Ini long flight. Lo bakal bosan tanpa earphone."
"Gue nggak—"
Dery buru-buru meletakkan case airpods itu di pangkuan Sashi. "Nggak apa-apa. Lagian gue masih punya tiga."
Memang, gitu-gitu Dery masih keturunan Yang Mulia Tedra Sunggana.
Sudah satu minggu lewat sejak obrolan terakhir mereka di bandara—yang sebenarnya tidak bisa juga disebut obrolan—dan mereka masih belum saling bicara. Sashi tidak lagi pergi ke sekolah bareng Dery. Seringnya, Jef atau Jo yang mengantarnya—malah mereka kerap rebutan hingga terakhir kali, Sashi harus memaksa mereka suit untuk menentukan siapa yang bakal mengantarnya ke sekolah. Begitu juga waktu pulang. Sashi jadi rajin nebeng mobil Bulik Talitha atau ikut Tamara dan Felix yang beberapa kali dijemput Jansen atau Paklik James.
Jujur, Sashi merasa kehilangan. Dia kangen Dery. Cowok itu adalah teman paling serba guna yang pernah Sashi miliki. Dia bisa jadi tukang beliin cilor atau tahu gejrot di belakang sekolah. Dia bisa jadi pembawa roti Jepang dadakan ketika agresi berdarah bulanan melanda Sashi secara mendadak. Dia bisa jadi tempat Sashi curhat. Terus, meski tidak sepintar Ojun, Dery selalu berusaha dapat menguasai pelajaran dengan baik. Jadi semisal ada bagian yang tidak Sashi mengerti, Dery bisa menjelaskan.
Ah ya, ngomong-ngomong soal Ojun... Sashi tidak tahu kenapa tapi dia jadi tidak se-ngegas itu sebelumnya. Apa mungkin karena Ojun mulai menunjukkan perhatian padanya dan rajin menemaninya makan siang di kantin? Bisa jadi. Namanya juga manusia, suka menyia-nyiakan apa yang dulu pernah disemogakan.
Tapi ya... soal Dery atau Ojun, itu tidak urgent-urgent amat buat Sashi. Ada persoalan lain yang lebih penting. Contohnya, rencananya mengajak Jef dan Jo tinggal bersama di satu rumah. Guna membahas rencana tersebut, dia sengaja mengumpulkan Jo dan Jef di McDonald's yang berada tidak jauh dari sekolahnya.
"Kenapa harus di McDonald's sih?" Jef langsung bertanya sewot begitu Sashi sampai.
Sashi mengangkat alis, heran pada posisi duduk dua lelaki yang ada di depannya. Mereka duduk berjauhan, di meja yang terpisah dua meja lainnya dan bersikap seperti tidak saling kenal. "Kenapa duduknya gini, deh?"
"Males berduaan sama om-om di Mekdi." Jef menukas asal.
Jo mencibir. "Inilah jenis orang yang nggak punya kaca di rumah."
"Hadeh, sesama om-om masih aja hobi ribut." Sashi mendengus seraya melepaskan tas dari bahunya, lalu meletakkan tas itu di salah satu kursi kosong. "Duduk yang bener di satu meja. Pokoknya pas aku balik, Papi sama Om Jef harus udah duduk deketan, jangan kayak orang musuhan!"
"Lo mau ke mana?"
"Beli McFlurry. Capek, abis jalan dari sekolah sampai ke sini."
"Kenapa kagak bilang?! Tau gitu gue jemput!"
"Males dijemput om-om."
Jef melipat tangan di dada, cemberut seraya menatap pada Sashi yang sekarang sedang memesan es krim serta kentang goreng dari kejauhan. Jo mengembuskan napas lelah sembari beranjak, berpindah kursi agar semeja dengan Jef. Tapi tetap, dia menjaga jarak. Mereka saling diam hingga Sashi kembali ke meja bersama nampan berisi makanan tidak sampai sepuluh menit kemudian.
"Sebelumnya, makasih karena Papi dan Om Jef udah mau diajakin ketemuan di sini—"
"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Kenapa harus di McDonald's sih?" Jef memotong.
"Soalnya kalau ketemuan di gereja, ntar kita malah ibadah. Eh tapi nggak mungkin juga sih ya setan ngerti gimana caranya ibadah." Sashi cuek saja menyendok es krimnya banyak-banyak dan memasukkannya ke dalam mulut. Ucapannya bikin Jef geram, berbeda dengan Jo yang justru mengulum senyum.
"Siapa yang lo sebut setan?"
"Siapa aja yang ngerasa."
Jef berdecak. "Yaudah, sekarang mau ngomongin apa?"
"Buru-buru banget, sih. Kebelet pipis ya?"
"Gue ada janji ama teman gue. Kita mau main bowling sore ini."
"Cewek apa cowok?" Jef cemberut, tidak menjawab dan Sashi langsung paham. "Oh, cewek. Itu kelakuan nggak mau dibenerin dikiiiiiit aja apa, Om? Lagi marahan sama Tante Jennie, terus mau dijodohin sama Tante Leni, masih aja kepikiran jalan ama cewek yang lain lagi. Aku laporin sama Eyang Putri baru tahu rasa!"
Akhirnya, Jef menyerah. "Oke, Yang Mulia. Silakan nikmati es krim anda terlebih dahulu sebelum bicara."
Jo menunduk sedikit dengan tangan menutupi wajah, memasang ekspresi menahan tawa yang bukan hanya tampak geli, tetapi juga meledek, bikin ubun-ubun Jef berasap.
Sashi meneruskan memakan es krimnya hingga tinggal tersisa setengah, baru dia bicara lagi. "Baiklah, daripada membuang waktu, mari kita buka meeting perdana bersama Acacia Tredayorka Tirta—"
"—Gouw." Jef mengoreksi sebelum Sashi sempat menyelesaikan ucapannya.
"Tirtasana, kalau sesuai yang tercantum dalam akte." Jo tidak mau kalah.
"Gouw."
"Tirtasana."
Sashi berdeham keras, menginterupsi sebelum Jo dan Jef memulai cekcok ala rumah tangga mereka. "Permisi, dengan ini, aku buka ya meeting perdana bersama Acacia Tredayorka nggak pake Tirtasana apalagi Gouw! Jadi siang ini, kita akan bahas soal rencana kita pindah bareng dan aturan-aturan apa yang harus dipenuhi bukan hanya olehku, tapi juga oleh Papi dan Om Jeffrey."
"Aturan apa?" Dahi Jo berlipat.
Sashi membuka notes yang sudah dia buat dalam ponselnya, mulai membaca dengan serius selayaknya petugas upacara tengah membacakan isi UUD 1945. "Waktu kita di rumah baru nanti, aku nggak mau ada pengurus rumah tangga atau tukang bersih-bersih. Kenapa? Soalnya kalau rumah udah dibersihin terus kita makannya pake delivery, ujung-ujungnya semua bakal sibuk sendiri. Sementara kita tinggal bareng buat having quality time sebelum tahun depan aku ke luar kota atau mungkin ke luar negeri."
"Hadeh."
"Nanti kita bikin pembagian tugas secara terjadwal biar adil. Pokoknya kalau nggak melakukan tugas sesuai jadwal, kena pinalti!"
"Buset, kayak lagi main bola aja."
"Yaudah, aku ganti istilahnya, jadi hukuman!" Sashi balik nyolot pada Jef yang balas mendelik. "Ada beberapa aturan yang udah aku rumuskan, demi kebaikan kita bersama. Nanti, aturannya bakal aku email ke Papi dan Om Jeffrey. Jika ada koreksi atau ketidak setuju-an terhadap aturan-aturan yang udah aku buat, bisa balas emailnya dengan subjek complaint aturan housemates maksimal tujuh hari kerja setelah email diterima. Tapi, ada satu aturan yang harus wajib tidak boleh tidak diterima oleh Papi maupun Om Jeffrey. Ada jam malam yang harus dipatuhi, yaitu jam satu malam."
"LAH, JAM SEGITU MAH GUE BARU BERANGKAT CLUBBING!" Jef bereaksi keras.
"Kalau urusan Papi di kantor belum selesai jam segitu gimana dong, Acacia?" Jo ikut protes dengan nada yang lebih lunak.
"Papi sama Om Jeffrey diizinkan pulang lebih dari jam satu dengan catatan sudah mendapatkan surat persetujuan yang ditanda tangani oleh Pak RT dan Pak RW lingkungan sekitar rumah. Satu surat persetujuan berlaku untuk satu kali pulang lebih dari jam satu malam. Nanti aku bakal bantuin koordinasi dengan Pak RT dan Pak RW."
Jo dan Jef membuka mulut, siap untuk melancarkan argumen, namun Sashi mengangkat tangannya ke udara dengan wajah sebijak Dewi Kwan Im.
"Papi, Om Jeffrey, dengarkan." Jo dan Jef seketika kicep. "Ini demi kebaikan kita. Kita kan tinggal bareng biar banyak waktu sama aku. Nanti aku bakal kuliah, terus jarang pulang ke rumah. Bisa jadi ke luar kota atau bahkan ke luar negeri—"
"Emang jadi gitu? Kan udah putus hubungan ama si bocah ambyar." Jef menyindir.
Sashi melotot. "Om Jeffrey, aku belum selesai ngomong, oke? Pokoknya nanti aku bakal kuliah. Nanti kalau sibuk, otomatis nggak ada waktu buat Om Jeffrey juga Papi. Abis kelar kuliah, siapa tahu aku dibawa orang dan—"
"Dibawa ke mana?!" Jef menyela, makin sensi.
"Ke pelaminan. Ihiw."
"NGGAK ADA!" Kedua lelaki di depan Sashi menyahut serentak, sempat membuat mbak-mbak yang berjaga di balik meja kasir menoleh kaget pada mereka.
Sashi berdecak. "Dih, sensi."
"Yaudah. Terus kapan kalian bakal pindah ke apartemen gue?"
"Lah, bukannya kamu yang pindah ke tempat saya dan Acacia?" Jo menyahut.
"Sudah kudugong ini akan terjadi." Sashi mengusap rahangnya, ekspresinya sangat thoughtful. "Jadi, kita akan mengambil tempat yang netral alias ketemu di tengah. Kata Eyang Kakung Gouw, ada rumah yang nganggur nggak jauh dari sekolahku sekarang. Jadi kita bertiga pindah ke sana aja."
"Damn it." Jef merutuk. "Jangan bilang rumah yang itu."
"Kayaknya sih rumah yang itu. Emang kenapa?"
Jef berdusta, mencoba membuat Sashi gentar. "Rumah itu ada hantunya."
"Nggak takut. Aku akan anak Tuhan."
"Lah, lo kira gue bukan?"
"Om Jeffrey sih anak Tuhan yang suka mengsla-mengsle dikit ke jalan setan." Sashi kembali mencerca, membuat Jef akhirnya menyerah dan tidak lagi berkata-kata.
Rumah yang Sashi maksud pastilah rumah itu. Rumah masa kecilnya, rumah yang dia tinggali selama berada di Jakarta hingga dia pergi ke Australia untuk kuliah. Rumah dengan banyak kenangan tentang Tris di dalamnya.
*
Sashi sedang scrolling timeline Instagram—di luar kebiasaan, dia tidak stalking akun Ojun, tapi malah memperhatikan akun Dery. Dery jarang sekali online akhir-akhir ini. Padahal sebelum diam-diaman dengan Sashi, Dery rajin sekali mengunggah instastory nirfaedah. Mayoritas sih meme receh. Tapi Sashi tidak keberatan, soalnya dia tidak pernah tidak tertawa setiap melihat hasil unggahan Dery.
Sekarang, timeline Sashi rasanya sepi. Dia merasa kehilangan. Dia juga kangen Dery. Felix dan Tamara telah membujuknya supaya mau bicara lagi dengan Dery, namun Sashi terlalu canggung untuk memulai. Sejujurnya, dia tidak bermaksud menyakiti Dery. Dipikir lagi, waktu Dery mengungkapkan perasaannya di rooftop hotel kala itu... ada bagian dari diri Sashi yang... merasa... kaget tapi bukan dalam artian yang tak menyenangkan.
Apakah itu artinya Sashi menyukai Dery?
Sashi tidak berani menjawabnya.
Ponsel Sashi bergetar tiba-tiba karena ada pesan WhatsApp yang baru masuk. Sashi buru-buru membukanya, mengira itu dari Dery. Tapi ternyata bukan, pesan itu justru datang dari Jef.
from: om gendheng
jembut gue.
*jemput.
Di bawahnya, Jef mengirimkan titik sebuah lokasi dalam Google Maps. Sashi tahu tempat itu. Itu restoran ramen yang sering didatanginya bersama Dery—dan entah bagaimana, juga jadi restoran favorit Jennie dan Jef untuk bertemu dan bertukar gosip terkini.
to: om gendheng
berani bayar berapa?
from: om gendheng
setengah langit beserta bumi dan segala isinya
to: om gendheng
ngana kira ngana personil sunda empire?
from: om gendheng
lagian, bantu daddy sendiri nggak mau.
to: om gendheng
ih, jijik.
from: om gendheng
ndang ke sini.
to: om gendheng
wes on the way loh iki
from: om gendheng
on the way wc maksudmu?
to: om gendheng
yoi.
Sashi agak malas, tapi ya daripada durhaka sama ayah sendiri, akhirnya dia bersiap-siap. Jo sedang di ruang kerjanya, duduk menghadapi monitor yang menyala dengan kacamata bening bertengger di batang hidung. Sashi mengetuk pintu perlahan, lalu masuk dan berhenti di dekat pintu tanpa duduk. Dia memang hanya perlu minta izin. Jo mengernyit, sempat menurunkan sedikit kacamata dari batang hidungnya sebelum akhirnya dia melirik pada jam dinding dan membolehkan Sashi pergi menjemput Jef—yang jelas sekali sedang butuh bantuan tak terduga.
Sebenarnya, mendatangi mall dan restoran ramen itu makin membuat Sashi teringat pada Dery, namun ya, dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Jef sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan berambut panjang ketika Sashi tiba. Perempuan itu mengenakan kemeja putih yang membuatnya terkesan kalem. Dia kelihatan lebih hangat daripada Jennie yang mukanya agak jutek, namun sesuatu dalam gesturnya terlihat kaku. Sashi mendekat perlahan, tidak berniat menguping tapi dia bisa mendengar apa yang Jef ucapkan pada perempuan itu.
"Kita sudah ketemu, walau ini bukan keinginan kita. Ini mungkin pengalaman pertama kamu, tapi saya sudah cukup sering dijodoh-jodohkan kayak gini oleh ibu saya. It's okay. Dari sini, nggak perlu ada pertemuan berikutnya. Kita bisa anggap semuanya selesai. Kamu nggak suka saya dan saya nggak suka kamu."
Sashi hampir kejedot pilar saking kagetnya. Masalahnya, bagaimana bisa seorang Jeffrey Gouw bicara layaknya gentleman begitu? Kelihatannya, ayah Sashi yang satu ini memang tergolong ke dalam spesies musang berbulu ayam.
Keterkejutan Sashi berubah jadi senyum mengejek ketika Jef mengalihkan pandang dan mata mereka bertemu. Lelaki itu beranjak dari duduk, membuat Leni mengernyit, lalu menoleh ke belakang. Dia melipat dahi kala melihat Sashi.
"Saya harus pergi. Terimakasih untuk sore ini, Fransesca."
"Itu... anak kamu?"
"Iya."
"Oh."
"Billnya sudah saya bayar. Sori, saya nggak bisa antar kamu pulang."
Leni terdiam sejenak, tenggelam dalam pikirannya hingga tiba-tiba, dia berseru, membuat langkah Jef terinterupsi. "Jeffrey—"
"Iya?" Jef memutar arah badan.
"Saya tahu, kamu nggak mengharapkan ada pertemuan lainnya." Leni menggigit bibir, tampak gugup. "Tapi... minggu depan... ibu saya ulang tahun. Bisa kamu datang? Setelah itu, saya janji, saya nggak akan meminta apa-apa."
"Oke."
Leni tersenyum tipis. "Thankyou. And anyway, your daughter is so beautiful."
"Thankyou." Jef balik tersenyum sebelum meneruskan berjalan menghampiri Sashi dan merangkul gadis itu di leher menggunakan lengannya yang besar.
"OHOK—OHOK OM, KECEKEK, OM!"
"Bohong banget." Jef mendengus, namun dia melonggarkan rangkulannya.
"Lagian, Om apaan banget! Sok manis pula!" Sashi bersungut-sungut, agak bete karena dia mesti berjalan di samping Jef yang bikin dia kelihatan seperti kurcaci. Inilah deritanya memiliki dua ayah yang sama-sama tinggi menjulang seperti slenderman. "Itu yang tadi Tante Leni yang mau dijodohin Eyang Putri Gouw ke Om Jeffrey?"
"Iya."
"Terus Om tolak?"
"Kita sepakat buat nggak lanjut."
"Om nggak naksir?"
"Nggak."
"Loh, kan cantik?" Sashi terkejut terheran-heran.
"EMANGNYA KALAU CANTIK GUE AUTO NAKSIR GITU?"
"Oiya, lupa. Kan naksirnya ama Tante Jennie."
"Mulut lo ye!"
Sashi nyengir. "Abis, tipe-tipe kayak Om Jeffrey nih, kelihatannya makhluk manapun, asal betina pasti diembat juga."
"Ngaco!"
"Tapi benar kan apa yang aku bilang?"
"Apa?"
"Om nolak Tante Leni karena Om udah naksir sama Tante Jennie."
"..."
"Harus gercep sih, Om."
"..."
"Soalnya kulihat-lihat, kayaknya mantan Tante Jennie yang ganteng itu ada gelagat masih naksir Tante Jennie. Bisa berabe kan kalau keduluan? Masa udah nggak dapet Mami aku, Om juga nggak dapet Tante Jennie."
Jef tidak mampu berkata-kata, hanya bisa meraih leher Sashi ke dalam pelukannya sekali lagi, berharap itu bisa membuat Sashi berhenti mengucapkan kata-kata yang menohok perasaannya.
*
"Ma!"
Joice baru saja mengaitkan bagian belakang bra-nya ketika Tedra membuka pintu diiringi seruan tanpa mengetuk lebih dulu. Perempuan itu langsung saja melotot pada suaminya melalui cermin, sementara yang dipelototi malah mesem-mesem.
"Ojo mesem-mesem koyok ngono! Males aku ndelok rai mesummu!" (Nggak usah mesem-mesem kayak gitu! Males aku lihat muka mesummu!)
Tedra lupa sejenak pada tujuannya mendatangi Joice, malah mendekat dan menarik tali bra perempuan itu sebelum melepaskannya, menimbulkan bunyi tali yang beradu dengan kulit. Joice makin melotot.
"Kowe arep tak gaplok, a?" (Kamu mau digaplok?)
"Ora, awakku ki arep takon something." Tedra mengeluarkan ponselnya, cepat membuka Instagram. "Instamu ora di-protect yo?" (Mau tanya sesuatu) (Insta kamu ini nggak diprotek ya?)
"Ora, ben seng nge-like postinganku akeh." Joice meraih daster dari dalam lemari, memakainya sebelum kembali melanjutkan bicara. "Emang kenapa?" (Nggak, biar yang ngelike banyak).
"Ono seng nge-like karo ngomen postinganmu. Jenenge Agung."
"Oh, paling Mas Agung."
"Mas Agung yang itu?!"
"Iya."
"Mas Agung mantan sainganku dulu?!" Sebelum bertemu dengan Tedra, Joice memang pernah dijodohkan dengan pewaris sebuah keluarga pengusaha kaya-raya. Seperti biasa, itu cara para old money untuk menjaga agar garis bisnis mereka tetap terjaga dan saling berhubungan. Nama tunangan Joice adalah Agung Tedjanegara.
"Sampai sekarang pun masih sainganmu kok, Pa."
"MA!"
"Bercanda, Sayang." Joice terkekeh, memegang salah satu pipi Tedra dengan telapak tangannya. "Baru-baru ini Mas Agung nemu ige-ku. Dia follow, yawes tak folbek wae. Awakke rajin nge-like tiap aku posting, jadinya kan seneng aku. Emangnya Papa, baru nge-like kalau Mama udah minta di-like!"
"Gimana sekarang si Agung?" Tedra jadi terdorong kepo.
"Udah nikah dia."
"Oh. Baguslah." Tedra langsung lega.
"Tapi barusan jadi duda tiga bulan lalu. Cerai. Katanya sih istrinya sosialita Spanyol sana."
"HE, PIYE TOH!?"
"Ora piye-piye lah. Cere yo cere. Pisah. Pegat. Anything you call it." Joice mengangkat bahu. "Emang kenapa sih, Pa? Nggak usah sengeri itu juga, kali! Aku nggak akan balik ke Mas Agung kecuali ajian peletmu udah habis masa berlakunya."
"Mama tuh ya!"
"Lagian, mukanya tegang amat." Joice tertawa. "Dery ndi? Mama belum lihat dari pagi."
"Wes mabur arek'e."
"Ke mana?"
"Bantuin Sashi karo bokap'e pindah ndhek omah anyar."
"Bokap seng ndi?"
"Loro-lorone."
"Wuadow, gosip mantep iku. Suruh Dery monitor seng apik! Lusa Mama ada arisan! Lumayan buat bahan ghibah!" Joice jadi antusias. "Tapi Mama kagum sama Dery. Pantang menyerah banget itu anak."
"Keras kepala dari masih kecambah." Tedra menimpali. "Dulu ora gelem nyikat gigi nek odol'e dudu Kodomo rasa stroberi. Sekarang ora gelem jatuh hati nek wedok'e dudu Sashi. Kepriben iki putraku."
"Yo ora kepriben-kepriben." Joice merebahkan badan di atas kasur. "Mrene o, Pa."
"Kenapa?"
"Kangen ndusel-ndusel."
"Ndusel-ndusel apa cuddling-cuddling mantap?"
"Dua-duanya. Hehehe."
"Yowes lah, your wish is my command."
*
Sesuai kesepakatan yang telah Sashi buat dengan kedua ayahnya—atau lebih tepatnya, kemauan sepihak Sashi yang mau tidak mau mesti disetujui oleh kedua ayahnya, hari ini Sashi, Jef dan Jo akan pindah ke rumah yang baru. Sebenarnya, pindahannya tidak heboh-heboh banget, sih. Soalnya meski lama tidak ditinggali setelah Duo Eyang Gouw memilih tinggal di Semarang, rumah itu masih terawat. Masih ada orang yang rajin membersihkan rumah itu beserta perabotnya dua kali dalam sebulan. Mereka hanya perlu membawa baju dan barang-barang personal yang berkaitan dengan pekerjaan atau sekolah.
Sashi ngotot tidak mau menggunakan jasa pindahan. Padahal tadinya, Tedra sudah siap memanggil para pekerja Anung Podomoro Group buat membantu menata furniture agar terlihat shopisticated dan artistik. Mau tidak mau, Jef dan Jo menurut. Jo bertanggung jawab membawa barang-barangnya dan barang Sashi. Jef membawa barangnya sendiri. Jef tiba di rumah itu lebih dulu, jadi dia memilih mendatangi rumah Jo hanya untuk membawa Sashi ke rumah tersebut—sebab Jo masih harus mengurusi pengangkutan dan pemindahan barang ke dalam mobil pengangkut.
"Ribet banget lo, padahal tinggal panggil orang, urusan pindahan ini bisa kelar dalam setengah hari." Jef berkata setelah mereka turun dari mobil dan melangkah menuju rumah.
"Ini bakal jadi rumah kita! Harusnya kita yang bersihin lah! Lagian, kata Eyang Kakung Gouw, rumah ini juga nggak sekotor itu karena rajin dibersihin. Dulu pas aku, Papi sama Mami pindahan aja kita bertiga doang yang bersih-bersih."
"Karena Papi lo nggak mampu bayar orang buat pindahan?"
"Ngomongnya nggak pake saringan ya. Karena Mami bilang, ini rumah kita, jadi kita yang harus bertanggung jawab." Sashi mendengus, lanjut menyedot jus yang sempat dia beli di jalan. Jef berdecak, mengikuti dan berjalan di belakang Sashi hingga mendadak, Sashi menghentikan langkah dan berbalik sebab dia baru teringat dia meninggalkan earpodsnya—atau lebih tepatnya, earpods Dery—di jok belakang mobil Jef.
Akan tetapi, gerakannya yang tiba-tiba membuatnya langsung menabrak dada Jef yang berada di belakangnya, sekaligus menumpahkan sebagian jus dari cup di tangannya ke bagian depan kaus yang Jef kenakan.
"Anjrit, dingin!" Jef berseru secara refleks. "Lo kenapa?"
"Mau ambil earp—DAD, NGAPAIN!?"
Jef batal membuka baju yang sudah dia angkat sampai dada, menampilkan perut hasil kerjanya di gym setiap kali punya waktu luang. "Buka baju, soalnya basah, dingin, nggak enak gitu. Kenapa?"
"IH!"
"By the way, lo bilang apa tadi?"
"Ih."
"Bukan, yang sebelumnya."
"Apaan?"
"Yaudah, buka nih ya!"
"DAD!"
Jef cengengesan. "Gemes amat, sih."
"JANGAN BUKA BAJU DI SINI, DAD!"
"Muehehehe."
"Dih, seneng?"
"Baju gue basah." Jef berdecak.
"Terus?"
"Mau buka baju. Mendingan nggak pake baju daripada ada dingin-dingin lengket nempel ke perut!"
"Jangan ih!"
"Gini deh, gimana kalau—"
Perdebatan diantara mereka terhenti oleh suara mobil yang masuk ke halaman. Bukan hanya satu mobil, tapi dua mobil sekaligus, berikut satu ojek online. Jef mengenali satu mobil itu sebagai mobil milik Jennie, sedangkan Sashi mengenali satu yang lain sebagai mobil milik Dery. Orang yang duduk di boncengan ojek online? Jelas hanya Ojun seorang.
Spontan, Jef dan Sashi saling tatap, sama-sama melotot.
"OM MINTA DERY AMA OJUN BUAT DATENG?!"
"LO NGOMONG APA KE JENNIE?!"
Bonus.
Erina sudah berkali-kali datang ke Jepang, tapi dia tidak tahu jika Tokyo bisa seindah sekarang. Mungkin karena ada Coky yang menyertainya? Bisa jadi. Harus diakui, Coky itu cowok yang menyenangkan. Dia bisa membuat Erina jadi lebih bersemangat dan tidak takut terlihat bodoh asalkan itu bisa membuat Erina tertawa. Belum lagi caranya merangkul lengan Erina, atau bagaimana ketika cowok itu berdiri di belakangnya sembari membantunya mengambil benda-benda di rak tinggi minimarket yang tidak bisa dia jangkau. Erina... belum pernah merasa se-dimengerti itu oleh seseorang sebelumnya.
Mereka kembali mengisi hari ini dengan berkeliling Tokyo. Seringnya sih di sekitaran Shibuya. Sebentar lagi jam makan siang, dan mereka tengah menyusuri trotoar di Shibuya City. Coky sesekali melontarkan lelucon yang Erina balas dengan tawa renyah, tapi langkahnya terhenti ketika mereka tiba di depan sebuah masjid besar. Erina rasa, masjid itu adalah masjid terbesar yang pernah dilihatnya di Tokyo, dengan ciri khas arsitektur ala Turki yang unik.
Coky diam saja, namun dari caranya menatap pada bangunan tersebut, Erina paham apa maksudnya.
"Aku bisa nunggu kok di sini. Ada bangku di situ."
"Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa."
Coky tersenyum pada Erina sebelum dia melepaskan genggaman tangan mereka. Coky melangkah menjauhi Erina, sosoknya menghilang ke dalam bangunan rumah ibadah di depan mereka. Ini kali pertama Erina dekat dengan seseorang yang benar-benar berbeda dengannya dalam banyak hal, mulai dari latar belakang hingga... ya... masalah yang satu itu.
Coky kembali sekitar sepuluh menit kemudian. "Makasih ya udah mau nunggu."
"Nggak apa-apa."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya. Nggak apa-apa." Erina meraih tangan Coky, mengusap punggung tangan lelaki itu. "Kenapa nggak bilang dari awal kalau kita beda?"
"... kamu... nyesal?"
Erina menggeleng. "Nggak. Emang kenapa kalau beda?"
"Siapa tahu kamu—" Erina memotong ucapan Coky dengan menautkan jari-jari mereka.
"Bukannya itu alasan Tuhan nyiptain cinta? Biar yang beda-beda bisa sama-sama."
Di dalam hati ini~ hanya satu nama~
Anjir, perih.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yow mamen akhirnya selesai juga urusan perkuliahanqu alias aku sudah lulus tinggal nunggu wisuda wkwkwkw
jadi gimana, masih kangen sama siapa lagi dari cerita ini? bole beritahu, siapa tahu mereka bisa muncul di chapter berikutnya.
terus apalagi ya, udah aja kali ya soalnya takut kebanyakan bacot di sini.
happy birthday dek lucas moga makin laris dagangan kopinya.
terus enaknya pake target ngga nih chapter ini wkwkwk
dah lah sekian dan terimakasih ciao
bonus kamu untuk aku aku untuk kamu
Semarang, January 26th 2020
20.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro