Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25

Kalau gue tau jadi teman lo bakal bikin gue off-limit buat jadi lebih dari teman, gue nggak akan pernah menjadikan lo teman gue dari awal.

— Mandala Deryaspati

***

Dikarenakan Sashi sudah terbooking oleh kakek-nenek jalur biologisnya yang bela-belain terbang dari Jakarta ke Tokyo buat dia, maka mau tidak mau Dery mesti turut-serta dengan Baginda Tedra Sunggana dan mama tercinta yang mengajaknya piknik di bawah pohon sakura. Mereka menyebutnya hanami. Tidak ada kegiatan yang spesial, hanya gelaran tikar sambil makan-makan dan melihat bunga sakura sebelum hadirnya ditelan masa hingga baru bisa dilihat tahun berikutnya. Dery sih tidak keberatan, namun firasatnya langsung tidak enak kala mereka berpapasan dengan Keluarga Gouw cabang Prajapati di lobi hotel.

Namanya emak-emak, mau itu yang biasa duduk di depan TV sambil dasteran dan nonton infotaiment pagi sampai emak-emak tipe mahmud abas alias mamah muda anak baru satu berkaos Gucci punya sifat alami yang tidak akan pernah luntur meski direndam bayclin dari lebaran Syawal sampai lebaran haji. Sifat alami itu bernama julid berbalut riya tak sengaja dan agenda pamer terselubung.

Sudah bukan rahasia umum, Talitha Gouw adalah salah satu saingan terbesar Joice Maharadjasa untuk menduduki singgasana ratu sosialita diantara para istri kalangan crazy rich berdarah Jawa. Bisa ditebak, bau-bau persaingan sengit langsung merebak tajam kala Talitha dan Joice dipertemukan. Mereka boleh saja bertukar senyum, namun dalam hati tengah menyusun siasat agar bisa menang dalam kontes pamer yang akan dimulai jika mereka tetap dibiarkan berada di tempat yang sama untuk setengah jam lebih lama.

"Mas Mandy mau ke mana?"

"Mau... lihat sakura." Dery menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Wah, sama!" Tamara berseru riang. "Bagaimana kalau kita melihat sakura bersama-sama?"

Baik Joice maupun Talitha kompak melengos di waktu yang bersamaan diikuti senyum kecut. Tedra sih tidak keberatan, soalnya walau tresno sampe modar mbek bojo tersayang, namanya laki-laki ya pastinya tetap suka dikelilingi yang cantik-cantik. Jajang berdecak, namun tidak banyak berkomentar.

Jadilah mereka piknik bersama. Orang yang melihat mungkin bisa saja berasumsi mereka adalah sebuah keluarga rupawan yang bahagia, tetapi sebenarnya Dery tahu, ketegangan antara Talitha dan Joice jauh lebih intens daripada suasana Jalur Gaza. Itu menularinya, bikin dia berkeringat layaknya tengah berada dalam ruang sauna.

"Kelambimu ki anyar, Tal? Bagus." (Bajumu nih baru, Tal?). 

Dery sontak berhenti scrolling timeline Tuitter, menoleh pada Joice yang baru saja sok menebar senyum dengan maksud menyindir.

Oke, sepertinya ronde satu sudah resmi dimulai.

"Iyo. Opo'o, Mbakyu?" (Iya. Kenapa, Mbakyu?). 

"Ojo nganggo Mbakyu toh, kowe kan wes lebih senior ketimbang aku." (Jangan pake Mbakyu lah, kamu kan udah lebih senior daripada aku). 

"Sek, senior piye maksute?" (Bentar, senior gimana maksudnya?). 

Dery melirik pada Tedra, tapi yang bersangkutan lebih sibuk selfie diantara kelopak sakura daripada memantau kekondusifan bini tercinta. Dia melempar pandang pada Felix yang langsung peka, refleks menoleh pada Jajang. Sayangnya, tidak jauh berbeda dengan Tedra, Jajang malah sibuk memperhatikan belalang yang berlompatan diantara rerumputan di sekeliling tikar tempat mereka duduk. Tamara masih sibuk dengan ponselnya. Erina tak tahu dimana rimbanya, hilang usai izin ke toilet.

"Buntutmu telu. Buntutku siji tok. Itu artinya kamu lebih senior daripada aku." Joice mesem-mesem. "Kelambimu ku merek opo, Tal?" (Buntutmu tiga. Buntutku satu doang) (Bajumu merek apa, Tal?). 

"Gucci."

"Oalah, masih pake Gucci tah kamu?"

"Iya. Soalnya Papa-nya anak-anak kan pernah jadi global brand ambassador Gucci." Talitha menyahut, maksudnya mau menyombong. "Emang kenapa, Mbakyu?"

"Jarene sih merek Gucci iku ora cruelty-free yo. Cruelty free iku artine merek'e ora nge-tes produk'e  ke hewan. Iya kan, Mandala?" (Katanya sih merek Gucci itu nggak cruelty-free ya. Cruelty free itu artinya mereknya nggak nge-tes produknya ke hewan). 

Dery hampir keselek. "Iya, Ma."

"Mesakke hewan-hewan yang dijadiin kelinci percobaan." Joice berlagak prihatin. "I don't support that kind of brand so I stopped wearing Gucci like a year ago. Susah sih, apalagi anak-anak muda sekarang nge-tren Gucci-Gucci-an sampe ono lagune seng Gucci-gang-Gucci-gang kui. Tapi piye yo, aku lebih cinta lingkungan daripada gaya-gayaan."

KERAD JUGA MAMA JOICE.

Mama Ital tidak bisa berkomentar, terbungkam seribu bahasa macam baru kena jurus fatality Mortal Kombat.

Joice? Lanjut kipas-kipas sambil tersenyum penuh kemenangan.

Untungnya, sebelum Talitha sempat meledak, Jajang sudah turun tangan mencolek lengan istrinya, bikin wanita itu menoleh padanya secara refleks.

"OPO?!"

"Lah, kok nesu-ne karo aku?!" Jajang mengerjap kaget, memasang ekspresi tersakiti yang berlebihan. "Papa mau tanya, Mama bawa korek nggak?" (Lah, kok marahnya sama aku?). 

"Pa, can you go a day without smoking? It's unhealthy." Tamara menukas, bikin Jajang mati kutu sementara Felix manggut-manggut seraya mengisi mulutnya dengan dua potong sushi sekaligus sampai dua pipinya hamil dadakan.

"Tuh, rungokno what your daughter said." (Tuh dengerin apa kata anaknya). 

"Yo piye, Ma?"

"Kok nanyanya ke Mama?!"

"Nek ora udud abis emam,mulutku asem, Ma." (Kalau nggak ngerokok abis makan, mulutku asem). 

"Itu sih karena Papa sudah enam bulan tidak ganti sikat gigi."

"Ew, disgusting." Tedra bereaksi secara spontan.

"Sembarangan!" Jajang protes pada tuduhan Felix. "Papa selalu ganti sikat gigi sebulan sekali! Cuma warnanya selalu sama aja, makanya kelihatannya nggak ganti-ganti! Kalau Papa nggak rajin sikat gigi, mana bisa Papa mantap-mantapan sama Mama tiap malam Jumat?!"

"Pa, it's disgusting, we don't need to hear about your sex life." Tamara memutar bola matanya, sedangkan Talitha mendengus seraya membuka purse yang dia pakai, mengeluarkan korek gas yang selalu dia bawa kemana-mana.

Talitha bukan perokok aktif. Dia hanya merokok dalam situasi-situasi tertentu. Mungkin hanya setahun sekali. Jajang tidak melarangnya, walau pria itu jelas lebih suka kalau istrinya tidak pernah merokok sama sekali. Dulu pun, proses pepet-memepet Jajang pasca Talitha putus dari Kang Min-hyuk bisa lancar sebab Jajang bersetia jadi smoke buddy yang menemani Talitha merokok di balkon. Perjuangannya? Nggak usah ditanya seberapa dinginnya berdiri di balkon Bandung atau Jakarta jam empat pagi, dalam kondisi angin bertiup kencang.

Dery bisa bernapas lega untuk sesaat karena adu riya antara Joice dan Talitha terhenti. Dia memegang ponsel di tangan kiri, maksudnya mau nge-chat Sashi sementara tanan kanannya menjepit seiris sashimi dengan sumpit. Entah bagaimana, tiba-tiba saja Tamara mengejutkannya dengan menggeser mangkuk mungil berisi saus mendekat padanya.

"Buat Mas Mandy."

Dery tersenyum, sampai Tedra tiba-tiba menyalak. "Ojo ngarep lebih yo, Nduk. Mandala ki wes dibooking buat Sashi." (Jangan ngarep lebih ya, Say. Mandala ni udah dibooking buat Sashi). 

"Hah? Bukannya Mbakyu Sashi sukanya sama Mas Juan?"

"Nah loh." Jajang iseng memanas-manasi.

"No, no, no, no. Pokok'e Sashi untuk Dery, Dery untuk Sashi!" Tedra selaku president #SashiDerySampaiMati langsung terpelatuk.

"Emang Jeffrey bakal merestui?" Talitha menimpali.

"Siapa yang butuh restu Jeffrey? Wong bapak'e Sashi iku si Joshua. Lagian, siapa juga yang nggak mau sama putraku? Pewaris satu-satunya kekayaan Sunggana digabung sama Maharadjasa gitu loh? Jangankan liburan ke Maldives, berjemur manja di Matahari-nya langsung aja bisa diladenin sama Mandala!" Tedra berujar penuh semangat, seperti kandidat presiden yang tengah berorasi di depan para pendukungnya.

"Nggak mesti pewaris kekayaan Sunggana sama Maharadjasa, tukang buah juga bisa berjemur manja di Matahari kalau dia mau. Masalahnya ya buat apa juga?"

"Matahari tenanan, Cok, dudu Matahari department store!" (Matahari beneran, Cok. Bukan Matahari department store). 

"Pa, Pa, udah." Dery memegang lengan Tedra. "Ribut melulu, dilihatin orang. Pantesan aja Tante Jessica sama Jansen nggak mau join bareng kita."

"Mbak Jessica sih memang ora suka ndelok sakura."

"Loh, kenapa?" Joice jadi penasaran, siapa tahu dapat bahan ghibah baru.

"Mellow de'e, nggak mau keinget masa-masa proses produksi Jansen bareng Mas Donghae dulu."

"Tapi mereka tuh masih suami-istri nggak sih, Tal?"

YAK GHIBAH MEMANG PEMERSATU BANGSA NOMOR DUA SETELAH BOKEP.

"Masih."

"Terus nama belakang Jansen tetap Gouw, gitu?"

"Iya. Mbak Jess ngotot, terus Jansen juga lahirnya kan sebelum Mbak Jess sama Mas Donghae menikah. Alasannya Mas Donghae arep rabi karo Mbak Jess tuh gara-gara mau punya hak asuh sama Jansen tapi ya dipikir lagi, menurutku sih dua-duanya saling sayang tapi gengsi."

"Betul." Jajang manggut-manggut. "Buktinya sampe Jansen segede bagong dan lancar ngomong jancok, Mbak Jess dan Mas Donghae nggak cerai-cerai tuh."

"Masih suka mantap-mantapan nggak tapinya?" Tedra angkat bicara.

"WOYAJELAS."

Sebagai anak paling dewasa karena Erina mengungsi entah kemana, wajah Dery langsung merona. Felix sama Tamara sih pura-pura tidak tahu, sok sibuk dengan gadget masing-masing. Atau mungkin mereka juga sudah biasa dengan obrolan sejenis itu—soalnya Keluarga Gouw ini apa ya, ada yang sopan dan normatif banget macam Mas Yono sekeluarga, tapi ada juga yang liar dan lentur seperti Keluarga Gouw cabang Prajapati atau Paklik Siji yang tatonya saingan sama Young Lex.

"Tapi kamu nggak mau nambah adek gitu buat Dery? Kayaknya kalian masih bisa."

Joice tersenyum sok manis. "Dery nggak mau dikasih adik. Aku juga cukup satu aja. Aku kan bukan pabrik kelinci yang kerjaannya beranak terus."

Talitha lagi-lagi tersyndyr.

"Arep nang ndi, Pa?" Joice beralih pada Tedra yang mendadak beranjak tanpa bilang apa-apa. (Mau kemana, Pa?)

"Setor. Udah ada panggilan alam."

"Nek arep ngocor, pilih urinoir seng nang pojok wae yo." Jajang nyeletuk. (Kalau mau ngocor, pilih urinoir yang di pojok aja ya). 

"Kenapa gitu?"

"Urinoirnya lebih pendek dari yang lain. Cocok karo awakmu." (Cocok sama badanmu). 

"Fuckin' jancok."

*

Sashi dan Jansen beserta para orang tua masing-masing ditambah Jennie bergabung dalam acara piknik berbalut riya dan julid Keluarga Gouw cabang Prajapati dan Keluarga Sunggana tidak lama kemudian—yang Dery syukuri karena jika tidak, cekcok cocot antara Talitha dan Joice pasti akan kian memanas dan baru bisa diakhiri oleh pertumpahan darah.

Jansen yang tahu jika sepupu-sepupunya tengah berkumpul berinisiatif mampir dulu di toko mainan langganan sebelum menyambangi mereka untuk membeli beberapa buah pistol air. Jessica sempat bilang jika Jansen sudah terlalu tua buat main pistol air, tapi Jansen hanya facepalm sambil bilang:

"Gimana ya abisnya dulu waktu aku kecil Papa sama Mama terlalu sibuk buat ngajakin aku main pistol air."

Skak mat.

Meski gitu-gitu, Jansen rada brengsek. Mukanya bisa saja sedih, namun sebetulnya dia senang soalnya dia jadi punya alasan buat menyerang kedua orang tuanya atau minta dibelikan barang-barang mahal kalau dia lagi merasa butuh. Rasa bersalah memang adalah salah satu yang paling bisa dimanfaatkan buat memanipulasi orang.

Felix jadi yang paling senang waktu Jansen datang bersama pistol air yang sudah diisi. Mereka sepakat untuk bikin lawan basah dan yang paling kuyup wajib mentraktir yang lainnya makan Tokyo Banana sepuasnya—sebetulnya sih pada bisa beli sendiri ya, mau sekalian sama tokonya juga bisa, cuma bagian seru dari kompetisinya itu lebih menarik.

Para orang tua, berhubung sudah jompo dan mudah pegal, lebih suka nonton anak-anak mereka lari-larian. Jef, Jo dan Jennie ikut bergabung. Kedua orang tua Jef tidak. Mereka langsung kembali ke hotel, mungkin mau istirahat dulu. Ketiganya diam saja, tidak banyak bicara meski sesekali Jo mengobrol dengan Tedra atau tertawa kecil ketika Jajang melempar gurau. Jef membisu, lebih sibuk meneliti perubahan ekspresi wajah Jennie usai ibunya mengeluarkan foto Leni di restoran tadi.

Kenapa Jennie terlihat tidak senang?

"Mbak Jess, did you see latest news about Mas Donghae?" Talitha berbisik, tapi suaranya masih cukup jelas buat bisa didengar orang-orang di sekitar mereka.

"News opo meneh sih?" Jessica terlihat jengkel. (Berita apa lagi sih?). 

"Iki loh." Talitha menunjukkan layar ponselnya, memicu Joice untuk memanjangkan leher layaknya kura-kura mau menggapai batang kangkung. "Mas Jansen karo wong Korea kui. Koyok'e masih kerabatan sama Keluarga Lim yang punya pabrik plastik."

Jessica menatap layar ponsel adik perempuannya, langsung mengembuskan napas kesal begitu membaca serentetan kata yang tercetak dalam huruf kapital dan dicetak tebal.

BREAKING NEWS: KOREAN BUSINESSMAN DONGHAE LEE WERE SEEN TOGETHER WITH KOREAN-INDONESIAN ACTRESS YOONA LIM IN PARIS.

"Dasar lanang clometan." Jessica memutar bola matanya.

"Ini udah yang keberapa kali loh, Mbak."

"I know right."

"Just divorce him already." Talitha berujar.

"I can't."

"Kenapa?"

"Jansen needs his father."

"No, he doesn't." Talitha menyergah.

"..."

"It's you, isn't it?"

"Talitha, we'll talk about this later."

"It's not Jansen. You're the one who needs him, the one who can't let him go."

Jef mengembuskan napas, merutuk dalam hati karena dia lupa membawa airpodsnya. Keluarga Gouw dipandang sebagai keluarga sempurna oleh kebanyakan orang. Wajah rupawan sejak lahir, kekayaan yang seakan tidak ada habisnya, dipandang hormat oleh khalayak ramai, pintar, ambisius, terkesan tidak nyata. Tapi mereka punya masalah masing-masing, seperti Jessica dan suaminya, Brisia dan pilihan hidupnya yang kerap mengundang pertanyaan sampai James yang enggan melepaskan pacarnya walau jelas kedua orang tuanya bersumpah tidak akan pernah merestui mereka. Jef sudah cukup penat dengan masalahnya sendiri, dia tak merasa harus tahu masalah orang lain.

Lelaki itu meraih setusuk dango, menggigit salah satu bagiannya sampai lepas dan mengunyahnya seraya memandang pada anak perempuannya yang berlari menghindari kejaran Felix. Udara sejuk, tapi matahari bersinar cerah hari ini. Sorotnya menimpa rambut Sashi, membuatnya jadi kelihatan agak cokelat-kemerahan. Mirip rambut Tris, meski Jef tahu perempuan itu tidak pernah mewarnai rambutnya. Sashi tersenyum, berseru ketika semprotan pistol air Felix nyaris mengenainya.

Dia cantik... dan Jef seakan dibuat jatuh cinta berkali-kali oleh tawanya.

Tidak, tentu bukan cinta dalam artian romantis. Dia menyayangi gadis itu seperti bagaimana seharusnya seorang ayah kepada anak perempuannya. Dalam, tanpa syarat, tidak menuntut apa pun.

Jef ingin melihatnya selalu seperti ini; bahagia dan tersenyum, meski senyum itu tak mesti selalu karenanya atau untuknya.

Jef tidak menyadari, bagaimana Jo juga menatap pada Sashi dengan cara yang sama.

Diantara semua yang turut dalam permainan pistol air, hanya Tamara, Sashi dan Dery yang belum basah. Jadi Jansen dan Felix sepakat bekerja sama buat mengejar Sashi. Sashi malah terdorong meledak mereka sambil berlari, kurang memperhatikan situasi di sekelilingnya hingga mendadak, langkahnya terhenti saat hidungnya menabrak sesuatu—

—yang ternyata adalah dada Dery.

Sashi menengadah sedikit. Matanya bertemu dengan mata Dery. Jantungnya berdetak lebih cepat, di luar kendali. Sebelum dia bisa bereaksi, Dery telah lebih dulu menukar posisi mereka, membuat Sashi terlindungi olehnya hingga akhirnya, semprotan pistol air Jansen dan Felix justru membasahi punggungnya.

"You okay?"

Pipi Sashi memanas.

"MISI TOLONG HENTIKAN YA SAYA SEBAGAE PLAYBOY TANPA BETINANYA MERASA TERINTIMIDASI!" Jansen malah jengkel, sementara Tamara berhenti berlari untuk mengagumi pemandangan yang tersaji di depannya.

"Omo... so kiyowoooo..."

Di kejauhan, Jef sudah beranjak dari duduk, siap memasang formasi ala piranha siap berburu. Tapi dia belum lagi berseru protes kala seorang gadis tiba-tiba berjalan mendekati Dery. Gadis itu berambut sebahu. Kulitnya pucat dan senyumnya merekah lebar saat dia memanggil nama Dery.

"Kak Mandala!"

Refleks, Dery menoleh. "Saya... kenal kamu?"

"Oalah, beneran Kak Mandala ternyata!" Gadis itu berseru dengan logat Jawa yang medhok. "Long time no see, Kak Mandala! Aku Sarah. Sarah Lim. Dulu kita pernah retret bareng waktu SMP. Mungkin Kak Mandala nggak ingat."

"Sarah—wait, Sarah yang bawa pop mie sampai satu koper itu?!"

"Iya!"

"Ya ampun! Iya, aku inget, kok! Udah lama banget ya..."

"Iya!" Sarah kian ceria dan tiba-tiba saja, dia memeluk Dery tanpa aba-aba. Dery terkejut, begitu pula Sashi. Gadis itu membatu di tempat dengan pistol air tergenggam di tangan yang sekarang lunglai. Kenapa ada yang porak-poranda dalam hatinya ketika melihat Dery dipeluk seperti itu?

Pelukan itu akhirnya terlepas, namun Sarah masih mengajak mengobrol, yang mau tak mau Dery ladeni. Jef dan Tedra bersiaga di kejauhan, memantau situasi. Jef mendesis kesal ketika Sashi berjalan menjauhi Dery dengan kepala tertunduk, sementara Tedra merutuki ketololan anak laki-lakinya dalam hati. Felix mengamati sebentar, lantas berinisiatif berlari untuk menyamai langkah Sashi.

"Mbakyu." Felix memanggil seraya terus berjalan di samping kakak sepupunya.

"Apa?"

"Mbakyu cemburu ya?"

"Maksud kam—" Sashi belum menyudahi ucapannya dan Felix memotong dengan menyemprotkan isi pistol airnya tepat ke wajah Sashi. "KOWE WES GENDHENG A?!"

"Harusnya Mbakyu berterimakasih pada Felix."

"KENAPA KUDU TERIMAKASIH?!"

"Felix membuat wajah Mbakyu basah." Felix berkata polos. "Jadi kalau Mbakyu mau menangis, Mbakyu bisa menangis sekarang. Tidak akan ada yang tahu."

Sashi masih e m o s h i e.

Tetapi tidak tahu kenapa, dia tidak mampu berkata-kata.

*

Interaksi antara Dery dan Sarah hanya berlangsung kurang dari lima belas menit, namun sudah mampu membuat Sashi terdiam sampai lebih dari setengah jam. Dery jadi bingung, Jef dan Jo apalagi. Jef juga pusing sih, soalnya Jennie ikut-ikutan membisu. Biasanya perempuan itu paling banyak bacot. Sekarang tidak. Bahkan mengambil foto selfie pun sepertinya Jennie enggan.

Ini benar-benar bukan Jennie.

Jef berpikir sejenak, sebelum kemudian dengan iseng, meperin tepi salah satu kue cokelat ke pipi Jennie. Tindakannya membuat Jennie langsung menoleh, namun berbeda dari tebakan Jef, Jennie malah menatap dingin.

"Ngapain sih lo?!"

"Muka lo tegang banget dari tadi, kanebo kering kalah. Kenapa sih?"

"Suka-suka gue lah! Muka-muka gue!"

"Lah, kok malah nesu?"

"Wes lah kowe ojo kakehan cangkem!"

"Jen—"

"OPO MENEH, SU?!" Jennie menukas kasar, betul-betul tidak peduli pada fakta jika Jo ada di sana dan bisa mendengar semua kata-katanya.

"Kok marah-marah?"

"Salahmu, gawe perkoro wae!"

"Lha... aku guyon tok loh..."

"Bodo."

"Lo marah karena apa yang dibilang nyokap gue di restoran tadi?" Pertanyaan Jef berikutnya secara otomatis bikin Sashi menyikut rusuknya, tetapi sikap Jennie agaknya sudah mendorong Jef untuk kehilangan kontrol.

"Kenapa gue mesti marah!?"

"Ya nggak tahu. Mungkin karena lo cemburu—even tho that's super impossible. I mean, we've been best friends for years! People come and go in our lives. Dan walaupun gue nikah sama Leni karena kemauan nyokap gue, itu juga nggak seharusnya mempengaruhi lo, kan? Makanya gue nggak ngerti kenapa lo malah sensi banget sekarang. Gue salah apa?"

Jennie tidak menyahut, yang lain memilih mengunci mulut rapat-rapat.

Jef menatap Jennie lekat. "Jen, answer me."

Alih-alih menyahut, Jennie malah berdiri dan melangkah menjauh dari tempat mereka berkumpul dan duduk. Jef tercengang, sementara Jo tidak bilang apa-apa. Sashi mengamati keadaan, menunggu Jef berinisiatif mengejar Jennie, namun lelaki itu malah meraih sumpit dan menjepit sepotong sushi.

"OM!" Sashi menyikut rusuk Jef lebih keras sampai-sampai sushi diantara sumpit Jef terlepas dan terjatuh ke tikar, batal tiba di dalam mulut Jef yang sudah terbuka.

"KENAPE LAGI?!"

"Susulin itu Tante Jennie!"

"Biar apa? Jennie udah gede. Nggak bakal hilang. Paling lagi bad mood aja dia."

"YANG GINI-GINI NIH YANG ENAKNYA DIJEJELIN JENGLOT GORENG CRISPY!"

"Ck." Jef berdecak, menyerah dan mencomot sepotong sushi pakai tangan. "By the way, soal Leni, lo setuju apa nggak? Kalau nggak, bilang gih ke nyokap gue. Pasti dia lebih dengerin mau lo daripada mau gue."

"BODO AMAT! SEKARANG TUH OM MESTINYA SUSULIN TANTE JENNIE!"

"..."

"BURUAN!" Sashi gregetan sendiri, akhirnya bangun dan menarik salah satu tangan Jef, memaksanya untuk ikut beranjak. Jef mengernyit, walau pada akhirnya menurut. Agak kerepotan, dia memakai sepatunya dan berjalan menuju arah yang tadi dituju Jennie.

Sashi kembali duduk, melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Dia terlalu kalut memikirkan Jennie dan Jef, tidak menyadari bagaimana Dery mencuri pandang padanya beberapa kali. Detik demi detik bergulir dan Sashi justru makin gelisah. Akhirnya dia memutuskan kembali bangkit dan memakai sepatunya, berlari menuju satu arah tanpa mempedulikan suara Jo yang memanggilnya.

Kecemasannya terbukti karena dia justru mendapati Jef sedang mengobrol dengan seorang gadis berambut pirang di trotoar.

"OM JEFFREY!"

Jef menoleh bertepatan dengan si gadis yang berpamitan, membuat Jef hanya sendirian waktu Sashi tiba di dekatnya.

"Lah, ngapain lo ikut-ikutan kesini?!"

"Ealah Gusti, punya daddy kok ngene banget yo kelakuane! Wes arep ngurek kok isih wae seneng wedhokan!" (Ya ampun, Gusti, punya daddy kok gini banget ya kelakuannya!? Udah mau mati kok masih aja seneng main cewek!). 

"Ora wedhokan yo, iku tadi uwong nyasar, arep takon jalan, de'e ora eroh arah, mlaku-mlaku ngalor-ngidul petantang-petenteng ora jelas! Terus salahku gitu nek aku arep mbantu?!" Jef nyerocos membela diri. (Nggak mau cewek yo! Itu tadi orang nyasar, mau nanya jalan, dia nggak tahu arah, jalan-jalan, ngalor-ngidul nggak jelas! Terus salah gitu kalau gue mau bantu?!). 

"Terus gimana Tante Jennie?!"

"Ini lagi tak cari—oh, nyoh uwong-esek... dia duduk sama siapa?"

"... ama cowok sih kayaknya, Om." Sashi ikut memandang ke arah yang dimaksud Jef dan benar saja, Jennie tengah duduk di salah satu bangku trotoar bersama seorang laki-laki yang membawa seekor anak anjing. Tampangnya mirip tokoh komik, bikin Sashi menebak sepertinya dia orang Jepang.

"Gue juga tahu kalau itu cowok! Maksud gue tuh itu siapa?!"

"Om aja nggak tahu, apalagi aku?!"

"YA GUE JUGA NGGAK NANYA LO GITU LOH KOK MALAH MARRRAH?!"

Sashi mengembuskan napas kesal, meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Jef berkacak pinggang, menatap sengit pada anak perempuannya.

"Oke. Sori. Sekarang fokus ke Tante Jennie lagi!"

"Jennie kudu diapain?"

Sashi melotot. "MASIH NANYA, OM? SAMPERIN LAH!"

"Gimana mau nyamperin, sayangku, anakku, manisku, itu orangnya lagi asik-asik-an sama cowok lain!"

"YA TERUS KENAPA?!"

"YA NTAR GUE GANGGU LAH!"

"Halah, ngaku aja deh, Om!"

"Ngaku apaan?!"

"Om cemburu kan lihat Tante Jennie duduk sama cowok lain?!"

Jef buka mulut, namun tidak ada kata yang keluar. Sashi melipat tangan di dada, memiringkan wajah sembari memandang Jef dengan sorot mata yang jika diterjemahkan kira-kira akan bermakna 'nah-kan-tertangkap-basah-kau-sanusi'. Lelaki itu melengos dengan wajah yang memerah, tanpa sengaja menatap lagi ke arah Jennie yang kini sedang tertawa bersama orang yang duduk di sebelahnya.

Ada sesuatu yang terbakar dalam dada Jef, sebentuk rasa yang tidak bisa dia gambarkan dengan perbendaharaan kata dalam kamusnya.

"Sana, Om! Samperin!"

"..."

"Om! Nanti Tante Jennie keburu digondol orang loh kalau nggak gercep!"

"Wes lah, bubar!"

Jef mengabaikan seruan Sashi, malah memutar arah badan dan berjalan pergi. Ada sesuatu yang aneh pada hatinya. Entah apa.

*

Sisa hari berlalu dengan aneh bukan hanya bagi Jef, tapi juga bagi Sashi. Jef belum bertemu Jennie lagi setelah dia melihat Jennie duduk bersama seorang laki-laki di bangku trotoar siang tadi. Sashi juga bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba jadi awkward dengan Dery. Sashi tidak mau memikirkannya, namun rasanya cukup mengganggu.

Dia tidak mungkin cemburu gara-gara melihat Dery seakrab itu dengan gadis lain, kan?

Mungkin dia hanya terkejut. Selama ini, Dery belum pernah sekalipun curhat soal cewek yang dia taksir pada Sashi—berbeda dengan Sashi yang selalu terus-terang setiap kali ada cowok yang menarik perhatiannya. Sashi terbiasa jadi satu-satunya teman perempuan Dery yang paling dekat, jadi satu-satunya teman perempuan yang Dery peluk, jadi satu-satunya teman perempuan Dery yang dia biarkan menjadikan pahanya sebagai bantal.

Lalu hari ini, mendadak gadis yang tidak Sashi kenal muncul dan mendekap Dery tanpa aba-aba. Dia tidak cemburu. Sebatas kaget saja.

Jennie belum juga pulang sampai menjelang petang. Sempat berpikir sejenak, Sashi akhirnya mengetuk pintu kamar sebelah. Dia bosan sendirian, juga lelah meladeni pikirannya yang tidak mau berhenti memikirkan Dery. Tetapi tidak ada jawaban. Sashi mengernyit, tadinya bermaksud kembali ke kamarnya waktu pintu tiba-tiba dikuak.

"Buset, baru juga berapa jam. Udah kangen bau ketek gue ya?"

Pastinya itu datang dari Jef karena mana mungkin mulut Jo bisa selemas itu saat bicara dengan Sashi?

"Ge-er. Kangennya sama Papi, bukan sama Om Jeffrey."

Jef tertohok. "Lagi molor orangnya."

"Molor beneran?"

"Emang ada molor bohongan?"

"Siapa tahu nggak sadarkan diri gara-gara skenario jahat Om Jeffrey."

"Ide yang bisa dipertimbangkan..." Jeffrey mengusap dagu.

"Ngaco! Kalau Om Jeffrey sampai ngapa-ngapain Papi, aku marah."

"Kalau Papi lo yang ngapa-ngapain gue?"

"Nggak mungkin."

Jef mencibir. "Dih, pilih kasih."

Sashi tak menghiraukan ucapan Jef, terus saja berjalan menuju ruang duduk dan mendapati Jo tengah berbaring di salah satu sofa. Tampaknya lelaki itu ketiduran, karena dia belum melepas jam tangannya. Setahu Sashi, Jo selalu melepas jam tangannya setiap kali pergi mandi atau pergi tidur.

"Ini namanya bukan tidur, Om. Tapi ketiduran."

"Sama aja."

"Dibangunin kek, suruh pindah ke kasur!"

"Dia tidurnya kayak mayat. Kagak bisa bangun."

"Kenapa nggak diselimutin?!"

"Ogah. Nanti hidup gue ganti genre jadi fujoshi. Lagian, belum tertarik juga buat masuk kalangan hombrenglita."

"Belum, berarti nanti mau?"

"Nggak gitu juga!"

Sashi memutar bola matanya, bangkit untuk mengambil selimut dari salah satu ranjang dan kembali buat menggunakannya menyelimuti Jo. Jef menonton dengan tangan terlipat di dada, separuh bersandar di ambang pintu.

"Udah kayak adegan drama aja." Jef berkomentar sementara Sashi merunduk sedikit, mengamati perubahan ekspresi di wajah Jo yang masih terlelap. Ada kerut muncul diantara kedua alisnya. Sashi bertanya-tanya, apakah mungkin Jo tengah mimpi buruk. Ragu, dia mengangkat salah satu tangannya, menekan kerut diantara alis Jo dengan jari telunjuk sampai kerut itu lenyap.

"Lo ngapain?" Jef bertanya heran.

"Menangkal mimpi buruk."

"Ada-ada aja."

"Waktu kecil, aku pernah lihat Mami nungguin Papi pulang sampai ketiduran di sofa. Papi sering begini. Aku pernah tanya ke Mami dan Mami bilang, itu cara Papi ngusir mimpi buruknya Mami." Sashi bercerita, memicu sengatan tak terduga yang menyerang perasaan Jef. Tanpa menoleh pada Jef yang kini airmukanya berganti, Sashi menyambung. "Alasan kenapa aku susah percaya saat aku tahu Papi bukan ayah kandungku adalah karena... aku nggak pernah melihat ada yang salah sama Mami dan Papi. Mereka saling mendukung. Mereka saling sayang."

"Tahu dari mana?"

"Mami sayang sama Om Jeffrey, sekarang aku tahu itu. Tapi bukan berarti Mami nggak sayang sama Papi. Buatku, hati kita itu bisa sayang sama banyak orang sekaligus."

"Tetap aja terbagi-bagi dan belum tentu setiap bagiannya sama besar." Jef menyanggah.

Sashi menggeleng. "Buatku nggak. Misalnya aja begini. Tuhan mengasihi semua makhluk yang Dia ciptakan. Anggaplah, ada tujuh milyar manusia di muka Bumi ini. Belum termasuk dengan makhluk lainnya. Apa lantas setiap satu dari kata cuma mendapat satu per tujuh milyar dari kasih-Nya Tuhan? Nggak. Kasihnya utuh untuk setiap dari kita. Nggak terbagi. Sama juga dengan sayangnnya Mami buat aku. Buat Papi. Atau buat Om Jeffrey."

Jef tidak bisa berkata-kata.

Sashi diam sejenak, sibuk melepaskan arloji dari pergelangan tangan Jo dan meletakkannya di atas meja. Dia tidak pernah paham kenapa dia tidak bisa melakukan sesuatu semacam itu dengan leluasa ketika Jo terbangun. Dia terlalu banyak berpikir saat berada di dekat Jo. Apakah ini pantas? Apakah itu boleh? Jo adalah ayahnya. Sashi menyayanginya.

Hanya saja, ada sesuatu tentangnya yang terasa berjarak dan begitu jauh.

"Udah ketemu sama Tante Jennie?"

Jef membalasnya dengan dengusan.

"Oh, belom. Yaudah, aku tanya yang lain. Udah ada jawaban soal yang aku minta?"

"Apa?"

"Tinggal bareng aku dan Papi."

"Kenapa harus tinggal bareng?"

"Kenapa nggak harus?"

"Look—"

"Orang bijak pernah bilang, katanya kesalahan terbesar manusia adalah berpikir kalau dia punya selamanya. Selamanya itu nggak nyata. Kalaupun bisa ada, selamanya bisa jadi lebih singkat dari apa yang kita kira. Kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi besok, Om. Papi cuma punya aku." Sashi berbalik, menatap Jef lekat. Pipinya memanas. Dia merasa aneh saat melontarkan kata-kata itu, tetapi Sashi merasa, dia akan menyesal jika dia tidak mengungkapkannya. "Tapi aku tahu, buatku, Om Jeffrey juga penting."

Perasaan Jef porak-poranda seketika.

Buatku, Om Jeffrey juga penting.

Jef tidak pernah mengira, sebatas satu kalimat sederhana bisa membuat hatinya terasa amat lapang namun dia juga ingin menangis di waktu yang bersamaan.

Kesenyapan diantara mereka terpecah oleh bunyi dari ponsel Sashi. Sashi membuang napas, tampak gugup dan buru-buru mengeluarkan ponselnya. Itu chat dari Dery.

From: Badrol

Ketemu gue sebentar?

Swimming pool area. Lantai 17.

*

Langit sudah betul-betul menggelap tatkala Sashi naik ke lantai 17.

Lantai itu dikhususkan untuk area kolam renang, sauna dan jacuzzi. Hari ini sejuk dan angin bertiup agak kencang, ditambah petang yang telah lewat sehingga tempat itu cukup sepi. Dery telah lebih dulu berada di sana, sedang memunggungi Sashi, berdiri mengarah pada pemandangan Tokyo di malam hari dari ketinggian. Cahaya kota membuatnya terlihat ethereal, terlalu indah untuk dikatakan nyata.

"Kenapa?"

Dery berbalik, mengerjap dan ada lega mengaliri wajahnya. "Lo datang."

"Kenapa juga gue harus nggak datang?"

"Lo nggak balas chat gue."

"Gue nggak tahu harus balas apa."

"Lo aneh hari ini."

Sashi berkilah. "Gue cuma capek."

"Beneran?"

"Lo mau ngomongin apa? Kalau nggak penting-penting amat, gue mau balik ke kamar."

"Lo marah soal Sarah?"

Sashi menelan ludah dan menghindari kejaran mata Dery. "Kenapa juga gue harus marah?"

"Sarah itu adik kelas gue di SMP dulu. Adik kelas lo juga. Lo mungkin nggak tahu dia karena dulu lo batal ikut retret gara-gara demam."

"Iya, terus?"

"Lo marah dan ngediemin gue seharian. Apa karena dia?"

"Nggak. Agak kaget aja. Mungkin karena gue nggak biasa lihat lo dipeluk cewek." Sashi berusaha mengelak.

"Acacia—"

Sashi tidak suka mendengar Dery memanggil nama depannya seperti itu—sesuatu yang sangat jarang Dery lakukan. Itu membuat Sashi merasa dia berada dalam masalah besar. "Udah malam, Drol."

"Kenapa lo suka sama Ojun?"

Pertanyaan Dery tiba-tiba membuat Sashi lupa bagaimana caranya berbahasa. Dia baru bisa membalas dengan susah payah nyaris sepuluh detik kemudian. "Gue ngantuk."

"Itu bukan jawaban buat pertanyaan gue."

"Gue nggak mau ngomongin soal Sarah atau Ojun sekarang."

"Too bad. Gue mau ngomongin itu sekarang."

"Dery—"

"Apa yang Ojun punya dan gue nggak punya?"

Sashi tersekat. "Dery, please."

"Jawab, Sashi."

Sashi menyerah. "Dia bukan teman gue. Lo teman gue."

"Cuma itu?"

Sashi menggigit bibir, tiba-tiba saja dia ingin menangis. Dia sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja dia ucapkan. "... iya."

Dery tampak kecewa. "Kalau gue tahu jadi teman lo bakal bikin gue off-limit buat jadi lebih dari teman, gue nggak akan pernah menjadikan lo teman gue dari awal."

Sashi ternganga, hampir tak mampu mempercayai apa yang baru saja dia dengar.

INI MAKSUDNYA APA DAN GIMANA.....

"You didn't mean what you said. I know it. Kita semua capek, jadi mending kita tidur dan omongin ini semua besok—" Sashi baru berbalik, niatnya ingin berlari pergi dari sana buat menyembunyikan wajahnya yang kini sudah semerah kepiting rebus ketika Dery menarik salah satu lengannya dan hanya begitu saja, cowok itu mendekapnya erat.

"Pelukannya nggak terasa sama." Dery berbisik di bahunya. "Pelukannya nggak terasa seperti ini."

*

Dinding koridor hotel menyambut Jennie hanya sepersekian detik setelah pintu lift bergeser terbuka.

Perempuan itu menatap arloji yang melingkari lengannya, mempersiapkan diri sebelum melangkah keluar dari lift. Jantungnya serasa meluncur turun sampai menyenggol tulang ekor tatkala dia disambut oleh Jef yang sedang bersandar di tembok, tepat di sebelah pintu kamar hotelnya dan Sashi. Lelaki itu tampaknya telah menunggunya.

Mereka berjalan saling mendekati, dengan kewaspadaan setingkat dua pembunuh bayaran yang ditugaskan untuk mengeksekusi satu sama lain.

"Dari mana aja lo?"

Jennie mendesis tajam. "Gue lagi malas ngomong sama lo."

"Oke. Gue ganti pertanyaannya. Who's that man?"

"Bukan urusan lo."

"Lo selalu cerita sama gue saat lo dekat dengan cowok."

"Nggak semuanya juga mesti gue ceritain kan?"

"Jeanneth Kartadinata—"

"Siapapun dia, bukan urusan lo."

Jennie melangkah, maunya melewati Jef dan kembali ke kamar hotelnya, namun Jef menarik sikunya dan dengan cepat, menyudutkannya hingga punggung Jennie memnbentur tembok. Lelaki itu berdiri di depannya, menutup aksesnya untuk lari. Tapi bukan Jennie namanya jika rela terlihat gentar. Dia malah balik menengadah, memandang Jef dengan berani.

"I asked you, Jeanneth. Who's that man?"






Bonus -1-

"Wuanjay, jumanji tenan rek, putraku iki! Sat-set-sat-set jebretttttt yes mantap luar biasa, wes dekaplah de'e njero pelukanmu, Mandala! Restu Papa menyertaimu sampai akherat!" Tedra kontan girang sendiri kala dia menyaksikan bagaimana Dery menarik Sashi dalam dekapan erat tanpa terlihat niat untuk melepaskannya.

"Gendheng eh, mirip adegan dramane oppa-oppa!" Joice ikut berkomentar sambil membidikkan lensa kamera mahal yang baru saja dia beli minggu kemarin—lengkap dengan lensa segede gaban yang mampu nge-zoom sampai ke bulan. Gayanya sudah macam fansite besar yang biasa ngintilin artis Korea kemana-mana.

"Namanya juga anakku! Nek ora mantap yo dudu anakku!"

"Oh my God, is that Mbakyu Sashi karo Mas Mandy?! What are they doing in—hmpf—" Felix yang tiba-tiba muncul entah dari mana mengejutkan Tedra dan Joice yang tengah sibuk jadi penguntit sekaligus secret supporters kisah percintaan anak semata wayang mereka. Joice melotot pada Tedra, melempar kode melalui tatapan mata yang langsung Tedra pahami dengan baik.

Tanpa ba-bi-bu, Tedra langsung meringkus Felix dan menyeretnya kembali ke lift lantai 17 sebelum bocah itu bisa mengacaukan adegan drama Korea antara Dery dan Sashi dengan celotehan rempong suara beratnya.

Joice? Lanjut bikin dokumentasi biar kelak bisa diwariskan ke cucu dan cicit. 


Bonus -2-

erinap 

❤️ cgofficial, shashasolihun and 7,032 others 

find yourself a man yang rela nyusulin sampe ke tokyo. 

chan_yeol buset anakmu, dah ono seng anyar meneh? @jprajapati

jprajapati nak, angkat telepon papa @erinap

lsmatondang ᴊᴀɴɢᴀɴᴋᴀɴ ᴋᴇ ᴊᴇᴘᴀɴɢ, ᴋᴇ ɢᴜʙᴜᴋ ʜᴀᴅᴇs ᴘᴜɴ ᴋᴜsᴜsᴜʟ ʙᴜᴀᴛ ᴋᴀᴜᴡ

jeffreygouw NGAPAEN LO AMA PONAKAN GUE, BODAT @lsmatondang

jprajapati maap ini bukan lapaknya situ buat over protective @jeffreygouw

talithagouw silakan caw ke profil @acacia_t trims @jeffreygouw

sony_ong jadi dia yang bikin kamu nggak mau balikan sama aku? 

sony_ong rin, kalau mau ganti pacar tuh cari yang kelas 

sony_ong masa ganti pacar yang mobilnya sebatas avanza 

erinap mobil lucas lebih murah, tapi itunya lebih gede @sony_ong

jprajapati APANYA YANG GEDE 

erinap tekadnya pa, ih mikirnya aneh-aneh aja papa nih @jprajapati


dm ig coky: 

lambeturah: kak, minceu mo nanya neh, kakak pacar barunya kak erina apa gimana ya? 

makerot88: a, beneran gede ga? kalo iya, fee endorse-nya berapa ya




to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

akhirnya kita kembali bertemu setelah sekian lama yorobun yaampun kangen banget aing sama daddy's day out palagi kemarenan dahsyat abis jaehyun johnny di vlive award tinggal di bawa ke KUA saya terima nikah dan kawinnya sah sah sah

makasih untuk semua doanya, sidang gue tanggal 12 kemaren cukup lancar. sekarang lagi nunggu revisi lagi sebelum clear dan lanjut sidang final terus akhirnya aku dinyatakan lulus yes yes alhamdulillah luar biasa mantap betul. 

kemarenan rada sibuk dan tanggal 15 ada acara. 

terus apalagi ya? 

sebenernya banyak yang mau aku share tapi aku tuh takut spoiler tapi gapapa deng kalau dikit. jadi gini, mungkin ada yang kepengen tau, project aing di 2020 bakal cukup banyak, mulai dari yang di wattpad, novel sama ebook coy wkwkwk 

kayak buat yang mau aku menulis tentang kak doyoung alias mas diksa gama yudhistira dan junior kesayangannya, ntar ada project ebooknya ya gaes jangan khawatir. 

terus buat spoiler project novel 2020 hm kayaknya bakal nana, basil sama jeffrey ((ea gue udah kasih tau jadi plis jangan bilang aku ga kabar-kabari))

terus ya gitu deh masih ada beberapa project bbuat wattpad. 

btw kisah cinta para gouw yang lain ga setersorot itu di sini soalnya mereka bakal punya lapak sendiri ((nanti)). 

dah kayanya itu aja deh. 

makasih banget ya buat yang udah setia nunggu, udah vote, udah comment. 

mulai chapter 26 kayaknya kita bisa balik ke sistem target lagi wkwkwkwkwkwkwkwkwk semoga minggu depan w bisa sidang final aamiin 

makasih semua doanya. 

dah itu aja kayanya. 

sampai ktemu di chapter berikutnya (terus kalo yang mau dapet info-info terbaru soal update dkk bisa hit me up ((caila hit me up kea apaan aja)) di ig gue @rennozaria gausah follow juga gapapa soalnya ga dikonci ok makasi)) 

dah lah ciao. 





bonus 

Cemayank, December 22nd 2019 

14.00

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro