23
Untunge aku ki sabar gawe awakmu sing terlalu barbar.
— Mandala Deryaspati
***
Berita menghilangnya Elmira Gouw selaku pengantin wanita yang akan menikah hari ini, tepat hanya beberapa jam sebelum upacara pemberkatan menciptakan kehebohan yang bikin Pakdhe Yono pusing kepala. Sashi dan anggota Keluarga Gouw lainnya sempat turun ke lobi dan menyaksikan bagaimana Pakdhe Yono tidak bisa berhenti mondar-mandir macam setrikaan, sementara Budhe Beata—Sashi lebih suka menyingkatnya jadi Budhe Bea sibuk menelepon orang-orang. Wajah lembutnya kelihatan panik. Di sisi lain, kedua orang tua calon pengantin pria—salah satu dari mereka orang Jepang dan Sashi tidak tahu namanya—sibuk dengan telepon mereka, bicara dalam bahasa Jepang yang kelewat cepat.
Jelas, kehebohan tidak hanya terjadi di hotel tempat mereka menginap, namun juga sampai ke Indonesia. Situasinya makin kalut, tapi kelihatannya itu hanya berlaku untuk Pakdhe Yono dan Budhe Bea. Anggota Keluarga Gouw yang lain santai saja. Bahkan Erina kelihatannya sudah bisa menebak itu akan terjadi. Dia sempat berdiri di lobi sampai ponselnya berbunyi dan gadis itu melenggang keluar buat menjawab telepon yang masuk. Tak berapa lama, ponsel Jo juga berdering. Dia melihat sebentar pada Sashi sebelum ikut berjalan keluar dari lobi.
"Kalau kayak gini, berarti nikahannya nggak jadi?" Sashi bertanya pada Jef yang berada di belakangnya. Lelaki itu langsung menyentuh dagunya dengan tangan, belagak berpikir.
"Bisa aja, kalau ada yang mau jadi sukarelawan ngegantiin pengantin wanitanya."
"Berarti nggak jadi." Sashi melipat tangan di dada. "Udah jauh-jauh ke sini, malah nggak jadi nikah. Hadeh."
"Anggap aja liburan yang nggak disengaja." Suara Dery tiba-tiba terdengar, bikin Sashi refleks menoleh.
Dia terperangah sebentar. Tidak biasanya, Dery kelihatan shining shimmering splendid macam lagu soundtrack Aladdin pagi ini. Berbeda dengan kebanyakan pria di lobi yang mengenakan jas hitam formal, Dery hanya mengenakan sweater. Di belakangnya, Tedra mengikuti dengan dandanan bak model catwalk yang mesti walking dalam waktu lima menit.
"Nah, bener tuh! Wes lah, jalan wae kowe karo Sashi. Kemarin Papa ndelok ono seng dagang baklor dekat-dekat hotel ini."
"Pa."
"Opo, Le?"
"Jajanan yang kemaren tuh namanya takoyaki, bukan baklor." Dery berdecak. "Tapi boleh juga sih. Lo masih suka makan takoyaki kan, Bol?"
"Podo wae, sama-sama bulat-bulat." Tedra mengibaskan tangannya dengan gaya tidak peduli. "Sana! Jalan aja berdua! Siapa tahu selain sakura, ada yang lain yang bersemi. Muehehehe."
Jef menyipitkan mata, hanya butuh sepersekian detik buatnya untuk mencium niat busuk Tedra. "Apa-apaan jalan-jalan berdua?! Nggak ada!"
Tedra berpaling, melotot pada Jef. "Kenapa? Kowe arep melok anak-anak muda? Oalah, sadar umur iku mesti, wong kowe wes bangkotan koyok ngene. Nek arep dalan-dalan, karo aku wae. Tak temani. Piye? Ben aku iso update ige pake kepsyen Daddy's day out koyok papa-papa gahoel jaman now."
"Ogah banget." Jef menolak mentah-mentah.
"Halah, kemarin aja sok-sok ngomen nang ige-ku." Tedra mencibir. "Ojo ngono toh. Mau bagaimanapun juga, siapa tahu kita jadi besan di masa depan. Iyo opo iyo, Sashi?"
Sashi hampir tersedak, perlahan pipinya merona tanpa dia sadari apa alasan jelasnya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari frekuensi biasa. Dia bukan satu-satunya yang terpengaruh oleh pertanyaan Tedra, sebab Dery juga diam-diam tertunduk dengan wajah panas.
"Dih, malas amat punya mantu bocah ambyar, kayak nggak ada yang bagusan aja."
"Looooooh, jangan salah, ambyar-ambyar ngene, putraku ki iso numbas Bengawan Solo sampai ke dasar-dasare!"
"Anak gue bisa gue beliin sungai Nil sekalian sama buaya-buayanya. Mau apa lo?"
"Tapi nggak dibeliin, kan?" Tedra menantang.
Jef berdecak, menoleh pada Sashi yang kini merasa konyol melihat... ehm... melihat ayahnya berdebat dengan seorang Tedra Sunggana. "Lo mau dibeliin sungai Nil nggak?"
"Nggak. Buat apa juga?"
"See? Dia mampu, tapi dia waras. Jelas berbeda sama anak lo." Jef memutar bola matanya, lalu meraih pergelangan tangan Sashi, menariknya untuk berjalan mengikutinya menuju lorong hotel yang akan berujung pada lift. Tedra berkacak pinggang, sementara Dery cepat-cepat berdiri di samping ayahnya, menepuk-nepuk pundak Tedra perlahan untuk meredakan emosi Sang Baginda yang mulai merangkak naik.
"Selau, Pa. Sesungguhnya, Tuhan itu bersama orang-orang yang santuy."
"Mandala."
Bulu kuduk Dery berdiri seketika karena setelan gaya bicara Tedra mendadak jadi serius, seakan-akan dia adalah Mahapatih Gadjah Mada yang siap mengikrarkan Sumpah Palapa. "I... iya, Pa?"
"Mulai hari ini, Papa janji Papa akan melakukan segala daya-upaya buat memastikan kamu kelak berjodoh dengan Sashi."
"Pa—"
"Papa dan jancok satu kui mesti dadi besan."
"..."
"Biar pas dia wes modar, Papa bisa masukkin kecoak ke dalam petinya."
Dery ingin membalas dengan "emangnya Papa yakin Papa bakal meninggal belakangan", tapi tidak jadi soalnya takut kena semprot. Dan itu bisa dipahami. Kobaran dendam Tedra Sunggana memang bisa jauh lebih berbahaya daripada amarah Nyai Blorong.
*
Jef melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Sashi begitu pintu lift menutup. Hanya ada mereka berdua di sana, jadi suasananya agak canggung. Jef berdeham seraya melonggarkan dasi di lehernya, berupaya memasang wajah cool seperti biasa—yang hanya bertahan selama beberapa detik, sebab Sashi tidak berhenti menatap padanya dengan kedua alis hampir bertaut.
"Kenapa ngelihatin gue kayak gitu?!"
"Pengen aja, soalnya Om lagi ganteng hari ini."
"NGGAK USAH NGELEDEK." Jef nge-gas.
Tawa kecil Sashi akhirnya pecah. "Abis lucu banget. Tadi sok-sok-an narik-narik aku kayak aktor drama Korea. Terus diam. Terus gugup. Santai aja, Om. Aku bukan Tante Jennie."
"Kenapa jadi bahas Jennie lagi?!"
"Soalnya Om kayaknya suka sama Tante Jennie."
"Teori ngaco dari mana itu?!"
"Kalau nggak suka ya santai aja."
Jef mengerutkan dahi, mengamati gadis di sampingnya sedikit lebih lama. Dia sengaja menunggu sampai lift berhenti di lantai yang mereka tuju. Waktu keduanya berjalan bersebelahan menuju kamar Jef, barulah lelaki itu berujar lagi. "Lo sengaja mepet-mepetin gue sama Jennie biar dia nggak sama Papi lo ya?"
"Bisa jadi itu salah satu alasannya—oh, crap." Sashi tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Jef ikut berhenti berjalan.
"Kenapa?"
"Kartu akses kamarku di Tante Jennie."
"It's okay. Habis ini juga kita keluar lagi."
Salah satu alis Sashi berkerut pada kata 'kita' yang digunakan Jef, namun dia memilih menurut dan mengekori Jef masuk ke kamar yang lelaki itu tempati bersama Jo. Kamarnya sangat rapi. Semua selimut terlipat dan diletakkan di tempat yang semestinya. Untuk Jo, Sashi tidak heran sebab dia sudah memahami ketidaksukaan Jo pada sesuatu yang berantakan selama mereka tinggal bertahun-tahun di bawah satu atap. Buat Jef, Sashi agak terkejut.
"Gue ke toilet dulu. Ada cokelat di kulkas. Tapi jangan makan wafernya. Ada kacangnya. Tunggu di situ dan jangan kemana-mana. Jangan ngacak-ngacak."
"Om Jeffrey."
"Jangan membantah."
"I'm not a five years old."
"Lo anak-anak."
"Aku remaja, bukan anak-anak!"
"Selamanya, lo akan selalu anak-anak buat gue." Jef mendengus, menghilang ke dalam kamar mandi ketika dia menutup pintunya. Tidak sampai lima menit dia sudah keluar lagi, tanpa jas, kemeja putih atau celana panjang hitam yang sewarna dengan jasnya. Sebagai gantinya, Jef sudah memakai sweater rajut tiga warna dan jeans hitam.
"Buset, rapi amat! Mau kemana sih emangnya?"
"Daripada lo jalan-jalan ama bocah ambyar, mending jalan sama gue."
"Mending sama Badrol kemana-mana sih kayaknya." Sashi terkekeh, buru-buru melanjutkan kala dilihatnya pandangan mata Jef jadi nyalang seperti elang. "Nggak usah melotot gitu! Honestly, I'd like to. Tapi kartu akses kamarku di Tante Jennie jadi itu artinya, aku nggak bisa ganti baju."
"Kenapa juga harus ganti baju? Baju itu bagus di lo."
"Bagus kalau dipake kondangan doang, Om. Bukan jalan-jalan."
"Gue bisa membuatnya proper dipake jalan-jalan dalam hitungan lima detik."
"Oh ya?" Sashi meremehkan.
"Iya." Jef membuka lemari penuh gantungan, mengeluarkan sebuah jaket jeans yang jelas miliknya, lantas melemparnya pada Sashi. "Pake jaketnya. Dress hitam. Jaket jeans. Pantas-pantas aja, menurut gue."
"Ck. Yaudah." Sashi memakai jaket itu. Memang kebesaran, tapi entah itu justru membuat penampilannya jadi lebih santai dan casual.
Lobi sudah sepi ketika mereka keluar dari lift dan berjalan menuju pelataran depan hotel. Hanya ada beberapa tamu asing yang berbicara dalam bahasa yang tidak Sashi pahami. Pakdhe Yono tidak kelihatan. Begitupun dengan Felix dan Tamara atau Jansen dan mamanya. Sashi juga tidak menemukan Jennie atau Jo, jadi dia memutuskan mengirim pesan lewat chat WhatsApp saja, mengabarkan jika dia keluar dengan Jef.
Cuaca hari ini cerah, meski udaranya lebih sejuk dari kemarin. Mereka berjalan menyusuri trotoar, berbaur dengan kerumunan manusia yang ramai. Sepanjang jalan, Sashi tidak bisa berhenti menatap pada batang-batang sakura yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Bunga-bunganya telah rontok sebagian, ada pula kelopaknya yang melayang perlahan diembus angin. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, berusaha melupakan kenyataan bahwa ini kali pertamanya melihat sakura tanpa Tris.
"Is something bothering you?"
Sashi tersentak ketika Jef tiba-tiba bertanya. "... not really."
"I'm not a mindreader, but your Mom always showed that kind of face whenever she felt bothered or there was something on her mind." Jef mengedikkan bahu.
"Nggak apa-apa. Cuma... agak sedih aja."
"Sedih?"
"Ini sakura pertama yang aku lihat tanpa bareng Mami."
Ouch, that hit Jef deeply.
"I'm sure she's up there... watching you." Jef berkata. "Gue nggak tahu apakah lo nonton Harry Potter atau nggak, tapi Sirius Black, tokoh favorit gue yang setengah anjing itu pernah bilang begini. He said the ones who love us never really leave us. You can always find them in here." Jef menunjuk pada tubuhnya, tepat di bagian di mana hati berada.
"Om Jeffrey."
"Apa?"
"Are you really trying to comfort me right now?"
Telinga Jef langsung memerah tanpa dia cegah. "Well—"
Sashi tersenyum. "Thankyou."
Sakura ini mungkin sakura pertama lo tanpa Tris. Tapi sakura ini juga sakura pertama lo sama gue. And with me... I just want you to be happy. Jef berpikir pada dirinya sendiri, tidak menyuarakannya dalam kata.
"Dipikir lagi, seharusnya aku nggak sesedih itu juga. Mami nggak sakit lagi. Dan juga... ini sakura pertamaku sama Om Jeffrey."
Jef terbatuk, mendadak salah tingkah. Dia menghindari tatapan mata Sashi yang lebih kalem dari biasanya, menyapukan pandang ke sekeliling dan mendapat ide kala matanya jatuh pada kedai takoyaki penuh orang yang berada di tepi jalan tidak jauh dari tempat mereka berada. Itu pasti tempat penjual takoyaki yang dibilang Tedra tadi.
"Lo duduk situ dulu, deh! Gue beli takoyaki."
"Yakin, Om?"
"Kenapa mesti nggak yakin?"
"Rame banget tuh yang antre."
"Lo nggak mau?"
"Mau."
"Yaudah, tunggu aja." Jef bicara dengan nada yang terkesan tak ingin dibantah, bikin Sashi hanya bisa mengangkat bahu seraya bergeser lebih dekat ke bangku yang memang berada di sepanjang trotoar.
Jef menghabiskan hampir sejam menunggu sampai dia bisa mendapatkan pesanannya dan selama itu, Sashi mengisinya dengan menonton sakura atau memainkan ponsel. Jennie mengabarinya, bilang jika dia dan Jo pergi menemui salah satu teman Jo yang juga seorang sushi chef di rumahnya yang berada di Tokyo. Seharusnya wajar Jennie pergi bersama Jo, sebab siapa tahu, dikarenakan dia sendiri juga seorang chef, dia mengenal teman Jo itu. Tapi entah kenapa, Sashi tetap merasa agak kurang suka.
Dia masih tidak bisa membayangkan Tris digantikan oleh siapapun, bahkan jika itu seseorang sebaik Jennie. Bukannya egois, namun dia tidak bisa menerima sesuatu semacam itu secepat ini. Lagipula, Jennie sepertinya juga punya urusan tak terkata dengan Jef.
Dunia orang dewasa kelihatan rumit dan itu bikin Sashi jadi bertanya-tanya, akankah dia juga terjebak dalam segala kerunyaman itu nantinya.
"See? I got it!" Jef berseru pada Sashi usai dia berhasil keluar dari kerumunan dengan dua kotak karton besar berisi bola-bola takoyaki di kedua tangan. Sashi memiringkan wajah, baru berniat mengakui jika Jef punya keteguhan hati—atau sifat keras kepala—yang patut diacungi jempol saat seorang bocah yang mengendarai skuter di trotoar meluncur cepat ke arah Jef. Dia terkejut, Jef apalagi. Anak itu nyaris menabrak Jef, memaksanya menepi dengan gerakan mendadak yang bikin salah satu kotak karton di tangannya terlepas, jatuh begitu saja ke atas trotoar.
Jef terperangah, memandang pada takoyaki yang tercecer di jalan seperti seorang ibu meratap di dekat jasad anaknya yang tewas dalam medan perang.
"Om Jef—"
"Gue antre lagi deh!"
"No! No need to!" Sashi terlonjak bangun dari duduknya, secepat kilat menghampiri Jef dan memegang salah satu tangannya. "Nggak usah antre lagi! Satu kotak itu cukup buat kita berdua."
"Really?"
"Beneran!"
"Tapi kemarin bocah ambyar bilang lo suka takoyaki!"
"Bukan berarti aku juga suka makan banyak dalam sekali duduk." Sashi berkilah. "Dan tolong ya, namanya Dery. Bukan bocah ambyar."
"Lo manggil dia Badrol. Masa gue nggak boleh manggil dia bocah ambyar?"
"Itu kan panggilan sayang, Om!"
"Oh, jadi ngaku nih kalau sayang?"
"OM JEFFREY!"
Jef tergelak sembari mendekati bangku dan duduk bersama Sashi di sana. Tawanya benar-benar lebar dan jujur saja, Sashi masih belum terbiasa. Di awal dia mengenal Jef, dia sempat penasaran kenapa Tris tidak pernah berhenti mengingatnya. Jika Sashi jadi Tris, dia bakal sangat membenci Jef karena lelaki itu sudah menghancurkan hidupnya—tapi yah, mungkin tidak tepat juga Sashi berandai-andai seperti itu karena dia juga tak paham alasan kenapa Tris malah jadi pihak yang pergi. Namun sekarang, sepertinya Sashi agak sedikit mengerti.
Sebatas agak sedikit.
Jeffrey Gouw bukan orang paling sempurna. Dia sering membuat kesalahan. Dia kerap mengatakan sesuatu yang dia sesali. Dia punya banyak mantan pacar. Dia sarat oleh kekurangan yang bisa membuat anak perempuan manapun kesal.
Namun di saat yang sama, Jeffrey Gouw tidak bisa berhenti peduli pada seseorang yang dia sayang, sekalipun orang itu sudah bersikap buruk padanya.
"Takoyaki Tokyo emang tetap yang terbaik." Sashi berkomentar sambil menusuk sebongkah takoyaki.
"Takoyaki itu makanan khas Osaka, if I'm not mistaken. Jadi seharusnya, yang di Osaka lebih enak."
"Om Jeffrey pernah ke Osaka?"
Jef menggeleng. "Gue bukan penggemar Jepang. Buat traveling, gue lebih suka wisata yang menguji adrenalin. Sky diving. Cliff jumping. Atau naik gunung sekalian. Jepang menarik, tapi lebih ke kulinernya. Dan ya, mungkin animenya, buat para wibu."
"Om pernah naik gunung?"
"As in hiking? Waktu gue masih di Australia, cukup sering. Jennie ikut sekali, lalu kapok buat ikut lagi. Gue lebih sering sama teman-teman yang emang suka hiking." Jef berpikir sejenak. "Kalau di Indonesia belum pernah. Tapi kayaknya Gunung Semeru menarik."
"Udah tua gini, emang masih kuat?"
"Nggak usah songong. Gue sama bocah ambyar kalau lomba lari, kayaknya masih menang gue." Jef berdecak.
"Cliff jumping seru nggak?"
"Seru, kalau lagi stress."
"Om sering stress?"
"Cukup sering."
"Woh, ternyata wong gendheng pun iso stress yo." (Wah, ternyata orang gila pun bisa stress ya).
"Back again to you and your lambe." Jef tadinya mau mengomel, namun batal saat Sashi tiba-tiba menyorongkan takoyaki terakhir ke depan mulutnya. "Mm... apa?"
"Buka mulut."
"..."
"Sini, disuapin."
Jef mengedip cepat, ragu-ragu tapi akhirnya buka mulut. Wajahnya biasa saja, tapi rona lagi-lagi terlihat di telinganya. Itu berhasil membuat Sashi tertawa, sementara Jef merengut dengan pipi menggembung karena mulutnya penuh.
"Om, di Gunung Semeru ada edelweiss nggak?"
Jef sengaja mengunyah dulu beberapa kali sebelum menjawab. "Ada kayaknya. Kenapa?"
"Ajak aku ya? Aku mau lihat edelweiss."
"Emang kuat naik gunung?"
"Nggak tahu, sih. Tapi kalau naik gunungnya sama Om Jeffrey, harusnya aku bakal baik-baik aja, kan?"
Apa yang Sashi ucapkan berhasil membuat Jef lupa caranya bersuara.
"Nggak usah baper, Om."
Jef melengos. "Gue masih nggak mau ngangkat lo kalau lo sampai pingsan."
"Tenang, aku nggak bakal pingsan. Paling lemes dikit." Sashi terkekeh, tersenyum lagi sebelum menyambung. "Oh ya, soal flashdisk itu... aku mau bilang makasih sekali lagi. Benar-benar nggak terpikir kalau datanya bakal balik lagi ke aku. Makasih ya."
Jef mengangguk, tetapi kata-kata Sashi justru mengingatkannya pada sesuatu yang lain. Dia berpikir sebentar, sempat ragu namun pada akhirnya tetap mengeluarkan sebuah kotak yang tersimpan dalam saku celana jeansnya. Dia masih belum tahu kapan waktu yang tepat buat memberikan hadiah ulang tahun pada Sashi. Sepertinya, sekarang dia bisa melakukannya.
"Gue hampir lupa. Buat lo."
Sashi mengernyit pada kotak itu. "Ini apaan?"
"Buka aja."
"Bukan cincin, kan? Soalnya aku udah punya dari Badrol."
"Jari lo ada sepuluh. Baru keisi satu."
"YA NGGAK MENTANG-MENTANG JARIKU SEPULUH TERUS AKU MESTI MAKE SEPULUH CINCIN JUGA KAN, OM?!" Sashi nge-gas.
"Lah, malah nge-gas ni anak!" Jef berseru jengkel. "Buka aja dulu! Mana ada juga cincin kotaknya segede itu?!"
Dengan bibir mengerucut, Sashi membuka kotak itu. Ternyata, isinya bukan cincin, melainkan sebuah hair comb sukulen berhiaskan kelopak bunga berwarna merah muda dan putih. Sashi ternganga sejenak—dan makin bingung harus merespon dengan bagaimana kala dia tersadar di bagian bawah hair comb tersebut terdapat selembar foto buram yang memuat dua wajah tersenyum. Foto Jef bersama Tris. Pasti diambil belasan tahun silam, karena keduanya jelas tampak lebih belia di sana.
"I... ini..."
"Gue tahu kelihatannya kayak emang nggak guna-guna amat, tapi tolong jangan dibuang karena itu lumayan mahal. Nggak mahal-mahal amat sih, kayaknya masih lebih mahal cincin dari bocah ambyar. Tapi gue yakin itu, bakal berguna suatu hari nanti. Misalnya kalau nanti lo nikah, lo bisa pasang itu di rambut lo atau apalah—wait, kenapa juga gue ngomongin kalau lo nikah—like, I don't even know kalau ada laki-laki yang bakal cukup pantas buat—oh damn, nevermind. I just—"
Sashi tersenyum lebar pada rentetan kata-kata Jef yang terlontar secara belepotan dan tanpa berpikir, seperti yang dilakukannya di kamar hotel pagi ini, dia kembali memeluk Jef dengan masih memegang hadiahnya.
"Aku suka. Makasih."
Jef menjawabnya dengan bisik yang hampir tidak terdengar karena bibirnya terbenam di bahu Sashi. "Happy birthday."
*
Teman Jo mengajak bertemu di sebuah coffee shop yang berada tidak jauh dari Stasiun Nippori. Dia seorang pria yang lebih tua tujuh tahun dari Jennie. Sudah berkeluarga dengan dua orang anak dan sekarang memiliki restoran sushi sendiri di Tokyo. Dia humoris dan tampaknya cukup akrab dengan Jo—terlihat dari bagaimana Jo bisa bicara dengannya tentang banyak hal, termasuk Tris tanpa merasa canggung sedikitpun. Jennie lebih banyak diam, sesekali menyesap iced Americano yang dia pesan.
Acara ngobrol itu selesai beberapa jam kemudian, menjelang sore.
"Sashi bilang dia lagi keluar sama Jan—I mean, Jef."
Wajah Jo berubah sedikit. "Oh."
"Mau langsung balik ke hotel?"
"Kamu mau buru-buru balik atau nggak?"
Jennie justru balik bertanya. "Terserah kamu."
"Di dekat sini, kalau kita mau jalan sedikit, kita bisa lihat-lihat Yanaka Ginza Shotengai. Kamu tahu tempat itu?"
Jennie pernah mendengarnya, namun dia tidak yakin, jadi dia menggelengkan kepala. "Itu tempat apa?"
"It's a shopping street. Uniknya, toko-toko dan jalannya terkesan vintage. Saya dan Patricia selalu ke sana setiap kami kemari. Mungkin kamu tertarik mau lihat-lihat?"
Patricia... again.
"Nggak ngerepotin?"
"Kayaknya lebih baik daripada kita balik ke hotel dan sendirian di kamar masing-masing. Kalau Acacia sudah keluar sama teman kamu, melihat dari sifatnya, dia bukan tipe yang bakal pulang cepat."
Jennie tersenyum kecut, lantas mengangguk. Mereka berjalan bersama melintasi trotoar menuju tempat yang Jo maksud. Langit kian redup, seiring dengan waktu yang mengantar matahari kembali ke ujung barat cakrawala untuk beristirahat di peraduannya. Tidak butuh waktu lama buat mereka untuk tiba di sana.
Tempat itu ramai dan mematahkan asumsi Jennie soal topografi Tokyo yang terkesan datar-datar saja. Ada anak tangga, tanjakan dan turunan yang cukup tinggi di sana. Bagian yang paling menonjol tentu tampilan toko-tokonya yang terkesan sudah beroperasi untuk waktu yang sangat lama, dengan awning hijau melekat pada jendela juga lampu jalan yang terkesan jadul. Jalanan terlapisi oleh paving block, menambahkan kesan vintage yang terasa.
"Kamu sering ke Jepang?" Jennie akhirnya membuka percakapan.
"Lumayan. Patricia dan Acacia sama-sama suka di sini." Jo tertawa kecil. "Apa saya pernah bilang kalau Patricia bisa bahasa Jepang?"
"Really?"
"Yap. She spoke it very well."
"Oh."
"Boleh saya tanya sesuatu?"
"Em-hm, tanya apa?"
"As his friend... are you happy for what he is today?"
"He?"
"Jeffrey Gouw."
Jennie langsung paham. "Saya sudah berteman sama dia sangat lama, sejak kita berdua masih sama-sama kuliah. Gotta say, he's a jerk. He can be so dumb sometimes. Tapi saya juga bisa bilang kalau dia orang baik. Dia yang sekarang bukan seseorang yang sempurna, namun saya tetap pada apa yang saya bilang sebelumnya, dia orang baik."
"I wanna believe that." Jo berujar. "Sayangnya, sulit buat saya untuk memandang dia sebagai orang baik. Dia menyakiti orang yang saya sayang."
"Patricia?"
Jo mengangguk. "Saya tahu, mungkin bukan sepenuhnya salah dia. After all, Patricia yang memilih menghilang dari hidupnya dengan mengorbankan diri sendiri dan masa depannya. She was bright, more than any star will be. Dia bisa mendapatkan dan melakukan banyak hal, tapi dia terpaksa jadi ibu di usia muda."
"Good thing is, she had you."
"I don't think so."
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Because I'm not the man her heart was missing."
"Saya rasa nggak begitu." Jennie menyergah. "Dia bersama kamu untuk waktu yang sangat lama. Let's say, dia mungkin nggak akan pernah bisa melupakan Jeffrey, tapi bukan berarti dia benar-benar nggak memberi tempat buat kamu di hatinya. Setelah segalanya, Sashi sendiri nggak merasa ada yang aneh dengan kalian berdua. Iya, kan?"
"Iya, tapi bukan berarti—"
"Just like her, I'm also a woman, Jo." Jennie memotong tegas. "Nggak mungkin seorang perempuan bisa hidup sama seseorang sebaik kamu dan nggak merasakan apapun."
Jo tertawa. "Apa itu termasuk kamu?"
"This isn't about me." Jennie membantah, tiba-tiba, pipinya serasa tertempeli setrika panas. "Dan lagi, saya nggak hidup sama kamu."
"Seandainya kamu hidup sama saya, apa itu juga berlaku buat kamu?"
"Jo—"
"It's a joke." Jo tersenyum makin lebar dan Jennie jadi bingung, haruskah dia mengagumi senyum itu atau justru jengkel sebab Jo bisa bermain dengan detak jantungnya semudah itu. "You're a good friend, Jennie. Thankyou."
KONCO-ZONE WAE TEROS AMPE KIAMAT.
"Anytime."
"Tapi dipikir lagi, akhir-akhir ini kelihatannya Acacia jadi lebih... dekat sama dia."
"Kamu nggak suka?"
"Not really. Bukan berarti saya mau melarang. Acacia berhak dekat dengan... well... bagaimanapun juga, sekeras apapun saya berusaha, kenyataan nggak akan pernah berubah. Jeffrey Gouw juga ayahnya, bukan hanya saya."
"Kamu takut dia akan dibawa pergi juga dari hidup kamu?"
"Kind of." Tawa geli Jennie justru pecah, bikin dahi Jo berlipat. "Apanya yang lucu?"
"Acacia itu bukan benda, Jo. Dia juga bukan mainan."
"Saya nggak bilang kalau dia itu mainan."
"Kamu dan Jeffrey memperebutkan dia seakan-akan dia mainan." Jennie berdecak. "Listen, jangan pernah sekalipun kamu atau Jeffrey menyuruh dia memilih diantara kalian berdua. Saya yakin, dia nggak akan bisa."
"Jeffrey is a stranger to her."
"Was." Jennie mengoreksi. "Sekarang, saya rasa, caranya memandang Jeffrey sudah jauh berbeda daripada dulu ketika baru pertama kali saling kenal."
"..."
"Kalian berdua sama-sama sayang sama dia. Dia juga sayang sama kalian. Kenapa kamu dan Jeffrey nggak coba berdamai. At least, berhenti memandang satu sama lain seperti musuh yang mesti bersaing."
"You tell that to your friend."
"I will try to."
Jo akhirnya menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. "Thankyou."
"Saya yang lihat mungkin merasa ini lucu, tapi mungkin buat Sashi, itu malah bikin dia pusing." Jennie terkekeh seraya terus berjalan. "She's your daughter, but she's also Jef's. Kalian berdua jauh lebih tua daripada Sashi. Seharusnya lebih dewasa. So... selain saya bakal coba ngomong sama Jeffrey, kamu juga harus janji kalau kamu bakal coba berdamai dengan dia."
"Oke."
"Now that's a true man."
*
Waktu Sashi dan Jef kembali ke hotel, Jo dan Jennie masih belum juga pulang. Jadi Sashi terpaksa mengungsi ke kamar Keluarga Gouw Cabang Prajapati untuk menumpang mandi sekaligus meminjam baju Erina untuk ganti pakaian. Tadinya Jef ngotot jika Sashi bisa mandi di kamarnya dan meminjam baju tidurnya, tetapi dia mengalah saat melihat Sashi mencoba baju tidur yang dia berikan dan gadis itu kelihatan seperti orang-orangan sawah. Bulik Talitha dan suaminya sangat baik, juga sarat perhatian. Meski tampangnya mirip supermodel dengan wajah yang terkesan galak nan mengintimidasi, namun aura keibuannya sangat terasa. Tidak heran, pasti butuh kesabaran ekstra untuk mengasuh anak seperti Felix dan Tamara. Erina sih kelihatan normal-normal saja—walau menurut Jajang, anak sulungnya mesti diguyur air suci supaya mau gantung sepatu dan pensiun jadi penghancur hati laki-laki.
Felix secerewet biasanya, sibuk menggerutu seperti orang sakau karena tidak diperbolehkan membawa kerupuk jablay ke Jepang. Tamara menunduk terus dengan perhatian tertuju pada layar ponsel. Sibuk texting. Sashi sempat menatapnya curiga, sampai kemudian Tamara mengangkat wajah dan bertanya ceria.
"Mbakyu Sashi."
"Apa?"
"Hari ini sudah makan belum?"
"Tadi siang udah. Terus jajan takoyaki."
Tamara manggut-manggut, kembali mengetik.
"Kenapa gitu nanya-nanya?"
"Mas Juanda ingin tahu—sek—omo what did I just do?!" Wajah Tamara mendadak panik. "Mbakyu Sashi, aku tidak seharusnya mengatakan itu. Maaf. Tapi seandainya Mas Juan bertanya, please jangan beritahu dia. Please?"
Sashi hanya bisa mengangguk, dengan tanya bergelantungan di benaknya.
Ojun menanyakan tentang dirinya pada Tamara? Tapi kenapa harus lewat Tamara? Ojun kan punya nomor ponsel Sashi.
Sashi termenung sejenak, lalu terperangah seraya mengerjapkan mata berkali-kali ketika benaknya mulai menarik kesimpulan dari spekulasi yang berkejaran tanpa henti dalam kepalanya. Dia mau kege-eran, namun di saat yang sama takut sakit hati. Jadi dia tidak bilang apa-apa, langsung buru-buru berpamitan untuk kembali ke kamar Jef—Jef bukan orang paling menyenangkan sedunia, namun berada seruangan dengannya jelas lebih mending daripada seruangan dengan Felix.
Sashi sudah nyaris mengetuk pintu kamar tatkala dia mendengar suara Jennie dan Jef yang sedang bicara. Mereka pasti berdiri di dekat pintu, karena suara mereka kedengaran jelas. Sashi tahu, dia tidak seharusnya menguping. Tapi gimana ya, dia jadi kepo, terutama usai mendengar namanya disebut-sebut.
"Say anything you want, Gouw, but it will never change the fact that she's also his daughter."
"Say anything you want, Jen, but it will never change the fact that she's my biological daughter."
"Lo nggak punya excuse apapun selain soal lo yang ayah biologisnya. Lo dan Jo nggak seharusnya bersaing. Kalian berdua sama-sama peduli sama dia dan gue rasa, dia juga begitu."
"Dia lebih nyaman sama gue."
Jennie dan Sashi melepaskan dengus di saat yang bersamaan. "Berani tanya langsung ke dia?"
"Anaknya nggak bakal mau ngaku! Dia nggak bakal tega ama tuh orang!" Jef berkilah.
"Mungkin dan itu karena dia bukan hanya menganggap lo sebagai ayahnya, tapi juga Jo." Jennie menyahut cepat. "Berdamai sama Jo. Mulai membangun hubungan baik. Daripada rebut-rebutan dan saling cari perhatian nggak jelas, terus saling cemburu. Gue yang nonton aja capek, apalagi Sashi."
Sashi manggut-manggut, membenarkan kata-kata Jennie. Dia memang belum pernah mengatakan itu pada siapapun, namun seandainya mesti jujur, memang segalanya jadi lebih melelahkan. Jo selalu terlihat sedih ketika Sashi pergi untuk tidur di tempat Jef. Jef nyaris tak pernah tak tampak dongkol saat Sashi berpamitan untuk kembali ke rumah dan bersama Jo. Sashi tidak ingin ada yang merasa dinomor-duakan, namun dia juga bukan amuba yang bisa membelah diri.
Capek mendengar alasan-alasan Jef untuk mengelak, Sashi memutuskan turun ke lobi. Dia duduk sendirian di sofa, memainkan ponsel dan mengecek foto-foto yang diambilnya hari ini. Gerak jarinya berhenti pada foto Jef. Sashi berpikir sebentar, menarik napas dan mengabaikan semua suara dalam diri yang melarangnya mengunggah foto tersebut.
acacia_t
❤ cgofficial, jswidara and 85 others
macan
tedsungreal arep tak like, et terus sadar iku sopo. males ah... 👎
m_deryaspati papa gaboleh julid @tedsungreal
tedsungreal wong sugih bebas 😎💲 @m_deryaspati
talithagouw he's truly a fashion disaster
jkartadinata told him to throw that leopard shoes long time ago but he didn't listen @talithagouw
talithagouw as expected from a damput
jeffreygouw SORRY TO BURST YOUR BUBBLES BUT IT'S SNAKE'S NOT LEOPARD @talithagouw @jkartadinata
jeffreygouw itu bukan macan, hadeh @acacia_t
felixgouw THE GOUWWWW ASSEMBLE! @jeffreygouw @talithagouw @cgoffficial @jg_lj
erinap brotha, you're not a gouw @felixgouw
erinap sashi is
jeffreygouw acaciagouw as ig username sounds good, tho @erinap
acacia_t thanks, but I like tirtasana more @jeffreygouw
cgofficial apply cold water to the burnt area 💦 @jeffreygouw
jotirtasana glad that my daughter had fun
acacia_t let's have sushi together, pi 😋🍣. besok ya?
jg_lj ea paklik panas ea @jeffreygouw
jswidara enjoy japan ❤
jg_lj sas, iki mas jansen. njaluk followback-mu dong. maturnuwun nomu kamsa
felixgouw MBAK KENAPA MAS JANS LANGSUNG DI-FOLLOWBACK SEDANGKAN FELIX TIDAK 🤬🤬🤬🤬??? @acacia_t
Dikasih heart sama Ojun? Tentu saja hanya ada satu reaksi Sashi; shaking uncontrollably.
Dia terdiam tidak percaya, memandang pada layar ponselnya beberapa lama hingga suara Dery yang memanggil namanya membuatnya tersentak.
"Lah, ngapain lo sendiri di sini?"
Kelihatannya Dery habis mandi, soalnya rambutnya agak lembab. Dia mengenakan hoodie yang kelihatan sangat ndusel-able. Sashi terpana lagi—sebetulnya dia juga tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dia sering kaget melihat penampilan Dery... kayak ada sesuatu dalam hatinya yang langsung belingsatan gitu.
"Bosen di kamar."
"Gue juga mau keluar nih. Ada 7-Eleven dekat sini. Mau ke sana? Kan jajanan 7-Eleven Jepang biasanya enak-enak."
"Diizinin sama Yang Mulia?"
"Yang Mulia?"
"Om Tedra." Sashi terkikik. "Biasanya Om Tedra anti murahan murahan club."
"Ngabur aja. Lagian Papa kayaknya mau asik-asikan sama Mama."
"Asik-asik-an?"
"Kita belum cukup umur untuk tahu, Bol."
"Oh." Sashi nyengir. "Mau bikin dedek baru buat lo kali ya."
"BIG NO!" Dery membantah, namun berhenti di depan Sashi dan mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu beranjak dari duduk. Sashi menyambut tangannya, lalu berjalan bersama Dery keluar dari lobi hotel. "Papa sama Mama udah ketuaan."
"Kan merekanya juga nikah muda dan lo baru delapan belas."
"Ogah."
"Takut ada saingan dalam mendapatkan warisan ya?"
"Aneh aja, masa punya adek umur segini." Dery memutar bola matanya.
"Nggak juga." Sashi mengedikkan bahu. "Kalau Papi atau Om Jeffrey nikah, mereka mungkin bakal punya anak. Terus gue bakal punya adek, mungkin di umur yang lebih tua dari ini."
"Tetap beda dong, Bol!" Dery membantah.
Sashi malah tergelak, namun agak sedikit gemetar saat angin sejuk berembus pelan. Dery mengetahui itu, diam-diam meraih bahu Sashi dengan satu tangan, menariknya mendekat sementara mereka terus berjalan. "I'll keep you warm, just stay closer."
Jantung Sashi melakukan sesuatu yang aneh lagi.
Tapi dia tidak menarik diri. Entah sejak kapan, Sashi selalu merasa jika berada di dekat Dery itu menyenangkan. Dia bisa memeluk Dery, meraih tangannya atau merebahkan kepala di bahunya tanpa takut akan ada yang berubah diantara mereka.
Hingga sekarang...
Kenapa jantungnya tidak mau tetap berada dalam frekuensi normal.
"Better, isn't it?"
Sashi speechless, hanya bisa mengangguk terpatah.
"Soal bokap-bokap lo gimana tuh jadinya?"
"Gimana apanya?"
"Gue lihat comment section postingan lo yang terbaru tadi." Dery berkata. "Kayaknya dua-duanya saling bersaing. Macam nggak mau kalah. Lo jadi rebutan—akhirnya ada yang rebutin juga hahaha."
"Diam!" Sashi menarik dirinya agak menjauh dari Dery yang langsung menoleh padanya dengan senyum lebar. "Tapi ya, dua-duanya begitu."
"Gitu gimana?"
"Kayak apa yang lo bilang. Nggak mau kalah. Papi bete kalau gue nginep di tempatnya Om Jeffrey. Om Jeffrey sewot kalau gue balik ke rumah. Capek, deh."
"Nikmati aja kalau gitu. Kayak... nggak mungkin juga lo bisa tinggal serumah sama Om Jo atau Om Jeffrey sekaligus. Iya, kan?"
Kata-kata Dery membuat Sashi berhenti melangkah tanpa berpikir, dan Dery mau tidak mau ikut melakukannya.
"Kenapa, Bol?"
"Drol, lo jenius!"
"Apanya?" Dery tidak mengerti.
"Intinya lo jenius!" Sashi berseru senang, nyaris melompat ketika dia meraih leher Dery dan memeluknya erat.
Tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab, sebab itu hampir saja membuat jantung Dery menyerah dan mengatakan adios pada dunia.
Oalah, Bol. Untunge aku ki sabar gawe awakmu sing terlalu barbar.
to be continued.
***
Catatan Renita:
yak, akhirnya ada update juga. sebelumnya, thanks nomu nuwun untuk yang sudah mau menunggu dan bersabar haha maap juga rada lama karena gue sampai akhir desember kayanya bakal hectic banget
huhu lagi galau karena pasca acc dosbing, gue masih harus mencari acc dosen penguji huhuhu so sad
tapi yaudalaya.
btw, no coky-erina atau dri-elmira di sini wkwkwk nanti aja di bonus chapter depan ya soalnya yang ini udah panjang beud sista.
sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.
ciao.
bonus tukang bawa kabur penganten orang
Skripsi Tanah Air Beta, December 3rd 2019
16.50
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro