22
Sa atos-atose watu, mesti bisa bolong nek keseringan kena banyu.
Sa beku-bekune ati de'e, mesti bisa mlenys nek usahamu.
Kesimpulannya; pepet terosssss ojo kendorrrrrrrr.
— Tedra Sunggana
***
"Are you okay?"
Sashi yang tengah separuh bersandar pada pilar besar di sebelahnya langsung menoleh pada Jennie yang barusan bertanya. Mata perempuan itu membesar, disesaki oleh kecemasan. Sashi tersenyum sedikit, entah kenapa jadi teringat pada Tris. Dia tidak pernah bersahabat dengan penerbangan yang punya durasi panjang. Penerbangan ini salah satunya. Usai landing, gadis itu selalu diserang sedikit pusing dan mual.
"Aku nggak apa-apa."
"Muka kamu pucat. Kamu sakit?"
"Long flights are never her favorites." Jo menukas. "Mau Papi belikan air lemon? Tunggu sebentar. Kayaknya Papi bawa minyak kayu putih deh, tapi nggak tahu masuk bagasi atau kabin—"
"Oh, kalau cuma minyak angin, saya juga punya." Jennie menyahut cepat seraya membuka sling bag yang dia bawa, mengeluarkan minyak angin dalam kemasan roll-on. Jo mengembuskan napas lega lalu menjauh untuk mendekati conveyor belt yang mulai dikelilingi oleh banyak orang. Ada koper-koper mereka yang harus diambil. Jef cuek saja, duduk santai di sebelah Sashi dan Jennie. Dia sempat jepret sana jepret sini sesekali, mengambil boomerang buat diunggah ke instastory.
"He, Jancok." Jennie mendadak memanggil, bikin Jef menoleh.
"Opo?"
"Arek wedokmu ki lagi sakit loh ya, malah sibuk update sosmed!"
"Biarin aja, Tante."
"Terus gue kudu ngapain? Kan udah lo olesin minyak angin."
"Ngapain kek."
"Anaknya aja santuy, kok malah lo yang sewot?!"
Jennie melayangkan death-glare pada Jef. Keduanya saling melotot sengit, bikin beberapa orang menoleh pada mereka. Mungkin orang-orang itu mengira, Jennie dan Jef adalah pasangan suami-istri beranak satu yang sedang siap-siap bertengkar. Sashi mulai khawatir, tapi lega lagi ketika sendawanya yang tiba-tiba berhasil membuat ketegangan diantara Jef dan Jennie mencair.
"Kamu kayaknya masuk angin, deh." Jennie berkata pada Sashi. "Tangan kamu juga dingin. Mau pake scarf Tante Jennie?"
Sashi menggeleng, bertepatan dengan Jo mendekat dan memanggil Jennie. Ternyata karena Jo lupa bentuk dan warna koper Jennie. Jadi mau tidak mau—malah sepertinya dengan senang hati—Jennie beranjak dan mengikuti Jo. Dalam sekejap, Sashi ditinggal untuk duduk bersebelahan hanya dengan Jef.
Sashi diam saja, menatap lurus ke depan sambil mengoles lekuk lehernya dengan minyak angin roll-on yang Jennie tinggalkan. Berbeda dengan sebelumnya, Jef tidak lagi cuek. Lelaki itu malah diam-diam melirik dari sudut mata. Dia sibuk berpikir hingga perlahan, dengan penuh kehati-hatian, tangannya bergerak dan jari telunjuknya berakhir menusuk lembut punggung tangan Sashi.
Refleks, Sashi menoleh. Dahinya berlipat. "Om ngapain?"
"Ternyata tangan lo beneran dingin."
"Terus?"
"Mau diangetin nggak?"
Mata Sashi menyipit, kembali menatap pada jari telunjuk Jef yang masih melekat di punggung tangannya. "Om... sadar nggak kalau Om konyol banget sekarang?"
Wajah Jef memerah. "Dih, ditanya apa jawabnya apa."
"Om bukan api unggun. Mana bisa ngangetin orang."
"Bisa."
"Dengan ngasih jaket? Buset deh, FTV banget."
"Bukan!" Jef membantah sembari menarik tangannya lagi. Sebagai gantinya, dia menggosokkan kedua telapak tangannya dengan sangat cepat. Setelahnya, Jef meraih tangan Sashi, menggenggamnya erat. Panas yang tercipta dari gesekan merambat melalui kulit ke kulit. Sashi menahan napas, perlahan pipinya memerah.
"Gue nggak bohong, kan?"
Sashi menggeleng, tiba-tiba lupa bagaimana caranya berkata-kata. Seumur hidupnya, dia hanya pernah menerima perhatian semacam itu dari Tris. Memang, sesekali Jo menggandengnya atau mencium pipinya waktu dia berulang tahun, namun dia belum pernah menerima interaksi semacam itu dari Jo.
Jef mengangkat alis, memperhatikan raut wajah Sashi sebelum tawanya pecah. Dua lesung pipi tercetak sempurna di wajahnya. Responnya membuat Sashi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Kenapa ketawa?"
"You're indeed your mother's daughter."
"Mmm... maksud Om?"
"Ekspresi Tris nggak pernah jauh beda dari lo setiap kali gue pegang tangannya kayak gini." Jef bercerita tanpa berpikir. "She liked it, when I held her hands like this."
Sashi membisu, lidahnya betul-betul kaku.
"Do you like it too?"
Sashi tidak tahu harus menyahut dengan kata-kata yang bagaimana, jadi dia hanya mampu mengangguk. Di luar dugaan, senyum Jef kian lebar karenanya. Matanya bertransformasi jadi sepasang garis lengkung. Lesung pipinya makin dalam. Sashi belum pernah melihat Jef tersenyum seperti itu sebelumnya.
Sendawa Sashi adalah apa yang kemudian membuat senyum Jef perlahan menghilang.
"Lo masuk angin beneran deh kayaknya. Nanti beli teh anget aja."
Sashi malah nyengir. "Teh anget?"
"Apanya yang lucu?"
"Nggak apa-apa. Om ngomong seakan-akan kita lagi nongkrong di sekitaran Blok M dan bisa ngacir ke warteg terdekat buat beli teh anget."
"Hadeh, bawel." Jef berdecak, lalu mengulurkan tangan dan memaksa kepala Sashi buat rebah di bahunya. "Gue pinjamin bahu gue. Soalnya lo kelihatan lemas banget. Emang selalu gitu kalau terbang jarak jauh ya?"
"Om."
"Apa?"
"Mau sampai kapan lo-gue-an sama saya?"
"Tergantung. Mau sampai kapan juga lo panggil gue 'Om'?"
"Emang Om mau dipanggil apa?"
"..."
"Ayah. Gitu?"
"Nggak! Gue belum bapak-bapak!" Entah kenapa, wajah Jef serasa terbakar oleh pertanyaan Sashi.
"Terus maunya apa?" Sashi berdecak tidak sabar.
"Tumben amat lo baik."
"Oh, jadi nggak mau dibaikin nih?" Sashi membalas sewot.
"Gue nanya duluan, kok malah balik ditanya sih?!" Jef protes.
"Emang Om nanya apa?"
"Emang lo selalu gini kalau terbang jarak jauh?"
"Iya. Tapi cuma pusing sama mual dikit aja sebentar. Nanti setelah beberapa jam juga hilang. Gara-gara itu juga saya malas bepergian naik pesawat. Tapi kalau nggak naik pesawat ya mau tahun berapa nyampe sini?"
"Oh."
"Em-hm."
"Oy."
"Apa?"
"Jangan pingsan ya lo! Berat nanti ngangkatnya."
"Kalau Om nggak mau ngangkat, ada Papi yang siap ngangkat."
Skak mat.
Untungnya, Sashi menjawab kata-kata Jef sambil masih menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Jika tidak, dia bisa saja sudah melihat bagaimana wajah Jef memerah seiring dengan upayanya menahan diri supaya tidak mendengus. Dia melempar pandang pada Jo dan Jennie yang tengah menarik koper-koper mendekati mereka, tersadar bagaimana tatapan Jo berubah saat melihat bagaimana dekatnya dia dengan Sashi. Jef balik menatapnya sambil menggerakkan tangan menyentuh bahu Sashi, membawa gadis itu lebih dekat padanya.
You spent all these years with her. Now, it's my turn.
*
Sashi tiba di hotel yang ditunjuk oleh Pakde Yono bersamaan dengan beberapa anggota Keluarga Gouw yang lain—sebetulnya Sashi belum pernah bertemu Yohannes Gouw sama sekali, tapi kata Jef, biar gampang langsung panggil saja dia Pakde Yono. Sashi juga tidak mengerti kenapa dia langsung setuju. Entah karena dia malas berdebat dengan Jef, atau jauh di dalam hatinya, dia sudah menerima Keluarga Gouw sebagai bagian dari orang-orang yang bisa disebut keluarganya.
Keluarga Gouw cabang Prajapati masih bercokol di lobi waktu Sashi sampai. Kelihatannya mereka mengambil flight yang waktunya berdekatan, hanya saja berbeda maskapai. Selain keluarganya Felix, Sashi juga bertemu lagi dengan Jansen. Jansen datang hanya bersama ibunya. Felix berbisik pada Sashi, menyebutnya Budhe Sica. Jansen sibuk bertelepon ria dengan salah satu pacarnya—yang kata Tamara sudah berbeda dari pacarnya yang kemarin. Cowok itu baru menyapa Sashi ketika ponselnya berdering lagi dan dia menoleh pada ibunya.
"Mam, Papa telpon. Arep ngobrol ora?" Jansen bertanya dengan suara keras. Talitha cuek saja, sementara tamu hotel lain yang juga menunggu di lobi kompak menoleh. Bisa jadi, karena medoknya logat Jawa yang melekat dalam suara Jansen. Padahal tampangnya bule-oriental banget.
"Moh." Jessica menyahut singkat.
"Okay. Pap, Mama ora gelem ngobrol. Moh, jarene." Jansen diam sejenak, mendengarkan dan berpaling lagi pada Jessica. "Ma, Papa takon, Mama ora sakit, kan?"
"Mbuh."
"Mbuh, jarene Pa."
Tak lama, telepon terselesaikan dengan perhatian Sashi disita oleh Felix yang tiba-tiba menyikut rusuknya. Felix lebih tinggi dari Sashi, tapi tingkahnya yang seperti anak kecil membuat Sashi merasa lebih dewasa. "Aku tahu, Mbakyu pasti arep know kan soal papanya Mas Jans?"
"Nggak."
"Papanya Mas Jans itu wong Korea."
"Hah?!" Sashi malah jadi kepo.
"Katanya Mbakyu Sashi tidak mau dengar."
"Sekarang mau."
"Masa?"
"Kowe arep tak gaplok a?"
"Wuih, suangar tenan rek Mbakyu-ku seng satu iki." Felix mesem-mesem. "Papanya Mas Jans itu kampung asale nang Korea. Mbohlah Korea bagian mana. Seng jelas yo anyonghaseyo-anyonghaseyo-an juga. Felix tidak pernah tanya. Jenenge dong-dong opo lah iku—"
"Pakdhe Donghae, Mas Felix." Tamara memberi tahu dalam bisikan.
"Yoi. I mean, jenenge de'e seng full loh... Donghae opo yo—oh... Lee Donghae, deng." Felix menjentikkan jari. "Papanya Mas Jans punya pabrik sarden di Korea. Ketemu sama Budhe Sica di acara New York Fashion Week. Terus Mama bilang mereka jatuh cinta dan membuat bayi bersama. Bayi itu Mas Jansen. Waktu lahir, Budhe Sica dan Pakdhe Donghae sedang bertengkar. Gara-gara itu nama belakangnya Mas Jansen jadi pakai 'Gouw', bukan 'Lee'."
"Tapi kan Mas Jansen tetap punya nama Korea. Lee Jeno opo yo, kalau Tamara tidak salah." Tamara ikut menimpali.
"Terus jadinya gimana tuh? Mereka nikah?"
"Pakdhe Donghae sih akhirnya mengejar Budhe Sica. Mereka menikah. Beberapa tahun lamanya Pakdhe Donghae tinggal di Surabaya bersama Budhe Sica. Sampai-sampai dia fasih menggunakan kata jancok. Tapi habis itu mereka sering bertengkar. Budhe Sica gampang tidak mood sih dengan Pakdhe Donghae." Felix mengangkat bahu. "Tapi kenapa ya, Papa dan Mama tidak bertengkar saja sebelum aku lahir ke dunia?"
"Emangnya kenapa?"
"Kalau mereka bertengkar kan, siapa tahu nama belakangku jadinya 'Gouw', bukan 'Prajapati'." Felix menjawab dengan ekspresi wajah yang bikin Sashi harus mati-matian menahan diri agar tidak menggaploknya.
Obrolan mereka terhenti waktu ponsel Tamara tiba-tiba berbunyi. Tamara mengeceknya, langsung tersenyum riang seketika. Sashi melirik, tidak terlalu peduli. Namun ekspresi wajahnya langsung berubah serupa elang lapar tengah mengincar anak ayam oleh satu seruan antusias yang Tamara lontarkan.
"Mas Juan! Iya! Aku sudah sampai!"
JUAN SIAPA NIH, KALAU JUANDA SAPTA WIDARA, SASHI UDAH BOLEH MULAI PANIK NGGAK?!
Sialnya, Tamara malah melompat turun dari sofa tempatnya duduk dan berjalan menjauhi kerumunan orang-orang di lobi menuju tempat yang lebih sepi. Sashi melotot, bermaksud untuk ikut bangkit saat tiba-tiba saja, dia dikejutkan oleh sekelompok orang yang mengamankan jalan masuk ke lobi. Lantas, serupa adegan dramatis kemunculan Gu Jun Pyou and the gank dalam drama Korea berjudul Boys Before Flowers, ada cahaya ilahi yang tiba-tiba menerangi Bumi, disusul kaki berlapis sepatu kulit mahal yang melangkah masuk.
Itu kaki milik Tedra yang berjalan dengan kepala terangkat tinggi, tubuh terbalut jaket mahal dan kedua telinga disumbat airpods desain sendiri dengan inisial huruf T yang terbuat dari berlian. Di sampingnya, Joice mendampingi layaknya seorang ratu. Di belakangnya, Dery menyusul sembari tertunduk malu.
"Badrol?!" Refleks, Sashi memanggil sembari melangkah cepat menghampiri Dery, langsung lupa pada Tamara yang sedang sibuk bertelepon dengan sosok Mas Juan yang diduga kuat adalah Juanda Sapta Widara.
"Oy—eits, hati-hati!" Sashi hampir terpeleset di depan Dery, namun untungnya Dery cekatan meraih Sashi, membuatnya batal jatuh. Sejenak, tangannya melekat di lekuk pinggang Sashi, berhasil membuat warga satu lobi menjelma menjadi jajaran figuran sebuah adegan drama percintaan. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama karena seruan beringas Jef membuyarkan segalanya.
"HEH, TANGAN!"
Dery dan Sashi langsung tersentak, spontan menarik diri untuk saling menjauh sementara Tedra menoleh tidak terima pada Jef yang justru berkacak pinggang. Jo mengangkat alis, terutama ketika dilihatnya Jennie meninju dada Jef pelan, mengomel tanpa kata karena Jef telah mengganggu sebentuk adegan romantis yang baru saja terjadi diantara sepasang anak manusia.
Dery pura-pura batuk, tapi langsung gugup ketika melihat cincin pemberiannya masih melingkar di jari Sashi. Ternyata, Sashi betul-betul memakainya. Melihatnya jadi membuat angan Dery melanglang-buana menuju tempat yang dinamakan masa depan.
"Kok ada di sini sih?!"
"Papa mau lihat sakura." Dery beralasan.
Sashi beralih pada Tedra. "Sejak kapan Om Tedra suka lihat sakura?"
"Sejak Om Tedra punya calon mantu yang suka lihat sakura."
"Oh. Siapa tuh?"
Dery mendengus dengan pipi merona. "Omongan Papa nggak usah didengerin."
"Wait. Berarti ini satu kamar untuk dua orang, kan? Oke. Kalau gitu, Acacia satu kamar sama saya." Jef menyela, bikin perhatian Sashi berpindah padanya.
"No. She's with me." Jo berkata.
"Terus maksud kamu, saya mesti satu kamar sama Jennie, begitu?"
Jo mengernyit pada Jennie yang berkacak pinggang seraya melotot pada Jef. "Kalian teman dekat dan udah bersahabat lama, kan? Sekamar juga nggak apa-apa. Saya nggak bisa membiarkan Acacia satu kamar sama orang asing—"
"Orang asing?" Jef memotong, nada suaranya tajam dan menohok. "Excuse me, but I'm her biological father. Dan kamu sebut saya orang asing?!"
Jessica melipir, merunduk sedikit untuk berbisik pada adik perempuan. "Shit, here we go again..."
"What a fool." Talitha memutar bola mata, sementara Jajang masih repot mengecek barang-barang di bagian terluar tas yang dia bawa.
"I'm her father." Jo membantah.
"Only by law. I created her."
Jennie:
Jennie berdecak. "Both of you are so childish."
"Terserah lo mau bilang apa, Jen. Jelasnya, gue nggak akan mengalah. Acacia satu kamar sama gue."
"Hadeh, nggak capek apa berantem melulu?!" Sashi berseru pada Jef dan Jo yang kontan bungkam. "Aku tidur sama Dery aja lah kalau gitu!"
"TAK DUKUNG!" Tedra bereaksi cepat.
"NGGAK BOLEH!" Jo dan Jef berseru kompak.
Tedra:
"Quit the drama." Jennie membalas sembari memutar bola mata. "Give me the card. Sashi tidur sama gue. Nggak sama lo. Nggak sama Jo. Gantinya, kalian berdua yang sekamar. Itu lebih wajar. Cowok sama cowok. Cewek sama cewek."
"BIG NO!" Jo dan Jef lagi-lagi membalas serempak.
"Yawes nek ora gelem. You berdua turu nang Shibuya wae. Itu juga kalau nggak digusur Satpol PP Tokyo. Acacia, come here. You're with me."
"Oke, Tante." Sashi setuju dan sebelum berjalan mengikuti Jennie, dia sempat berbisik pada Dery. "Coat lo bagus. Gue suka. Tumben, lo jadi kelihatan ganteng."
Dery di luar:
Dery di dalam:
Jantung Dery hampir saja meluncur turun dan bersilaturahmi sama tulang ekor.
Tedra menyaksikan dalam diam, tapi kemudian menggoda Dery sambil mesem-mesem. "Sa atos-atose watu, mesti bisa bolong nek keseringan kena banyu. Sa beku-bekune ati de'e, mesti bisa mlenyes nek usahamu. Kesimpulannya; pepet terosssss ojo letoyyyyyy!"
"Apaan sih, Pa?!" Dery protes dengan wajah memerah, namun diam-diam menahan senyum.
Felix lain lagi, sibuk berpikir keras sampai akhirnya dia menyerah dan mencolek pelan bahu ibunya. Talitha langsung menoleh pada anak laki-lakinya.
"Opo'o, Le?"
"Mama,"
"Iyo?"
"Memangnya ada Satpol PP di Tokyo?"
*
Seperti yang sudah bisa diduga, menempatkan Jef dan Jo dalam satu kamar sepertinya bukan keputusan terbaik. Bukan hanya saling menjauh layaknya magnet dengan kutub yang ditakdirkan saling tolak-menolak, dua laki-laki itu tidak bisa berhenti berdebat—bahkan untuk sesuatu yang sepele. Perdebatan terjadi karena alasan seremeh Jef yang meletakkan barangnya di sembarang tempat. Alasan yang terbaru adalah usai Jef mandi lebih dulu, Jo mandi dan begitu keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan bathrobe, dia disambut handuk basah di atas ranjangnya.
"Ini handuk siapa?"
Jef yang juga masih mengenakan bathrobe berujar cuek sambil terus fokus memainkan game di ponsel. "Orang sih kayaknya."
"Kenapa ditaro di atas kasur saya?"
"Nggak sengaja."
Jo berdecak, berjalan cepat untuk meraih handuk tersebut dan melemparnya ke arah Jef. Handuk itu mendarat tepat di wajah Jef, membuatnya langsung menatap tajam pada Jo. "Kamu ngajakin berantem?!"
"Saya yang harusnya nanya gitu."
"Yaudah. Ayo, kalau mau berantem!"
Keduanya melempar tatapan sengit, sudah siap buat adu jotos ketika ketukan pelan di pintu menginterupsi. Jo mengembuskan napas, mendelik dan batal melanjutkan pertempuran yang sudah siap dimulai. Dia melangkah mendekati pintu, meraih kenopnya dan tatkala pintu terkuak, dia disambut oleh seraut wajah milik Sashi.
Sashi terperangah, diam sejenak ketika tersadar dua laki-laki di depannya hanya mengenakan bathrobe dengan rambut yang masih basah.
"Hng... aku ganggu ya?"
"No, no. What's wrong, baby girl?" Jo buru-buru menukas.
"Papi... bawa gunting kuku nggak? Baru sadar kuku aku udah pada panjang. Aku lupa bawa. Tante Jennie juga nggak bawa."
"Kayaknya Papi bawa. Masuk aja dulu."
Sashi menurut, melangkah kikuk memasuki kamar. Kehadiran Jo saja sudah cukup membuatnya merasa awkward. Apalagi ditambah kehadiran Jef yang diam saja, mengawasinya sembari duduk di tepi ranjang. Jo memunggunginya, membuka koper dan mencari-cari sampai dia menemukan benda yang Sashi maksud.
"Come here."
"Em-hm?"
"Biar Papi yang sekalian guntingin kukunya."
"Aku bisa sendiri, Pi."
"Iya, Papi tahu. Tapi Papi mau guntingin kuku kamu. Boleh, kan?"
Sashi bingung sebentar sebelum jawab terpatahnya terlontar. "Hng... boleh, kok."
Sashi tidak bisa membantah, akhirnya duduk manis di tepi kasur Jo. Lelaki itu mengambil tempat di sebelahnya, meraih jemarinya dan mulai memotong kukunya yang sudah terlalu panjang dengan hati-hati. Wajahnya sarat oleh konsetrasi. Diam-diam, Sashi melirik pada Jef yang hanya menyaksikan dengan mulut terkunci rapat. Ragu-ragu, gadis itu buka mulut untuk bertanya.
"Kalian berdua... nggak berantem, kan?"
"Tadinya mau berantem. Hampir aja Papi kamu jadi perkedel." Jef menjawab, super salty.
"Yakin bukan kebalikannya?" Jo mengernyitkan kening.
Sashi belum lagi menyahut waktu suara Jennie mendadak terdengar dari depan pintu yang masih dibiarkan terbuka. "Acacia, jadi gimana, dapat nggak gunting kuku—"
Jennie hampir keselek kala mendapati dua pria berambut lembab dan ber-bathrobe sama-sama memandang padanya.
Ini sih namanya barokah dari langit, Jennie membatin sambil menelan ludah. Matanya asyik saja terarah pada Jo. Pada dadanya yang mengintip. Terlihat bidang. Jennie bertanya-tanya apa rasanya jika dia menubruk dada itu dan membenamkan wajahnya di sana.
"Lihatin terossssssss! Kenyang tuh mata!"
Jennie mengembuskan napas tajam, melotot pada Jef yang barusan berseru, jelas tidak bisa betah menyaksikan kawannya menikmati pemandangan yang tersuguh di depan mata barang sebentar saja. "Lo tuh ya nggak bisa apa—"
Niatnya Jennie mau ngomel, tapi kok konsentrasinya mendadak buyar ketika dia memperhatikan Jef lebih teliti. Ikatan bathrobe lelaki itu lebih longgar dari Jo, membikin Jennie bisa melihat jelas bentuk garis-garis otot di dada dan perutnya. Rambutnya yang agak basah jatuh sempurna di dahinya, membingkai wajahnya dengan cara yang mampu membuat kebanyakan perempuan normal langsung meriang dan panas-dingin.
"Yaudah, Sashi, Tante Jennie tunggu di kamar aja ya."
Secepat kilat, Jennie berbalik, mengabaikan tatapan heran Jo maupun Jef. Dia berjalan melewati pintu dengan tergesa, menutupnya lalu menyandarkan punggung di tembok, di luar pintu kamar tempat Jef dan Jo berada. Perempuan itu menyentuh dadanya, bertanya-tanya bagaimana bisa jantungnya berdebar di luar kontrol, jauh melampaui frekuensinya yang biasa.
Apakah itu karena Jo?
Atau justru karena Jef?
Tapi apa mungkin karena Jef? Jennie menolak mengakuinya, berkali-kali menggelengkan kepala. Tidak. Dia tidak punya perasaan apa-apa pada Jef dan kalaupun iya, itu sudah bertahun-tahun lampau.
Pasti karena Jo.
Harus karena Jo.
Sebab Jennie tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada hatinya seandainya benar Jef adalah alasan dari apa yang baru saja dia rasa.
*
"Yakin kamu mau kabur ke saya?"
"Kenapa harus nggak yakin?"
"Karena kamu bakal kabur dari pangeran dan istananya ke tempat orang yang biasa yang cuma punya pondok kecil sederhana."
"It's better."
"Why do you think so?"
"Saya lebih suka kamu yang biasa dengan pondok kecil sederhana daripada pangeran dan istana megahnya."
Elmira mengembuskan napas, merasakan angin bergerak meniup wajahnya yang duduk di depan jendela. Jendela itu sengaja dibiarkan terbuka, menampilkan langit Tokyo yang redup seiring dengan waktu yang merambat mendekati senja.
Dia mengira laki-laki itu akan menolak. Bilang jika ucapannya hanya sebatas canda. Tetapi tidak, Dri malah menatapnya dengan sepenuh keseriusan dan Elmira berani sumpah, itu adalah kali pertama tatapan seseorang bisa membuatnya melupakan segalanya, meski hanya untuk sejenak.
Pintu tiba-tiba dikuak, namun Elmira bergeming di tempatnya berada, tidak bergerak sama sekali. Tanpa menoleh, dia sudah tahu itu siapa. Wangi parfum yang dipakai orang itu begitu khas, Elmira tidak ingat ada orang lain yang mengenakan parfum serupa.
"Bertemu seseorang di Yoyogi Park?"
"Saya nggak tahu kalau kamu se-penasaran itu dengan saya." Elmira berbalik, mendapati sepasang mata milik Yuta sedang tertuju padanya. "So much for a woman you don't know well, right?"
Yuta menarik napas panjang.
"Can I ask you a favor?"
"Kamu mau apa?"
"Ini belum terlambat. Cancel the wedding."
"Harus saya?"
"I tried to talk to my father but he didn't listen. Mungkin bisa berbeda kalau kamu yang bicara."
"Saya nggak bisa." Yuta menolak permintaan Elmira.
"Kita nggak kenal. Saya nggak bisa terjebak dengan orang asing seumur hidup saya. Saya yakin, kamu juga begitu."
"Ibu saya mau saya menikah."
"Kamu bisa menikah dengan siapapun yang bukan saya."
"Supaya kamu bisa pergi dengan orang itu?" Yuta memiringkan wajah, menatap perempuan di depannya dengan sorot mata penuh selidik. "Dia juga orang asing buat kamu."
"Dia orang asing yang nggak membuat saya merasa asing." Elmira beranjak dari duduk, berjalan melewati Yuta menuju pintu tanpa bilang apa-apa, juga tanpa mau menunggu apa yang mungkin ingin Yuta katakan berikutnya. Dalam waktu singkat, Yuta ditinggal sendiri di ruangan tersebut.
Dia menghela napas, mengepalkan tangan seraya menatap pemandangan Tokyo yang tertampil di luar jendela. Perempuan itu tidak sepenuhnya salah. Yuta tahu, kata-kata Elmira benar adanya. Dia bisa menikah dengan siapapun yang bukan Elmira Gouw.
Masalahnya, dia menginginkan Elmira.
Hanya Elmira.
*
Jef terbangunkan oleh alarm jam empat pagi yang jelas-jelas bukan miliknya. Dia mencoba meredam bunyi berisik dengan menutupi kepalanya menggunakan bantal, tetapi usahanya tak berpengaruh banyak dan waktu Jo mematikan alarm tersebut, Jef sudah kehilangan selera untuk tidur kembali. Dia mendengus, menukar posisi berbaringnya dengan duduk. Matanya memandang sewot pada Jo yang beranjak lantas duduk di tepi kasur. Lelaki itu tak merespon pelototan Jef, malah menyatukan tangan dan memejamkan matanya, menghabiskan beberapa menit buat berdoa.
"Kamu pasang alarm jam segini cuma buat berdoa?" Jef berdecak, menyipitkan mata pada Jo usai lelaki itu selesai dengan apa yang dia lakukan.
"Ada masalah?"
"Ada. Saya jadi kebangun dan nggak bisa tidur lagi."
"Saya jadi penasaran." Jo memiringkan wajahnya, memandang Jef dengan tatapan menilai. "All these years, for once, at least just once, have you ever prayed for her?"
"Her?"
"Patricia."
Perasaan Jef langsung tertohok dan dia kehabisan kata-kata untuk menjawab.
Jo mencibir. "I think not."
"Jangan sok tahu."
"Come to think of it, it's kinda sad. She loved the wrong person almost her whole life."
"Maksud kamu apa?!" Jef jelas tampak tersinggung.
"She loved you, until the end. Tapi apa yang kamu lakukan? Hidup kayak orang nggak punya tujuan. Seenaknya berganti pasangan. Jangankan berdoa buat dia, mengunjungi makamnya aja kamu nggak pernah, kan?"
Jef membenci dirinya sendiri karena dia tidak punya argumen buat membantah ucapan Jo.
"27 jam."
"Apa?" Jef bertanya sinis, tidak memahami arti kata-kata Jo.
"27 jam saya habiskan tanpa tidur di rumah sakit hari itu. Tujuh belas tahun yang lalu. Untuk dia. Untuk Acacia." Jo beranjak, berjalan dengan gaya tak peduli menuju kamar mandi dan sebelum menutup pintu, dia menyambung. "If you think you can take my daughter from me, you're wrong."
Emosi Jef tersulut. Dia ingin marah. Dia ingin menggedor pintu kamar mandi dan memaksa Jo keluar. Tapi dia tidak bisa melakukannya sebab dia tidak punya alasan yang bagus untuk menyergah semua fakta keras yang baru Jo suguhkan di depan matanya. Lelaki itu benar. Dia tidak ada di sana untuk Tris, juga untuk Sashi. Tujuh belas tahun lalu, apa yang sedang dia lakukan? Mungkin di kampus, atau berkumpul di salah satu pub bersama beberapa teman sekelas usai lelah bergumul dengan tugas seharian.
Ada pahit menyebar dalam tenggorokan Jef, menyumbatnya, membuat dada Jef sesak walau dia masih bisa bernapas dengan normal.
Keduanya tidak bicara lagi setelah itu. Jef membiarkan Jo minum kopi dengan tenang usai mandi. Mereka masih punya banyak waktu sebelum jam tujuh waktu setempat di mana kedua orang tua Elmira menginginkan mereka berkumpul di lobi dalam keadaan sudah rapi dan mengenakan pakaian resmi. Menjelang jam enam, barulah Jef bergerak menuju kamar mandi, membasuh tubuh di bawah kucuran shower.
Saat dia keluar, dia disambut oleh Jennie yang sedang duduk sendirian di salah satu kursi sembari memainkan ponsel. Ada dasi terlipat di atas meja di depannya. Pintu kamar hotel sengaja dibiarkan terbuka tanpa sebab yang Jef tahu pasti.
Reaksi pertama Jef adalah terperangah karena sejujurnya, perempuan itu terlihat cantik pagi ini. Rambutnya tergerai, disemati oleh beberapa jepit yang memberikan kesan lebih formal. Terusan yang dipakainya menampilkan lekuk bahunya, dengan warna gelap sesuai dresscode yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Jef hampir lupa bernapas meski hanya untuk sesaat, lantas pelan-pelan keterpanaannya berganti oleh senyum tipis tatkala dia melihat pada dasi hitam yang Jennie bawa.
Itu pasti buatnya. Bukan karena kege-eran, tapi itu sesuatu yang biasa Jennie lakukan. Dalam acara resmi, Jef selalu lupa memakai atau membawa dasi. Jika ada Jennie di sana, perempuan itu bukan hanya membawakan, tapi juga sampai rela memasangkan dasi buat Jef. Memang sambil diiringi omelan panjang-pendek layaknya bunyi knalpot bajaj, namun selama bertahun-tahun, Jennie tidak pernah absen melakukannya.
"Peka banget sih, padahal belom gue panggil."
Jennie mengangkat wajah dari ponselnya, mengernyit tak mengerti. "Apaan?"
"Dasi."
"Oh, sori. Ini buat Jo. Dia bilang dia lupa bawa dasi. Emang sih, gue biasa bawa dasi buat lo. Tapi lo bisa minta lah ya ke Mas Yono atau siapa kek gitu. Toh ini keluarga lo yang punya hajat. Iyo po ora?"
Ekspektasi Jef langsung hancur berantakan. Mukanya berubah masam seketika. "Oh. Yaudah. Taro aja!"
"Lah, kok jadi ketus?!"
"Gue tahu lo mau cari kesempatan mepet duda ganteng, kan?! Udah, tinggalin aja dasinya! Ntar gue kasih tahu ke dia!"
"Gue udah janji mau makein soalnya Jo biasa dipakein dasi sama mendiang istrinya, kan. Orangnya lagi keluar bentar, ada yang mau dibeli. Makanya gue nunggu di sini."
"IDIH!"
"KENAPA?! KOWE ORA SENENG NDELOK KONCOMU DINOTIS CALON PASANGAN DUNIA-AKHIRAT?!" Jennie malah terpicu nge-gas.
"PASANGAN DUNIA-AKHIRAT MUATAMU!"
Jennie meletakkan ponselnya, mengangkat alis pada ledakan emosi Jef yang tiba-tiba dan jujur saja, membuatnya heran. "He, kok situ malah mara-mere sih?! Salah gue apa, Su?!"
"Terserah." Jef berdecak sembari memutar bola mata, kemudian berjalan pergi menjauhi Jennie sembari menggulung asal lengan kemeja putih yang dia pakai. Dia membiarkan jas hitamnya teronggok begitu saja di sandaran salah satu kursi, langsung melangkah keluar kamar. Niatnya sih mau bertolak ke kamarnya Talitha, soalnya Jajang pasti bawa banyak dasi. Namun langkahnya dihentikan oleh suara Sashi. Jef kontan menoleh, mendapati Sashi sedang berdiri di ambang pintu kamarnya yang dibuka sedikit. Rambutnya sudah rapi, dikepang dengan gaya yang mengingatkan Jef pada tokoh Arwen Evenstar dalam kisah The Lord of The Ring. Pasti Jennie yang menata rambutnya.
"Om mau ke mana?"
"Ke kamar Felix."
"Mau ngapain?"
"Kok kepo?" Jef masih sensi gara-gara Jennie, padahal dipikir lagi memangnya kenapa dia harus sensi seperti itu?
"Ih, nyolot." Sashi manyun.
Jef menghela napas, melunakkan suaranya. "Mau minjem dasi ke papanya Felix."
"Om nggak bawa dasi?"
"Lupa."
"Atau emang nggak niat bawa." Sashi mengedikkan bahu, lalu dia menunjukkan tangan kanannya yang memegang dasi. "Saya bawa dasi. Sengaja bawanya dua. Satu buat Papi. Satu buat Om Jeffrey. Soalnya sering lihat Mami bawa dasi kalau mesti ke luar kota atau ke luar negeri dan kemungkinan besar bakal ada acara resmi. Mami bilang, buat jaga-jaga kalau Papi lupa bawa dasi."
"..."
"Sini."
Jef tidak mengira jika Sashi bisa bersikap semanis itu pagi ini, tapi akhirnya dia tidak mendebat lebih jauh. Lelaki itu masuk ke kamar dimana Sashi berada. "Yaudah, siniin dasinya."
"Om duduk aja dulu."
"Kok duduk?"
"Mau sekalian dipakein nggak?"
"Tumbenan amat." Dahi Jef berlipat, matanya penuh oleh kecurigaan. "Jangan-jangan lo lagi ada maunya ya?"
"Nggak apa-apa. Biar Om ada yang makein juga, jadi nggak ngenes-ngenes amat. Om cemburu kan sama Tante Jennie yang mau makein dasi ke Papi?"
"What the—"
Sashi malah terkekeh. "Aku dengar tadi Om debat sama Tante Jennie."
Jef berdecak seraya membawa dirinya untuk duduk di tepi salah satu ranjang. Sashi mengikuti, berdiri di depannya. Dia memang mesti duduk, karena Sashi tidak akan bisa menjangkau kerah bajunya tanpa berjinjit. Sama seperti Tris, puncak kepalanya paling hanya sepantaran dengan bahu Jef.
"Gue nggak cemburu."
"Nggak ada orang cemburu yang ngaku."
"Emang lo pernah?"
"Pernah."
"Bukan sama bocah ambyar pastinya."
"Sotoy."
"Loh, jadi pernah cemburu sama bocah ambyar?"
Rona merah langsung menjalari pipi Sashi tanpa mau menunggu. Gadis itu menghindari kejaran mata Jef, berpura-pura sibuk dengan dasi di tangannya sebelum mengalungkannya di sekeliling kerah baju Jef yang telah lebih dulu dia naikkan. "Kenapa malah bahas Badrol, sih?!"
Jef melirik cincin pemberian Dery yang ternyata masih setia melingkari jari Sashi. "Kenapa juga nggak boleh bahas tuh anak?"
"Kita lagi bahas Om sama Tante Jennie. Jangan mengalihkan pembicaraan." Sashi berkilah sambil tangannya bergerak mengukur panjang dasi. Jef membersihkan tenggorokannya ketika telapak tangan Sashi menyentuh dadanya yang terlapisi kemeja. Sepanjang hidupnya, hanya Jennie yang pernah memasangkan dasi buatnya. Tidak Rosé atau mantan-mantan pacarnya yang lain. "Tante Jennie cantik nggak pagi ini?"
"Lo cantik."
"Aku tanyanya Tante Jennie!" Tanpa sadar, Sashi mengganti saya yang biasa dia gunakan pada Jeff menjadi aku.
"Cantik."
"Cie."
"Semua perempuan cantik, soalnya kalau ganteng itu buat laki-laki."
"Nggak lucu." Sashi merengut.
"Siapa yang ngajarin lo masang dasi?"
"Mami."
"Oh."
"Katanya, biar kalau Mami udah nggak ada, aku bisa gantiin tugas Mami masangin dasi ke Papi." Sashi tidak tahu kenapa tiba-tiba dia tergerak menceritakan itu pada Jef. Jemarinya bergerak dengan cekatan, mencipta ikatan dasi yang rapi. Matanya fokus pada gerak tangannya sehingga dia tidak melihat bagaimana Jef memandang padanya dengan sangat lekat. Napas Sashi baru dibuat tersekat kala Jef mengulurkan tangan untuk menyelipkan sejumput anak rambutnya ke belakang telinga.
"Hng..." Mendadak, Sashi diterkam rasa awkward.
"You're pretty. And you look like your Mom. A lot." Jef berujar sekenanya. "It's very unfortunate that she can't be with us right now, right here."
Sashi menyelesaikan simpul dasinya dengan hati-hati, kemudian menatap Jef sejenak sebelum bertanya lirih. "Can I ask you something?"
"Em-hm?"
"Om Jeffrey pernah ngasih sukulen ke Mami aku?"
"Iya. Kenapa?"
"Oh. Nggak apa-apa."
Sepi kembali mewarnai udara.
"I'm sorry." Bisikan Jef adalah apa yang pertama kali memecah keheningan.
"Buat apa?"
"That day, I said you're a mistake. It was so wrong. Sorry."
Lidah Sashi kelu, seolah-olah sekujur tubuhnya telah dialiri timah. Dia meneguk ludah, menggigit bibir bawahnya pelan. Sebetulnya, dia ingin sekali bertanya pada Jef, apakah itu artinya dia tidak pernah jadi kesalahan dalam hidup seorang Jeffrey Gouw?
Apakah seandainya keadaannya berbeda... mereka bisa memiliki hubungan normal layaknya kebanyakan ayah dengan anak perempuannya?
Tapi tanya itu ogah keluar, hanya terpendam di tenggorokan.
"Ah ya, gue punya sesuatu buat lo." Tahu-tahu, Jef teringat sesuatu. Cepat tangannya merogoh saku celana panjang yang dia kenakan, mengeluarkan sebuah flashdisk mungil dan memberikannya pada Sashi. "Soal handphone lo yang ketinggalan di dalam ruangan waktu insiden di sekolah... barangnya udah rusak. Tapi file di dalamnya masih bisa diselamatkan dan semuanya ada di sini."
Sashi ternganga dengan mata terarah pada flashdisk yang Jef sodorkan. Sejujurnya, dia sudah nyaris lupa dengan ponselnya. Memang, di awal Sashi sempat sangat muram sebab ponsel itu penuh berisi foto-foto dan video kenang-kenangannya bersama Mami. Tapi Sashi juga tidak mengharapkannya kembali. Terkadang, ada beberapa hal yang memang sebaiknya direlakan daripada dikenang secara menyedihkan.
Sashi menerimanya dan begitu saja, dia terdorong untuk memeluk Jef yang masih duduk di depannya. Lengannya melingkari leher lelaki itu. Senyumnya terkembang lebar mengiringi 'terimakasih' yang berkali-kali dia ucapkan.
Semula, Jef tak bisa bergerak. Wajahnya jelas kaget. Matanya hanya bisa menatap tak percaya, lurus ke depan selama beberapa detik. Lalu, ada sesuatu yang hangat meletup dalam dadanya. Perlahan, tangannya bergerak naik, balik mendekap punggung Sashi. Rambut gadis itu terasa lembut di bawah sentuhan kedua telapak tangannya.
Pelukan itu terasa berbeda. Tidak seperti ketika Jef memeluk Jennie. Atau waktu Jef mendekap Tris. Atau bahkan saat Jef mendekap ibunya sendiri. Segalanya terasa lebih rumit dan istimewa. Jef takut memeluknya terlalu kuat. Tapi dia juga ingin merengkuh Sashi seerat dan selama yang dia bisa. Dia ingin melindungi gadis itu dari bahaya apapun yang ada di dunia.
Rasanya, dia hampir menangis karena matanya tiba-tiba terasa panas.
Mereka masih saling mendekap ketika pintu kamar yang sengaja dibiarkan terganjal salah satu sepatu Sashi dikuak lebih lebar, menampilkan Jo yang melihat pada mereka berdua dengan mata melebar sarat kekagetan. Sashi menarik diri, malah penasaran dengan kemunculan Jo yang tiba-tiba.
"Iya, Pi?"
"Oh—hm—did I interrupt something?"
"Yes. Please, close the door." Jef yang malah membalas dengan nada sombong.
"No. Aku cuma bantuin Om Jeffrey pasang dasi, tapi udah selesai. Kenapa?"
"Ada masalah."
"Masalah apa?"
"Felix barusan ngasih tahu kalau katanya calon pengantin perempuannya hilang."
"WHAT?!"
Bonus.
Coky sedang menunggu penerbangannya di ruang tunggu bandara ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Tadinya, Coky mau reject saja pakai alasan sedang-mengejar-boru-tercinta tapi ya saat tahu ternyata Mamak yang menelepon, tentu auto diangkat. Salah-salah, bisa-bisa Coky dikutuk jadi tatakan kopi.
"Iya, Mak. Ada apa?"
"Bah, berisik kali lah di tempatmu itu! Kau di mana sekarang, ha?"
"Bandara, Mak."
"Mau ke mana kau—he, Togar, itu lihat ayamnya tetangga jangan sampai masuk halaman kita! Apa katamu?! Sabak-sibuk-sabak-sibuk cakap muncungmu itu ya?! Membantah terus, mau mamak kutuk kau jadi begu, hah!?" Tidak afdol bagi mamak Batak jika tidak telponan sambil tetap awas dengan keadaan sekitar. Barusan, Mamak Coky mengomeli adik Coky yang tinggal bersamanya di kampung sana.
"Jepang, Mak."
"Alamak, jauhnyaaaaa! Mau ngapain kau ke Jepang? Jangan bilang Mamak mau wibu-wibuan macam anaknya Bu Hutagalung itu ya!? Kupijak-pijak nanti igamu!"
"Mau nyusul calon pacar, Mak."
"HA, SUDAH ADA KAH RUPANYA?!"
"Hilalnya sih udah kelihatan, Mak. Makanya nih mau disusul." Coky cengengesan. Bodo amat dibilang mimpi ketinggian, yang menting berkhayal saja dulu sebab sesungguhnya ucapan adalah doa yang tertunda.
"Boru Jepang kah? Kalau iya, beritahu dia kalau bikin harga sinamot jangan tinggi-tinggi kali! Masak ikan na ni arsik pun pasti dia tak tahu!"
"Boru Jawa, Mak."
"LAH, BORU JAWA NGAPAIN MAINNYA JAUH KALI SAMPEK KE JEPANG?!"
"Lagi ada acara dia, Mak."
"KENAPA TAK KAU TUNGGU SAMPAI DIA BALIK KE JAWA?! ONGKOSMU KE JEPANG ITU TAK PAKAI DAUN!"
"Takut keduluan yang lain, Mak."
"Halah, kalau sudah jodoh, pasti tak akan lari kemana-mana!"
"Memang tak bakal kemana-mana, Mak. Tapi sainganku yang ada di mana-mana!" Coky berseru, lalu menyambung. "Sudah ya, Mak. Penerbanganku ni sudah dekat. Nanti aku telepon lagi kalau aku sudah sampai di Jepang."
"Hei, tunggu dulu—"
Coky sengaja tetap menyudahi panggilan dan menyetel ponselnya ke dalam flight mode. Jika dituruti mendengarkan repetan Mamaknya, bisa dipastikan sampai subuh pun belum tentu selesai. Dia melirik lagi arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Hanya tersisa sedikit waktu sebelum panggilan untuk boarding disuarakan.
Semuanya memang demi Erina.
Bisa jadi, Erina hanya iseng saja bilang bagaimana dia merasa bosan dan berharap Coky ada di tempat yang sama dengannya ketika mereka saling telepon semalam. Tapi Coky yang sudah memantapkan hati akan mengeluarkan usaha sampai titik darah penghabisan guna memiliki hati dan cinta seorang Erina Prajapati tentu tidak bisa tinggal diam.
Ini saatnya dia bilang:
Ada serangga nongkrong di pematang.
Assalamualaikum Erina, Bang Lucas datang.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
heiho, akhirnya kita bersua lagi setelah sekian lama wkwk.
jadi mohon maap weekend kemaren nggak bisa update dikarenakan aku sibuk mengejar jongin-oppa huhu buat yang follow instagram gue udah tau lah ya huhu terus aku menangis dan shaking huhu apalagi pas dia lewat di depan mata huhu
setelahnya gue ada cukup banyak urusan di jakarta dan baru nyampe di semarang selasa dinihari. seharusnya ini diposting kemaren tapi kayanya efek capek dan stress ya gue jadi sakit perut otomatis baru bisa hari ini.
maafkeun.
begitulah ya, jadi apakah yang akan terjadi selanjutnya ea ea ea
btw makasih loh buat yang udah vote dan comment huhu you're the best.
terus apalagi ya hm mungkin gue bakal rada hectic sampai akhir desember dan kemungkinan besar sih bakal sidang antara awal dan pertengahan desember jadi ya begitulah hidup ini harus seimbang. kemarin mengejar oppa, sekarang mengejar sidang, besok mengejar oppa lagi.
dah itu aja.
sekian dan terimakasih.
bonus ayangku.
Cloud 9, November 27th 2019
16.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro