19
Can I be someone's favorite person, at least once in my life?
There's no need for more. Just once.
Just this once.
— Jo Tirtasana
***
Dini hari sudah lewat, tapi Jo masih terjaga di depan jendela kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka. Angin berembus pelan, menggoyang tirai tipis yang melekati jendela. Jo menatap pada langit yang gelap, kemudian pada pot-pot mungil sukulen yang tergeletak begitu saja di tepi jendela. Pot-pot sukulen kesayangan Tris. Perempuan itu telah pergi, dan apa yang ditinggalkannya pada pot-pot sukulen itu hanya kepingan memori.
Apa Jo pernah berencana jatuh cinta pada Tris dengan begitu rupa?
Jawabannya adalah tidak, tapi dia bisa apa jika hatinya sudah menentukan pilihan? Dia bertemu Tris puluhan tahun lalu, ketika mereka masih sama-sama siswa sekolah minggu di gereja yang sama. Tris lebih muda tiga tahun darinya dan berada di Kelas Pratama, berbeda dengan Jo yang telah duduk di Kelas Madya. Keduanya jadi saling kenal karena kerap menunggu jemputan selepas kelas bersama-sama. Orang tua mereka juga ternyata adalah teman yang cukup dekat.
Jika ditanya apa yang paling Jo ingat sekaligus dia sukai dari seorang Patricia Gunawan, Jo akan butuh waktu setidaknya setengah hari untuk menyebutkan semuanya.
Tapi favoritnya akan selalu jatuh pada suatu siang ketika Tris berkunjung ke rumah Jo bersama kedua orang tuanya. Jo sedang bermain piano ketika itu, dengan posisi yang membelakangi Tris. Dia tidak menyadari keberadaan Tris yang berdiri di belakangnya, mendengarkannya memainkan lagu Still Loving You milik band lawas Scorpions. Namun begitu permainan Jo selesai, gadis itu bertepuk tangan keras-keras, membuat Jo menoleh.
Dan dia disambut oleh senyum paling indah sedunia.
Mereka berteman baik seterusnya. Buat Jo, tidak ada gadis yang menarik perhatiannya selain Tris. Akan tetapi sepertinya Tris hanya menganggapnya sebagai teman sekaligus figur kakak laki-laki yang tidak pernah dia miliki.
Tidak apa-apa, Jo selalu menekankan itu pada dirinya sendiri. Tidak apa-apa, selama dia bisa terus dekat dengan Tris. Tidak apa-apa, selama Tris masih tersenyum dan bicara seperti itu padanya. Dia tidak apa-apa.
Namun Jo mulai meragukan itu ketika suatu hari, saat Tris masih SMA, untuk pertama kalinya gadis itu bercerita tentang seseorang dengan senyum yang bikin Jo merasa cemburu. Namanya Jeffrey. Dia setahun lebih tua dari Tris sekaligus kakak kelas di sekolah. Cowok tinggi dengan dua lesung pipi yang Tris suka setengah mati. Dia juga anak basket. Tris berkata, rasanya dia seperti bermimpi kala suatu ketika, Jef mendatanginya dan menyatakan perasaan padanya.
Tris senang, tapi Jo tidak.
Walau begitu, dia tidak bilang apa-apa, hanya mendengarkan cerita Tris sambil memaksakan senyum. Jujur saja, mendengarkan Tris bicara tentang Jef membuat hatinya membara. Dia bicara seakan-akan Jef adalah orang yang bertanggung jawab atas terbitnya matahari. Bahwa Jef adalah orang yang meletakkan bintang-bintang di bentangan langit jagad raya. Itu membuat Jo muak.
Sulit percaya jika pada akhirnya, mereka tidak punya akhir yang bahagia.
Jo masih ingat apa yang terjadi hari itu, saat dia menemani Tris ke bandara. Mereka ke bandara bukan untuk berangkat ke suatu tempat atau menjemput seseorang, namun mengantar kepergian Jef yang meninggalkan Indonesia menuju Australia tanpa lelaki itu tahu.
Tris bergeming dalam mobil, hanya menonton dengan mata berkaca-kaca ketika Jef melangkah dari area parkir bersama beberapa anggota keluarganya. Kentara sekali, Jef sempat menyapukan pandang ke sekelilingnya, mungkin berharap entah bagaimana, Tris akan ikut hadir di sana. Namun tentu saja tidak. Jo tidak tahu apa yang telah terjadi diantara mereka, tetapi Tris kelihatannya sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak akan pernah menunjukkan dirinya lagi di depan Jef.
Mereka tetap diam di parkiran bandara sampai waktu pesawat Jef untuk lepas-landas tiba. Jo tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga Tris yang hanya diam.
Barulah setelah waktunya lewat, Tris berpaling pada Jo dengan senyum tipis yang terkesan kaku. "Aku... aku mau pulang sekarang, Kak."
"Langsung pulang?" Jo bertanya dan Tris menjawabnya dengan anggukan.
Mereka berkendara dalam diam selama beberapa saat hingga ketika mobil Jo masuk ke jalan besar, Tris tiba-tiba saja berkata. "Kak, bisa menepi sebentar?"
"Mm, kenapa?"
Suara Tris terdengar amat lirih dan memohon ketika dia bicara lagi. "Please? Aku janji nggak akan lama."
Jo menurut, menepikan mobil dan hanya sejenak setelah mobil berhenti, Tris langsung melepas safety belt serta membuka pintu mobil. Gadis itu beranjak keluar tanpa bilang apa-apa, langsung membungkuk di tepi jalan dan muntah. Tanda tanya Jo kontan saja berubah jadi kepanikan. Secepat kilat, lelaki itu melepaskan safety beltnya dan berlari menghampiri Tris, berdiri di sebelahnya. Tris masih terus muntah dan apa yang pertama kali terpikir oleh Jo adalah mengumpulkan rambut panjang gadis itu jadi satu di belakang punggung, kemudian memeganginya agar tak terkena muntahan.
"Are you okay?" Jo mengernyit, memburu dengan nada khawatir.
Tris terbatuk, lalu mengangguk. "Aku nggak apa-apa."
"Tapi kamu pucat banget. Kamu sakit?"
Tris menoleh pada Jo. Dia tersenyum, namun senyum itu terkesan lemah. Gadis itu menggeleng, bermaksud berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Tapi kepalanya terlalu pening, jadi selama sebentar, dia kehilangan keseimbangan. Dengan sigap, Jo meraih tubuhnya, membawanya kembali ke mobil dan mendudukkannya di passenger seat bagian depan.
Tris menyandarkan punggungnya ke sandaran jok, menatap Jo seraya mengatur napas. Jo masih memandangnya, kecemasan mewarnai wajah lelaki itu. "Kita ke rumah sakit aja ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa."
Tris menggeleng.
"Patricia—"
Tris malah menunduk, menghindari tatapan mata Jo. Kedua tangannya kini gemetar. Samar, dia membisikkan sesuatu yang terdengar seperti "no" berulang-ulang pada Jo.
"Hey—hey—" Jo refleks mengulurkan tangan, menangkup kedua sisi wajah Tris dengan telapak tangannya yang lebar, membuat gadis itu mengangkat wajah dan kembali menatapnya. Mata Tris sudah berkaca-kaca dalam dalam waktu singkat, air mata sudah meleleh di pipinya. Tris terisak kecil, tetapi Jo cepat menghapus air mata gadis itu menggunakan ibu jarinya. "Are you hurt? Don't cry."
"Aku... nggak mau ke rumah sakit."
"Tapi—"
Tris menggeleng. "Aku nggak sakit, Kak. Aku nggak mau ke rumah sakit. Aku tahu aku kenapa. Aku nggak sakit. Dan aku nggak mau orang lain tahu. Nggak sekarang..."
Jo mengernyit, mengerjapkan mata berkali-kali sampai kesadaran akan sesuatu menghantamnya. Tiba-tiba saja sekujur tubuhnya terasa mati rasa. Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata selama sepersekian detik. Hela napasnya terdengar menderu. Ada sesuatu yang pahit mengganjal tenggorokannya, namun Jo memaksa diri untuk bicara menggunakan nada paling lembut yang dia punya.
"Patricia, look at me—baby, look at me—" Jo berbisik. "Don't be afraid, okay? I'll be here for you. I'll always be here."
Tris menggigit bibir, berusaha untuk tidak menangis namun itu justru membuat isaknya makin keras. Bahunya berguncang ketika dia sesenggukan.
Jo menelan saliva sebelum dia bertanya lagi. "Is it his?"
Tris mengangguk, menjawabnya tanpa suara.
"Then why didn't you tell him?"
Tris menggelengkan kepala berkali-kali, lalu jawabnya. "I don't want to destroy his life. I don't want to destroy his dreams. I love him so much, I can't do that to him..."
Hati Jo perih dan selama sejenak, benaknya dikuasai oleh tanya.
How about you then, Pat?
How about you?
Suara hujan yang tiba-tiba turun dengan deras menjatuhi atap membuat lamunan Jo buyar. Dirinya kembali ditarik ke masa sekarang, setelah sejenak terperangkap dalam gelembung masa silam. Jo menarik napas. Jemarinya terulur, menyentuh ujung salah satu sukulen yang penuh duri. Tak lama, salah satu duri menggores kulitnya, meninggalkan luka tipis.
Rasanya perih, seperti hatinya saat ini.
I gave her my last name, therefore, she is my daughter. She'll always be my daughter.
No one will take her from me, right, Patricia?
*
Bel tanda selesainya jam pelajaran telah berdering hampir sepuluh menit yang lalu.
Tadinya, Ojun berniat menunggu Sashi di depan kelasnya supaya mereka bisa berjalan ke depan bersama-sama, namun sebelum dia sempat melakukan itu, di kelas tadi, selepas memasukkan barang terakhir ke dalam tas dan menutup risletingnya, Dery tiba-tiba saja berujar tanpa basa-basi.
"Gue ada urusan sama Sashi. Lo balik duluan aja."
Ojun mengerjap. "Apaan?"
"Lo pasti mau nungguin Sashi balik, kan?"
Ojun terkejut dan sibuk berspekulasi, apakah jangan-jangan Dery ini masih satu padepokan dengan Edward Cullen. Tapi ya dia berusaha memasang wajah santai. "Nggak juga. Sotoy."
"Lo nggak berhenti ngeliat jam dan ngelihat siapa aja yang ngelewatin kelas kita dari tadi. Untuk ukuran anak pintar yang gemar belajar kayak lo, itu mustahil." Dery menyandang tasnya ke bahu, lalu menyambung dengan muka yang dibikin kelihatan cool. "Sori, tapi ini penting banget. Gue perlu ngomong sama Sashi. Kalau mau ngajak balik bareng, mending besok-besok aja—"
Ojun sudah mau menjawab 'oke' ketika Dery tiba-tiba menyambung lagi.
"—itu juga kalau orangnya mau."
Ojun memasang wajah kecut tetapi Dery hanya mengabaikannya, langsung berjalan ke luar kelas menuju kelas Sashi yang berada tepat di sebelah mereka. Jadilah Ojun hanya bisa pasrah berjalan pulang sendirian. Beberapa adik kelas menyapanya, juga anak OSIS yang kelihatannya akan pulang terlambat hari ini karena ada rapat. Setelah insiden ledakan gas waktu itu, posisi Ojun di sekolah jadi serba salah.
Sebagian siswa menganggap itu hanya musibah, sebatas kecelakaan yang tentu saja tidak mungkin direncanakan. Setengah lainnya berpikir jika itu diakibatkan kecerobohan Ojun sebagai ketua panitia. Ada anak OSIS yang mendukung langkahnya mengundurkan diri dari posisi ketua sebagai tindakan yang patut diapresiasi, tetapi ada juga yang menganggap Ojun pengecut dan melakukan itu untuk lari dari tanggung jawab.
Buat Ojun, itu tidak apa-apa. Dia memang bersalah. Jika saja dia lebih teliti, mungkin peristiwa yang memakan korban jiwa itu tidak akan terjadi. Namun apa yang bisa dia lakukan ketika waktu tidak mungkin bisa diputar kembali?
Ojun sedang berjalan melintasi lapangan basket sekolah ketika mendadak, salah satu tali tasnya putus. Tali tas itu memang terlihat sudah agak lepas jahitannya dan karena Ojun tidak pernah benar-benar mengeceknya, dia tidak tahu. Ditambah lagi, hari ini dia banyak membawa buku cetak yang tebal. Tanpa bisa dihindari, tali tas yang putus terlepas dari bahu Ojun. Beruntung, risletingnya tertutup rapat jadi buku-bukunya tidak berjatuhan di tanah.
Ojun mengembuskan napas lelah. Beberapa siswa di sekitarnya hanya melintas saja, seperti tidak ada apa-apa. Tapi tiba-tiba, Ojun dikejutkan oleh seruan nyaring seseorang yang berjalan cepat menghampirinya.
"Mas Juan!"
Ojun mengernyit, tersadar jika itu adalah Tamara Prajapati. Dia anak pindahan di sekolah ini yang kelihatannya punya hubungan dekat dengan Sashi—Felix dan Tamara beberapa kali menyebut diri mereka sepupu Sashi, namun Ojun tidak pernah bertanya lebih lanjut karena dia merasa itu urusan pribadi. Tamara berlari cepat menghampirinya sambil masih memegang sebatang es lilin di tangan kanan.
"Mas Juan, tali tas'e pedhot yo?" (Tas-nya putus ya?).
Ojun mengangguk, sejenak sempat berpikir jika Tamara terlihat cute dengan rambut dikuncir satu dan dihiasi pita warna ungu, tapi sebelum dia sempat menjawab, Tamara sudah lebih dulu menyerahkan es lilin yang dipegangnya pada Ojun.
"Apa?"
"Cekeli sek." (Pegangin bentar).
Ojun menurut, akhirnya menerima es lilin tersebut sementara Tamara langsung sibuk membuka tas sekolahnya sendiri. Dari salah satu kantung tasnya, gadis itu mengeluarkan sebuah tote bag yang dilipat rapi. Tamara membuka lipatannya, lantas mengulurkannya pada Ojun.
"Mas Juan bisa pinjam tas milikku dulu. Nanti saja dikembalikan. It seems like your backpack is very abot, therefore isine mesti akeh. Biar tidak repot."
"Kamu selalu bawa kayak ginian kemana-mana?" Ojun bertanya sambil menyerahkan kembali es lilin Tamara.
Tamara mengangguk antusias seraya menjilat es lilinnya. "Em-hm! Mama said we have to save the Earth! Aku mencoba mengurangi penggunaan plastic bag so I bring tote bag kemana-mana! Mas Juan juga harus mulai mencoba! Mari kita selamatkan Bumi bersama-sama!"
Ojun menatap pada tote bag yang kini berada di tangannya, tersadar jika tote bag tersebut bergambar karakter My Little Pony. Lalu begitu saja, tawanya pecah. Tamara mengangkat alis, malah heran sendiri.
"Why are you ngguyu-ngguyu, Mas Juan?" (Kenapa kamu ketawa-ketawa?).
"Nggak tahu. Mungkin karena kamu terlalu cute?" Ojun menjawab tanpa berpikir dan lanjut tertawa, tidak menyadari bagaimana Sashi melihatnya bicara dengan Tamara dari kejauhan dengan segenap rasa iri di dada.
*
Sashi baru selesai membereskan alat tulisnya ketika Dery muncul di ambang pintu kelasnya. Gadis itu hampir tersedak, buru-buru memasukkan semua barangnya ke dalam tas. Ini gara-gara guru yang mengajar terlambat keluar. Padahal Sashi sudah ancang-ancang mau muncul di kelas Dery duluan. Siapa tahu kan iseng-iseng berhadiah seperti... misalnya dia bisa jalan ke depan bersama Ojun.
"Ojun udah pulang?!" Sashi memberondong Dery dengan pertanyaan saat cowok itu tiba di dekat mejanya.
Dery mendengus, tidak menjawab dan malah membantu Sashi memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
"Drol, itu kuping potong aja deh kalau cuma jadi pajangan!"
"Udah pulang." Dery menukas malas.
Sashi cemberut. "Yah...."
"Emang kenapa sih? Bukannya bersyukur disusulin ama gue ke sini."
"Bosen disusulin melulu ama lo." Sashi merengut, menutup risleting tasnya dan memakai tas itu ke kedua bahunya. Dia baru berniat melangkah keluar kelas ketika tanpa aba-aba, Dery meraih salah satu sikunya. Sashi batal melangkah, refleks menengadah sedikit untuk menatap Dery yang jelas lebih tinggi darinya.
Lalu Sashi menyesal seketika.
Bukan apa-apa, hanya saja, Dery hampir tidak pernah menatapnya dengan sorot mata sedalam itu sebelumnya. Dery tidak cengengesan. Cowok itu memandangnya serius, bikin frekuensi detak jantung Sashi serasa dipercepat. Sashi mengerjap berkali-kali, kemudian pura-pura batuk untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Lo... kesurupan apa gimana? Kok ngelihatin gue sampai segitunya."
"Duduk dulu." Dery berkata, menyuruh Sashi kembali duduk di kursinya sementara tangannya yang lain menarik kursi yang berada tidak jauh dari mereka, menggesernya dan duduk di atasnya. Kini, dia dan Sashi duduk berhadapan. Posisi mereka cukup dekat, hingga lutut keduanya hampir saling menyentuh. "Gue punya sesuatu buat lo."
"Kalau lo mau ngelemparin anak cicak lagi ke gue kayak waktu itu, gue bakal marah sama lo selama satu semester! Gue nggak bohong!" Sashi malah panik.
"Bukan anak cicak!"
"Tapi anak kecoak, gitu maksud lo—Drol, please—aaa—" Sashi kontan menutupi wajah dengan kedua telapak tangan ketika dilihatnya Dery mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.
Dery berdecak, mengembuskan napas dan mengulurkan tangan untuk menurunkan telapak tangan Sashi dari wajahnya. Sashi sempat berontak, tapi Dery memaksa. Meski begitu, dia masih menutup matanya rapat-rapat.
"Buka mata, Bol."
"Bukan kecoak, kan?!"
"Bukan."
"Beneran?!"
"Beneran. Udah, buruan buka mata!"
Sashi masih agak takut, namun dia menurut. Perlahan, matanya terbuka dan napasnya serasa tertahan di tenggorokan kala dia disambut oleh Dery yang memegang sebuah kotak beludru di tangannya.
"Drol—"
"Hadiah ulang tahun buat lo dari gue. Sori telat." Dery berujar cuek sambil menyodorkan kotak beludru itu pada Sashi, tidak merasa repot-repot harus membuka dan menunjukkan isinya seperti yang dilakukan kebanyakan cowok pemeran utama dalam drama romansa.
"Lo nggak ngelam—"
"Hadiah ulang tahun, goblok. Bukan cincin lamaran. Kan gue nggak berlutut di depan lo sambil bilang 'will you marry me?'." Dery memotong.
Sashi mengerucutkan bibir. "Ini beneran cincin, kan? Bukan permen Chacha?"
"Buka aja kalau nggak percaya."
Terdorong rasa penasaran, Sashi pun membukanya. Ternyata benar, isinya cincin. Dari bentuknya, cincin itu terlihat sederhana. Namun juga diperhatikan lagi, ada banyak liukan super detail dan berlian yang tersemat rapi diantara lekukannya.
"Ini bukan cincin dua puluh lima ribuan kan, Drol?"
"Lo mau meledek ketajiran bokap gue?"
"Nggak, sih." Sashi tertawa. "Ini berlian beneran? Ada sertifikatnya nggak?"
"Ada. Mau?"
"Boleh. Siapa tahu nanti gue butuh duit kan bisa gue jual."
"LO MAU JUAL HADIAH DARI GUE?!"
"Bercanda elah, Drol." Sashi merengut lagi. "Tapi... kenapa lo kasih gue cincin?"
"Lagi kepingin aja. Abis kalau gue kasih voucher gratis makan ramen seumur hidup, bisa-bisa lo overdosis ramen. Jadi gue kasih itu aja. Lagian ya, kata nyokap gue, tujuh belas tahun itu umur yang penting artinya buat cewek-cewek. Berarti sebentar lagi, lo bakal dewasa. Dan perempuan yang udah dewasa tuh bakal banyak banget keperluannya, kayak baju, tas, sepatu, perhiasan. Makanya, gue kasih lo cincin."
"Bener alasannya itu doang?"
Dery berusaha menahan diri untuk menutupi perasaannya supaya tidak terbaca oleh Sashi. "Ngasih kalung udah mainstream. Ngasih gelang apa lagi. Lagian, jari lo sepi."
"Drol, makasih ya..." Sashi berujar sungguh-sungguh. "Gue jadi nggak enak. Berasa ngerepotin."
"Tenang aja, itu murah." Dery membalas cepat yang tentu saja hanya dusta belaka.
Murah bukan sesuatu yang tepat digunakan untuk menggambarkan cincin tersebut. Dery tahu, Sashi bukan tipe orang yang suka show off, jadi dia mencoba meminta desainer perhiasan langganan ibunya untuk membuat cincin yang terlihat sederhana namun di saat yang bersamaan, juga rumit. Permintaanya super ribet, juga Dery meminta pengerjaan yang kilat. Harga cincin itu tidak jauh berbeda dengan harga Pajero model terbaru, sebetulnya.
"Yaudah yuk, pulang." Dery ingin beranjak, namun tangan Sashi menahan lututnya, memaksanya duduk kembali.
"Nanti dulu."
"Mau ngapain lagi?"
"Pakein."
Dery melotot dan tanpa sadar, jantungnya berdebar kencang. Sungguh kurang ajar. Seandainya saja Sashi tahu apa efek yang ditimbulkan oleh permintaannya barusan...
Tapi Dery berusaha kelihatan tidak terpengaruh. Dia mendengus keberatan, walau tangannya tetap meraih cincin dari tangan Sashi dan memakaikannya ke jari manis gadis itu. Agak longgar, namun tidak parah, jadi cincin itu masih bisa melekat di jari Sashi tanpa khawatir akan jatuh. Setelahnya, mereka berdua berjalan bersama menuju gerbang depan sekolah.
Waktu mereka menyusuri koridor sembari melangkah bersebelahan, Dery mendadak terpikirkan sesuatu. "Jadi gimana lo sama Om Jeffrey?"
Sashi tersekat. "Hng... gimana apanya?"
"Hari ini jadwalnya lo nginep di tempat Om Jeffrey, kan?" Dery bertanya hati-hati.
Dia sudah tahu soal kesepakatan antara Jef dan Jo—yang Sashi setujui—selepas peristiwa alergi Sashi yang kambuh tempo hari. Sashi juga sempat bercerita padanya soal bagaimana Jef menungguinya di rumah sakit—meski gadis itu tidak bilang apa-apa soal Jef yang meminta manajernya membatalkan semua jadwalnya hanya untuk Sashi.
"Iya..."
"Bol, gue mau ngomong, tapi lo jangan marah ya?"
"Apaan sih?! Jangan bikin gue takut!"
"Menurut gue... kayaknya Om Jeffrey... gitu-gitu dia juga sayang sama lo."
"Lo ngomong apaan?" Sebagian diri Sashi setuju pada apa yang dibilang oleh Dery, namun tentu saja dia terlalu gengsi untuk mengakuinya terang-terangan.
"Lo mungkin nggak ingat, tapi gue masih ingat. Waktu kejadian ledakan tabung gas itu, lo ketinggalan di dalam. Om Jeffrey udah ditarik keluar duluan, tapi dia balik lagi buat lo. Mukanya panik banget saat dia bawa lo keluar. Lo nggak tahu, selega apa dia ngelihat lo bangun."
Dery salah soal itu. Sashi ingat semuanya. Dia ingat bagaimana dia merasa sedekat itu dengan kematian, hingga dia mendengar suara Jef menyerukan namanya. Juga bagaimana lelaki itu memanggilnya sembari menyentuh pipinya. Sashi ingat. Hanya saja, dia enggan percaya.
"Itu mah kebawa suasana aja, Drol. Namanya juga lagi situasi dramatis." Sashi berkilah, kemudian wajahnya berubah masam kala dia melihat Felix berjalan mendekatinya sambil skipping. Kelakuannya yang terkesan sangat kanak-kanak berbanding terbalik dengan suaranya yang seberat satu tanker batu bara. "Oh, here comes trouble..."
"Mbakyu Sashi!" Felix memanggil, memegang es lilin di tangannya yang sesekali dia jilat. Dia belum sempat mengoceh lebih banyak ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Felix pun menggigit es-nya di mulut, sementara tangannya sibuk merogoh saku, mengeluarkan ponsel yang menjerit.
Felix tengah berniat menjawab teleponnya ketika angin kencang tiba-tiba bertiup, membuat Sashi mengernyit sambil buang muka.
"Anjrit, kelilipan!" Sashi berseru, mengucek matanya.
"Mana sini, gue liat." Dery menyingkirkan tangan Sashi yang sedang mengucek mata sambil mendekatkan wajahnya. "Sini gue tiup. Lo diem dulu!"
Posisi mereka yang terkesan ambigu membuat Felix kontan ternganga sampai es lilin yang dia gigit terlepas dari mulutnya, jatuh begitu saja menghantam permukaan keras lapangan. Wajah Sashi sontak memerah, namun Dery mengabaikannya. Mereka tetap begitu selama beberapa detik berikutnya, mengabaikan tatapan beberapa siswa yang lewat.
Tidak ada yang sadar, bagaimana Ojun yang berdiri tidak jauh dari sana melihat semuanya dan langsung melengos dengan wajah yang memerah.
*
"Kamu kenapa toh, Le? Kok lemes gitu kayak abis party semalam suntuk?"
Tedra yang sedang menyetir bertanya tanpa basa-basi sembari menatap pada anak laki-lakinya melalui rear-view mirror. Di sebelahnya, Joice kelihatan cuek saja, lebih tertarik melarikan jari-jarinya yang barusan dimanicure di atas layar ponsel, tentu untuk membalas tumpukan chat julid dari sobat seperghibahan.
Iya, hari ini yang menjemput Dery di sekolah bukan Kun, melainkan Tedra dan Joice. Tedra sedang kepingin nyetir, katanya ingin mengenang masa-masa susah dulu waktu awal-awal pacaran dengan Joice. Sepasang suami-istri terjulid abad ini tersebut bertemu puluhan tahun lalu di sebuah pesta mewah. Joice datang bersama tunangan yang sudah dijodohkan dengannya, sedangkan Tedra bekerja sebagai petugas valet di lokasi pesta. Segalanya sangat klise, mirip FTV. Tedra membukakan pintu mobil Joice. Joice keluar, tersandung ujung karpet dan hampir jatuh. Tedra menangkapnya. Kemudian, sesederhana itu, dua tahun kemudian Mandala Deryaspati terlahir ke dunia.
Dery lega, soalnya dia sempat mengira Tedra betulan mengirim Kun ke Amerika Serikat buat memperoleh lisensi penerbang. Bukan apa-apa, sih, tapi Dery takut disangka sama gilanya seperti papanya jika dia sampai membangun helipad atau landasan pribadi di sekolah.
"Capek, Pa. Abis senam jantung."
"Senam jantung?" Joice mengangkat alis.
"Iya."
"Ono-ono wae." Joice berdecak. (Ada-ada aja).
"Ma, Aldi iku wes beres durung kuliahe?" Tedra tiba-tiba kepo soal anak kakak sepupunya Joice yang baru-baru ini dikabarkan baru lulus dari Harvard. (Aldi itu udah selesai belum kuliahnya?).
"Uwes. Opo'o?" (Udah. Kenapa?).
"De'e arep kerjo nang ndi?" (Dia mau kerja di mana?).
"De'e nggak kerjo. Jarene Mas Bambang, de'e usaha dewe." (Dia nggak kerja. Kata Mas Bambang, dia usaha sendiri).
"Arep dibukakno pabrik ta karo bapak'e?" (Mau dibikinin pabrik sama bapaknya?).
"Ora. Dadi kurir." (Nggak. Jadi kurir).
"Maksute?" Tedra tidak mengerti. (Maksudnya?).
"Iyo, si Aldi dikek'i hadiah kapal tanker karo koncone Mas Bambang. Sogokan biar mau ngelamar anak perempuannya kali ya." (Si Aldi dikasih hadiah kapal tanker sama temannya Mas Bambang).
"Oh. Jumanji juga itu si Aldi."
"Jumanji ku opo, Pa?"
"Juancok mantap anjing. Bahasa gaul'e Mandala." Tedra menjawab, sok keren biar terdengar seperti anak muda betulan. "Mandala, abis lulus sekolah, kamu mau kuliah apa bisnis? Arep digaweki mall ora?" (Mau dibikinin mall nggak?).
"Nggak usah, Pa." Dery masih lemas, efek tadi masangin cincin ke jari Sashi—dan ditambah meniupkan matanya yang kelilipan.
"Cincin udah dikasih ke Sashi belum?"
"Udah."
"Opo jarene?" (Apa katanya?).
"Bagus."
"Yojelas!" Joice menyambar. "Langganan Mama pasti oke punya. Nanti kalau udah mau tunangan, bilang Mama aja biar tak custom-in sekalian satu set. Kalau bisa sih kembar sama Mama ya biar kerasa gitu aura-aura mertua-menantunya."
"Jadi progress sama Sashi meningkat nih ya, Le?"
"Nggak tahu, Pa. Aku pusing."
"Jangan letoy gitu lah! Sudah saatnya kamu berhenti menunggu! Jangan sampai ntar wes kadung ngenteni, jebule ono seng ngganteni. Bisa buyar blas kowe ndue ati." Tedra jadi bernapsu menceramahi Dery dengan berapi-api. (Ntar udah terlanjur nungguin, eh ternyata ada yang gantiin. Bisa buyar blas hati kamu).
Ya gimana ya... masalahnya ini kalau anaknya betulan bisa menikah sama Sashi... itu artinya dia bukan hanya akan berbesan dengan Keluarga Tirtasana dan Keluarga Gunawan, namun juga Keluarga Gouw.
Itu namanya, sekali dayung tiga keluarga terlampaui.
Mereka bisa-bisa mengalahkan Bill Gates jika mereka bersatu.
"Dipikir nanti aja lah, Pa." Ibarat kata Naruto, Dery sudah kehabisan chakra gara-gara berhadapan dengan Sashi tadi.
"Jangan patah semangat, oke?! Lagian ya, masih lebih sugih kita daripada keluarga pesaingmu itu. Sopo jenenge? Janda?" (Siapa namanya?).
"Juanda, Pa." Dery mengoreksi. "Tapi kalau Sashi naksirnya sama dia, gimana?"
"Papa datengin rumahnya. Papa kasih duit suruh dia jauhin Sashi." Tedra menyahut dengan penuh percaya diri.
"Kayak emak'e Tomingse karo emak'e Sanchai, gitu, Pa?"
"Yoi."
"Dih." Dery sok ilfeel ketika sebenarnya, dia berpikir jika ide Tedra itu patut dipertimbangkan. Untungnya, Tedra teringat topik ghibah baru sehingga mereka tidak lagi membicarakan soal Dery dan Sashi.
"Ma, wes ngrungu pora?! Jarene putrine Yono Gouw arep rabi. Calon bojone wong Jepang. Papa sempat dengar dari Dek—dari Talitha Gouw waktu ke rumahnya Jo tempo hari. Tapi Papa sengaja cari info dulu biar lebih mangstap..." (Ma, udah denger apa belom? Katanya anaknya Yono Gouw mau nikah. Calon suaminya orang Jepang).
"Jenenge sopo?" (Namanya siapa).
"Nakajima Yuta."
"Wuidih, cuanggih tenan Papa iki!"
"Bojomu yo mesti canggih lah, Ma." Tedra tertawa sombong sementara Joice memasukkan nama 'Nakajima Yuta' ke dalam kolom search engine. Hasilnya muncul secara berderet tidak lama kemudian.
"Weis... guanteng, rek! Awakku ora kenal de'e tapi kok ya raine iki minta disayang..." (Weis, ganteng, nih! Aku nggak kenal dia tapi kok ya mukanya ini minta disayang).
"Ma..."
"Ojo jealous lah, Pa! Mama kan guyon tok!" Joice membela diri. (Jangan jealous lah, Pa! Mama kan bercanda doang!).
"Tapi Papa dapet gosip katanya Elmira tuh nggak mau dijodohin."
"Wadoh, seru iki. Jadine piye?" (Jadinya gimana?).
"Belum tahu, tapi semua urusan kita udah aman lah." Tedra membelokkan mobil di sebuah tikungan. "Menurut Mama, kapan kita harus booking tiket ke Jepang? Tiga hari lebih awal aja kali ya, biar nggak disangka ngikutin?"
"Pa, kita kan nggak diundang..." Dery menyela.
"Secepatnya, Pa. Tiga hari juga nggak apa-apa, jadi Mama bisa shopping." Joice menyahut. Keduanya mengabaika ucapan Dery yang kini hanya bisa mengembuskan napas pelan.
Dery capek.
*
Sashi terkejut ketika dia sampai di rumah dan mendapati Jef telah menunggunya bersama Coky.
Dia tidak lupa jika mulai hari ini hingga tiga hari ke depan adalah gilirannya untuk tinggal di tempat Jef. Sejujurnya, Sashi telah menyiapkan barang-barang dalam koper, mulai dari pakaian, seragam sekolah sampai kebutuhan pribadi. Memang agak merepotkan, namun Sashi ingin mencoba untuk... mengenal laki-laki itu lebih jauh. Pasti ada alasan kenapa Tris tidak pernah bisa melupakannya, bahkan setelah ibunya itu memiliki pasangan sah seperti Jo. Juga... karena jauh di dalam hatinya, Sashi merasa apa yang dikatakan Dery itu benar.
Memang, kedengarannya sulit dipercaya, namun... mungkin saja Jef tulus menyayanginya.
Situasi sepanjang perjalanan dari rumah Sashi menuju apartemen Jef masih terkontrol, sebab masih ada Coky yang bisa mencairkan suasana—walau jelas terlihat, Coky belum sepenuhnya 'memaafkan' Jef karena keegoisannya di rumah sakit waktu itu.
Namun segalanya jadi berbeda setelah Sashi ditinggal berdua saja bersama Jef di apartemennya. Sashi tidak pernah berada di ruangan yang sama dengan Jef tanpa bertengkar, tetapi kini mereka sedang tidak punya alasan untuk cekcok. Suasananya jadi canggung, sama seperti ketika Sashi berada satu ruangan dengan Jo. Mereka duduk berjauhan, saling diam, hingga Jef jadi yang lebih dulu bangun dari sofa.
"Saya mau mandi. Di kulkas ada es krim, kalau kamu mau. Nggak ada kacangnya." Jef mendadak berujar dan tanpa menunggu sahutan Sashi, dia langsung masuk ke kamarnya.
Sashi salah tingkah, tapi berhubung dia juga lagi kepingin makan yang manis-manis, dia ikut beranjak dan berjalan mendekati kulkas. Benda itu disesaki bukan hanya es krim, tapi beraneka minuman, makanan dan bahkan ada puding cokelat yang kentara sekali baru dibuat. Puding itu bukan puding biasa, sebab ada lelehan karamel beku di bagian atasnya. Dulu, Tris sering membuatnya karena tahu Sashi menyukai puding cokelat yang seperti itu.
Apa Jef tahu Sashi menyukainya?
Sashi menggeleng. Jelas tidak mungkin. Hanya Tris yang tahu.
Meski begitu, rasa penasaran membuatnya mengambil satu cup dari beberapa cup yang berderet. Dia membawanya dan kembali duduk di sofa, kemudian mencicip sesendok kecil. Sejenak, Sashi dibikin terhenyak.
Rasanya sama dengan rasa puding cokelat yang biasa Tris buat. Sashi menghela napas, makin bingung sekaligus merasa aneh. Sebab... bagaimana bisa?
Sashi memutuskan tidak ingin memikirkannya lebih jauh, jadi dia menghabiskan puding itu. Tak lama, gadis itu kembali berdiri. Tangannya terasa lengket karena terkena karamel, jadi Sashi melangkah menuju wastafel di dapur untuk membasuh tangan.
Semuanya berlangsung normal hingga tanpa Sashi sadari, kontak dengan busa dan sabun membuat tangannya lebih licin. Cincin di jarinya bergeser dan ketika Sashi menariknya, benda itu terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara berdenting dan menggelinding ke bawah wastafel.
Sashi melotot panik, buru-buru merunduk untuk mencari cincinnya, namun kolong wastafel itu sangat gelap. Dia masih meraba-raba, justru meringis ketika kulitnya bersentuhan dengan debu tebal yang menumpuk. Sashi mendesis, mengangkat tubuhnya tiba-tiba tanpa memperhatikan kondisi di sekitar kepalanya, membuat tanpa bisa dihindari, kejedot tepian meja wastafel.
Sashi mengerang tanpa sadar, agak sedikit lebih keras dari yang dia sadari. Gadis itu meringis, masih menyentuh dahinya yang sakit ketika Jef muncul di ambang pintu dapur dengan napas terengah. Lelaki itu mengenakan bathrobe yang tidak ditalikan dengan benar, membuat dadanya yang basah terlihat jelas. Rambutnya masih berhiaskan sedikit busa. Wajahnya juga lembab. Dia kelihatan panik.
"KENAPA?!"
Sashi menoleh, hanya untuk buang muka secara refleks sambil menutup matanya dengan salah satu telapak tangan. "OM, APAAN SIH MUNCUL KAYAK GITU?! OM KIRA OM BINTANG IKLAN L-MEN?!"
"YA KAMU KENAPA TERIAK-TERIAK, BIKIN PANIK AJA!"
"KEJEDOT!"
"KOK BISA?!"
"KOK OM NGE-GAS, SIH?!"
Jef menghela napas, akhirnya mengalah dan merendahkan suaranya. "Kok bisa kejedot?! Kamu ngapain?!"
"Cincin saya jatoh! Ngegelinding ke dalam!"
"Hadeh." Jef berdecak. "Yaudah, sini saya yang ambilin!"
"OM!" Sashi memekik sebelum Jef bisa mendekatinya.
"Apaan?!"
"PAKE BAJU DULU NGAPA?!"
"EMANG KENAP—hng—" Jef mengerjap beberapa kali, menunduk untuk menatap badannya sendiri dan baru sadar kini bagian atas tubuhnya sudah terekspos kemana-mana. Lelaki itu menghela napas, buru-buru berbalik. "Yaudah! Kamu diem aja! Nggak usah ngapa-ngapain! Ntar kejedot lagi!"
"Iye, bawel!"
Jef kembali tidak sampai lima menit kemudian. Dia sudah mengenakan bokser dan kaus warna navy. Rambutnya basah, kelihatan sekali belum dikeringkan. Jejak airnya mengalir ke leher dan bikin bagian atas kausnya lembab, tapi kelihatannya Jef tidak peduli. Dia membawa senter di tangan kanan.
"Senterin yang bener!" Jef berkata sambil mengulurkan senter pada Sashi yang walau cemberut, menerimanya tanpa membantah.
Jef pun merunduk, berusaha melihat ke kegelapan kolong meja wastafel sementara Sashi menerangi kolong dengan senter. Namun tentu saja, bukan Sashi dan Jef jika bisa akur dan bekerja sama dalam damai.
"Senter ke sini!"
"Iye..."
"KAN DIBILANGIN SENTER KE SINI, KOK MALAH SENTER KE SITU?!" Jef mulai nyolot.
"IYE, OMMMM! NGE-GAS AMAT SIH JADI ORANG, HERAN DAH!"
"Kamu juga nge-gas!"
"Om duluan!"
"Halah!"
"Puyeng kan nggak bisa ngebantah?!"
Tapi untungnya, setelah perjuangan panjang dan per-ngegas-an yang super membuang tenaga juga melelahkan urat, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan. Jef memberikannya pada Sashi, yang langsung gadis itu sambar tanpa mau menunggu. Sashi mencuci cincin itu dari debu menggunakan air wastafel sebelum memakainya lagi. Kali ini, sengaja di jari tengah.
"Cincin dari mana itu?" Jef bertanya penuh selidik.
"Badrol."
Wow, gercep juga tuh anak, Jef membatin dalam hati tanpa berkomentar lebih jauh sebab ada suara ketukan di pintu apartemennya. Lelaki itu berbalik dan membukanya. Ternyata, Jennie jadi tamu tak diundangnya sore ini.
"Tumbenan lo—"
Kata-kata Jef tertahan saat Jennie yang sedang cemberut sok manja melangkah mendekatinya, kemudian menyandarkan kepala begitu saja ke dadanya. Tidak, Jennie tidak memeluknya. Perempuan itu hanya berdiri sementara wajahnya terbenam di dada Jef. Dia menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan wangi khas karena Jef habis mandi.
"Lo kenapa, deh?"
Jennie malah ndusel dan mulai merengek. "Gue ki pusing yoo... rasane pengen resign tapi kalau Papa tahu, bisa-bisa aku disuruh balik dan dinikahin sama Jenderal yang barusan ditinggal mati istrinya. Kangen duda anak satu tapi yo gue nggak tahu kudu piyeeeee..."
"Terus kenapa ke sini?"
"Jancokku, pelarianku." Jennie menegakkan tubuhnya, menarik wajahnya dari dada Jef. "Menurut lo, gue harus gimana?"
"Ke gereja, gih."
"Ngapain?"
"Biar pikiran lo jernih sedikit dan sadar kalau duda anak satu itu hanya khayalan semata buat lo."
"WAH, ASU MEMANG IKI UWONG—" Jennie sudah siap menyerang Jef dengan segenap kekuatan ketika Sashi muncul, membuatnya kontan mati-matian mengontrol sisi barbarnya. "—loh, Acacia, kamu di sini?!"
"Lagi bagiannya di sini." Jef menukas. "Langsung jinak gini. Luar biasa memang, the power of pencitraan."
Jennie meringis malu, sementara Sashi hanya tersenyum sedikit. Mudah menduga kalau sebetulnya Jennie naksir pada Jo, tapi entah kenapa... Sashi merasa... agak kurang sreg. Bukan apa-apa, dia hanya tidak siap jika kemudian Jo mengganti sosok Tris dengan orang lain.
Jennie masuk, duduk di depan Sashi dan Jef. Dia melempar beberapa canda, mencoba mencairkan suasana meski ujung-ujungnya curhat juga. Biasalah, Jennie sedang stress dengan pekerjaannya.
"Mau resign, tapi nggak mau jadi selebriti. Capek, ntar hidup gue diatur netizen." Jennie berkata, terdengar setengah mengeluh.
"Jadi youtuber aja, Tante Jen." Sashi mengusulkan.
"Tuh, dengerin kata anak gu—kata ni anak!" Jef berseru dan teringat pada sesuatu yang lain. "Ah ya, nanti lo ikut gue aja ke Jepang buat bikin konten. Di awal, boleh lah gue sukarela jadi bintang tamu di video buat ngisi channel lo. Tapi abis itu nggak gratis loh ya..."
Jennie mengangkat alis, justru salah fokus. "Ke Jepang ngapain?"
"Elmira mau nikah." Jef menjawab, lalu mengalihkan tatapannya pada Sashi. "Sekalian saya tanya ke kamu, kamu bisa ikut, kan?"
Sashi diam sebentar, lantas berkata hati-hati. "Saya... harus tanya Papi dulu."
"Itu urusan gampang. Saya aja yang ngomong."
"Nggak usah." Sashi menolak.
"Oh ya, by the way, soal hadiah ulang tahun buat Sash—" Jennie batal menyelesaikan kata-katanya ketika mendapati Jef melotot, menyuruhnya urung bicara. Di saat yang bersamaan, ponsel Sashi berdering, sehingga gadis itu tidak sempat bertanya. Dia cepat bangkit, berjalan menuju balkon untuk menjawab telepon yang masuk. Orang yang menelepon adalah Jo.
"Acacia, kamu pulang telat hari ini? Kok belum pulang..."
"Papi,"
"Yes, baby girl?"
"Papi lupa ya? Sekarang kan giliran aku nginep di tempat Om Jeffrey."
Senyap sejenak sebelum suara Jo kembali terdengar. "Oh... mm... iya, Papi lupa."
"Pi, aku mau tanya sesuatu."
"Hm, apa?"
"Kata Om Jeffrey, keluarganya ada yang mau nikah di Jepang. Om Jeffrey ngajak aku. Kalau aku setuju, Papi ngizinin nggak?"
Dalam waktu yang lama, hanya ada hening. Jo tidak kunjung menjawab.
bonus
acacia_t
❤️ tedsungreal, erinagp and 87 others
makasih karena udah bikin jari gue nggak sepi lagi @m_deryaspati
m_deryaspati tenang aja, itu murah
tedsungreal mantap... 👍💦👰
m_deryaspati pa... @tedsungreal
erinagp so pretty 💖
felixgouw jadi yang mau rabi itu mbakyu sashi atau mbak @elmiragouw sih? 😕
chan_yeol sashi, penyanyi apa yang suka nggak sadarkan diri?
clara_chan PA IH @chan_yeol
chan_yeol PINGSAN MABO HAHAHAHAHA
jswidara beautiful ring 🙂
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
maap telat wkwkwk
ini seharusnya diposting kemaren tapi aku hilang mood mbikos didemo di instagram jadi yaudah deh diposting hari ini haha tapi ini lebih panjang dari part yang kemaren kok
jadi, kita akan memulai bagian jejepangan hahahahahaha
enaknya saingan si yuta siapa yah? mbikos akan terjadi hal-hal dramatis di jepang.
lalu siapakah yang akan memenangkan pertempuran sengit (yang baru dimulai) antara ojun dan dery?
terus plot twist dery jadian ama cewek jepang wkwkwkwkwkwkwk
apakah coky akan ikut membuntuti jef biar dibawa juga ke jepang demi mengejar hati dek erina?
kita juga sudah melihat sedikit soal masa lalu papi jo dan mami tris hm hm intinya jo itu pria yang sangat berjiwa besar ea
terus apalagi ya hm kayanya udah itu aja.
btw hari rabu aku mau ketemu dosbing doakan semoga revisinya nggak banyak-banyak amat huf
dah kayaknya.
tadinya gaada target tapi yaudah biar enak kuberi target 2,4K masing-masing vote dan comments tuh (kalian tuh cepet dapetin lebih dari itu sumpah aku gaboong).
sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.
ciao.
bonus nakajima yuta
Rumah Pacar Amerikaku, November 9th 2019
20.37
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro