27
You know I'm not good with words. But please know that you're the most valuable gift I've ever received from someone. Forever, you'll always be my little girl, Acacia. No matter what, I'll always love you.
— Joshua Tirtasana
***
Lift meluncur turun dengan cepat, patuh pada hukum gravitasi hingga lajunya mendadak berhenti, menimbulkan sebentuk sentak.
Sentakan itu cukup kuat, membuat punggung Jo menghantam dinding lift hingga menimbulkan suara keras yang bikin Sashi makin panik. Jo memeluknya erat tapi itu tidak mampu membenamkan pekik ketakutannya. Nyeri mengaliri bahu dan punggung Jo, yang mati-matian berusaha dia sembunyikan. Dia tidak bisa terlihat kesakitan di depan anak perempuannya. Saat ini, hanya dia yang bisa Sashi andalkan.
Jo menarik napas, tajam dan dalam. Suaranya rendah ketika dia bicara. "Acacia, baby, you okay?"
Sashi menengadah dan Jo bisa melihat bagaimana kini kedua mata gadis itu sudah basah. "Papi... nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa."
"Beneran?"
"Beneran."
Sashi mengembuskan napas lega, tiba-tiba merasa malu sebab dia berpikir dia bereaksi berlebihan. Dia bahkan sampai menangis. Jo tersenyum sedikit ketika dilihatnya Sashi berupaya mengeringkan air mata di pipi dengan gerakan yang tak kentara. Sejenak, rasa sakit yang membuatnya hampir mati rasa di bahu dan punggung terlupakan.
"Pi, kita di mana sekarang—maksudku, di lantai berapa?"
"Papi nggak tahu, tapi harusnya nggak jauh. Kalau jatuhnya jauh sampai ke lantai dasar, mungkin kita udah nggak sadar."
"Itu artinya... masih ada kemungkinan lift ini jatuh lagi sampai lantai dasar?" Nada ngeri dalam ucapan Sashi membuat Jo menyesal sudah menjawab begitu.
"Lift ini nggak akan jatuh lagi."
"Gimana bisa Papi bisa yakin?"
"Kalaupun jatuh lagi, kamu nggak akan kenapa-napa. Papi janji." Jo menegaskan.
Sashi meneguk saliva, tidak yakin pada kata-kata Jo namun dia juga tidak tahu harus membalas apa. Mereka saling diam selama beberapa detik, lalu sepi terusik oleh suara operator dari speaker yang melekat di bagian atas salah satu sisi dinding lift. Dia bicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Jepang yang kental, mengabarkan kerusakan teknis pada sistem operasional lift yang tidak terduga beserta permohonan maaf sekaligus menanyakan situasi terkini dalam lift.
Jo menjelaskan keadaannya dengan tenang, memberitahu jumlah orang yang terjebak dalam lift dan operator yang bertugas mengatakan mereka telah mengatur tindakan penyelamatan. Pemadam kebakaran akan tiba secepatnya untuk membuka pintu lift secara paksa sehingga mereka dapat keluar dari sana. Jo mengiakan, berjanji mereka akan tetap tenang sampai bantuan datang.
"See? Papi udah bilang, kamu bakal baik-baik aja."
"Tetap aja... takut..."
"Sini, lebih dekat sama Papi biar nggak takut."
Sashi terdiam sejenak, agak tidak yakin. Tadi, dia bisa dengan mudah memeluk Jo karena ketakutan membuat adrenalin berpacu kencang dalam tubuhnya. Dia tidak memikirkan apapun selain keselamatan dirinya. Sekarang, saat situasi mulai membaik, kesadaran mulai mengisi pikiran Sashi.
"Acacia?"
"... iya?"
"Sini."
"Nggak apa-apa?"
"Kenapa harus kenapa-napa?" Jo balik bertanya diikuti decak. "Apa ada aturan anak perempuan harus minta izin dulu kalau mau dekat-dekat sama papinya?"
"Nggak sih..."
"Terus kenapa?"
"Nggak biasa aja."
"Kalau sama Om Jeffrey biasa ya?"
Sashi tersentak sedikit, kemudian bertanya hati-hati. "Papi... cemburu?"
"Nggak." Jo bersyukur karena pencahayaan yang minim dalam lift membuat Sashi tidak bisa melihat jelas ekspresi wajahnya. "Papi cuma nanya."
"Nanya sekalian cemburu?"
"Udah deh, lupain aja." Pipi Jo memanas nyaris terbakar.
Sashi menarik ujung-ujung bibirnya, lantas menggeser duduknya hingga jadi lebih dekat dengan Jo. "Aku juga nggak tahu. Kalau di dekat Om Jeffrey tuh kayak masa bodo aja gitu. Mau ngapain juga nggak pake mikir. Kalau sama Papi, aku takut salah ngomong."
"Kenapa?"
"Nggak tahu, mungkin karena Papi jarang ada di rumah? Juga selalu ada Mami yang bantuin aku ngobrol sama Papi tanpa canggung."
Jo menarik napas panjang. "Maaf."
"Mmm... kenapa minta maaf?"
"Karena Papi jarang ada di rumah."
"Nggak perlu. Aku ngerti, kok."
Jo menoleh pada Sashi yang kini membebankan dagu di atas dua lututnya yang sengaja dia tekuk lalu peluk menggunakan kedua tangan. "Anak Papi udah gede."
"Kan udah tujuh belas tahun, Pi!" Sashi ikut berpaling ke arah Jo, membuat mata mereka bertemu sebentar. Tadinya, Sashi nyaris buang muka karena takut merasa awkward. Namun Jo justru tertawa. Tawa lepas yang jarang Sashi dengar dan dalam hitungan detik, mampu mencairkan suasana.
"Padahal rasanya kayak baru kemarin Papi bangun malam melulu gara-gara kamu cengeng dan nangis terus." Jo berujar jujur, benaknya membawanya kembali ke masa silam di awal-awal kehadiran Sashi di dunia.
"Masa?"
"Serius. Waktu bayi, kamu cengeng banget. Papi sampai ngajuin cuti buat nemenin Mami ngurusin kamu di rumah."
"Kok Mami nggak pernah bilang?"
"Memang Mami bilangnya apa?"
"Katanya aku anak Mami yang paling manis dari kecil."
"Papi nggak bilang kamu nggak manis loh." Jo tergelak lagi. "Cuma di awal-awal kamu ada di rumah tuh... ya Mami sama Papi nggak bisa tidur. Kebangun melulu. Manja banget, ditinggal sebentar aja pasti langsung nangis. Papi kasihan sama Mami, jadi seringnya Papi yang bangun dan gendong kamu sampai tidur lagi."
"..."
"It was tiring but it was worth it." Jo tersenyum lebar sembari mengangkat salah satu tangannya, menggunakannya untuk mengelus rambut Sashi. "That feeling when you held my finger with your tiny ones... the most blissful feeling that I ever had."
Sashi tersekat, merasa tenggorokannya tersumbat hingga suaranya hampir tidak bisa keluar.
"Papi nggak bisa ngomong banyak. You know I'm not good with words. But please know that you're the most valuable gift I've ever received from someone. Forever, you'll always be my little girl, Acacia. No matter what, I'll always love you."
Sashi tidak menyahut, langsung memeluk Jo. Pelukannya agak sedikit terlalu erat, membikin Jo meringis karena bahu dan punggungnya masih terasa sakit. Sepertinya, benturan keras yang terjadi sebelumnya cukup kuat untuk meninggalkan memar. Namun Jo tidak membiarkan Sashi mengetahuinya, balik mendekap Sashi erat hingga seruan di luar pintu lift mengejutkan mereka.
"Acacia, are you there?!"
Itu suara Jef.
Satu alis Jo berkerut ketika Sashi langsung berdiri dan berjalan cepat mendekati pintu lift. Gerakannya yang tiba-tiba membuat lift bergoyang sedikit, spontan membuat Sashi membeku di tempat. Dia berpaling, memandang horor pada Jo yang hanya bisa menelan ludah. Jelas saja, itu menandakan lift tempat mereka terjebak sekarang berada dalam kondisi tidak stabil dan bisa jatuh seperti sebelumnya sewaktu-waktu—bahkan mungkin bisa jadi, lebih parah.
"Acacia!"
Jo bergerak hati-hati menghampiri Sashi, meraih lengan gadis itu dan membalas seruan Jef. "Kita di sini."
Jef merutuk pelan, yang cukup jelas terdengar oleh Sashi dan Jo. "How's in there?"
"Gelap."
"Acacia?"
"She's okay."
"Thanks, God." Jef membuang napas lega. "Mereka bakal mulai buka paksa pintunya, tapi mungkin nanti lo mesti bantu Acacia keluar lebih dulu karena liftnya nyaris berhenti diantara lantai. Jangan terlalu banyak gerak, karena lift-nya bisa anjlok sewaktu-waktu. Acacia baik-baik aja, kan?"
"Told ya she's okay."
"Then why didn't she make any sound?"
Jo menatap Sashi yang masih gemetar dan duduk dengan. "Too scared to do so."
"Don't worry, I won't let anything bad happen to you."
Jo membalas sarkastik. "Thankyou."
"Nggak usah ge-er! Gue ngomong bukan ke lo tapi ke anak gue!"
"As expected."
Sashi mendengus, bahkan di tengah kepanikan, dia tidak bisa tidak bereaksi usai mendengar seruan Jef dan sahutan Jo. "Dads, please."
Butuh tiga puluh menit bagi petugas pemadam kebakaran yang sudah berkumpul untuk mencongkel pintu lift secara manual dari luar dan tidak diragukan lagi, itu adalah tiga puluh menit terpanjang dalam hidup Sashi. Pintu liftnya tergolong sangat tebal, membuatnya susah dibuka. Begitu pintu lift tersebut mulai tergeser, Sashi tersadar jika apa yang dikatakan Jef memang benar. Separuh bagian lift tempatnya berada tertahan diantara lantai. Itu menandakan, jika dia ingin keluar dari sana setelah pintu berhasil dibuka paksa, dia mesti agak memanjat sedikit.
Jo tidak tinggal diam. Lelaki itu bergerak pelan-pelan dan ikut membuka paksa pintu lift dari dalam, mendorongnya menggunakan tangan kosong. Bukan sesuatu yang mudah dan jelas menyakiti tangannya, tapi Jo tidak peduli. Telapak tangannya telah merah saat pintu lift berhasil dibuka setengah, menciptakan sedikit ruang yang cukup untuk Sashi lewati.
"Stop." Jo berkata, menginstruksikan salah satu petugas yang mencongkel pintu untuk berhenti. "Get her out of here first."
Sashi melotot. "Nggak mau! Kita keluarnya barengan aja!"
"Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan dan yang lebih penting, Papi nggak bilang itu buat kamu." Jo menukas, ketegasan mewarnai suaranya dan berhasil membungkam Sashi sebelum dia terpikir mengeluarkan bantahan. "Sini. Agak tinggi, jadi kamu nggak akan bisa nyampe. Naik ke punggung Papi. Nanti Om Jeffrey bakal bantu tarik kamu ke atas."
"Papi gimana?"
"Gampang. Nanti Papi manjat naik kalau pintunya udah dibuka lebih lebar."
"Kenapa nggak nunggu pintunya kebuka lebih lebar aja?"
"Acacia—"
"Because your safety comes first, okay?" Jef yang sudah frustrasi memotong, melotot pada mereka berdua lewat celah pintu lift. Di luar pintu lift, telah banyak orang berkumpul. Bukan hanya Jef, tapi Jennie, Tedra, Joice dan Dery pun ada di sana. Mereka semua kelihatan khawatir, bahkan Tedra yang biasanya rajin menggunakan momen-momen langka seperti ini sebagai pengisi konten unggahan media sosialnya. "You heard me. Lift ini nggak stabil, bisa betulan anjlok sampai ke lantai dasar sewaktu-waktu. Buka pintu butuh waktu yang lama. Mungkin sekitar setengah jam lagi baru pintu bisa benar-benar kebuka. Kita nggak tahu apa yang mungkin bakal terjadi selama setengah jam itu."
"Great help there, Jeffrey!" Jo berseru, kental oleh sarkasme. "Informasi yang berlebihan dari kamu cuma bakal bikin Acacia makin keras kepala!"
"Gue mungkin brengsek, tapi gue nggak suka bohongin anak gue sendiri!" Jef membalas dongkol, sementara Joice diam-diam mencondongkan badan buat berbisik pada suaminya.
"Wes, ceritane Fitri, Farel karo Miska wes kalah! Bukan lagi perebutan pasangan, iki urusane wes perebutan bocah wedok!"
"Mama!" Dery berpaling pada Joice, memperingatkan.
"Iyo, sori toh, Le! Jenenge geh refleks, ora sadar alias otomatis! Iki mbokmu wedi loh yo dipelototi koyok ngono!"
Dery membuang napas, mengabaikan rajukan manja ibunya dan kembali menatap ke depan, fokus pada lift yang masih tersangkut.
"Come on." Jo menyentak Sashi yang masih terdiam. "Get on my back."
"Nggak mau!"
"See?" Jo mendelik pada Jef yang kini separuh berlutut di depan celah pintu yang berada setidaknya semeter di atasnya.
"Acacia—"
Sashi sudah keburu memotong ucapan Jef dengan seruan nyaris histeris. "Nggak mau! Pokoknya aku mau keluar sama Papi!"
Jo berpaling pada Sashi yang terlihat hampir menangis di sebelahnya. Laki-laki itu mengulurkan tangan, menangkup kedua sisi wajah Sashi dengan kedua tangannya. Matanya menatap lekat pada anak perempuannya. Ibu jarinya bergerak menghapus air mata yang kini menggantung di bawah mata gadis itu.
"Dengerin Papi, oke? Nanti Papi keluar setelah kamu. Bukan berarti lift-nya bakal jatuh lagi kayak tadi, tapi kan kemungkinan itu selalu ada. I'll have to make sure you're safe first, okay, baby girl?"
Sashi menggigit bibirnya, kentara sekali menahan diri supaya tidak terisak. "Tapi aku nggak mau—aku nggak bisa—"
"I promise I won't let anything bad happen to you. And I promise your mom that I'll take a good care of you. Jadi bantu Papi tepati janji Papi sendiri. Kamu mau, kan?"
Sashi menutup matanya, kebingungan dan penolakan mengaliri wajahnya.
"Acacia."
"Oke!" Sashi menyerah. "Tapi Papi harus janji Papi bakal buru-buru keluar dari sini setelah pintunya benar-benar dibuka lebar! Pokoknya kalau sampai nggak, aku marah sama Papi!"
Jo mengangguk, memeluk Sashi dengan cepat sekali lagi sebelum kembali menyuruh Sashi untuk naik ke punggungnya. Titik-titik nyeri di bahunya serasa menjerit saat Sashi mulai berpijak di sana, tapi Jo berusaha menutupinya dengan mengunci rahang rapat-rapat. Dia membantu membawa gadis itu untuk naik menuju celah pintu, di mana Jef telah menunggu dengan kedua tangan terulur. Lengannya meraih Sashi, mengangkatnya dengan mudah seolah-olah gadis itu seringan boneka kain. Butuh usaha ekstra, namun akhirnya Sashi berhasil dikeluarkan dari sana.
Jef merengkuh Sashi ke dalam pelukannya, ogah langsung menurunkan gadis itu ke lantai. Dia membenamkan hidung dan jarinya di rambut Sashi, menarik napas dalam-dalam. Kelegaan membanjiri sekujur tubuhnya, mengendurkan urat yang sempat menegang oleh kecemasan. Jef mungkin tidak akan pernah melepaskan Sashi jika bukan karena suaranya yang memecah keheningan.
"Om, aku ini berat loh. Mau sampai kapan diangkat terus gini?"
"Ck." Jef berdecak, menurunkan Sashi dan menatapnya galak. "Ini udah yang ketiga kali ya! Gue harusnya dapat piring cantik!"
"Tiga kali apaan?"
"Pertama waktu ledakan tabung gas di sekolah lo. Kedua waktu alergi lo kambuh. Ketiga ini. Jadi bapak lo bisa bikin umur gue langsung berkurang setengahnya karena jantungan!"
"Emang aku minta Om jadi bapak aku?"
"..."
"Bercanda, Om!" Sashi menepuk lengan Jef, sok akrab layaknya bro-bro. Dia berbalik, berusaha menyabarkan diri sembari menonton petugas pemadam yang kembali melanjutkan menggeser pintu lift. "Aku mau tunggu di sini sampai Papi keluar."
"Wait." Jef menyela seraya meraih kepala Sashi, memaksa gadis itu memutar arah tubuh dan menatapnya. Dia mengecek hampir setiap bagian kepala Sashi, memastikan tidak ada luka di sana. "Lo pucat. Kelihatannya lo shock. Sana, minta susu ke Jennie."
"Kok minta susu ke Tante Jennie, emangnya Tante Jennie sapi?!" Sashi bertolak pinggang, sementara Jennie yang berdiri beberapa meter di belakang Jef langsung salah tingkah. "Lagian aku bukan bocah yang tiap kenapa-napa mesti dikasih susu!"
"Kalau dikasih bocah ambyar mau?"
Dery menelan ludah, terlebih saat Sashi refleks menatap ke arahnya. Mata mereka beradu dengan canggung. Tapi jujur saja, Dery lega sebab akhirnya Sashi benar-benar baik-baik saja. Bukan apa-apa, namun Dery kerap mendengar jika kecelakaan lift bisa cukup parah hingga memakan korban jiwa.
"Apaan sih, Om?!"
"Udah sana, minum apa dulu kek gitu! Lo kelihatan pucat banget. Gue nggak mau ya, abis ini lo lemas terus pingsan! Sana buruan!"
"Nggak mau!"
"Mau pergi ama Tante Jennie atau gue panggilin ambulance?"
"Kenapa mesti panggil ambulance?! Orang aku nggak kenapa-napa!"
"Acacia—"
"Aku mau di sini sampai Papi keluar!"
"He's right. Go with her, Acacia!" suara Jo terdengar.
"Go." Jef ikut mengulang. "Gue janji, gue bakal balikin dia dalam keadaan selamat ke lo. Ini serius. Bakal makan waktu cukup lama sampai pintunya kebuka sepenuhnya. Tangan dan badan lo masih gemetar. Gue nggak mau lo sampai pingsan. Ditambah lagi, seingat gue Tris punya darah rendah jadi ada kemungkinan lo juga sama daaaaaan... gue berani taruhan lo pasti belum sarapan."
Sashi jadi sebal karena dia tahu semua yang Jef katakan itu benar.
"Pi, abis makan nanti aku kesini lagi!"
"Oke." Jo menjawab, masih dari dalam lift.
"Puas?"
Jef menarik senyum yang kelewat lebar hingga terkesan palsu, meski itu juga membuatnya terlihat memesona karena dua lesung pipinya tercetak dalam. "Sangat puas."
Sashi berlalu bersama Jennie yang langsung meraihnya dalam rangkulan. Semula, Jef menduga Dery akan mengikuti Sashi, tapi ternyata tidak. Cowok itu tetap berdiri kaku, sebelum perlahan duduk di atas karpet pelapis lantai, mengikuti Tedra dan Joice yang telah lebih dulu bersandar ke dinding. Dia semakin yakin, pasti ada sesuatu yang barusan terjadi antara Dery dan anak perempuannya.
"Saya nggak berekspektasi kamu bakal stay di sini. Apa saya harus mulai terharu?" Jef baru ikut duduk lagi di atas karpet, tepat di dekat petugas pemadam kebakaran yang masih berusaha keras menggeser lift secara paksa saat dia mendengar Jo kembali bicara.
"Gue janji ke anak gue kalau gue bakal mastiin lo baik-baik aja."
Jo tertawa sumbang. "Sangat bisa dimengerti."
"Bagus kalau lo paham. Jadi nggak usah kege-eran."
"She has become your new whole world, hasn't she?"
"More and no less than that." Jef mengakui.
"Kamu tahu, saya nggak menebak sama sekali kamu bisa begitu." Jo berujar, membuat kerut muncul diantara alis Jef. "Waktu Pat cerita tentang seniornya di sekolah yang juga anggota tim basket dan disukai banyak cewek, yang ada dalam pikiran saya adalah cowok sok kecakepan yang hobi gonta-ganti pacar."
"Gue nggak sok kecakepan. Gue emang cakep." Jef memotong.
"Terbukti, tebakan saya benar." Jo tertawa sedikit. "Saya selalu merasa, bentuk paling sempurna dari mencintai seseorang adalah dengan memberi dia kebebasan untuk memilih. Memilih jadi apa. Memilih mau hidup seperti apa. Termasuk memilih mau jatuh cinta pada siapa, sekalipun itu bukan saya. Sayangnya, dari semua orang, Pat memilih kamu."
Lidah Jef jadi kaku.
"Anggapan saya soal kamu masih belum berubah ketika kita ketemu di rumah sakit hari itu. Juga di hari pemakaman Pat. Saya nggak berekspektasi apapun, apalagi menginginkan kamu mencoba dekat dengan Acacia. Dia memiliki saya, dan saya bakal berusaha agar itu cukup."
Jef menarik napas dalam. "Yah, gue sendiri nggak menduga gue bakal begini."
"Bakal begini?"
"Sukarela jadi bapak."
"Saya rasa itu karena Acacia. Sebelumnya, saya juga sering bertanya-tanya pada diri saya sendiri, apa saya bisa jadi ayah untuk anak yang secara biologis nggak related dengan saya. Apa bisa? Tapi saat pertama kali saya lihat dia, semua pikiran dan keraguan itu hilang." Jo menanggapi, diteruskan gumam yang seakan dia tujukan pada dirinya sendiri. "Dalam hidup saya, saya jatuh cinta dua kali. Pertama, waktu saya berbalik karena tepuk tangan seseorang buat permainan piano saya. Kedua, di ruang operasi, ketika Acacia membuka matanya untuk pertama kali dan dia menatap saya."
Jef tidak suka mendengarnya. Cerita itu meletupkan iri dalam dadanya. Selamanya, dia hanya akan bisa membayangkan itu tanpa punya kesempatan mengalaminya secara langsung.
"If something happens to me, please take care of her."
Jef mendengus mendengar kata-kata Jo. "I'll do it gladly, though."
"As expected."
"Tapi lo nggak bisa kenapa-napa sekarang."
"Maksud kamu?"
"Gue janji sama dia gue bakal balikin lo ke dia dalam keadaan selamat dan baik-baik aja. Lo harus membantu gue memenuhi janji itu."
"..."
"Next time, silakan kenapa-napa. Tapi nggak sekarang."
*
"Baby girl, I'm so sorry."
"Tante Jennie udah minta maaf seenggaknya tiga kali. Aku harus bilang apa supaya Tante Jennie tahu kalau aku udah nggak kenapa-napa?"
Jennie masih tampak merasa bersalah. "Tapi kamu jadi kejebak di lift gara-gara Tante Jennie. Kalau aja kamu nggak mesti ke lobi, pasti kamu nggak akan kejebak lift."
"Aku udah nggak apa-apa." Sashi berkata sambil menyendok lagi es krimnya.
Kini, mereka sudah berada di lobi hotel bertemankan sekantung snack yang sengaja Felix belikan dari convenience store terdekat. Tadinya, Sashi tetap enggan saat Jennie mengajaknya turun lewat tangga darurat. Pada akhirnya dia setuju saat Jennie bilang, Jef telah membooking dua unit kamar baru di lantai paling bawah dan Jo akan menyusul mereka ke sana setelah dia berhasil keluar dari lift tempatnya terjebak. Tindakan Jef bukannya tidak beralasan. Dia bisa menebak Sashi pasti akan trauma menggunakan lift, sekalipun lift tersebut telah dapat beroperasi kembali secara normal. Lagipula, mereka akan kembali ke Indonesia besok.
Felix, Tamara dan Jansen dibuat heboh dengan insiden yang menimpa Sashi, tetapi mereka tidak bisa mengorek informasi lebih lanjut karena Talitha dan Jessica menyeret ketiganya untuk turut-serta dengan mereka. Talitha dan Jessica punya jadwal meeting bersama seseorang hari ini, di restoran elit yang berada di Tokyo. Kata Felix, itu ada hubungannya dengan reality show yang akan Talitha dan Jessica bintangi. Reality show tersebut direncanakan akan melakukan shooting bukan hanya di Indonesia, namun juga di Paris, Milan dan New York—mengingat citra Talitha dan Jessica sebagai pasangan kakak-beradik sekaligus fashion icon yang telah dikenal oleh banyak orang.
Tetap saja, ucapan Sashi tidak cukup bisa menghapus rasa bersalah yang memenuhi benak Jennie. Tiba-tiba, ponsel perempuan itu berbunyi. Ada satu telepon masuk dari Theo.
"Jawab aja, Tante. Aku nungguin di sini." Sashi seperti mengerti kemana pikiran Jennie mengarah.
"Sebentar ya."
"Iya."
Jennie berjalan ke sisi lain lobi untuk mendapatkan privasi lebih. Sashi meneruskan memakan es krimnya, berusaha melupakan fakta jika ini sudah hampir satu jam dan baik Jef maupun Jo belum datang menemuinya. Dia mencoba berpikir positif. Seandainya telah terjadi sesuatu yang buruk, seharusnya seisi gedung hotel sudah heboh, kan?
Dugaan Sashi terbukti tidak salah, sebab tidak lama, pintu tangga darurat terbuka. Jo muncul di sana, terlihat kacau dengan rambut berantakan dan wajah berkeringat. Luka lecet dan jejak kemerahan bertebaran di kulit lengannya, namun dia terlihat baik-baik saja. Sashi tercengang, tergesa meletakkan wadah es krimnya ke meja sebelum kemudian dia berlari menghampiri Jo.
Jo meraihnya dalam pelukan. Sashi merengkuhnya erat, menarik napas dalam-dalam di dada ayahnya. Dagu lelaki itu menempel di puncak kepalanya, beberapa kali menjatuhkan ciuman kecil diantara rambutnya. Jef menonton di belakang mereka. Pemandangan itu bukan pemandangan yang menyenangkan buatnya, tapi dia mengerti.
"Udah, jangan lama-lama! Nanti disangka lagi syuting telenovela!" Jef berseru sambil berjalan melewati Jo dan Sashi, memimpin langkah menuju unit kamar hotel yang baru saja dia booking. Di koridor, mereka sempat berpapasan dengan Pakdhe Yono yang kelihatan cemas—tapi wajahnya berubah santai ketika Jef memberitahu segalanya sudah baik-baik saja. Sashi hanya bisa tersenyum alakadarnya. Ada sesuatu pada aura Pakdhe Yono yang membuat Sashi agak takut padanya.
"Gue udah bilang ke petugas hotel buat mindahin barang dari atas ke sini. Intinya lo terima beres aja." Jef berkata pada Sashi. "Kayak sebelumnya, kamar kita sebelahan dan—"
"Om Jeffrey." Sashi memanggil, bikin Jef lupa pada apa yang mau dia katakan.
"Apa?"
"Boleh nggak, malam ini aku tidur sama Papi aja?"
"WHAT—let me think about it—wait, does that mean I'll have to stay in the same room with Jennie? Heck, no!" Jef menolak tanpa berpikir lebih lama.
"Nggak apa-apa, biar sekalian Om Jeffrey sama Tante Jennie bisa baikan."
"Nggak!"
"Udah lama banget sejak aku bobo sama Papi. Papi kan ayahku, Om!"
"Gue juga bapak lo dan belum pernah bobo sama lo!" Jef membalas refleks.
"Oh, mau?"
"TOLONG YA ANDA JANGAN MENGALIHKAN!"
"Yaudah kalau gitu. Tapi aku mau ditemenin Papi sampai tidur malam ini. Boleh ya?"
"..."
"Nanti giliran Om Jeffrey juga ada kok."
Wajah Jef memerah seperti kepiting rebus. "GUE NGGAK MINTA LOH!"
"Tapi mau kan?"
"Lo ini kecil-kecil udah jago ge-er ya?"
"Aku anggap itu jawaban iya." Sashi tersenyum lebar, menarik lengan Jo dan mengajaknya melintasi kamar hotel yang besar. Mereka duduk di tepi ranjang, bersebelahan. Sashi langsung mengecek lengan Jo, sadar ada beberapa bagian kulit telapak tangannya yang mengelupas dan terluka karena memaksa membuka pintu lift tadi. "Tangan Papi luka."
Jef menyilangkan tangan di dada, memandang muak pada apa yang terjadi di depannya.
"Acacia—oh—saya nggak tahu kalau lagi pada ngumpul di sini—" Jennie berhenti di depan ambang pintu yang terbuka, wajahnya berubah tidak enak tatkala menyadari keberadaan Jef di sana.
"Good that you're here. We need to talk."
"Gue nggak mau."
"Nggak usah sok jual mahal gitu." Jef berdecak, berjalan menghampiri Jennie dan begitu saja, menggenggam pergelangan tangannya. Dia menarik Jennie keluar dari kamar, baru berhenti di sudut koridor yang agak sepi.
"So, his name is Theonald and he is a Tedjanegara, huh?"
Jennie mengerjap, lantas airmukanya berganti masam. "Bapak yang sangat menakjubkan. Lo menggunakan anak lo sendiri buat ngorek informasi dari gue?"
"Iya." Jef berdusta.
"Segitu tertariknya sama gue?"
"Iya."
Jennie hampir tersedak, tidak mengira Jef akan membenarkannya tanpa basa-basi. "Did you hit your head somewhere, Gouw?"
"Itu nggak penting."
"Terus apa yang penting?"
"Apa yang mau kita omongin sekarang."
"I have nothing more to say. You heard me."
"So it's true? You were in love with me?"
"I was in love all alone." Jennie menukas dingin. "Puas? Udah cukup buat boosting ego lo yang setinggi gunung es?"
"I was in love with you too, you stupid girl."
"Nice try." Jennie tersenyum miring. "Gimana bisa lo menyukai seseorang dan saat bersama orang itu, lo justru menyebut nama orang yang lain?"
"I was drunk, Jeanneth."
"Bukan alasan yang bagus buat gue." Jennie mengangkat bahu.
"Are you still in love with me?"
"Gue nggak merasa itu bakal ngasih perbedaan. Dan lagi, lo juga punya calon istri yang menunggu lo di rumah." Jennie menyindir.
"Jennie—"
"Apa? Mau bilang kalau apapun yang terjadi, lo masih pengen kita berdua temenan? You're indeed the stupidest jancok ever if you think so. We can't be friends, Gouw. Not anymore."
Deru napas Jef memberat. Ludahnya terasa pahit saat Jennie berjalan pergi begitu saja, meninggalkannya sendiri. Dia ingin menahan Jennie, menyerukan sesuatu yang sejak semalam berputar dalam otaknya;
I think I still like you more than any friend should be, Jen. And I don't like seeing you with that man named Theo.
Namun lidahnya terlalu berat untuk berkata.
*
Hari berlalu dengan sangat cepat, setidaknya buat Sashi.
Saat dia sudah lebih tenang, Jef sempat mengajaknya jalan-jalan keluar dan melupakan insiden yang belum terjadi. Tapi Sashi menolak, memilih bergelung di bawah selimut sambil scrolling timeline Twitter sampai sore menjelang. Felix, Tamara dan Jansen mendatanginya usai menemani ibu-ibu mereka meeting, mengajak Sashi nonton film. Mereka juga ikut mengajak Dery. Ada kecanggungan diantara Sashi dan cowok itu, namun untungnya ketiga sepupu Sashi tidak berkomentar.
Mereka berlima sempat makan malam sebelum pulang bersama. Semuanya tampak seperti sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Dery memikirkan Sashi. Sashi memikirkan Dery. Sedangkan Tamara, Jansen dan Felix termenung entah karena apa.
Kejutan buat Sashi belum selesai sampai di sana. Waktu mereka tiba di lobi, dia disambut oleh pertengkaran antara Pakdhe Yono, Elmira dan seorang laki-laki tinggi yang belum pernah Sashi lihat. Airmuka laki-laki itu setenang telaga, dengan sepasang mata penuh ketegasan. Budhe Beata berusaha menenangkan suaminya, sementara anggota Keluarga Gouw yang lain tidak berminat turut-campur—walau Sashi bisa melihat bagaimana Jessica dan Jef berupaya mengontrol crowded di sekitar mereka dan memastikan tidak ada yang merekam.
"Jare Mama, iku lanang seng disenengi Mbak Elmira." Felix berbisik pelan saat mereka sudah berkumpul di kamar hotel Sashi.
"But he looks so handsome, though." Tamara manggut-manggut. "Kelihatannya pintar. Kenapa Pakdhe Yono tidak setuju?"
"Karena di keluarga kita, pintar dan ganteng aja nggak cukup, Tammy." Jansen menyahut, terdengar agak getir. "I mean, don't you ndelok relationship'e Paklik James karo Mbak Egi? They love each other, but it's not enough."
"I don't want to live like that."
Tamara mengernyit, heran karena Felix yang biasanya bersuara keras kini bicara dalam gumam yang hampir tidak terdengar. "You said opo, Mas Felix?"
"Aku mau bersama dengan orang yang aku cintai, sekalipun orang yang aku cintai itu tidak punya apa-apa."
"Too bad, you were born in wrong family." Jansen mengangkat bahu, beranjak dan berjalan keluar dari kamar Sashi. Tak berapa lama, Felix dan Tamara ikut melakukan tindakan yang sama. Alasannya, mereka mau membiarkan Sashi beristirahat.
Nyatanya, kata-kata Jansen tidak mau pergi dari benak Sashi bahkan sampai berjam-jam kemudian.
Di keluarga kita, pintar dan ganteng aja nggak cukup.
"Baby girl, something is bothering you?" Sashi yang masih melamun seraya terduduk di tepi ranjang terkejut ketika dia merasakan tangan dingin menyentuh pipinya. Gadis itu menengadah, mendapati Jo sedang berdiri di depannya.
"Hng—um—Papi kapan keluar dari kamar mandi?"
"Dari tadi."
"Oh..."
"Kamu lagi mikirin sesuatu ya?"
"Nggak."
"You know you can be honest with me." Jo duduk di sebelah Sashi. "Masih kepikiran soal insiden di lift tadi pagi?"
Sashi menggeleng. "Pi, aku boleh nanya nggak?"
"Nanya apa?"
"Papi nikah sama Mami karena Papi sayang sama Mami, kan?"
Jo mengangguk. "Iya. Kenapa?"
"Nanti, aku bisa begitu juga, kan?"
"Of course, baby girl. Tapi kenapa kamu tiba-tiba nanyain ini?"
"Sekalipun orang yang aku sayang itu nggak punya apa-apa? Kayak... ya uangnya nggak sebanyak Papi. Atau dia nggak seganteng Papi. Atau dia nggak sepintar Papi. Nggak apa-apa?"
"Hm."
"Nggak boleh ya?"
"Sounds unbelievable, tapi kalau dengan 'tidak punya apa-apa'nya dia itu bisa bikin kamu mau menghabiskan seumur hidup sama dia, Papi rasa dia bukan orang sembarangan. Paling pentingnya, dia baik dan sayang sama kamu."
Sashi mengembuskan napas lega. "Jadi tenang deh sekarang..."
"Tapi itu Papi loh, nggak tahu kalau Om Jeffrey."
Mata Sashi membulat. "Aku harus minta izin sama Om Jeffrey juga?!"
"Suka atau nggak, Om Jeffrey kan orang tua kamu juga, Acacia."
"Pasti dia nggak bakal bolehin!" Sashi bersungut-sungut, meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya dengan kesal.
"Lagian kenapa sih udah nanya soal pasangan dan nikah? Kamu masih kecil. Dua puluh tahun aja belum. Papi juga nggak mau kamu nikah cepet-cepet." Jo tergelak. "Anyway, ini udah lewat jam sembilan malam. Tidur deh. Packingnya besok aja. Lagian barang yang kamu bawa juga nggak banyak-banyak amat."
Sashi menurut, bergeser lebih ke tengah ranjang dan berbaring, meletakkan kepalanya di atas bantal. Jo berada di sebelahnya, sengaja menyamping dan menahan kepalanya sendiri dengan tangan.
"Pi, cerita dong!"
"Cerita apa?"
"Apa aja!"
"Hm, sebentar..." Jo menyisir memorinya, menjentikkan jari saat dia menemukan satu kenangan untuk diceritakan. "Ah ya, ada satu. Dulu, waktu Hari Ibu pertamanya Mami setelah punya kamu, Papi pernah ngadoin sesuatu ke Mami."
"Kado apa?" Sashi balik bertanya dengan mata sarat binar antusias.
"Buku. Chicken Soup for the Mother's Soul."
"Is it that book? Sampai sekarang masih ada di rumah, kalau aku nggak salah lihat."
"Iya. Buku yang itu." Jo membenarkan. "Ada satu cerita di sana yang Mami kamu suka banget. Tentang anak perempuan yang ibunya sakit kanker."
Senyum Sashi redup sedikit, teringat bagaimana dia sempat berada di posisi yang sama. "Hm... terus?"
"Dalam cerita itu, yang jadi fokusnya bukan sakit kankernya. Tapi kebiasaan anak perempuan itu dan ibunya. Ketika anak perempuannya masih kecil, entah itu karena sakit atau jatuh, ibunya selalu bilang begini." Jo paham makna perubahan raut wajah Sashi, meski hanya sekilas. "Jika terasa sakit, remaslah tanganku. Nanti akan kukatakan aku sayang padamu. Bertahun-tahun kemudian, waktu ibunya sakit dan lagi putus asa karena kemoterapi yang terasa berat, anaknya yang berjaga di samping ibunya ngebalikin kata-kata itu. Jika terasa sakit, remaslah tanganku. Nanti akan kukatakan aku sayang padamu."
"Itu... cerita yang bagus."
"Indeed. Itu cerita favorit Mami diantara banyak cerita lainnya. Ada satu hari, berbulan-bulan setelahnya, kerjaan Papi lagi numpuk banget. Sebanyak itu, sampai-sampai sekalipun Papi udah di rumah, Papi mesti ngerjain urusan kantor. It was so overwhelming. Papi makin stress saat sadar kalau waktu terus berjalan. Paginya, Papi harus ke kantor lagi."
"Terus?"
"Mami paling nggak suka lihat Papi overwork diri sendiri. Jam tiga pagi, dia nyamperin Papi, nyender di kusen pintu yang terbuka sambil melipat tangan."
"Pasti mukanya galak banget."
"Dan serem, walaupun tetap selalu cantik." Jo bergurau, lantas tertawa. "Mami nyuruh Papi tidur, karena katanya begadang terus-terusan itu nggak sehat. Papi kesal dan balik membentak Mami. Keras banget. Jujur, Papi langsung menyesal. Tapi Mami nggak marah. Dia malah masuk dan naro salah satu tangannya di bahu Papi. Mau tahu Mami bilang apa?"
"Apa?"
"Kalau terasa lelah, jangan marah-marah. Remas tanganku, nanti akan kukatakan aku ada di sini untuk kamu."
"Terus Papi lakuin?"
"Iya. Papi genggam tangan Mami yang ada di bahu Papi, terus Mami bilang begitu. Dan akhirnya Papi minta maaf."
Sashi mendesah pelan. "Huu... manis banget..."
Jo tersenyum sambil menyingkirkan sedikit helai rambut yang menempel di dahi Sashi.
"You know, Pi, I miss her even more."
"Me too, baby girl. Me too." Jo menanggapi dengan suara rendah. "Sekarang, waktunya tidur."
"Can I do that too first?"
"Do what?"
"Bilang sesuatu seperti yang pernah Mami bilang."
Jo lagi-lagi tergelak. "Go ahead."
"Kapanpun Papi mau, Papi bisa remas tanganku. Nanti bakal kubilang, aku sayang sama Papi."
"Boleh kalau Papi lakukan itu sekarang?"
"Boleh. Kan aku bilang kapanpun." Jo meraih jari-jari Sashi ke dalam genggamannya, meremasnya pelan dan Sashi balik memandangnya diikuti tarikan senyum lebar. "Aku sayang Papi."
Jo tidak menjawab, tetapi tangannya yang lain menarik selimut hingga ke leher Sashi, lantas dia membungkuk untuk menjatuhkan kecupan di dahi gadis itu. Satu dari sedikit kecupan yang pernah dia berikan Sashi saat mereka berdua sama-sama sadar. Sashi tercengang sebentar, tidak menduga Jo akan melakukannya, namun akhirnya dia tersenyum makin lebar dan menutup matanya.
"Sleep tight, little angel."
Bonus
Acacia created a group
Acacia invited you to Rumah Garam
Rumah Garam (4)
Jeffrey grup apaan nih
Acacia grup rumah
Acacia nggak boleh protes. kita udah sepakat @Jeffrey
Jeffrey banyak amat kayak rombongan haji
Acacia :)
Jeffrey senyum lo serem :)
Acacia ngaca :)
Jo jadi... beneran jadi?
Acacia iya dong, Papi @Jo
Jo hm... ok
Jeffrey ok doang, lempeng amat kaya kulit tahu
Acacia jangan berantem loh kalau aku lagi di sekolah @Jeffrey @Jo
Jeffrey iya, nggak
Acacia :)
Jeffrey nggak janji maksudnya
Acacia oh
Jennie bentar, ini group apaan
Jeffrey wait
Jeffrey ini gue nggak salah baca, kan?
Acacia nggak, emang sengaja ku-invite
Jeffrey sayangku, dia ngga serumah sama kita :)
Acacia siapa tahu di masa depan iya :)
Jeffrey cek pc
Acacia moh
Jeffrey hey!
Acacia gadis?
Jeffrey gue samperin lo ya
Acacia ampun om, tapi bukannya om yang bilang pengen dibantuin balikan sama Tante Jennie?
Acacia *baikan. typo.
Jeffrey sengaja lo ya?
Jennie keep on dreaming
Jeffrey ck
Jeffrey invited Mandala to the group
Mandala joined the group
Acacia :)
Acacia om, dia ngga serumah sama kita :)
Jeffrey siapa tahu di masa depan iya :)
Acacia left the group
Mandala :(
Jeffrey seng sabar
Jennie kicked Jeffrey out of the group
***
Catatan dari Renita:
halo semuanya, akhirnya kita bertemu di tahun yang baru dan di awal yang baru. seharusnya part ini diposting tanggal satu, tapi gue sempat keteteran dikit karena unexpectedly gue bakal sidang final dalam waktu dekat dan mesti kesana-kesini nyiapin segalanya gitu, terus kan lagi pada kebanjiran jadi kayaknya pada ga sempet wetpet-wetpetan ((halah renita banyak alasan))
terus maap juga sempet sibuk karena lagi mau ngerjain revisi DLP dan ngerjain ebook projectnya odoy-juni hehe ya inilah aku berlagak sok sibuk.
jadi aku bakal sidang minggu depan gaes abis itu udahlah ciaobella dah undip akhirnya aku lulus yay jongin i made it
terus apa ya, ini seharusnya diposting semalem tapi aku ketiduran gaes, maap. bangun-bangun jam dua malem. so sorry yha ((renita alasan lagi))
jadi di chapter ini, akhirnya ada moment jo dan sashi yang mendominasi. ea memang seringkali kita hanya butuh duduk berdua saja untuk menyelesaikan segalanya.
dikarenakan jo dan jeff berbeda tentu saja untuk bisa dekat dengan mereka pun caranya berbeda pula. mana bisa sashi memperlakukan jo sama kayak dia memperlakukan jef wkwkwk kalau jo adalah partner sayang-sayangan, maka jef adalah partner tonjok-tonjokan.
tapi sashi sayang dua-duanya kok.
jadi bagaimana kelanjutan hubungan jeffrey-jennie juga nasib leni dan akankah keambyaran badrol bertahan lama? kita liat aja nanti.
by the way, gue udah bikin sedikit pilot untuk spin off yang isinya perdramaan keluarga gouw didieu
itu nanti bakal sante bgt sih paling per chapternya paling panjang 2000 words. terus santuy santuy aja gitu ga banyak bacot ya. namanya juga drama.
tapi gue kepo sih, kalian tuh lebih suka yang sechapter panjang bleberan apa se-encrit encrit gitu?
dah kayaknya daripada gue banyak bacot.
btw gws buat lucas ama haechan yang lagi atid huhu abang dan adek kompak banget sakitnya barengan, kasian kak setra ngurusinnya :( wkwkwk
semoga yang kena banjir juga cepat-cepat surut dan selesai masalahnya. stay safe dan jaga kesehatan ya!
dah sekian, sampai ketemu di chapter berikutnya
ciao
bonus orang biasa tak punya bunga tak punya hareuta
orang biasa bertemu anak garaga
Semarang, January 5th 2019
14.00
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro