13
Loh, itu kan alasan Tuhan nyiptain cinta?
Biar yang beda-beda bisa sama-sama.
— L. Sahala Matondang alias Coky
***
Nyatanya, Tedra masih tidak juga menyerah menelepon Joice meski Dery sudah berkali-kali me-reject panggilan yang masuk. Joice santai saja, sibuk mengipas sambil bernaung di bawah payung sembari melihat keramaian di sekelilingnya. Hari sudah menjelang sore, tetapi entah kenapa matahari masih bersinar dengan terik. Udara terasa lebih gerah dari kemarin-kemarin.
"Ma, Papa arep nyusul ke sini kalau Mama masih nggak mau jawab telepon!"
"Bilang, susul kalau berani. Nanti tak cabik-cabik wetenge di depan orang banyak." Joice membalas sadis. (Nanti tak cabik-cabik perutnya di depan orang banyak).
"Mama!" Dery mendelik, akhirnya mengambil keputusan sepihak dan menjawab telepon. "Halo, Pa. Iya, Mama di sini. Kenapa?"
Joice menolak, melotot murka. "Mandala—"
"Omongke ke Mama, Papa tuh guyon tok lah kok yo diseriusi sih?! Perasaan Papa karo Mama kan ora mesti ditakon lagi. Buat apalah Papa melangkah pake sandal jikalau alasannya bukan Mama!" (Bilangin ke Mama, Papa tuh bercanda doang kok diseriusin?! Perasaan Papa buat Mama kan nggak harus ditanya lagi).
"Tuh, Ma. Kedengeran nggak?"
"Ora!"
"Omongke, Mandala!"
Dery menghela napas. "Ma, jare Papa, iku tuh guyon tok. Ojo diseriusi. Sayange Papa cuma untuk Mama seorang."
"Halah, cangkemmu mambu sepiteng! Kasih tahu ke si Kontet itu, reuni wae, rasah balek!" (Halah, mulut loe bau sepiteng! Kasih tau ke si Kontet itu, reuni aja, nggak usah pulang!).
"Mama kok tega sih panggil-panggil Papa kontet!"
"Lah emang kenyataannya Papa kontet!"
"Aku ki bojomu loh ya!" (Aku nih suamimu loh ya).
"Bodo."
"Yawes, karepmu!" Tedra berseru dari seberang sana, kemudian ganti bicara pada Dery. "Kowe ojo shock yo, Le. Tau sendiri kelakuan mamamu koyok opo. Se-spaneng-spaneng-e de'e, deep down inside de'e wes eroh kalau Papa ki sak-apik-apike tempat kembali." (Yaudah, terserah situ!). (Kamu jangan shock ya, Le. Tau sendiri kelakuan mamamu kayak apa. Sekesel-keselnya dia, deep don inside dia udah tau kalau Papa ini sebaik-baiknya tempat kembali!).
"Nguimpi!"
"Jaga Mama buat Papa, Mandala." Tedra ngomong sudah macam lagi memberi wasiat terakhir sebelum mati.
Dery merasakan sekujur tubuhnya merinding gara-gara menyaksikan pertengkaran menggelikan yang terjadi antara kedua orang tuanya. Ini bukan pertama kalinya, sih. Saat Dery masih lebih kecil dulu, pertengkaran Mama dan Papa jauh lebih heboh daripada ini. Cuma ya please lah gitu... Dery sudah besar... sudah mau lulus SMA. Mestinya Papa dan Mama sadar umur.
Yah, walaupun tampang mereka masih bersih-bersinar shining shimmering super cling sih. Itulah kekuatan skincare dan perawatan mahal. People without duit segudang can never relate.
"Jangan sering-sering berantem ama Papa, Ma. Kalau aku nggak kuliah di Jakarta, Papa dan Mama berdua aja loh di rumah."
Joice pura-pura tidak dengar, berlagak sibuk membetulkan rambutnya yang terurai. "Haduh, repot banget nih. Tau gitu Mama nggak pake anting ini tadi."
"Lagian Mama, anting segede borgol kok dipake."
"Iki jenenge fesyen, Mandala." (Ini namanya fashion, Mandala).
Dery mengedikkan bahu, tadinya mau bilang pada Joice untuk menunggu di tempat teduh saja saat sebuah ledakan keras tiba-tiba terdengar. Bukan hanya Dery, orang-orang yang ada di sekitarnya turut dibuat terkejut. Kekagetan itu berubah jadi kepanikan ketika di kejauhan, terlihat nyala api di ujung atap dan asap yang membumbung tinggi menodai udara.
"LAH, ITU KENAPA?!"
Dery mengernyit, tapi langsung panik kala dia menyadari jika api itu berasal dari arah di mana ruang ekstrakurikuler tata boga berasal. Refleks, dia berlari ke arah datangnya asap, sejenak lupa pada ibunya. Apa yang terjadi berikutnya seperti potongan-potongan fragmen yang terlalu surreal untuk jadi nyata. Orang-orang yang panik, mereka yang berteriak ngeri, jeritan satu-dua orang yang meminta siapapun menelepon ambulans, kaca-kaca yang pecah bertebaran.
Suara-suara ribut di sekeliling Dery terasa amat jauh sebab ketakutan yang mendadak menikamnya. Matanya menyisir tiap orang yang ada di sekitarnya, berusaha menemukan wajah Sashi di sana. Tetapi hasilnya nihil, gadis itu tidak ada dimana-mana.
Dery hampir berlari masuk ke dalam ruangan yang kini mulai dilalap oleh api ketika dia melihat Jef diantara orang-orang. Laki-laki itu kelihatan linglung, berjalan cepat di koridor dan berhenti di depan kotak kaca berisi alat hydrant. Pemecah kaca yang harus tersedia tak tampak, membuatnya tanpa pikir panjang memecah kaca kotak tersebut menggunakan kepalan tinjunya.
Tangannya terluka, tetapi Jef kelihatan tidak peduli. Dia mengabaikan seruan orang-orang di sekitarnya—termasuk Coky yang memanggilnya dan langsung masuk ke ruang ekstrakurikuler tata boga tanpa berpikir dua kali. Dery terdiam, saking shock dan bingungnya, sampai tidak bisa menggerakkan badan.
Meski begitu, ada kelegaan mengalirinya saat Jef keluar lagi dari sana bersama seseorang yang dia gendong.
Itu Sashi.
Dery tidak pernah mengenal seorang Jeffrey Gouw secara personal, tetapi sepanjang beberapa kali kesempatan mereka berinteraksi, Dery tidak pernah melihat Jef tampak setakut itu. Jelas sekali, tangannya gemetar saat dia menyentuh pipi anak perempuannya. Suaranya bergetar waktu dia memanggil nama Sashi, dilekati oleh ketakutan.
Saat Sashi terbatuk dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa Dery dengar jelas, barulah ketegangan pada wajah Jef mengendur.
Lantas hanya begitu saja, Jef menarik Sashi ke dalam pelukan. Dekapan itu erat. Dia bahkan membenamkan hidungnya pada rambut Sashi, menarik napas dalam-dalam di sana.
He loves her, Dery bergumam dalam hati secara otomatis. Dia sempat ragu, tapi akhirnya berinisiatif mendekat. Terutama setelah dia melihat luka-luka yang bertebaran di sebagian lengan dan kaki Sashi. Itu bertepatan dengan Sashi yang menarik diri dari pelukan Jef lebih dulu.
"Did you hit your head?" Sashi bertanya, masih terkesan sinis walau suaranya serak dan kering.
Jef mengabaikannya, malah menoleh pada Dery dan Joice yang mengekor di belakang anak laki-lakinya. "Bisa bantu saya bawa Acacia ke rumah sakit?"
"Saya nggak sakit!"
Jef menganggap seruan Sashi angin lalu. "Bisa?"
Dery berpaling pada Joice. "Ma, Om Kun ikut ke sini nggak?"
"Ikut lah. Tak suruh nunggu di parkiran."
"Yaudah, kita ke rumah sakit sekarang."
"Drol, kok lo malah ikut-ikutan dia sih?!"
Dery menatap Sashi dengan tegas, bikin gadis itu kaget sendiri dan jadi sungkan membantah. "Lo luka. Om Jeffrey benar, lo harus ke rumah sakit."
Sashi betulan kalah suara, jadi dia hanya mampu menutup mulut ketika Jef tetap ngotot menggendongnya sampai ke parkiran. Awalnya, Kun kaget. Mana dia lagi asyik dengerin lagunya Skrillex sambil head bang dalammobil waktu Joice ngetok-ngetok kaca.
Perjalanan dari sekolah ke rumah sakit sunyi. Om Kun nggak banyak bicara. Dery diam saja. Joice sibuk ketak-ketik di ponsel, membuang segenap gengsi dan kekesalannya buat mengabari Tedra soal kehadiran Jeffrey Gouw si brand ambassador Indomie yang sekarang duduk di kursi belakang mobil mereka. Jef memilih buang pandang ke luar jendela, merasa canggung untuk bertatapan dengan Sashi yang kini menjadikan pahanya sebagai bantal sambil berbaring. Sashi, ternyata juga tidak jauh beda. Dia memejamkan mata walau itu membuatnya terkenang pada ledakan yang barusan dia lihat. Tanpa sadar, sekujur tubuhnya langsung gemetar diserang kengerian.
Sepanjang hidupnya, belum pernah Sashi merasa dirinya begitu dekat dengan kematian. Segalanya terjadi begitu cepat, diawali dari suara keras yang membuat kupingnya berdenging hebat. Kemudian asap di mana-mana, mencekiknya, membuatnya sulit bernapas. Panas merambati lantai. Instingnya untuk bertahan hidup menyuruhnya bangun, melarikan diri dari sana, tetapi dia tidak bisa.
Sashi hampir menyerah, berpikir mungkin hidupnya akan tamat secara konyol di sana hingga seseorang menyentuh pipinya sambil menyerukan namanya.
Seseorang yang tidak dia duga, adalah Jeffrey Gouw.
"Are you hurt?" Jef menyadari napas Sashi yang mendadak terengah.
Sashi menggigit bibir, menggeleng, namun tangan yang gemetar tidak mendukungnya untuk berdusta. Jef mengamatinya sebentar, lalu tersadar dan tanpa berpikir, dia meraih tangan Sashi. Genggamannya membuat tangan itu berhenti gemetar.
"Don't be afraid. You're safe here."
Sashi merasa aneh. Sejak kapan kehadiran Jef bisa membuatnya merasa aman? Namun tampaknya, begitulah kenyataannya. Perlahan, napasnya yang terengah kembali normal.
"Ada yang sakit?" Jef bertanya lagi, bikin Dery, Joice dan Kun langsung melirik padanya dengan kaget.
"Nggak ada." Sashi berbohong, karena luka di kulitnya terasa perih sekarang. "Jangan kasih tahu Papi."
"Kenapa?"
"Nanti Papi khawatir. Aku nggak mau ganggu kerjaan Papi di sana."
"Jelas dia bakal khawatir. Tapi bukan berarti dia nggak boleh tahu."
"Jangan bawel."
Jef berdecak, tapi akhirnya jawabnya sederhana. "Oke."
Dery mengangkat alis, menatap bergantian pada Sashi yang masih memejamkan mata dan Jef yang kini menggigiti kuku jemari tangan kanannya—sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Sashi. Nada suara Sashi masih sinis. Jef berusaha terkesan tidak terlalu peduli. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang Dery sadari.
Sashi membiarkan Jef memegang tangannya hingga mereka tiba di rumah sakit.
*
Sashi merasa lukanya bukan apa-apa, tapi Jef ngotot agar dia dirawat di rumah sakit karena dia menghirup terlalu banyak asap. Usai perdebatan yang panjang dan ikut campurnya Joice sebagai istri yang punya rumah sakit, akhirnya Sashi kembali kalah suara. Yah, setidaknya ada Dery di dekatnya. Cowok itu menemaninya hingga dia di tempatkan di kamar perawatan. Tadinya, Sashi kepingin bertanya kalau-kalau Dery tahu kabar soal Ojun—karena Ojun juga berada di ruang ekstrakurikuler tata boga saat ledakan itu terjadi. Tapi Dery terlihat lelah dan kelihatannya, Dery juga tidak tahu apa-apa.
Jef rada ogah meninggalkan Dery dalam satu ruangan yang sama dengan Sashi dan hanya berdua saja, namun dia perlu bicara dengan Coky. Tidak lupa, sebelum keluar ruangan, Jef menunjuk matanya sendiri dengan dua jari, yang lalu dia arahkan pada Dery disertai death glare; sebentuk peringatan yang jika diberi subtitle kira-kira akan berbunyi 'saya mengawasi kamu'.
Coky masih goleran santai di kursi ruang tunggu koridor rumah sakit waktu Jef keluar dari ruangan. Reflek, Jef menggeplak kakinya. "Ni orang pake rebahan pula! Bangun, Cok! Badan lo makan tempat!"
"Cape, Bang. Lagian gue juga kan lemes abis keracunan."
"Siapa yang suruh minum cairan cahayamatahari?"
"Baunya enak, Bang." Coky berujar sambil nyengir. "Tapi ada update soal kejadian di sekolah. Sejauh ini, dugaannya ledakan karena kebocoran tabung gas. Satu siswa tewas di tempat kejadian. Satu lainnya lagi kritis di rumah sakit. Beritanya udah ada dimana-mana. Sisanya luka ringan. Cuma soal anak lo—"
"Soal anak gue kenapa?" Jef keburu nyolot duluan.
"Beruntung dia dibawa ke rumah sakit ini. Privasinya terlindungi. Cuma dari pihak rumah sakit ngasih keterangan aja kalau anak lo luka ringan dan baik-baik aja. Dia nggak akan jadi sorotan dalam pemberitaan. Fokus publik tentu bakal ngarah ke korban tewas dan satu lainnya yang kritis."
"Gara-gara kejadian ini gue jadi mikir sesuatu..."
"Tumben, Bang."
Jef mendesis galak, tapi lanjut bicara. "Sekolah itu payah banget. Gimana bisa mereka nggak mastiin safety sebelum kontes dimulai? Belum lagi pemecah kaca kotak hydrant yang nggak ada di tempatnya. Apa gue pindahin aja anak gue dari sana ke sekolahnya Felix ya?"
"Emangnya dia bakal mau?"
"Benar juga kata lo. Tumben pinter."
"Gue emang pinter dari dulu." Coky jadi pongah, lalu matanya jatuh pada luka di tangan kanan Jef. Darahnya sudah mengering, namun warna kemerahan di kulitnya kini menggelap, bertransformasi jadi memar. "Tangan lo nggak diobatin dulu? Jujur lo berantakan banget."
"Gampang." Jef cuek saja. Tak lama, ponselnya berdering. Telepon dari Jennie.
"HOY, JINGAN! MASIH IDUP NGGAK LO?!"
"Masih bernapas dan masih ganteng."
"Njijiki level naudzubillah, gue nggak bohong." Jennie berdecak. "Beritanya udah beredar dimana-mana. Heboh. Kok iso ngono, sih?"
"Ada gas bocor. Gue mau kasih tau untuk jangan nyalain kompor dulu. Satu orang nyalain kompor sebelum gue sempat ngomong dan—lo tau sendiri apa yang terjadi."
"Awakmu nang endi right now?"
"Rumah sakit."
"Lo luka?"
"Bukan gue. Tapi Acacia."
"HAH, PIYE KABARE CALON AREK WEDOKKU?!"
"Luka bakar ringan. Kebanyakan menghirup asap. Tapi dia udah bisa nyolotin gue, jadi seharusnya dia bakal baik-baik aja."
"Uww, Papa sayang anak nih ceritanya?"
"Cocotmu." Jef mencerca. "Jangan kasih tau apa-apa ke Jo. Sashi nggak mau Jo tau. Nggak usah ngeles, gue tau lo mesti kontak-kontakan ama dia."
"Lah Bapak'e mosok ora dikasih tau?"
"Gue bapaknya."
"Bapak beneran, maksud gue."
"Lo kira gue bapak bohongan?!"
"LAH KOK SITU SENSI?!" Jennie balik nge-gas.
"Udahlah. Mending lo siap-siap buat flight lo aja. Jangan lupa titipan gue."
"Iye, bawel."
"Yowes."
Usai bicara dengan Jennie, Jef langsung disambut oleh tanya Coky.
"Bang, sekedar mengingatkan, malam ini lo ada agenda filming untuk konten salah satu youtuber. Orangnya udah ngajakin melulu, bahkan waktu lo cabut buat menghindari Mbak Rosé, dia udah nanyain terus kapan lo balik."
"Cancel. Reschedule kalau bisa. Gue sibuk."
"Youtubernya ini si Cantik yang menang Masterchef itu loh."
"Terus kenapa?" Jef mengernyitkan dahi.
"Tumben. Biasanya kalau sama yang cantik-cantik, gercepnya ngalahin roket."
"Nggak minat. Gue mau di sini buat malam ini. Nanti yang jagain anak gue siapa?"
Sahutan Jef bikin Coky menatap Jef lekat-lekat, mengerjap beberapa kali sebelum mendadak, dia meraih kedua pundak Jef dan menyandarkannya ke tembok sembari bertanya. "ASSALAMUALAIKUM, SIAPA DAN DARIMANAKAH ANDA WAHAI YANG SEDANG BERSEMAYAM DALAM TUBUH INI?!"
"Bangke!" Jef berseru dengan segenap tenaga sambil menyentak kedua tangan Coky supaya lepas dari bahunya.
"Takut aja ada yang merasuki lo, Bang. Kan lagi jaman tuh rasuk-merasuki."
"Apa anehnya? Cuma bapak gendheng yang bakal filming ini-itu ketika anaknya lagi di rumah sakit."
"Lo kan bapak gendheng."
"Pernah keselek sandal nggak?"
"Nggak. Tapi nggak minat nyoba." Coky cengengean. "Tapi... lo beneran sayang ama anak lo?"
"Menurut ngana?"
"Ya kan jaman jigeum banyak appa brengsek, Bang."
Jef mendelik. "Sehari aja coba lo ngomong ama orang nggak campur-campur bahasa Korea, bisa nggak?"
"Bisa, kalau lo juga sehari aja nggak ngomong campur Jawa."
"Halah, telek. Mending lo beliin kopi. Sekalian ajak tuh bocah ambyar yang naksir anak gue."
"Heol..."
Sebenarnya, Coky malas. Apalagi Dery. Tapi suara Jef sudah jadi seperti titah paduka buat mereka, jadi mau tidak mau, keduanya bergegas ke Starbucks yang berada di lantai dasar rumah sakit. Namanya juga rumah sakit milik Tedra Sunggana dan Joice Maharadjasa. Jangankan Starbucks. Plaza Indonesia aja bisa mereka bikin di lantai dasar rumah sakit. Siapa tau kan bosen nungguin keluarga yang sakit, bisa shopping-shopping cantik dulu.
Joice udah caw duluan. Tentu saja, guna mengupdate informasi pada suami tercintai. Memang, hanya ghibah yang mampu melembutkan hati yang sedang marah.
"Nama lo sapa?" Coky bertanya waktu mereka berada dalam lift.
"Mandala. Tapi biasa dipanggil Dery."
"Tanya nama gue dong?"
"Biar apa?"
"Biar enak aja kenalannya."
Dery mengembuskan napas, menyerah. "Nama lo siapa, Bang?"
"Lucas Sahala Matondang."
"Kok Om Jeffrey manggil lo Coky?"
"Waktu awal-awal gue jadi managernya Bang Jeffrey tuh ya, dia orangnya seenak udel banget. Manggil gue Cak-Cok-Cak-Cok melulu. Lama-lama semua orang manggil gue Coky." Coky jadi curhat. "Lo temenan ama tuh anak udah lama?"
Dery mengoreksi, tidak suka Sashi dipanggil dengan sebutan 'tuh anak'. "Namanya Sashi."
"Iye. Lo temenan ama Sashi udah lama?"
"Udah."
"Suka ya?"
Dery tidak menyahut.
"Oh, ternyata nggak."
"Kenapa abang ngomong gitu?"
"Kata orang Twitter, kalau nggak bikin bahagia, berarti bukan suka apalagi jatuh cinta. Bisa aja cuma keseleo."
Dery berdecak, tidak menanggapi ucapan Coky. Mereka tidak butuh waktu lama untuk membeli kopi yang diinginkan Jef. Coky dan Dery juga ikut membeli minuman. Waktu keduanya keluar dari Starbucks, mereka berpapasan dengan dua anak kembar yang berjalan bersama seorang wanita muda berambut panjang.
Coky ter-pe-so-na seketika, berbanding terbalik dengan respon Dery yang langsung menyudutkannya ke tembok, sengaja bersembunyi karena dia tahu dua anak kembar itu pasti bisa mengenalinya.
Tentu saja, dua anak kembar itu tidak lain dan tidak bukan adalah Felix dan Tamara.
"Aigoooo... pantas saja naega punya dada suka sakit akhir-akhir ini. Ternyata mau ketemu tulang rusuk naega yang hilang..." Coky berkata setelah gadis yang dilihatnya masuk ke dalam lift.
"Apaan dah?"
"Cewek yang sama dua anak tadi, itu kayaknya yeobo gue di masa depan."
"Hah?!"
"Calon istri, maksudnya. Dasar kamu kalangan non kokoreaan yang tidak berbudaya, yeobo aja nggak ngerti."
"Bang, sadar. Lo itu terlalu anyonghaseyo untuk dia yang sugeng enjing."
"Nggak gitu caranya, Mandy. Tuhan sengaja bikin cinta biar apa? Biar yang beda-beda bisa sama-sama."
"Apa-apaan lo panggil gue Mandy?!"
"Nama lo kepanjangan." Coky berdecak, masuk ke dalam lift kosong yang barusan terbuka di depan mereka. "Jadi pengen gue cari deh. Coba pedekate-in. Kalau udah pegel pedekate, ya penyelesaiannya gampang."
"Gampang gimana?"
"Tinggal hunting jaran goyang."
*
Sashi tidak ingat persisnya kapan, tapi tampaknya kejadian itu sudah lama sekali. Dia sedang sakit demam. Mungkin karena lagi musim pancaroba, atau dia masuk angin karena sempat kehujanan saat pulang sekolah di sore hari. Bukan memori yang spesial sebenarnya. Hanya saja, tiba-tiba bayangan akan masa itu hadir dalam kepala Sashi melalui mimpi.
Bayangan tentang Mami yang berjaga di samping tempat tidurnya sepanjang malam, rajin mengecek suhu tubuhnya dengan menyentuh dahi dan lehernya.
Malam ini, dia terbangunkan oleh bau antiseptik yang menggelitik hidung, juga tangan yang menyentuh dahinya. Dia sempat mengira itu Mami, sampai dia tersadar Mami sudah tidak ada lagi dan ada suara ponsel yang mendadak berdering. Lalu suara Jef terdengar, bertepatan dengan tangan yang ditarik menjauh dari kening Sashi.
Did he just touch my forehead?
Sashi membuka mata perlahan, mengintip dan lega karena Jef tengah menghadap jendela yang secara otomatis membuat pria itu memunggunginya. Dia tidak lagi mengenakan kemeja yang tadi dipakainya di sekolah. Kemeja itu telah berganti kaus lengan pendek. Baru sekarang, Sashi tersadar jika ada bagian tangan kanan Jef yang dililit perban.
Sashi tidak tahu jika Jef juga terluka.
Gadis itu menghela napas panjang, menutup matanya sejenak. Tangan Jef yang dililit perban. Seruannya yang membuat Sashi tersadar dia belum dijemput kematian. Air mata yang menetes secara tidak terduga. Pelukannya yang tiba-tiba.
Itu semua apa artinya?
He loves Mom, indeed. But that doesn't mean he loves me too. I'm just a stranger to him, just like how he is a stranger to me.
Telepon itu selesai dan waktu Jef berbalik, dia langsung disambut oleh Sashi yang berbaring sambil memandangnya.
"You're awake. Wanna eat something?"
Sashi mengabaikan pertanyaan itu, malah bicara tentang sesuatu yang lain. "Where's my phone?"
"I don't know. Mungkin masih tertinggal di dalam ruangan? Saya nggak mikirin apapun selain membawa kamu keluar dari sana tadi."
"Mungkin masih di sana. Kalau gitu, saya bakal minta anterin Badrol buat—"
Jef melipat tangan di dada, memandang Sashi sembari bicara dalam nada yang tidak bisa dibantah. "Kamu nggak akan pergi kemana-mana."
Sashi mengerang. "I need my phone."
"Mungkin udah terbakar. Atau hilang. It's okay, I'll buy you a new one."
"Saya nggak butuh HP baru, apalagi dari om!"
"Acacia, jangan mulai lagi."
"Siapa yang mulai—"
Ponsel Jef kembali meraung, bikin kata-kata Sashi terputus begitu saja. Jef meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Sshh, be quiet." Begitu katanya sebelum dia menjawab telepon yang masuk, tidak menyadari bagaimana kini Sashi menatapnya dengan kesebalan tingkat paripurna.
Orang yang menelepon pasti ibunya Jef. Dari percakapan mereka, Sashi tahu mereka sudah berada di rumah sakit ini. Jef juga menyebut nama Felix, Tamara dan Erina yang tidak Sashi tahu siapa. Setelahnya, barulah Jef kembali menatapnya.
"Saya nggak mau ketemu siapa-siapa." Sashi langsung menembak sebelum Jef sempat bicara.
"Orang tua saya khawatir sama kamu, terutama setelah mereka lihat berita. Dua siswa tewas dalam peristiwa ledakan itu."
Sashi tersekat, mendadak sukar bernapas.
"Tenang. Mereka bukan cowok yang kamu suka. Panitia yang baju hitam itu, kan? Ada yang beda dari cara kamu ngeliat ke dia."
"Dua orang lainnya meninggal dan om masih bisa santai begitu?"
"I don't know them personally. Were they your friends?"
"Nggak juga, tapi—"
"Kalau gitu, harusnya kita nggak berdebat karena mereka. For me, the most important thing is you're okay. People die everyday. Lagipula, ini salah panitia dan pihak sekolah. Gimana bisa mereka mengabaikan safety? Belum lagi—"
Sashi memotong. "Saya harus balik ke sekolah dan nemuin HP saya."
"Kamu nggak akan kemana-mana. Titik."
"Om nggak berhak melarang saya."
"Saya udah menuruti keinginan kamu. Sekarang waktunya kamu mendengarkan saya." Jef tetap tidak mau kalah. "Saya nggak kasih tau Jo soal apa yang terjadi karena kamu nggak mau dia khawatir."
"I have to get my phone—"
Jef kesal, membuatnya membentak gadis di depannya tanpa pikir panjang. "IT'S JUST A GODDAMN PHONE, FOR GOD'S SAKE. Kamu sengaja ya? Memang hobi kamu itu ngetes kesabaran saya."
Sashi membisu sambil menggigit bibirnya yang bergetar, berusaha mati-matian menahan tangis. Seumur hidupnya, dia tidak pernah dibentak oleh siapapun. Mami dan Papi selalu bicara baik-baik padanya, bahkan ketika mereka marah. Seruan Jef barusan bukan hanya membuatnya terkejut, tapi entah kenapa, membuatnya merasakan sesuatu seperti... sakit hati?
Tapi dia tidak boleh menangis, walau kelihatannya Jef menyadari dampak dari kata-katanya barusan.
"Look, kamu nggak perlu baik sama saya. But at least, tolong bersikap baik sama orang tua saya? They think of you as their grand-daughter. Mereka sayang sama kamu."
Sashi tidak menjawab, malah berbaring menyamping, sengaja memunggungi Jef.
Jef menatapnya sebentar. Dia menyesal, sebab kelihatannya Sashi akan menangis sewaktu-waktu karena bentakannya tadi. Tapi dia terlalu ragu untuk meminta maaf. Jadi lelaki itu menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari ruangan.
*
Malam telah merambat menuju larut ketika Jennie tiba di hotel yang akan jadi huniannya selama dia berada di Singapura. Setelah melewati hari yang panjang dilanjut penerbangan dari Soekarno-Hatta ke Changi, harusnya dia bisa bersantai di kamarnya, mungkin sambil memasang sheetmask dan berbaring sampai ketiduran. Tapi dia merasa itu terlalu membosankan. Dia sempat menghubungi temannya, yang tidak dijawab. Jadilah, Jennie pergi seorang diri ke Atlas, sebuah bar yang berada tidak terlalu jauh dari hotel tempatnya menginap.
"Masons Dry Yorkshire. Your taste is kinda bold, eh?"
Jennie baru saja menyesap seteguk pertama minuman yang dia pesan ketika sebuah suara terdengar. Gadis itu mengangkat alis, menoleh hanya untuk mendapati seorang laki-laki Kaukasia dengan rambut pirang berdiri di dekat stool tempatnya duduk.
"Maybe."
"Interesting."
"Unfortunately, I'm not interested." Jennie berdecak. "Leave me alone, can you?"
"You know, you don't have to be so harsh."
Jennie mengerjap, lalu malas-malasan menunjukkan jari manis tangan kirinya yang dilingkari cincin. Trik yang diajarkan pada Jef setelah lelaki itu membuat dua pria ganjen babak-belur di pub dekat flat mereka gara-gara ketahuan menggoda Jennie dan memaksa meminta nomor teleponnya belasan tahun lalu. Beberapa hari setelahnya, Jef memberikan sebuah cincin sederhana dalam kotak beludru, menyuruh Jennie memakainya setiap kali gadis itu minum sendirian atau saat Jef tidak bisa menemaninya clubbing.
"I am married."
"Tapi kamu berada di tempat ini sendirian." Lelaki itu tersenyum manis. "Bertengkar dengan suamimu? Tidak masalah. You're too hot to be married, I think."
"Get lost."
"So, what's your name—"
"Darling, here you are." Jennie hampir tersedak ketika sebuah suara lainnya terdengar. Gadis itu menoleh cepat ke arah yang berlawanan, hampir lupa bagaimana caranya bernapas karena matanya disambut oleh sepasang mata cokelat gelap milik Jo. Lelaki itu kelihatan berbeda malam ini. Tidak seperti penampilannya yang terkesan formal di hari pemakaman mendiang istrinya, juga ketika mereka bertemu di Starbucks sesaat sebelum penerbangannya ke Singapura, kali ini, Jo kelihatan lebih... santai. Dia mengenakan kaus dan jaket kulit, dengan wangi parfum miliknya yang samar mencumbui udara.
"Sorry, do you have any business with my wife?" Jo berujar sembari mendekati Jennie. Dengan sedemikian rupa, dia menyentuh bahu Jennie, membuat cincin yang melingkari jari manis tangan kirinya terekspos jelas.
"No. I'm so sorry." Lelaki itu berbalik seketika dan melangkah pergi dengan tergesa.
"Stupid jerk." Jennie memutar bola matanya, sementara Jo melepas jaket dan meletakkan jaket itu di pangkuan Jennie. Malam ini, dia memang mengenakan rok pendek. Jennie tercengang, pipinya memerah seketika dan untuk sejenak, dia kehilangan kata-kata.
Jo tertawa kecil, menarik stool bar yang ada di sebelah Jennie dan duduk di sana. "Sori, saya refleks melakukan itu supaya kamu bisa duduk lebih nyaman."
"No, no, no, it's okay. Thankyou."
Jo memesan gin dan tonic pada bartender lalu menoleh lagi pada Jennie. "Kita ketemu lagi."
"What a coincidence." Jennie sependapat, walau dia meneruskan dalam hati dengan serentetan kalimat; yah begitulah kalau namanya jodoh.
"Saya nggak terpikir untuk minum malam ini, tapi agak bosan juga karena hari ini ada short break. Kamu kesini kerja?"
"No. Shallow reason. Saya mau nonton konser."
"Sendirian?"
"Sama teman. Tapi flight dia besok pagi. Kamu sampai kapan di sini?"
"Flight balik saya besok malam. Penerbangan terakhir. Seharusnya saya balik besok paginya, tapi nggak bisa."
"Nggak bisa?"
"Besok Acacia ulang tahun."
"Oh. I see..."
Jo tersenyum lagi, lalu meraih gelas minumnya yang telah diantarkan bartender. Jennie memperhatikan bagaimana cara lelaki itu membawa tepi gelasnya ke bibir, lalu menyesap isi gelas perlahan.
"Yum." Jennie bergumam tanpa sadar.
Jo mengangkat alis. "Yum?"
"Yum." Jennie jadi tengsin karena keceplosan, maka dia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Nginep di mana?"
"Intercontinental."
"What? Sama, dong! "
"Kebetulan yang menyenangkan." Jo tertawa kecil, bikin hati Jennie bergetar tanpa bisa dikendalikan. "Anyway, besok siang kamu sibuk nggak?"
"Kenapa?"
"Jujur, saya masih nggak tahu kado apa yang harus saya kasih untuk anak saya. Selama ini, setiap dia ulang tahun, Patricia yang selalu ngasih tau saya apa yang dia mau. Tahun ini berbeda. Saya masih clueless. Karena kamu sama-sama perempuan dan Acacia kelihatannya senang jalan sama kamu, mungkin kamu bisa kasih saran?"
Ada taman bunga mekar dalam paru-paru Jennie.
"Of course."
"Good. Malam ini, keberatan kalau saya duduk di sini lebih lama?"
"Please?"
Jennie mesem-mesem ketika Jo malah tertawa. Tiba-tiba saja, dia merasa seperti gadis SMA yang barusan dipuji oleh cowok yang dia taksir. Dia terlalu fokus pada senyum Jo, hingga melupakan fakta bagaimana ada dua laki-laki yang memintanya membantu membelikan sesuatu sebagai hadiah untuk satu anak yang sama.
*
Jef sengaja membiarkan Dery menyertai Sashi dalam ruangan ketika Felix, Tamara, Erina dan kedua orang tuanya datang untuk berkunjung. Dia paham, Sashi pasti akan merasa tidak nyaman dikelilingi oleh orang-orang yang menurutnya asing. Kehadirannya sendiri tidak terlalu diperlukan, sebab mereka pasti akan berdebat lagi. Makanya, Jef lebih memilih menunggu di luar. Tapi tak berapa lama kemudian, dia dikejutkan oleh Dery yang tiba-tiba keluar dari kamar perawatan Sashi.
"Kok malah keluar?"
"Emang nggak boleh?"
Jef jadi kesal. "Kamu paham nggak sih kenapa saya, dengan langkanya, memberi izin kamu untuk seruangan sama anak saya?"
"Nggak."
"Ya Gusti, uthekmu pentium siji yo? Acacia nggak kenal dekat dengan kedua orang tua saya, juga keponakan-keponakan saya. Maksud saya, dengan adanya kamu tuh biar dia nggak canggung dan—"
"Ceb—maksud saya Sashi kelihatannya biasa-biasa aja sama sepupu-sepupunya dan orang tua om. Yah, rada sensi sih sama Felix, tapi wajar soalnya Felix banyak bacot."
"Masa?"
"Iya. Malah ngobrol seru sama Mbak Erina tadi."
"Lah? Nggak sensi dia?"
"Sensinya dia kan cuma sama om aja."
"Oalah, jangkrek." Jef mendesis. "Terus awakmu ki arep nang endi?"
"Ke sekolah. Cebo—hng—maksud saya Sashi minta saya nyariin HP-nya. Mungkin masih ada di sana."
"God, that phone again. What's so important about it? Saya udah bilang, nanti saya beliin yang baru."
"Bukan masalah HP-nya."
Kekesalan Jef berganti penasaran. "Terus apa?"
"Di HP itu banyak foto-foto Sashi sama Tante Pat. Sashi nggak punya backupnya. Dia nggak peduli sama HP-nya. Dia cuma mau foto-foto itu doang."
Jef tersekat, lalu mengembuskan napas pelan, tiba-tiba merasa bersalah. "Oke kalau begitu."
"Yaudah, om. Saya pergi dulu."
"Saya ikut."
"Nggak usah, om."
"Kamu mau melarang saya?"
"Hng... nggak, om."
Memang benar apa kata pepatah. Vox future mersepuh, vox dei. Suara calon mertua adalah suara Tuhan.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
wow, malam sekali, tapi karena saya harus menepati janji ea kan apa kubilang, kalian tuh bisa mencapai target itu dalam waktu kurang dari tiga hari. malah lebih kan.
yak jadi gimana ya para shipper, siapakah yang akan berakhir dengan siapa, akankah coky bisa mengganti nama belakang erina dari prajapati menjadi matondang wkwkwk akankah jennie menemukan tambatan hatinya dan apakah felix akan pindah sekolah serta bagaimanakah nasib ojun ke depannya.
yaampun masih banyak banget tapi gapapalah yang penting kita semua happy.
kalian shipping siapa sih di cerita ini wkwk?
(btw ini shipping ngga usah diseriusin sih ya mostly pairing yang gue pakai adalah crack ship alias yang ngga pernah ada interaksi apa-apa in real life, jadi ngga usah ketar-ketir gitu ok aku bukan si pahit lidah, apa yang kutulis belom tentu jadi nyata).
dah kayaknya segitu aja dulu.
target part ini... hm... pecahin aja target part yang kemaren deh.
sekian dan terimakasih dariku, sampai ketemu lagi.
ciao.
bonus mb erina, playgirl kebanggaan papa jamet. mantannya satu kelurahan. kalau mau dapetin mba erina, harus berhadapan dulu ama jajang, felix dan james alias CG (baca: siji) (soalnya erina tuh ponakan kesayangan james).
Dimanapun Itu Asal Bersama Johnny Aku Senang, October 23rd 2019
20.55
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro