18
Dolan nang Tulungagung, ojo lali mampir ke Kediri.
Nek wes ra dianggep yo tolong mbok sadar diri.
— Talitha Gouw
***
"Thankyou, Om Jeffrey."
Seumur hidupnya, Jef tidak pernah menyangka jika satu kalimat sederhana dari seseorang bisa membuat dadanya sesak seakan ada bunga yang tengah tumbuh dalam paru-parunya. Dia tidak langsung menjawab, justru terdiam. Matanya mengerjap beberapa kali, tidak bisa percaya pada apa yang baru saja dia dengar.
"Om Jeffrey?"
Jef tersentak sedikit kala Sashi memanggil lagi. Laki-laki itu menghela napas, berusaha menguasai diri. Sejenak, yang ada hanya sepi, sampai ponsel Jef tiba-tiba berbunyi. Deringnya berhasil memecah suasana. Sashi membiarkan Jef melepas genggaman pada tangannya dan mengeluarkan ponsel.
"Saya... saya harus terima telepon dulu..."
Sashi tidak menatap Jef waktu dia menjawab, karena fokus matanya berada pada nebulizer di atas meja. Gadis itu meraih mask nebulizernya lagi, berujar sebelum menutup mulut dan hidungnya dengan mask tersebut. "Kalau itu Papi... tolong jangan berantem ya?"
Jef tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia memilih langsung keluar dari ruangan. Tebakan Sashi benar. Telepon yang masuk itu memang dari Jo. Jef memandang layar ponselnya beberapa lama sembari menyandarkan punggung di tembok, lantas menjawab telepon tersebut diiringi satu tarikan napas panjang.
"Halo?"
"Acacia belum pulang." Jo berkata tanpa basa-basi. "Kata Jennie, tadi kalian jalan bareng. Sekarang dia sama kamu?"
"Iya."
Nada suara Jo terdengar jadi lebih sinis waktu dia bicara lagi. "What do you think you're doing? Kita belum sepakat. Kamu nggak bisa bertindak seenaknya dan bawa anak saya ke tempat kamu."
"Listen to me first, can you?" Jef jadi kesal karena Jo terkesan nyolot, namun teringat pada kata-kata Sashi tadi, lelaki itu berusaha menjaga agar suaranya tetap rendah. "Alerginya kambuh. Sekarang dia ada di rumah sakit."
"How can—okay, that's not important now. Kasih saya alamat rumah sakitnya."
"Kamu nggak perlu menjemput. Biar besok pagi saya yang antar dia pulang. Dia butuh tidur sekarang."
"Dan kamu expect saya bakal bisa duduk diam menunggu di rumah sampai besok pagi ketika saya tahu bisa sampai seberapa parah reaksinya setiap dia alergi?"
"Fine, I'll send you the address."
Jo langsung menutup telepon dan Jef beralih membuka aplikasi WhatsAppnya, mengirimkan alamat rumah sakit tempatnya berada. Setelahnya, Jef kembali masuk ke ruangan.
Sashi sudah tidur—atau mungkin lebih tepatnya, pura-pura tidur—ketika Jef melangkah mendekati ranjang tempatnya berbaring. Lelaki itu menatap wajah anaknya sebentar. Dengan satu gerakan sederhana, Jef menarik selimut Sashi, menaikkannya hingga tepi selimut tersebut menyentuh garis leher. Ini kedua kalinya Jef melihat Sashi tertidur seperti itu. Selalu di rumah sakit. Jef penasaran, bagaimana bisa gadis itu masih hidup sampai sekarang ketika dia punya kecenderungan untuk bisa terluka semudah itu.
Kemudian, Jef menyentuh tangannya, melarikan ujung ibu jarinya dalam bentuk usapan lembut di punggung tangan Sashi. Tindakannya membuat Sashi merasa aneh. Selama ini, hanya Tris yang pernah menggenggam dan menyentuh tangannya seperti itu. Dengan mata yang tertutup, Sashi merasa terjebak dalam déjà vu. Jujur saja, walau dia tahu itu Jef bukannya Tris, Sashi menyukainya.
Rasanya seperti Tris menemukan cara untuk kembali ada buatnya, meski melalui orang yang berbeda.
Sashi merasa agak sedikit kecewa waktu Jef melepaskan tangannya. Laki-laki itu kembali duduk. Ruangan diliputi keheningan. Sashi tidak bisa menebak apa yang sedang Jef lakukan, tapi tak lama, dia mendengar Jef bicara. Sepertinya, dia sedang menelepon seseorang.
"Cok."
"Bang, mohon maaf sekedar mengingatkan, gue ini manusia bukan makhluk setengah kalong kayak lo. Gue hanya sadar dan berfungsi di jam yang masuk akal."
"Ini penting. Gue di rumah sakit sekarang."
"Hah, kok bisa?!"
"Panjang ceritanya. Tolong cancel atau tunda semua urusan gue besok buat seharian."
"Bang, neomu mianhae aja ini mah ya, bukan bermaksud kasar atau gimana, tapi abang sadar nggak sih kata-kata dari muncung abang barusan tuh membuat gue ingin berada di samping abang sambil bilang 'paok kau ya!'. Sadar nggak, Bang?"
"Cok—"
"Lo mau sepi job, Bang?"
"Anak gue sakit, Cok."
"Tapi Bang, lo harus professional. Kalau lo dipecat gimana?"
"Biarin. Duit orang tua gue banyak. Gue ganteng, bisa jadi selebgram."
"Wah, inilah sebetul-betulnya definisi dari apa yang dinamakan kimak." Coky menarik napas layaknya Sasuke yang bersiap melayangkan chidori. "LO ENAK, BANG! TAPI GUE GIMANA KALAU LO SAMPAI SEPI JOB?! TARGET GUE NIKAH TAHUN DEPAN NIH, MAMAK UDAH MENGHITUNG HARI!"
"Bodo, Cok. Anak gue lebih penting."
"Bang, lo lupa gue orang mana?"
"Wong edan, kan?"
"Wong Medan, Bang." Coky mengoreksi. "Begini aja, gimana kalau—"
Jef mengabaikan celotehan Coky yang belum selesai dan langsung memutus telepon secara sepihak. Tak berapa lama, ponselnya bergetar. Ada pesan baru yang masuk.
From: Ucok Matondang
Sudah nggak ada otak kau ya, Bang?!
Jef membiarkannya. Ini bukan kali pertama Coky jadi emosi. Tidak perlu diambil hati, sebab sangat gampang bikin Coky baik kembali. Coky itu murahan. Disogok pakai dua botol anggur merah cap orang tua juga lenyap total seluruh kemarahannya. Dia sengaja mematikan ponselnya, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatap Sashi yang masih terpejam dengan penuh perhatian.
Sashi tidak melihat sorot lembut yang tampak di mata Jef, sama seperti bagaimana Jef tidak tahu ada yang berkedut dalam hati Sashi setelah mendengar obrolan lelaki itu dengan Coky.
*
Jennie sengaja datang ke rumah sakit sebab dia bisa menebak Jo pasti akan langsung bertolak ke sana. Dia tahu persis bagaimana karakter Jef, jadi kemungkinan besar jika tak ada yang menjadi penengah, mungkin saja rumah sakit bisa berubah jadi arena pertumpahan darah. Jennie sendiri tidak mengerti kenapa dia rela melakukan itu. Dia harus pergi bekerja jam delapan, tapi malah mengemudi menembus jalan yang sepi menjelang pukul tiga pagi. Entah karena Jo. Atau karena Jef.
Jennie tidak tahu.
Jennie tiba beberapa menit sebelum Jo, dengan kekesalan yang menggunung dalam hati. Sebabnya jelas karena nomor ponsel Jef yang tidak bisa dihubungi—walau itu memberinya alasan buat bisa mengontak Jo buat menanyakan update terkait kabar Jef, yang berbalas alamat rumah sakit. Jef sedang duduk di samping ranjang Sashi waktu Jennie membuka pintu.
Jelas, Jef terkejut.
Jennie tidak bilang apa-apa. Sambil masih berdiri di ambang pintu, dia menggunakan isyarat gerakan jari telunjuk untuk menyuruh Jef mendekat. Jef mengernyit, tapi akhirnya bangkit dan berjalan keluar. Di luar, Jennie langsung menariknya, menyudutkannya ke tembok.
"Ampun, Jen, kalau lagi ngeres tolong cari tempat yang lebih tertutup. Jangan di sini!" Jef berseru dengan suara rendah, bikin Jennie melotot garang.
"Nyoh!" Satu tinjuan Jennie mendarat di dada Jef— "Nyoh!" Tinjuan lainnya mendarat di bahu Jef— "Nyoh!" Tinjuan lainnya di perut Jef.
Jef menyipitkan matanya heran dan menangkap sepasang kepalan tangan Jennie dengan kedua tangannya, ganti menggenggam jari-jari perempuan itu.
"Hey—hey—Cantikku, kalau mau kesurupan bukan begini caranya!"
"KOWE IKU DADI MENUNGSO OJO KOYOK KLOBOT JAGUNG, ISO ORA?!" Jennie nge-gas secara terkontrol karena takut diusir suster.
"Apa hubungannya gue ama klobot jagung, Su?!"
"Sama-sama bikin gatel!" Jennie mendesis. "Gue nelponin lo berulang kali, tapi nggak bisa! Ngeselin tahu, nggak?!"
"Oh, sori. Sengaja matiin HP. Butuh fokus buat jaga anak."
"Najis."
"Tapi kenapa juga lo—"
Kata-kata Jef tidak terteruskan karena perhatian Jennie teralih pada satu arah. Jef ikut menoleh. Wajahnya berubah masam seketika kala dia mendapati sepasang mata milik Jo balik menatapnya. Lelaki itu ada di sana. Penampilannya ketika itu jelas adalah penampilan paling santai yang pernah Jennie lihat. Jo hanya mengenakan kaus lengan pendek dan celana panjang berwarna gelap. Jennie harus menahan dorongan untuk tidak memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Kak Jo'.
"Di mana Acacia?" Jo menembak Jef dengan pertanyaan ketika dia sudah dekat.
"Dia lagi tidur."
"Saya nggak akan ganggu dia."
Jef malah pasang badan di depan pintu. "Di dalam cuma ada satu kursi."
Jo mengernyit. "Kamu mau ngajak saya berantem?"
"Hanya memberi informasi."
"Nada suara kamu—"
"Okay, gentlemen, it's time to cut the shit off." Jennie menyela, langsung menjalankan perannya sebagai pelerai yang baik. Teknisnya, dia sekarang bahkan sampai menempatkan dirinya untuk jadi batas antara Jo dan Jef. Jika salah satu dari mereka mulai berlaku radikal dan mengawali sesi adu jotos, sudah bisa dipastikan, Jennie akan jadi penerima jotosan pertama. "Gimana kalau kalian ngomong baik-baik dulu enaknya gimana dan sementara itu, saya yang menemani Acacia di dalam? Sounds good, isn't it? Okay? Okay."
Jo menatap Jef tajam sambil menelan saliva. Jef tidak mau kalah, balik memandang sengit pada Jef. Jika saja ada medan listrik diantara mereka serupa adegan komik, Jennie pasti sudah mental dan kelojotan sampai gosong karena kesetrum.
"She is right. Let's talk about it."
"Talk about what?" Jo menyahut kasar.
"Let's make a pact."
*
Jennie dibuat terkejut ketika dia masuk ke ruangan di mana Sashi berada dan mendapati gadis itu sedang terjaga. Sashi sedang sibuk memandang langit-langit kamar, langsung mengalihkan pandang kala mendengar suara pintu didorong sampai terbuka. Jennie tersenyum padanya seiring, duduk di kursi kosong yang ditinggalkan Jef.
"Tante Jennie dengar katanya alergi kamu kambuh. Udah mendingan?"
Sashi mengangguk, sempat kelihatan ragu tapi akhirnya tetap lanjut bicara. "Tante Jennie, Papi udah datang ya?"
"Iya. Kenapa?"
"Nggak berantem kan sama... sama... Om Jeffrey?"
"Harusnya nggak."
Sashi mengerjap beberapa kali. "Aku nggak mau Papi berantem sama Om Jeffrey."
Jennie mengernyit, menatap Sashi lebih dalam, seperti ingin menyelami emosi di mata anak perempuan itu. Tapi obrolan mereka tidak langsung berlanjut karena pintu kamar kembali dikuak, walau hanya sedikit. Jef ada di sana, melempar kode melalui tatapan mata agar Jennie keluar sebentar.
"Tunggu di sini ya, Sashi." Jennie berkata sebelum akhirnya beranjak. Di luar, Jef dan Jo sudah menunggu. Keduanya tidak terlihat senang, terutama Jo.
"Jadi apakah para Kisanak sudah selesai berunding?" Jennie bertanya, terdengar agak sarkastik.
"Udah. Sekarang, gue mau minta bantuan lo."
"Bantuan apa?" Jennie jadi curiga.
Jef tidak langsung menjawab, malah membungkuk sedikit hingga bibirnya berada sangat dekat dengan telinga Jennie. Jennie tersekat, terkejut sebab dia tidak menduga Jef akan tiba-tiba membungkuk padanya semendadak itu. Bukan berarti ini kali pertama. Hanya saja... setelah drunk callnya malam itu, Jennie jadi merasa ada yang berbeda diantara Jef dan dirinya. Mungkin dia mengatakan sesuatu yang salah waktu mabuk.
Entahlah, Jennie terlalu takut untuk menerka dan tentu saja terlampau gentar buat bertanya.
Jef membisikkan beberapa kalimat pada Jennie, yang membuat Jennie mengangkat alis seraya melihat pada Jo dan Jef bergantian. "Kalian kira Acacia itu karyawan pabrik?"
"Salahin ni orang." Jef bersungut-sungut, menuding pada Jo. "Dia nggak mau ngalah."
"Bukannya seharusnya kamu yang mengalah? Acacia itu anak saya." Jo balik mengaum.
"Okay, okay, hold up. Let me tell her. Kalian berdua masuk aja sekalian, daripada nguping di sini."
Di luar dugaan Jennie, Jef dan Jo menurut. Mereka mengikutinya seperti siswa patuh yang mendengarkan perintah guru. Sashi sudah tidak lagi berbaring dan telah duduk di kasur ketika mereka masuk. Dia memandang pada Jo dan Jef bergantian, lalu mengembuskan napas pelan.
"Sashi, Tante mau ngomong sesuatu. Tapi ini semua terserah kamu. Kalaupun kamu nggak setuju, kamu tinggal bilang. Nggak akan ada yang maksa kamu. Clear?"
Sashi mengangguk, sengaja enggan menatap pada Jo dan Jef yang berdiri bersebelahan, terlihat diam menunggu dan mengamati. "Kenapa, Tante?"
"Kamu tahu pasti gimana hubungan kamu sama Papi kamu, juga sama si Jan—maksud Tante, sama Om Jeffrey. Rumit, tapi kamu ngerti, kan?"
"You can just go to the point, Tante Jennie."
"Jadi Papi kamu dan si Jan—Om Jeffrey sama-sama nggak mau mengalah. Makanya berantem terus. Jadi... mereka berunding dan bikin kesepakatan untuk ngeluangin waktu buat kamu... secara bergilir. Kayak selama tiga hari dalam seminggu, itu bakal jadi haknya Papi kamu. Tiga hari lainnya, buat Om Jeffrey. Ada switch di akhir pekan. Misalnya, minggu pertama kamu sama Om Jeffrey. Berarti minggu kedua kamu sama Papi kamu." Jennie menjelaskan dengan terbata. "Tapi kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa. Jangan merasa terbebani apalagi jadi merasa harus—"
"Aku mau."
Jo dan Jef sama-sama ternganga, sementara Jennie terbelalak.
"Kamu punya banyak waktu buat pikir—"
"Aku mau." Sashi mengulang sekaligus memotong ucapan Jennie. Suaranya tenang dan wajahnya bersih dari emosi. Dia menelan ludah, ragu-ragu menatap Jef yang kini dibuat terhenyak, sukar percaya ada apa yang baru dia dengar. "Aku... aku mau coba kenal Om Jeffrey..."
Jennie terperangah, sedangkan Jo mengedipkan kedua matanya beberapa kali walau akhirnya dia menghela napas panjang dan tidak membantah keputusan Sashi.
Jef?
Dia sibuk buang muka, menatap tembok untuk menyembunyikan efek dari jantungnya yang serasa nyaris meledak.
*
Sashi diizinkan pulang ke rumah menjelang pagi.
Tentu saja, bukan Jo dan Jef namanya jika dapat berpisah tanpa memulai sedikit keributan lebih dulu. Tadinya mereka ngotot memperdebatkan siapa yang mengantar Sashi pulang hingga lagi-lagi Jef turun-tangan. Dia ngotot menyuruh Jef membiarkan Sashi pulang bersama Jo, sebab toh mereka tinggal serumah dan Jef punya urusan yang harus diselesaikan dengan Coky. Dengan berat hati, akhirnya Jo setuju.
Lagipula bagaimana ya, kalau tetap bersikeras, Jef khawatir badannya bakal penuh bekas cakaran kuku tajam Jennie yang tajamnya bisa menyaingi kuku Wolverine.
Mereka berjalan menuju ke parkiran bersama. Jo bilang dia akan menelepon ke sekolah Sashi sehingga gadis itu tidak perlu berangkat pagi ini. Sashi sempat membantah, merengek sambil bilang dia baik-baik saja, tapi kata-kata tegas Jo dan tatapan kaku Jef membuatnya bungkam. Gadis itu bersungut-sungut, berjalan dengan tangan terlipat di dada.
Waktu mereka menuruni tangga di pelataran depan rumah sakit, entah karena kurang fokus atau apa, Sashi melompati satu anak tangga secara tidak sengaja. Itu membuatnya kaget, sekaligus kehilangan keseimbangan. Dia mungkin sudah terjatuh dengan cara yang memalukan jika Jef tidak cekatan menarik sikunya, kemudian separuh mendekapnya.
Jo mengangkat alis, sedangkan Jef mengembuskan napas lega seraya melepaskan rangkulan lengannya dari pinggang Sashi.
"Watch your step, little one."
Sashi mendengus. "Saya udah bilang, saya nggak suka dipanggil 'little one'!"
"Saya juga udah bilang, saya nggak nyaman dipanggil 'om'." Jef tidak mau kalah. "Enak, kan? Impas."
"Oalah, indeed nggilani iki wong siji."
"If I'm nggilani then you're half nggilani since you're my daughter, okay?"
"Anak lo baru keluar rumah sakit udah diajakin berantem aja!" Jennie berseru, membuat tiga orang di sekitarnya tersentak karena istilah anak lo yang digunakannya buat menyebut Sashi. Jennie sendiri kurang peka, jadi dia santai saja lanjut nyerocos. "Dah, sekarang kita ke mobil masing-masing. Jangan berantem. Sashi, cepat sembuh ya."
"Makasih, Tante Jennie."
"See you later, Jen." Jo berujar.
Otomatis, Jennie jadi mesem-mesem ditahan sebab dia berusaha memperlihatkan ekspresi wajah yang biasa saja.
"See you later."
*
Sashi tidak menduga insiden yang menimpanya kemarin akan membuat Jo batal pergi ke kantor pagi itu. Dia sudah berkata pada Jo jika dia baik-baik saja, namun Jo bersikeras tetap tinggal di rumah. Kecanggungan itu kembali terasa, terutama karena rumah yang sepi membuat bunyi apapun jadi terkesan dua kali lebih berisik. Karenanya, hampir sepanjang hari, Sashi sengaja berdiam diri dalam kamar. Sepertinya, Jo juga mengerti. Lelaki itu tidak memaksa Sashi untuk keluar dan duduk bersamanya di ruang tengah lantai bawah.
Kesunyian rumah terpecah saat menjelang sore, Sashi kedatangan serombongan pengunjung yang dipimpin oleh siapa lagi jika bukan sepupu jabulnya tercinta alias Felix-Tamara.
Sesuai dengan permintaan Felix sehari sebelumnya, dia memang datang menunggangi Lamborghini Aventador bersama Tamara. Keterbatasan kursi yang dimiliki mobil mewah tersebut bukan masalah besar. Kan Lamborghini-nya tidak hanya satu.
Apa yang diinginkan Felix ibarat titah paduka. Tentu saja, bisa terjadi dalam sekejap mata. Jamet-jamet begitu, papanya Felix bisa sangat sakti jika sudah urusan pamer harta. Mirip-mirip sama Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana lah.
Felix datang tidak hanya bersama Tamara, tapi juga bersama Erina dan Talitha. Tadinya mau sekalian ajak Jajang juga, tapi tidak jadi. Kata Talitha, kasihan nanti Sashi shock dan menolak jadi keluarga mereka jika sampai bertemu Jajang karena enggan berelasi dengan jamet berdarah murni.
Jo terkejut, namun bisa menerima kehadiran Talitha dan anak-anaknya dengan baik. Talitha juga tipe orang yang pandai membawa diri dan bisa membuat orang yang dikenalnya merasa nyaman. Sashi terkejut. Padahal, dia sudah senang membayangkan setidaknya kupingnya bisa terbebas dari pekikan Felix selama satu hari. Namun ternyata dia salah.
Suasana bertambah heboh ketika Dery dan Tedra ikut berkunjung dengan alasan ingin membesuk Sashi—dan itu bikin rumah makin ramai. Untung saja, Dery dan Tedra tidak datang dengan grand entrance melalui tindakan ekstrem seperti misalnya sky diving dari atas helikopter yang sedang terbang.
"Mbakyu Sashi, karena Felix tidak tahu Mbakyu Sashi suka buah apa, jadi Felix pusing. Therefore, I bought you the entire buah-buahan seng ono nang Superindo. Mohon diterima ya, Mbakyu Sashi. Ndang get well jadi Mbakyu bisa segera ke sekolah dan bersenang-senang lagi bersama Felix."
"Iya. Makasih ya, Felix." Sashi tersenyum kecut.
Dia tahu, Felix betul-betul telah menganggapnya keluarga. Keluarga Gouw, kelihatannya memang sepeduli itu padanya. Tapi ya tidak pakai memborong satu Superindo juga, kali! Sekali sakit begini, Sashi bisa bikin salad buah buat masyarakat satu komplek.
Sementara anak-anak pada berkumpul sambil duduk di atas karpet, Talitha, Tedra—yang sesekali masih sok tebar pesona pada Talitha—dan Jo duduk berdekatan di atas sofa. Jo sempat mengobrol sebentar dengan Talitha. Tapi obrolannya jadi berlanjut hanya antara Tedra dan Jo ketika Talitha mengecek sesuatu di ponselnya. Apa yang dia lihat membuatnya memanggil Erina yang duduk tidak jauh darinya.
"Erina, kowe belanja opo seh kok iki Mama cek ono tagihan ngantung selawe juta sekian?" (Erina, kamu belanja apa sih kok ini Mama cek ada tagihan 25 juta sekian?).
"Hah? Ora ono idea, Mam. Lali aku." (Wah, nggak tau, Mam. Aku lupa).
"Oalah yawes, sek tak cek." Talitha mendial nomor customer service bank penyedia kartu kreditnya yang khusus diberikan buat Erina, kemudian menempelkan ponselnya di telinga. Suara renyah seorang perempuan menyapa. "Siang, Mbak. Iya ini dengan saya sendiri. I wanna ask something related to my credit card. Iku opo ono tagihan selawe juta. Putriku lali belanja opo."
"Baik, Bu Talitha. Tunggu sebentar ya, akan kami cek." Talitha menunggu dan jawabannya datang sejenak kemudian. "Terimakasih sudah menunggu. Ternyata, itu bukan tagihan, Bu Talitha. Itu Bu Talitha kelebihan bayar."
"Oh, tak kira apa. Oke, makasih ya, Mbak. Have a nice day."
"Terimakasih kembali, Bu Talitha."
"Opo'o, Ma?" Erina bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Rapopo. Kamu kalau shopping lain kali dicek lagi, dong. Jarene iku dudu tagihan tapi kelebihan bayar."
"Piro sih?" (Berapa sih?).
"Selawe." (Dua lima).
"Ah, selawe tok." Erina mengabaikan peringatan Talitha. Perhatiannya tersita ketika ponselnya tiba-tiba bergetar tanpa henti. Erina melirik layar ponselnya, lantas memilih opsi reject. Telepon lain dari nomor yang sama kembali masuk. Erina bereaksi serupa, kemudian melakukan cara ekstrem dengan mematikan ponselnya. (Ah, dua lima doang).
"Sopo, Nduk?"
"Sony."
"Oh, he's still trying to get you back?"
"Kinda." Erina membalas cuek.
"Jarene Papa, Sony iku arek berkemauan keras. But to me, he's just a stupid cheater." Talitha berdecak, mulai julid. "Tuolol pula. Nek wes pegat, wes ra dianggep ya tolong mbok sadar diri." (Tolol lagi. Kalau udah putus, udah nggak dianggap ya tolong sadar diri).
"Tau tuh, Ma. Kasih tahu lah. Capek aku ditelepon mulu."
"Tapi ya nggak bisa menyalahkan dia juga sih. Wedok koyok putrine Mama kan truly one in a million." Talitha berujar, agak pongah. "By the way, Felix sama Tamara dari minggu kemarin ngerengek ke Mama. De'e arep ndelok pengwin seng nang Jepang iku. Tapi Mama males nganterno. Kalau kebun binatang Jepang'e Mama undang ke rumah gitu, bisa ndak yo? Bawa pengwin dari sana."
(Anak perempuan kayak putrinya Mama kan memang satu diantara sejuta). (Dia mau ngeliat penguin yang ada di Jepang itu, tapi Mama males nganterin).
"Nggak tahu, Ma. Coba ditanya aja."
"Oh, atau nggak usah. Mama baru ingat, dua minggu lagi kita mesti ke Jepang."
"Mama?"
"Kita semua. Papa juga."
"Hah, mau ngapain?"
"Kowe lali a? Mbak Elmira kan arep rabi. Calon bojone wong Jepang. Blasteran Indonesia sih." Talitha makin asyik mengobrol dengan anak tertuanya, tidak menyadari bagaimana diam-diam, Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana bersetia menguping dengan kemampuan multitaskingnya tercanggih abad ini.
(Kamu lupa ya? Mbak Elmira kan mau nikah. Calon suaminya orang Jepang).
"Lha, beneran jadi? Emang Mbak Elmira mau?"
"Kayak nggak tahu Pakdhe Yono-mu aja. Apa yang de'e bilang kan harus jadi kenyataan. Tapi untungnya ganteng, sih."
"Ganteng mana ama Papa?"
"Papamu tuh nggak bisa disaingin sama siapa-siapa, Nduk. Kok ya masih ditanya?"
"Oiya, Ma. Sorry."
"Nah, pokoknya siap-siap lah. Mama rencananya pengen shopping sih soalnya kita kan pasti foto-foto. Outfit of the day Mama nggak boleh membosankan soalnya pasti bakal di-repost sama admin Line Today."
"Iya, Mam."
"Iyo opo?"
"Nanti shopping."
"Sip, itu baru anak Mama. Lagian, kamu nyadar nggak sih, Nduk? Kamu tuh akhir-akhir ini terlalu irit. Pokoknya nanti shopping ama Mama lah, tak pilihke outfit seng lagi nge-trend."
Demi kewarasan kita bersama, sekian dulu obrolan antara Talitha Gouw dan anaknya.
*
Para tamu Sashi baru berpamitan saat hari sudah menjelang petang.
Sashi mengantar mereka sampai ke teras, sengaja menunggu sampai mobil yang dikendarai oleh mereka melaju dan menghilang di tikungan. Jo turut-serta, menemaninya. Mereka berdiri di teras beberapa lama, sampai Sashi tersadar kini dia dan Jo kembali berdua saja. Kecanggungan itu lagi-lagi mengerjap.
"Aku... kayaknya mau ke toilet..." Sashi berkata salah tingkah pada Jo, lalu buru-buru berjalan masuk ke dalam rumah. Dia masuk ke toilet, sengaja berlama-lama untuk menenangkan diri. Rasanya dia ingin kembali berdiam diri di kamar, namun Jo pasti memanggilnya turun untuk makan malam.
Sejenak, Sashi berdiri di depan cermin wastafel dengan tangan bertumpu pada meja marmer. Wajahnya kelihatan agak lelah. Juga pucat. Sashi menghela napas, terkadang tak suka karena dia punya beberapa kemiripan dengan Mami—membuatnya semakin merindukan perempuan itu.
Akhirnya, Sashi memutuskan membasuh wajah.
Namun entah karena sial atau apa, air keran mendadak mati ketika wajah Sashi masih penuh busa sabun. Gadis itu mengetukkan jarinya pada keran yang hanya meneteskan sedikit air dengan gusar. Dia mengernyit, berusaha membuka mata tapi langsung menutup matanya rapat-rapat karena pedih akibat busa sabun. Gadis itu melangkah mundur, niatnya ingin mencari kenop shower, namun malah berakhir menubruk bagian tepi meja wastafel yang keras.
Tanpa sadar, Sashi mengaduh kesakitan.
Suaranya terdengar oleh Jo yang mengetuk pintu kamar mandi dengan agak gusar sejenak kemudian. "Sayang, you okay?"
"Airnya mati, Pi—aku—"
"Papi boleh masuk?"
Sashi mengiakan tanpa pikir panjang. "Masuk aja, Pi."
"Astaga..." Jo bergumam begitu dia membuka pintu. Dengan cekatan, lelaki itu meraih salah satu siku Sashi dengan lembut, membawanya untuk duduk di tepi bathtube. Dia memutar keran yang mengalirkan air. Tangan kirinya memegangi dagu Sashi, membuat wajah gadis itu menghadap padanya. Sedangkan tangan kanannya menampung air yang mengalir, menggunakannya untuk membersihkan wajah Sashi dengan perlahan.
Lambat-laun, busa sabun tercuci bersih dari wajah Sashi.
"Try open your eyes."
Sashi membuka mata dan hal pertama yang dia lihat adalah wajah Jo.
"Thankyou, Papi."
"Kenapa airnya bisa mati ya?" Jo bergumam sambil beranjak dari tepi bathtube, menatap heran pada keran wastafel yang mati. "Tapi yaudah, kamu nanti pake toilet lantai dua aja. Kayaknya perlu dicek sama Pak Sulaiman."
"Iya, Pi."
Jo menarik beberapa helai tisu dari kotak di samping keran wastafel, menggunakannya untuk mengeringkan wajah Sashi. Sejenak, dia diam, mengamati wajah anak perempuannya.
"Papi baru sadar sesuatu."
"Mm?"
"Kamu udah gede. Dan makin mirip sama Mami."
"..."
"Pasti banyak yang naksir ya di sekolah?"
Pipi Sashi merona. "Nggak, ih!"
"Kalaupun iya juga nggak apa-apa." Jo tersenyum. "Asal jangan jadi kayak Mami."
"Maksud Papi?"
"Jangan bikin banyak orang patah hati."
Sashi terperangah sebentar, tapi ketika senyum Jo makin lebar, mau tidak mau dia ikut tersenyum. Jo beranjak sejenak setelahnya, keluar dari toilet lebih dulu diikuti Sashi.
"Oh ya, Acacia, Papi udah bikinin susu buat kamu."
"Hng... oke..."
"Jangan khawatir. Kali ini Papi ngasihnya gula kok, bukan garam."
"Oke, Pi." Sashi mengiakan, berniat untuk bergerak menuju dapur ketika Jo mendadak memanggilnya lagi, bikin langkahnya terhenti.
"Acacia,"
"Iya, Pi?"
"Kalau ada apa-apa... lain kali... kamu bisa kasih tahu Papi. Oke?"
"Iya, Pi."
"Terus—" Jo tersekat, kehilangan kemampuan untuk meneruskan kata-katanya.
"Terus apa, Pi?"
Jangan tinggalin Papi, ya?
Namun bukan itu kata-kata yang keluar dari mulut Jo. "Jangan capek jadi anak Papi ya? Papi minta maaf kalau Papi terkesan nggak pernah ada untuk kamu."
Sashi mengernyit, entah kenapa tiba-tiba disergap rasa bersalah. Selamanya, aku mau jadi anak Papi. Itu yang ingin dia ucapkan. Tapi suaranya tidak mau keluar. Malah, dia justru tersenyum dan mengangguk. Setelahnya, Sashi berjalan menjauhi Jo menuju dapur, tidak menyadari bagaimana Jo menatap punggungnya sambil mengembuskan napas pelan.
Patricia, I lost you to him.
Should I lost her too?
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
wow malam sekali mohon maapkeun.
eak ada yang membuka hati dan ada yang cemburu.
ternyata hubungan bapake dengan bapake yang lain dan anake bisa seribet ini ya namanya juga aku.
mohon maaf atas segala keterlambatan.
terus apa ya hm chapter ini nggak usah dikasih target deh, soalnya gue ada flight tanggal 7. cuma, karena aku baik hati, opsinya adalah dilanjut tanggal 8 atau tanggal 10. tergantung seberapa banyak yang vote dan comments di chapter ini ea ea
dah kayaknya itu aja dulu deh.
sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao
bonus tammy calon pacarnya _ _ _ _ ((ea siapa ni)) ((dery apa ojun ni))
Nang Omah, November 5th 2019
22.07
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro