16
Ibarat pizza, kamu itu pizza restoran dengan crust berisi mozarella.
Sedangkan aku hanya pizza-pizza-an bertabur keju Kraft yang dilumuri sambal Sasa.
— L. Sahala Matondang
***
"Om nggak pulang?" Sashi bertanya begitu setelah anggota Keluarga Gouw yang lain meninggalkan rumahnya.
Mereka menghabiskan sisa malam untuk merayakan hari ulang tahun Sashi. Suasananya sangat ramai, sebab Tedra dan Joice turut serta. Tidak mau setengah-setengah menunjukkan dedikasinya sebagai calon besan terselubung yang baik, Tedra bahkan mendatangkan dua sushi chef professional untuk menyajikan makanan buat mereka semua. Acara makan-makan yang awalnya menyenangkan berubah jadi kompetisi gila-gilaan antara Tedra dan Jajang—yang usai menerima pengaduan Felix lewat telepon—langsung mengirimkan beraneka ragam makanan terlezat dari restoran bintang lima di Jakarta. Jika Sashi tidak turun tangan jadi wasit, kemungkinan besar rumahnya bisa saingan dengan restoran buffet Hotel Mulia.
Jef mengangkat alis, tidak mempedulikan kehadiran kedua orang tua Jo yang masih seruangan dengan mereka. "Kamu ngusir saya?"
"Nanya. Sensi amat sih?"
"Suara kamu sarkastik."
"Suara saya emang begini!" Sashi menyipitkan mata sambil melipat tangan di dada. "Pulang aja gih. Udah ada Opa sama Oma saya di sini."
"Saya tidur di sini malam ini."
"Nggak ada kamar yang mau nampung om."
"Ada kamar tamu—" Opa berusaha menjelaskan, namun Sashi telah keburu berpaling padanya sambil tersenyum kelewat lebar—yang jelas saja, punya maksud lain.
"Kamar tamu cuma buat tamu, Opa. Om ini bukan tamu."
"Kayaknya saya harus nanya lagi. Mau sampai kapan kamu panggil saya 'om'?" Jef malah fokus pada sesuatu yang lain.
"Tunggu matahari meledak dulu kalau om kepingin saya panggil 'ayah' atau sejenisnya." Sashi memutar bola mata, jelas menuai respon dari kakek-neneknya.
"Acacia, kamu nggak boleh begitu." Oma berujar, memperingatkan. "Mami kamu nanti sedih loh kalau dia tahu kamu bicara begitu sama... sama... Om Jeffrey."
"Sedih kalau tahu aja, kan? Mami nggak akan tahu, kan udah nggak di sini."
"Not that I want you to call me 'father', though." Jef menukas. "Saya masih muda. Belum menikah. Apaan banget juga dipanggil 'bapak' sama anak segede kamu. Tapi panggilan 'om' tuh nggak enak didengar, bisa bikin orang mikir macam-macam."
"Terus mau dipanggil apa? Jancok?"
"Sashi!" Oma memanggil, nada suaranya meninggi.
"That nickname is taken." Jef langsung teringat pada Jennie. "It's okay. Saya bisa tidur di sofa atau dimana kek. Dan nggak apa-apa Pak, Bu," Jef berpaling pada kedua orang tua Jo. "Namanya juga remaja. Lagi tahap pencarian jati diri. Saya ngerti. Silakan istirahat, soalnya ini juga sudah larut malam."
"Pencarian jati diri, my ass."
Jef berdecak. "Di luar luka-luka yang masih ada di kaki dan tangan kamu, kayaknya kamu sudah cukup sehat, terlihat dari gimana jagonya kamu membantah kata-kata saya."
"Terserah deh."
Sashi berbalik, mengembuskan napas pelan sambil menggigit bibir. Sebenarnya, dia lebih suka jika Jef tidak bermalam di rumahnya. Jo pasti akan pulang malam ini. Sashi tidak mau keduanya bertengkar apalagi gara-gara dia. Namun tentu saja, Jef bukan tipe orang yang mudah diajak bekerja sama.
"Wait."
Sashi batal naik ke lantai dua. "Apa lagi?"
Jef berjalan mendekat, meraih pergelangan tangan Sashi untuk melihat lukanya yang kini menyisakan jejak lepuhan. Sashi mengernyit, merasa aneh sendiri karena perhatian Jef yang tidak biasa dia terima, sontak langsung menarik tangannya.
"Kamu belum pake salepnya."
"Nanti."
"Saya udah bilang kamu harus pake salep luka itu sejak tadi sore."
"Lupa. Males. Nanti."
"Sini saya pakein."
"Ogah."
"Acacia,"
Sashi mendelik, mengabaikan Jef dan cepat-cepat melangkah menuju tangga. Jef masih memanggil namanya beberapa kali. Suaranya tegas dan penuh penekanan, tapi Sashi tidak menoleh sama sekali. Dia langsung masuk ke kamar, menutup pintunya rapat-rapat dan menyandarkan punggungnya di sana. Dia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang hangat pecah dalam dadanya. Gadis itu menarik napas, menunduk dan memandang pergelangan tangannya yang tadi diraih Jef.
Hampir sepanjang hidupnya, Sashi hanya punya Tris. Jo nyaris tidak pernah menggenggam tangannya. Mereka selalu berkomunikasi via perantara. Jo akan bertanya pada Tris soal apa saja yang dilakukan gadis kecilnya sepanjang hari dan Sashi akan melakukan sesuatu yang sama setiap kali dia penasaran kapan ayahnya pulang. Tidak pernah ada kontak fisik berlebihan. Ketika Sashi masih kanak-kanak, Jo kerap mencium pipinya usai Sashi meniup kue ulang tahun. Namun setelah Sashi remaja, Jo tidak pernah lagi melakukannya—setidaknya, tak pernah saat Sashi benar-benar sadar atau tidak sedang tertidur.
Cara Jef memperhatikannya belakangan ini... membuat Sashi merasa seperti tengah menerima perhatian dari seorang ayah. Perhatian yang tidak pernah benar-benar dia dapatkan dari Jo sebelum Tris tidak ada. Setidaknya, tidak secara terang-terangan.
Tapi Jeffrey Gouw bukan ayahnya.
Buat Sashi, ada perbedaan yang besar antara laki-laki dan seorang ayah. Jef boleh saja berkontribusi terhadap eksistensinya di dunia ini, namun sosoknya hanya sebatas orang asing. Dia tidak pernah ada sebelumnya. Bukan dia yang mengantar Sashi pergi imunisasi. Bukan dia yang membantu Sashi belajar berjalan. Bukan dia yang menunggui Sashi sepanjang malam ketika gadis itu demam. Dan yang lebih pasti, bukan dia yang Sashi panggil dengan sebutan 'Papi'.
Orang itu adalah Jo.
Ada banyak pikiran berjejalan dalam benak Sashi, membuatnya tidak bisa tidur. Dia masih melamun di depan jendela kamar yang sengaja dia buka ketika dia mendengar suara mobil masuk garasi. Tak berapa lama, pintu depan terbuka diikuti bunyi roda koper yang beradu dengan lantai. Sashi mengernyit, memasang telinga baik-baik.
Itu pasti Jo.
Dan benar saja, itu memang Jo, sebab tak lama setelahnya, Sashi mendengar suara perdebatan dua lelaki yang terdengar sama-sama marah.
*
Jef penasaran, apakah keadaannya akan jauh lebih mudah jika anaknya laki-laki?
Bisa saja iya. Predikat makhluk paling sulit dimengerti tidak disematkan pada perempuan tanpa alasan, kan? Jef sudah berhubungan dengan banyak perempuan, terutama saat dia dan Jennie masih sama-sama kuliah, entah itu pacaran dalam waktu singkat hingga friends with benefits. Dia paham kalau perempuan memiliki karakter yang berbeda-beda, namun mereka semua bisa sama-sama membingungkan jika sedang kesal atau sensitif karena datang bulan. Biasanya, Jef selalu bisa mengatasinya. Sayangnya, segala yang dia tahu soal perempuan seperti tidak berguna ketika dia berhadapan dengan Sashi.
Punya anak perempuan memang melelahkan.
Jef masih berbaring di sofa dengan kaki menggantung di udara tatkala ponselnya mendadak berdering. Ada telepon masuk. Itu dari Jennie.
"Halo?"
Jef disambut oleh suara tangis yang mampu membuat satu kawanan harimau mengamuk. Mau tidak mau, dia mesti menjauhkan ponsel dari telinganya. Bukan apa-apa, kesehatan kuping dan mentalnya harus dilindungi.
"Jen, what's wrong?" Jef baru bicara lagi saat dia merasa Jennie telah lebih tenang.
"Lha, opo mesti ditakon, Cok? Obviously I'm not okay. Nek atiku iki okay, aku yo ora nangis koyok ngene. Jancokku ki sekarang goblok tenan yo."
"You're drunk." Jef bisa memastikan itu. Ini bukan yang pertama kalinya Jennie meneleponnya dalam keadaan mabuk. Racauannya tidak terkontrol dan kadang dia merengek seperti bayi. Bukan sesuatu yang enak didengar, tapi Jef tidak pernah mematikan telepon lebih dulu. Dia tahu, Jennie membutuhkannya. "What happened."
"Is it wrong for me to like someone, Gouw?"
Oh, mellow Jennie has made a comeback, Jef membatin. "Kenapa sama si duda?"
"Nothing wrong. He's kind. What a gentleman. Gue dijagain waktu konser. Dia bahkan mastiin gue sampai ke hotel dengan selamat walau dia bisa langsung cabut ke airport dari venue." Jennie meracau. "Sifat'e de'e iku ancene iso gae nyaman." (Sifatnya itu dasarnya bisa bikin nyaman).
Jef memutar bola mata. "Iyo, gae nyaman kabeh uwong." (Iya, bikin nyaman semua orang).
Jennie merengut di seberang sana. "Exactly. And that makes me sad—" kata-kata Jennie terputus oleh suara 'jledug' yang cukup keras, disusul erang kesakitan perempuan.
"Lo lagi ngapain, sih?" Jef bertanya, agak khawatir.
"Barusan kejedot, anjing."
"Kejedot anjing?"
"Kejedot tembok koma anjing. Anjingnya buat lo." Jennie mendengus, merutuki Jef sepuas hati.
"Oalah, mampus."
"Khawatir kek! Kalau gue gegar otak gimana?"
"Seenggaknya ada kemungkinan otak lo bisa geser ke tempat yang lebih benar." Jef malah mencerca. "Terus kenapa sama si duda?"
"Dia... kayaknya dia emang baik sama semua orang ya? Gue tuh udah kege-eran, tapi setiap dia bikin gue ngarep, tiba-tiba dia ngomongin mendiang istrinya. Apalah gue yang hanya bisa berpura-pura tegar padahal nang njero ati wes ambyar sa-ambyar-ambyar-e ambyar."
"Sukurin."
"Kok sukurin?!"
"I said it before. He's out of your league. Laki-laki baik-baik kayak dia seleranya bukan lo. dituturi ora di reke'n. Salah lo sendiri, jadi orang kok methel amat."
Jennie menangis lagi. "Terus awakku ki kudu how?"
"Sleep it off. Besok pas udah sober, lo pasti nyesal udah nelepon gue sambil nangis-nangis hanya karena tuh orang."
"I can't lose him..."
"Jen, you can't lose what you don't have."
Itu menohok, namun apa yang Jef dengar berikutnya malah suara tawa Jennie yang awalnya tinggi, hingga lama-lama bertransformasi jadi isak samar.
"You alright?"
"Gouw."
"What?"
"Kenapa selalu dia?"
"What?" Jef masih tidak mengerti.
"That woman. Patricia. Kenapa setiap laki-laki yang gue suka, selalu sayangnya sama dia? Don't you think I deserve to be loved too?"
Jef terdiam beberapa lama, berusaha mencerna maksud kata-kata Jennie. Tapi dia tidak bisa sampai pada kesimpulan yang dia harapkan. "Jen, go to sleep. You're drunk."
Telepon dimatikan, membuat Jef menarik napas panjang—oh, dia bahkan tidak sadar kalau dia sudah menahan napasnya beberapa lama. Ada kerut muncul diantara kedua alisnya sementara kepalanya memutar ulang apa yang baru dia dengar dari Jennie.
Kenapa setiap laki-laki yang gue suka, selalu sayangnya sama dia?
Apa maksudnya?
Jef tidak diberi waktu berpikir lebih lama karena perhatiannya tercuri oleh suara mobil yang masuk garasi. Itu pasti Jo. Benar saja, hanya butuh kurang dari lima menit bagi Jo untuk muncul. Dia terlihat semi-formal, dengan kemeja putih yang digulung sampai siku namun tanpa dasi. Dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka dan rambutnya lebih berantakan dari biasanya.
"Welcome." Jef menyapa sinis, membuat Jo melepaskan tangan dari gagang kopernya.
"What are you doing here?"
"Taking care of my daughter. What else?"
Mata Jo menyipit pada kata-kata Jef. "Thanks, I guess? Now that I'm already here, you can leave."
"I think you want to talk about it like a true man with me."
Jo mendengus. "Fine, then. Sejak kapan kamu merasa berhak mengambil keputusan untuk Acacia? Dia anak saya."
"So much for someone who claims to be her so-called father." Jef mengedikkan bahu. "Selama beberapa hari ini, kamu ada di mana? Waktu insiden pohon tumbang tempo hari, apa kamu ada di sini buat menjaga dia? Nggak. Ketika dia ulang tahun, apa kamu peduli kue ulang tahun seperti apa yang dia inginkan? Nggak. Dia merayakan ulang tahunnya dengan baik hari ini. Coba sejenak kamu pikir, kalau nggak ada saya, apa yang dia bakal sesenang hari ini? Mungkin nggak. Mungkin dia akan merayakan ulang tahunnya sendirian, tiup lilin sendirian sambil berharap kalau ibunya masih ada dan ayahnya nggak sesibuk itu."
Jo mengepalkan tangan. "You know nothing."
"Senang nggak nonton konser sama teman saya?"
"Saya menghormati kamu sebelumnya karena kamu adalah salah satu orang yang berarti buat Patricia. Juga karena, damn, saya betulan nggak suka mengatakan ini, tapi juga karena Acacia nggak akan ada tanpa kamu. But you crossed the line. Di luar hubungan kamu dengan istri saya di masa lalu, kamu hanya orang asing buat saya dan Acacia. Kamu nggak berhak bicara begitu."
Jef memandang Jo sengit, tadinya berniat menyerang lelaki itu dengan kata-kata kasar saat ibu Jo keluar dari kamarnya. Perempuan itu tampak khawatir, menatap bergantian pada Jef dan anak laki-lakinya. Jef menghela napas panjang, berupaya menekan emosinya.
"Next time kamu sok tahu kayak gini lagi, saya akan berpikir ulang untuk mengizinkan kamu ketemu sama Acacia."
"What the fuck?!"
"Secara hukum, saya ayahnya. Saya berhak melakukan itu." Jo berdecak. Dia berniat melangkah menuju tangga yang akan membawanya ke lantai dua saat Jef memanggil. Tentu saja, Jo menoleh dan refleks menangkap kantung plastik yang dilemparkan Jef padanya dengan satu tangan.
"Put the ointment on her burns."
Jo tak menjawab dan meneruskan langkahnya.
*
Sashi masih duduk di depan jendela ketika Jo masuk tanpa mengetuk pintu—berasumsi jika Sashi sudah tidur. Sashi tersekat, menoleh dan mengerjap beberapa kali. Sebagian dirinya menyuruhnya bangkit dan memeluk Jo karena harus diakui, dia merindukan lelaki itu. Tapi separuh dirinya yang lain, berkeras itu akan membuat suasana terlampau canggung. Akhirnya, Sashi memilih tetap duduk.
"Kok belum tidur?"
"Belum ngantuk."
Jo menghela napas, berjalan mendekati anaknya dan meraih lengan gadis itu. Matanya memperhatikan luka di kaki dan tangan Sashi sejenak. Kemudian tangannya berpindah ke dahi Sashi, mengecek suhu tubuhnya. Usai memastikan temperatur tubuh Sashi berada dalam kategori normal, Jo berjongkok di depan Sashi dan mengeluarkan tube salep dari dalam kantung plastik berhiaskan logo rumah sakit.
"Pi, aku bisa pake sendiri."
"Biar Papi yang pakein." Jo menyahut, matanya terfokus pada luka Sashi. Sashi menggigit bibir, diam saja karena dia bingung harus berbuat apa. Tiba-tiba, Jo menengadah untuk menatapnya, membuat Sashi langsung salah tingkah. "Ada luka di hidung kamu."
Sashi menyentuh batang hidungnya. Ah ya, tadi secara tidak sengaja, dia membentur tepi meja gara-gara Felix. Benturan itu meninggalkan luka gores kecil berwarna kemerahan. Felix sudah meminta maaf dan Jef telah memberikan plester lukanya—tadinya lelaki itu berniat memakaikan plester ke batang hidung Sashi yang tentu saja tidak jadi karena Sashi menolak mentah-mentah.
"Ah ya. Tadi kebentur meja."
"Papi cuma ninggalin kamu beberapa hari dan kamu udah banyak luka begini." Jo bangkit, mengulurkan tangannya untuk mengambil plester luka yang dilihatnya tergeletak di atas meja Sashi. Jemarinya menyobek kemasan plester itu, lalu dia beralih pada Sashi dan membungkuk, menempelkan plester itu di atas bagian kulit yang tergores.
Sudah lama sekali sejak Jo sedekat itu dengan Sashi. Sashi menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus, tanpa sadar menarik napas dalam-dalam ketika bagian depan kemeja ayahnya berada sangat dekat dengan hidungnya. Wangi parfum Jo yang samar menyentuh indra penciumannya. Aroma yang familiar, membuat Sashi merasa benar-benar pulang. Terasa melegakan, terutama setelah berhari-hari, Sashi merasa dikelilingi oleh rasa asing dan orang-orang yang tidak dia kenal.
"Pi."
Jo menatap Sashi. "Hm?"
Sashi ragu, tapi akhirnya dia tetap bicara. "Jangan marah sama... jangan marah sama... Om... Jeffrey."
Jo mengangkat alis. "Kenapa?"
"Soal Om Jeffrey nggak ngasih tahu Papi... itu aku yang minta. Aku nggak mau Papi khawatir. Nanti ganggu kerjaan Papi di sana."
Jo mengerjap beberapa kali. "Kenapa kamu mikirnya gitu?"
Sashi menunduk. "Maaf ya, Pi. Salahku. Jadi jangan berantem sama Om Jeffrey."
"No, don't say sorry." Jo menyergah seraya berjongkok lagi di depan Sashi, membuat mata mereka berada dalam level yang sama. "Acacia, lihat Papi."
Sashi menurut, memandang lelaki yang ada di depannya.
"Babygirl, happy birthday."
Sashi ingin menangis, entah kenapa.
"Papi punya hadiah, tapi kamu buka besok aja ya. Sekarang udah mau lewat tengah malam." Sashi mengangguk, kembali ragu-ragu dan ketidak-yakin-annnya terbaca jelas oleh Jo. "You have something you wanna say?"
"Aku... peluk Papi ya? Boleh nggak?"
"Come here."
Sashi tidak membuang waktu, langsung beranjak sedikit dan mendekap Jo. Dia menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu, sementara tangannya melingkari pinggang Jo erat. Jo balik memeluknya, menyusuri rambutnya dengan jari dan secara diam-diam, menjatuhkan kecupan ringan di puncak kepala anak perempuannya—kecupan yang tak bisa Sashi lihat dan hanya samar terasa.
"Jadi, ada cerita apa hari ini?" Jo bertanya setelah pelukan mereka terlepas.
"Nggak ada yang spesial, sebenarnya. Cuma aku... kenalan sama beberapa sepupu baru. Terus makan-makan di sini. Sama Om Tedra dan Bad—sama Dery juga. Tiup lilin. Ada yang ngasih aku kue ulang tahun red velvet cake."
"It seems you had fun today."
"Yap!"
"Papi senang."
"Pi."
"Hm?"
"Makasih udah pulang hari ini."
"Anything, babygirl. Anything."
"Pi."
"Iya?"
Aku sayang Papi.
Tapi kata-kata itu seperti tidak mau meluncur keluar darinya. Sashi akhirnya hanya menggeleng dan tertawa. "Nggak apa-apa."
Mereka tidak sadar bahwa di luar pintu, Jef menyaksikan segalanya sambil memandang iri.
*
Berhari-hari lewat sejak peristiwa itu dan jujur, Sashi merasa keadaan mulai membaik. Pemberitaan akan insiden kompor meledak yang memakan korban mulai berkurang. Luka-lukanya perlahan sembuh. Jo masih sesibuk biasanya, tapi Sashi menyadari bagaimana lelaki itu selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama Sashi di pagi hari juga pulang sebelum jam makan malam. Sashi senang, meski di saat yang sama, dia juga masih merasa canggung. Dia dan Jo sama-sama tidak pandai memulai obrolan. Selama ini, Mami yang selalu memancing keduanya untuk bercerita atau melempar topik obrolan di meja makan.
Walau hasil penyelidikan polisi menunjukkan Ojun tidak bersalah dan seisi sekolah menganggap peristiwa itu sebagai musibah, Ojun tetap mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua OSIS. Keputusannya sempat ditentang oleh banyak anggota OSIS, tapi Ojun berkeras tetap melakukannya. Sashi sedih, soalnya dia merasa Ojun itu cocok banget jadi ketua OSIS—apalagi jika sudah memakai jas OSIS lengkap dengan bordiran lambang sekolah dan jabatannya dalam organisasi tersebut. Gagah banget. Tapi di sisi lain Sashi senang karena Ojun makin sering terlihat di kelas.
Dia jadi lebih gampang kalau mau cuci-mata atau sekedar memperhatikan Ojun dari luar jendela.
Namun namanya hidup, tentu saja akan ada insan salty yang merasa geram di bawah kebahagiaan orang lain. Insan tersebut tiada lain dan tiada bukan adalah Mandala Deryaspati seorang. Kalau nggak ingat dosa sama penjara, rasa-rasanya Dery sudah sewa sniper buat bikin mbletus kepala Ojun.
Suatu siang, sepulang sekolah, tidak biasanya, Sashi mengajak Dery nongkrong di kantin. Bilangnya sih mau makan soto. Waktu jam makan siang tidak sempat, soalnya kantin penuh, jadi dialihkan setelah pulang sekolah.
"Kenapa nggak bilang? Kalau bokap gue tahu, dia pasti udah kirim Brimob lengkap dengan anjing pelacak buat buka antrean soto untuk lo."
"Which is very ndablek sekali ya Badrol, so ora deh thankyou, next." Sashi mendelik.
Mereka berdua pesan soto kan tuh. Eh, lagi asik-asik makan, televisi kantin lagi-lagi menayangkan iklan Jeffrey Gouw. Kali ini bukan Indomie, meski tetap ada unsur mecin-mecinnya. Tidak mengejutkan, sebab mecin adalah salah satu bahan makanan pokok yang harus ada bagi mayoritas warga negara +62.
"Papah lo tuh..." Dery mencolek bahu Sashi dan menunjuk ke televisi.
"Ogah."
"He, nggak boleh gitu."
"Kok lo jadi ikut-ikutan Oma-Opa gue, sih!?" Sashi berdecak, bikin Dery meringis.
"Gitu-gitu kan bokap lo, Bol. Lo nggak mau kan jadi anak durhaka?"
"Bedain laki-laki penyumbang sperma sama bapak betulan ya, Drol."
Dery terbatuk. "Penyumbang—apa?!"
"Sperma."
"Hah?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Badan lo juga rajin bikin." Sashi mengedikkan bahu, cuek saja dan kembali menyuapkan kuah sotonya. "Tapi bosan banget. Kenapa hampir semua iklan bintangnya dia sih? Kayak nggak ada artis lain aja."
"Harusnya senang, dong. Kalau kangen, lo tinggal nyalain TV aja."
"Dih."
"Speaking of kangen, kapan terakhir ketemu Om Jeffrey?"
"Kapan-kapan."
"Bol."
"Berapa hari kemarin. Kenapa sih?"
"Nggak kangen?"
"Nggak." Sashi mendengus. "Lagian dianya juga nggak kangen ama gue."
"Tau dari mana?"
"Dia nggak pernah hubungin gue padahal punya nomor gue."
"Jadi lo nunggu dihubungin ama dia?"
"Nggak gitu!" Sashi melotot. "Ah udahlah, kok jadi ngomongin dia!"
Dery mengangkat alis, mengamati wajah Sashi yang memerah, lalu manggut-manggut paham tanpa bilang apa-apa. Mereka masih makan ketika Ojun tiba-tiba mendekati meja keduanya dengan mangkuk bakso di tangan.
"Kursi yang ini kosong nggak?"
Dery refleks bereaksi keras tapi dalam hati soalnya nggak siap kena jurus rasengan Sashi yang kira-kira kalau disuarakan akan berbunyi; ngana buta tah, anjing?!
"Oh, nggak kok! Duduk aja!" Sashi langsung tebar senyum kayak caleg.
Ojun duduk, memperhatikan Sashi sebentar dan senyum lagi. "Udah sehat ya? Gue senang lihatnya."
"Iya. Lo juga udah baik-baik aja, kan?"
Ojun mengangguk.
Dery? Membara seperti matahari Solo Raya.
Kedamaian diantara Sashi dan Ojun tidak bertahan lama karena seseorang yang tidak terduga tiba-tiba muncul.
"Oh my Gusti, inikah yang dinamakan cinta segitiga dimana sepupuku lah yang jadi peran utama?!"
Sashi tersedak sampai batuk, menoleh dan tersekat kala mendapati Felix beserta Tamara ada di sebelah meja mereka. Parahnya lagi, dua anak itu mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Sashi. Sashi sudah mau galak, namun kemudian eling karena pangeran pujaan hati tengah berada di depannya. Maka dari itu dia harus apa? Pencitraan pastinya.
"Felix, ngapain lo—ngapain kamu di sini?!"
Felix tersenyum bangga, menunjukkan nametag di atas lambang sekolah Sashi yang terbordir di seragamnya. "Felix is now in the same school with you, Mbakyu! Tamara juga!"
"What?!" Dery ternganga.
"Felix tahu kalian pasti senang, tapi tolong jangan bereaksi berlebihan. Felix malu nantinya." Felix cengengesan. "Mbakyu sudah mau pulang belum? Kita akan dijemput Paklik."
"Terus?"
"Yuk muleh bersama!"
"Apa banget." Sashi berdecak. "Pulang aja duluan. Gue pulang sama Dery."
Tamara memberengut. "Kita kan keluarga, Mbakyu. Lagipula, apa tidak bosan naik mobil Mas Mandy yang jelas lebih murah dari mobil Paklik?"
Dery hampir ter-pe-la-tuk.
Walah, minta dibeli sampe ke jeroan ini bocah-bocah, katanya membatin dalam hati, soalnya kalau sombongnya terlalu kelihatan nanti bisa bikin sewot orang.
"Mbakyu, please muleh bersama kami. Lagipula, sepertinya hari ini Mbak Egi akan ikut! Mbak Egi sangat ingin bertemu dengan Mbakyu!"
Rengekan Tamara menuai senyum tertahan dari Ojun, bikin Sashi merasa dia bakal tampak sangat brengsek jika sampai menolak. Akhirnya dia menyerah dan setuju. Mereka melanjutkan makan ditonton Felix dan Tamara yang bercerita soal penemuan baru mereka—Felix takjub karena meski mewah, kantin sekolah Sashi juga menjual makanan rakyat jelata dan Felix sedang suka-sukanya pada kerupuk jablay.
Sebelum pulang, Ojun tiba-tiba mengeluarkan benda berbungkus kertas kado dan memberikannya pada Sashi. "Selamat ulang tahun ya, Sashi. Sori kadonya telat."
Ada yang pyarrrrrrrrrrrrrr hebat dalam hati Sashi.
Sashi tersenyum malu-malu. "Makasih, Ojun."
Dery pun hanya bisa:
Semula, Sashi mengira Paklik yang dimaksud Felix adalah Jef, tapi saat mendengar jika Egi ikut menjemput, jelas itu berarti James. Aslinya, ternyata Egi jauh lebih cantik daripada yang Sashi lihat ketika mereka video call. Tutur-katanya lembut dan terkesan cute. Mungkin karena dia orang Sunda. Amat kentara jika James sesayang itu pada pacarnya.
"Paklik itu hanya galak di atas panggung saja, jika sudah di dekat Mbak Egi—"
Kata-kata Felix terinterupsi oleh James yang mengerem mendadak karena ada angkot yang nyelonong memotong jalan. Refleks, lelaki itu menurunkan jendela mobilnya dan berteriak dengan sepenuh nyawa. "Juancok sia arep modar a?!"
"Mulai lagi, Paklik dengan bahasa Sujaw-nya."
"Sujaw?" Sashi mengernyit.
"Sunda-jawir." Tamara memberitahu.
"Salahin Mbak Egi lah." James menanggapi.
"Ih naha sih jadi aing nu disalahkeun?" Egi protes, walau sambil tertawa. Dia melihat ke belakang untuk menatap pada Sashi. "Acacia udah punya pacar belom?"
"Konco mesra sih udah punya kayaknya."
"Belum."
"Wah, cari dong."
"Nggak usah." James menukas. "Nanti aja kalau udah umur dua puluh."
"Halah, kita aja mulai pacaran pas aku seumur dia kok."
"Kamu kan beda, babe."
"Beda apanya?"
"Kamu pacarannya sama aku. Nggak semua cowok itu cowok baik kayak aku."
"Mbakyu," Felix tiba-tiba menyela sambil setia ngemilin kerupuk jablaynya. "Aku ingin tanya, kenapa kerupuk ini disebut kerupuk jablay? Bukannya lebih tepat jika disebut kerupuk pedas?"
"Ah, itu..."
"Soalnya kalau kamu lagi kepedesan, sound effectnya mirip kayak sound effect jablay waktu—ah anjrit, sakit Egi!"
"Cicing lah, gandeng!"
"Meuni tega tenan kamu ngomong kitu ke aku!"
"Felix masih kecil!"
"Aku sudah besar!"
Sashi pusing menyaksikan perdebatan yang terjadi, tapi dia tidak punya pilihan selain menyandarkan punggungnya ke jok mobil sambil berharap dia bisa selekasnya tiba di rumah.
*
Malamnya, Sashi dibuat panik.
Alasannya? Tanpa dia sadari, kado yang diberikan Ojun tertinggal di mobil James. Dia sudah kalang-kabut menghubungi Felix karena dia tidak menyimpan nomor James dan Felix baru membalas beberapa jam kemudian. Alasannya sih karena dia jarang mengecek ponsel khusus untuk anggota keluarga. Felix memberinya nomor ponsel James dan untungnya, James merespon jauh lebih cepat dari Felix.
from: paklik james
oh, tadi paklik pakai mobil mas jeffrey. dia jarang pake mobil, jadi mobilnya ditaro di tempat paklik.
tapi sekarang lagi dipake sama yang punya. biasalah, clubbing. kamu punya nomor mas jeffrey, kan?
Sashi langsung lemas membaca pesan itu. Benar sih, dia punya nomor ponsel Jef. Tapi ogah amat menghubunginya, meski Sashi benar-benar harus mendapatkan kadonya malam ini juga. Kado itu dari Ojun. Bagaimana kalau kemudian hilang? Sashi tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Gadis itu berpikir keras. Akhirnya, ide alternatif melintas dalam pikirannya. Dia membuka akun Instagramnya dan mengetikkan nama Jeffrey Gouw tanpa spasi di kolom pencarian. Tebakannya terbukti benar. Sudah pasti, public figure seperti Jef memiliki akun Instagram. Dilengkapi centang biru verified pula. Sashi melihat sekilas feedsnya. Kebanyakan foto bertemakan dapur, shooting atau foto Jef entah itu sendiri maupun bersama teman-temannya. Juga ada banyak fotonya bersama Jennie. Selain Jennie, ada pula satu fotonya bersama perempuan Asia yang rambutnya dicat pirang. Kening Sashi berkerut dan rasa penasaran membuatnya mengetuk foto itu sekali. Perempuan itu bernama Roseanne Lianto.
Sashi benci melihatnya kumpulan foto-foto itu. Hidup Jef terlihat baik-baik saja, selalu berada dalam sorot gemerlap kepopuleran dan dikelilingi banyak perempuan. Sedangkan Tris selalu mengingatnya, bahkan meninggalkan sesuatu untuknya sebelum berpulang.
Mom, I don't get you at all.
Sashi menarik napas, mencoba mengabaikan sentimen yang mengalir dalam dirinya dan ganti membuka instastory Jef. Ada cukup banyak dan instastory terbaru menunjukkan suasana sebuah kelab malam, lengkap dengan tag lokasi.
Tanpa pikir panjang, Sashi menukar kaus dan celana pendeknya dengan sweater dan jeans, kemudian menelepon taksi online. Malam ini, Jo sudah menghubunginya, bilang akan pulang agak terlambat. Walau begitu, Sashi sengaja menyempatkan diri menelepon Jo, bilang dia perlu menemui Jef karena ada barang miliknya tertinggal di mobil lelaki itu—tentu tanpa menyinggung soal kelab malam. Jo agak terkejut, namun dia cukup percaya dengan Sashi dan mengizinkannya pergi.
Begitu taksi online pesanannya menurunkannya di depan area parkir sebuah kelab malam yang kelihatannya tengah ramai oleh pengunjung, Sashi langsung melangkah menuju pintu. Tentu saja, dia ditahan oleh dua lelaki kekar yang berjaga di pintu masuk. Tetapi Sashi menanggapinya dengan tenang, malah balik berseru sewot pada dua penjaga itu.
"Ibu saya lagi koma di rumah sakit dan ayah saya ada di dalam." Katanya tegas. "Dan bapak masih mempersulit saya dengan nggak ngizinin saya masuk?!"
"Tapi dik, kamu masih di bawah umur—"
"That's the fucking case!" Sashi merutuk, kagum sendiri pada kemampuannya dalam berpura-pura. "Saya masih di bawah umur, jadi saya nggak bisa mewakili pihak keluarga untuk ngasih persetujuan ke tim dokter buat mengambil tindakan! Ayah saya yang sekarang lagi clubbing, si brengsek itu yang bisa! Kalau ibu saya sampai nggak tertolong, bapak mau tanggung jawab?!"
Kedua penjaga itu bertatapan, lalu katanya. "Oke. Setengah jam. Nggak lebih."
"Deal."
Sashi berhasil melenggang santai melewati penjagaan dan disambut oleh suasana kelab malam yang sama sekali tidak menyenangkan buatnya. Dry ice menyesaki udara, dikombinasikan dengan tata-cahaya yang bikin pusing kepala. Diantara keriuhan suara manusia dan dentuman musik, Sashi menyapukan pandang ke sekeliling. Tidak butuh waktu lama buatnya menemukan Jef, sebab postur tinggi lelaki itu juga wajahnya membuatnya stand out dalam keramaian. Dia sedang mengobrol dengan seorang gadis yang masih muda. Mungkin hanya lima tahun lebih tua dari Sashi.
Sashi baru berniat menghampiri Jef ketika lelaki itu membungkuk dan mencium gadis yang ada di depannya dengan dalam. Tangannya menyapu garis rahang gadis itu. Sashi tersentak, berbalik sebab pemandangan itu terlalu mengejutkan buatnya. Ada rasa muak, juga kecewa. Sesuatu yang seharusnya tidak Sashi rasakan.
Bukankah baginya, lelaki itu tidak pernah jadi ayahnya dan hanya orang asing?
Sashi mengerjapkan mata berkali-kali seraya menelan saliva. Dia jadi ragu. Saat dia masih bingung harus berbuat apa, seorang pria tiba-tiba menghampirinya. Kentara sekali, lelaki itu sudah berumur. Tampangnya perlente dan terawat. Matanya teduh, namun seringainya jelas menyiratkan ancaman.
"What's wrong little girl? Lost your daddy, huh?"
"No—I—"
"Don't be afraid. This daddy can show you the way,"
"No—don't touch me..." Tiba-tiba, Sashi merasa takut. "I think, I have to go."
"Not so soon, I think."
Sashi tersentak, menarik napas tajam kala lelaki itu nekat meraih pergelangan tangannya. Dia berusaha berontak sambil memekik, tapi suaranya teredam oleh tingginya volume musik. Horor menerkamnya dari segala penjuru, membuat tubuhnya gemetar tanpa dia sadari.
"Don't be afraid, little kitten."
Sashi benar-benar ketakutan. Air mata telah jatuh di pipinya tanpa bisa ditahan, namun tak ada yang peduli. Orang-orang di sekitarnya terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha menemukan Jef, tapi lelaki itu tidak tampak dimanapun. Dia mulai menyerah, tangisnya perlahan diwarnai oleh isak.
Hingga mendadak, seseorang meraih dan menyentakkan tangannya dari belakang. Sentakannya kuat, mampu membuat cengkeraman lelaki di depan Sashi terlepas sekaligus membikin tangannya sakit. Pandangan Sashi masih blur ketika lengan orang itu memaksa Sashi berlindung ke belakang punggungnya. Butuh beberapa detik buat Sashi untuk menyadari jika orang itu adalah Jef.
Sashi tidak melihatnya, namun suara Jef sangat dalam dan terkesan mengintimidasi ketika kemudian dia bicara pada laki-laki yang tadi berusaha menarik tangan Sashi.
"What the fuck do you think you're doing?"
BONUS
Coky mengembuskan napas frustrasi setelah dia ngepoin segala informasi terkait Erina Prajapati di internet sekaligus mencari tahu siapa saja cowok yang pernah jadi mantan gadis itu. Ternyata, Erina itu tukang pacaran yang cukup aktif. Dia berganti pacar semudah berganti sandal. Mana pacarnya bukan main-main pula. Coky kan jadi minder, soalnya ibarat piza, Erina ini adalah piza restoran dengan crust berisi mozarella. Coky? Apalah dia hanya piza-piza-an abang-abang bertabur keju Kraft yang dilumuri sambal Sasa.
Haruskah cinta ini kukubur dan biarkan mati sebelum berkembang?
Anjas, jadi mendadak orkes dangdut gitu.
Coky masih menatap langit-langit ruangan ketika Jef masuk ke ruangan tanpa mengetuk, membuatnya kaget setengah mati.
"Kosongin jadwal gue full minggu depan." Jef berujar tanpa basa-basi.
Coky mengerjap. "Waeyo?!"
"I'm going to Japan."
"Mwoya?!"
"With Acacia."
"WANJEON MWORAGU?!"
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
hm jadi begitulah chapter 16.
akhirnya ada moment sashi dan jo wkwkwkwk
aku tahu kalian menginginkan momen bagus antara jef dan sashi dimana dua-duanya nggak berantem tapi gimana ya mereka butuh waktu untuk saling memahami ea njay
udahlah kayaknya gitu aja dulu.
btw diantara semua side character (selain jo jef sashi) siapa yang bikin kalian paling interest sih haha atau mungkin kalian pengen rajin muncul. nanya aja ini ya jangan ge er.
dah kayanya itu aja.
targetnya samain aja kayak chapter sebelumnya.
sampai ketemu di chapter selanjutnya and ciao.
bonus coky, siap jadi tukang ojek neng erina.
Lokasi Ritual Malam Jumat Bersama Bapak Suh, October 31st 2019
20.55
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro