Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Sirahku ngelu separo.

Opo kui gejala-gejala arep rabi, yo?

— Jeanneth Kartadinata

***

Jef sedang bekerja di dapur ketika Jennie datang menyambangi apartemennya. Saking seringnya gadis itu berkunjung, dia bahkan punya kartu akses sendiri. Jennie masuk tanpa suara, tahu-tahu muncul di ambang pintu dapur dengan kantung plastik berisi beberapa botol soju dan ayam KFC kemasan bucket. Dia bersandar dengan kening berkerut, perlahan tatapannya berubah jadi jahil.

"Lagi tobat?"

Jef tersentak, mengangkat wajah dan mengembuskan napas kesal. "Jantung gue cuma satu, Jen. Kalau masuk rumah orang tuh pake cara manusia kek."

"Ow, kukira temanku bukan manusia." Jennie mengedikkan bahu, melangkah mendekat tepat sesaat sebelum Jef mengocok campuran bahan-bahan dalam mangkuk besarnya. Kotak kemasan mentega, cream cheese, sebotol bubuk vanilla dan gula halus yang berserakan di atas konter membuat Jennie bisa menebak dengan mudah apa yang sedang ingin Jef buat. "Red velvet?"

"Iya."

"Setahu gue, lo bukan chef yang suka bikin kue."

"Terus nggak boleh?"

"Nggak usah pake nyolot. Santai." Jennie berdecak, menarik keluar sebotol soju dan membukanya dengan mudah. Dia cuek saja meminum beberapa teguk, menonton Jef yang menambahkan gula halus secara bertahap sambil terus mengocok campuran. Matanya jatuh ke tangan lelaki itu, pada lengannya yang tak tertutupi baju dan bersih dari aksesoris—Jef bisa saja terlihat seperti chef yang hanya bermodalkan tampang, tapi dia punya aturan yang cukup strict untuk dirinya sendiri ketika memasak.

"Enjoying the view?"

"Dengan kelakuan belangsak kayak gitu, lo harus berterimakasih karena bokap-nyokap lo mewariskan gen yang bikin tampang lo bagus." Jennie berdecak.

Jef memutar bola mata, lalu katanya. "Teman macam apa yang minum sendiri? Give me some."

Jennie mengerutkan hidung pada kata-kata Jef, tetapi tidak membantah. Dia berjalan ke samping Jef, menyorongkan botol sojunya pada lelaki itu. Buat sebagian besar orang terutama laki-laki dan perempuan, minum dari botol yang sama dengan cara seperti itu terkesan tidak biasa. Namun berbeda untuk Jef dan Jennie. Pertemanan mereka sudah berjalan selama belasan tahun—sejak keduanya masih anak muda Asia yang kuliah jauh dari tanah air. Di tahun terakhir kuliah, Jef dan Jennie bahkan pernah tinggal bersama di satu apartemen, berdalih itu untuk menghemat biaya sewa, bukan karena saling memiliki rasa walau bisa saja, itu tidak sepenuhnya benar.

"Cobain." Jef bicara lagi seraya menyendok sedikit frosting buatannya dengan sendok teh, menyodorkannya pada Jennie yang langsung mencicipinya.

"Good."

"Great, mungkin itu maksud lo." Jef mengoreksi, membiarkan sendoknya tersangkut begitu saja di mulut Jennie. Perempuan itu mendengus, ganti mengambil alih ujung sendok dengan tangannya.

"Songong banget."

"I am still a better chef than you."

"Terserahlah." Jennie memutar bola mata. "Mau nonton film? Gue bawa ayam goreng. Udah lama juga kita nggak nonton ulang Friends."

"Tumben. Kenapa?"

"Tumben juga lo bikin kue. Kenapa?" Jennie malah balik bertanya.

Jef tidak langsung menyahut, justru berlagak sibuk mengoleskan frosting pada cake berukuran kecil yang sudah dibuatnya. Dia memang chef, tetapi seperti kata Jennie barusan, dia bukan chef yang hobi membuat kue. Dia perlu memastikan jika kue buatannya enak sebelum membuat kue berukuran besar itu... well... untuk hari ulang tahun seseorang.

"Dia ulang tahun dua hari lagi."

"Siapa? Gebetan baru lo?"

"Acacia."

Jennie langsung kehilangan kata-kata. Jujur saja, selama belasan tahun mengenal Jef—oh ralat, mereka bukan hanya saling mengenal. Mereka bersahabat dengan sangat dekat—boleh jadi, lebih dekat dari beberapa orang yang punya sahabat lawan jenis. Tapi ini adalah kali pertama Jef terdengar... tulus? Entahlah. Jelas, dia banyak menggunakan kemampuan memasaknya untuk membikin gadis-gadis incarannya terkesan, namun tentu Sashi berbeda. Dia bukan gadis yang Jef incar.

Jef tidak akan mendapat pujian apapun, apalagi kepastian bakal balik disayang. Kemungkinan besar, melihat dari sikap yang selalu Sashi tunjukkan pada lelaki itu, suatu keajaiban jika Sashi tidak melempar kue pemberian Jef ke wajahnya atau lebih buruk, ke tempat sampah.

"Gue sendiri nggak tahu kenapa gue melakukan ini." Jef tersenyum tipis, cukup untuk membuat lesung pipi tercetak di kiri-kanan wajahnya. Matanya masih fokus pada mangkuk berisi frosting. "Setiap tahun, Tris selalu bikin kue ulang tahun sesuai permintaannya. Nggak pernah terlewat satu kali pun. Tahun ini, dia minta kue red velvet. Tapi Tris udah nggak ada lagi. Gue merasa... seburuk-buruknya gue sebagai ayah—damn, I don't even know apakah gue pantas disebut seperti itu... tapi sejelek-jeleknya hubungan gue dan dia, gue nggak bisa biarin dia nggak dapet kue ulang tahunnya untuk tahun ini. Tris akan membenci gue karena itu. Gue juga akan membenci diri gue sendiri karena itu."

"Who are you and what you did to my jancuk-est bestfriend?"

Jef melirik Jennie, tawanya pecah. "Aneh banget, gue tahu. Kalau enam bulan lalu ada yang bilang ke gue bahwa enam bulan lagi gue bakal bikin kue di dapur untuk hari ulang tahun seseorang yang nggak bisa gue ajak dating atau gue cintai secara romantis, gue pasti nggak akan percaya."

"Nggak seaneh itu juga, sebetulnya. Cuma... ini kayak pertama kalinya gue lihat lo punya soft side untuk seseorang yang bukan mantan lo." Jennie tahu persis bagaimana di tahun-tahun pertama mereka mengenal, Jef sangat rajin berganti gebetan dan semuanya punya penampilan yang hampir serupa—rambut hitam lurus, wajah Asia dan tutur-kata yang kalem. Jennie menduga dia punya kelainan, tetapi Jef bilang, dia melakukan itu untuk melupakan mantan pacarnya. Sesuatu yang justru ironis, karena gadis-gadis yang lelaki itu kencani justru punya karakter mirip dengan mantan pacar yang ingin dilupakan.

"What do you expect? She is my daughter."

"Bukan karena dia mirip ibunya?"

"Physically, yes. Tapi karakternya nggak ada mirip-miripnya sama Patricia."

"Iya, soalnya mirip lo. Makanya gitu."

Wajah Jef berubah masam. "Thanks, very nuwun."

Jennie berbalik dan berjalan menuju sofa ruang tengah sambil menelan beberapa tegukan minumnya. Dia baru duduk di atas sofa ketika matanya terarah pada pintu kaca menuju balkon yang dibiarkan setengah terbuka, menampilkan beberapa pot berisi sukulen yang kelihatannya baru dibeli. Terakhir kali Jennie mengunjungi apartemen Jef, benda itu belum ada di sana.

"Sukulen?" Jennie bertanya dengan suara keras. Jef betul-betul tidak terlihat seperti Jeffrey Gouw yang biasanya hari ini. Pertama, masalah kue. Kedua, soal sukulen. Dulu sekali, Jennie tahu Jef memang memiliki satu pot mungil sukulen yang rajin dia rawat di apartemen mereka kala keduanya masih tinggal di Australia. Waktu mereka akan kembali ke Indonesia, Jennie menerka Jef akan membawanya. Namun ternyata tidak, Jef justru meninggalkannya di balkon apartemen dan sejak hari itu, Jennie tidak pernah melihat Jef punya sukulen lagi.

"Iya."

"Kenapa baru sekarang setelah sekian lama?"

Jef memotong sedikit bagian dari kue yang sudah selesai diberi frosting, menempatkannya ke atas piring kecil sebelum membawanya pada Jennie. "Because I was wrong."

"Salah di mana?"

"Waktu Tris tiba-tiba menghilang dulu, gue mengira dia nggak punya perasaan apapun lagi pada gue. Atau dia memang sengaja begitu karena dia tahu gue bakal lanjut sekolah ke luar negeri dan itu artinya, kita akan saling berjauhan untuk waktu yang lama. Mungkin dia nggak bisa, tapi nggak berani bilang langsung ke gue, atau dia sudah menemukan seseorang yang lain. Awalnya gue menerima. Tapi kemudian gue marah. I thought what we had was special. Sekalipun dia mau kita putus, seburuk-buruknya gue memperlakukan dia selama dia jadi pacar gue, still, I deserve a proper breakup. She didn't give me that."

"Terus?"

Jef tersenyum pahit. "I was wrong. Even after all these years... and after all the things that happened... she loved me till the very end."

Pathetic, Jennie bergumam dalam hati untuk dirinya sendiri. Dipikir lagi, apa yang terjadi antara Jef dan Tris sebenarnya tidak harus semenyakitkan dan sesarat penyesalan ini jika saja salah satu diantara mereka memiliki keberanian. Tris memiliki keberanian untuk sedikit bersikap egois dan memberitahu Jef akan apa yang sebetulnya terjadi. Jef memiliki keberanian untuk mencari penjelasan, bukannya berasumsi sendiri dan menyimpulkan Tris menghilang tanpa keinginan untuk dicari.

Keduanya bodoh dan beginilah hasil akhir yang mereka dapatkan. Tidak pernah ada akhir yang bahagia, sebab yang lain telah lebih dulu menyeberang menuju keabadian. Yang tertinggal? Penyesalan dan terlalu banyak kata seandainya.

Jennie penasaran, apakah saat bersama suaminya, Tris justru mengingat Jef, seperti bagaimana Jef membisikkan nama perempuan itu ketika mereka tidur bersama—yang berawal dari ketidaksengajaan—sekian tahun lampau.

Ah, kejadian malam itu akan selalu jadi rahasia kecil yang hanya Jef dan Jennie yang tahu.

"Jen," Jef memanggil, membuyarkan lamunan Jennie.

"What?"

"Besok lo cabut, kan? Jangan lupa titipan gue."

"Opo?"

"Hengpon seng anyar kui. Hengpon dajjal seng matane telu." (HP yang baru itu. HP dajjal yang matanya tiga). 

Jennie berdecak. "Halah."

"Gue anggap itu jawaban iya."

"Iye, bawel."

"Boleh nambah satu lagi nggak?"

Jennie memiringkan wajah. "Jeffrey."

"Yoi?"

"Ojo kakean ngakali konco, marakno matimu angel." (Jangan kebanyakan ngakalin temen, nanti mati lo susah). 

"Hehe. You said I can ask for anything selama bukan jablay. Lagian ini tuh bukan buat gue, tapi—"

"Buat siapa?"

"Kalau gue jawab Acacia, lo bakal ngeledek gue nggak?" Jef terlihat ragu, tapi akhirnya dia meneruskan. "Dia ulang tahun, tapi gue nggak terpikir mau ngasih kado apa. Gue nggak mungkin nggak ngasih dia kado. Lo cewek. Gue rasa lo lebih paham."

"Iye."

"Sekarang," Jef mengambil tempat di samping Jennie. "Cobain. Kasih tahu gue gimana rasanya. Gue baru bikin sampel sedikit."

Jennie meraih garpu dari tangan Jef, memotong sedikit bagian kue yang terlapisi frosting dan menyuapkannya ke mulut. Dia mengunyah beberapa kali, kemudian berkomentar singkat. "Enak."

"Enak doang?"

"Fine. Enak banget." Jennie meralat dengan sewot.

Jef tertawa puas, sampai-sampai matanya bertransformasi jadi dua lengkung dan lesung pipi kembali tercetak dalam di wajahnya. Jennie tidak bicara lagi, lebih memilih menyandarkan kepalannya ke bahu Jef dan lanjut menenggak cairan yang masih tersisa dalam botol di tangannya.

"Sekarang giliran lo. Something happened?"

"Nothing. Just tired of work. Lagi hectic banget akhir-akhir ini dan sous chef yang baru nggak kompatibel dengan gue."

"Makanya, beralih ke media aja kayak gue."

"Dan diminta foto bareng setiap ketemu orang yang mengenali gue? Nggak deh, makasih. Gue masih mau hidup bebas dan menikmati pake hoodie tanpa daleman waktu beli menu breakfast di McDonald's tanpa dinyinyirin sama netizen."

"Ya kalau kayak gitu, banyak-banyak sabar aja." Jef berujar seraya meraih remot televisi dan menyalakannya. "Penak ra penak yo penakno wae wong jenenge golek duwit." (Enak nggak enak ya dienakin aja namanya juga cari duit). 

"Jeffrey."

"Opo?"

"Sirahku ngelu separo, opo kui gejala-gejala arep rabi karo bapak-bapak anak satu, yo?" (Kepalaku sakit sebelah, apa ini gejala-gejala mau nikah ama bapak-bapak anak satu, ya?). 

"Bapak-bapak anak satu yang mana dulu nih? Soalnya gue juga punya anak satu."

"Joshua Tirtasana, Cok."

"Sampah."

Jennie tertawa kecil dan mengangkat tangannya yang masih memegang botol soju, bermaksud menelan beberapa teguk lainnya, tapi tangan Jef tangkas merebut botol itu. Dia yang malah menenggak soju yang masih tersisa di sana, mengabaikan omelan protes Jennie.

"Kemarin, waktu gue jalan sama anak lo... nggak tahu kenapa gue jadi kasihan. Dia kelihatan sedih." Jennie tiba-tiba kembali bicara soal Sashi.

"M-hm."

"Dia pasti dekat banget sama ibunya."

"I think so." Jef membenarkan.

"Hari itu, lo mengatakan sesuatu yang gue rasa, nggak akan pernah dia lupa. You said she was a mistake, didn't you?"

"Jen—"

"Kalau dia marah sama lo, gue rasa wajar. Hanya karena lo tiba-tiba baik sama dia, bukan berarti dia harus serta-merta balas baik sama lo. Gue kasih tahu ya, sakit hati karena kata-kata orang tua itu sakit hati yang awet. Bisa jadi, dia nggak akan pernah bisa lupa."

"Gue tahu."

"Tapi... apa yang lo katakan itu... emangnya benar?"

Jef meringis sedikit, lantas menarik napas panjang. "Kehadiran dia di dunia ini, itu bukan sesuatu yang gue duga. Tapi seandainya waktu diputar lagi dan saat itu Tris ngasih tahu gue kalau... dia hamil anak gue... gue nggak akan mundur."

"Kenapa?"

"Because she was the woman I love and she was carrying my child?"

"Yah, nasi sudah jadi bubur. Paling pentingnya, jangan sampai lo bikin kesalahan yang sama—"

"Tumben bijak."

"—soalnya masih banyak kesalahan lain yang bakal lo coba."

"Gundulmu."

Jennie tertawa lagi, membuat napasnya mengembus pelan leher Jef. "Can I stay like this a little longer?"

"Manja banget."

"Buyar, rek. Lagian, iki malam jumat, wayahe kelon." (Buyar, coy. Lagian ini malam jumat. Waktunya kelonan). 

"Tak kelon, mau?" (Gue kelonin, mau?).

Jennie menutup matanya dan tanpa mengangkat kepalanya dari bahu Jef, di bertanya galak. "Kowe arep modar a?" (Lo mau mati?). 

"Hanya menawarkan."

"Dasar murahan."

"Tapi tetap sahabat lo yang paling tersayang. Iya, kan?"

"Mau bilang nggak, tapi ya gimana..."

"Bilang aja iya."

"Iya, bawel. Udah, sekarang lo diem! Suara lo bikin sakit kuping gue!"

Jef hanya menanggapinya dengan gelak puas.

*

Jef harus menahan diri supaya tidak misuh ketika Coky masih tidak menjawab teleponnya yang ketiga. Konyol sekali. Lelaki itu tiba-tiba menghilang ketika Jef melakukan pre-recording untuk konten promosi brand masakan instan yang telah mendaulatnya sebagai brand ambassador—dan kini mereka mengeluarkan varian rasa terbaru yang konon terinspirasi dari hidangan khas Thailand. Seharusnya itu tidak menjadi masalah jika saja Coky memberitahunya kemana lelaki itu pergi. Dalam waktu kurang dari sejam, dia harus sudah berada di sebuah sekolah untuk menggantikan Jennie menjadi juri di acara lomba memasak yang diadakan.

Namun tentu saja, dia tidak bisa pergi begitu saja tanpa Coky.

Jef mendengus ketika teleponnya dialihkan ke mailbox untuk yang keempat kalinya. Lelaki itu hampir saja merutuk di depan layar ponsel yang gelap tatkala seorang perempuan berambut panjang tiba-tiba mendekat. Dari tali lanyard yang terkalung di lehernya, Jef tahu dia bekerja di sana.

"Sori, Pak Jeffrey—saya Leni. Barusan dapat pesan dari Mas Coky kalau beliau sedang ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi saya yang akan mengantar Bapak ke tempat—"

"Jef is okay." Jef menyela, merasa tidak nyaman dipanggil dengan sebutan 'bapak'. "Ada apa dengan Coky?"

Leni berusaha menemukan padanan kata yang sopan untuk menerangkan dimana Coky berada sekarang, tapi dia gagal dan akhirnya menyerah. "Waktu pre-recording tadi, Mas Coky nggak sengaja meminum cairan pencuci piring yang dikiranya jus apel. Tapi tenang saja, Mas Coky sudah dilarikan ke UGD dan sekarang tinggal lemes-lemes aja. Makanya kemungkinan akan menyusul Bap—maksud saya, anda, nanti. Sekarang saya yang akan mengantar."

"Oh, nggak usah. Saya naik taksi aja kalau gitu."

"Nggak bisa, Pak—maksud saya, Jef. Perusahaan menyuruh saya menggantikan Mas Coky untuk mengantar anda. Lagipula, apa kata orang kalau kita sampai membiarkan anda naik taksi?"

"Oke." Jef akhirnya mengiakan, sebab berdebat hanya akan membuang waktu. Leni mengangguk, menunjukkan jalan ke satu arah dan Jef mengikutinya. Dipikir lagi, rasa-rasanya Jef pernah melihat Leni, walau dia tidak ingat persis di mana. Ada sesuatu tentang gadis itu yang terkesan familiar.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, mereka telah berada dalam mobil yang sama, melaju menuju sekolah yang mesti Jef datangi. Situasi terasa awkward, terutama buat Leni yang harus berkali-kali menahan diri untuk tidak meringis. Dia sudah mempersilakan Jef duduk di belakang sementara dia menyetir, namun lelaki itu menolak dan memilih duduk di kursi penumpang bagian depan.

"Saya rasa saya pernah lihat kamu sebelumnya." Jef yang sedari tadi menatapnya tiba-tiba berdecak. "Apa kita ketemu kemarin?"

"Mm... maksudnya?"

"Kita ketemu kemarin. Ana—Acacia nggak sengaja menabrak kamu dengan troli. Plester di tangan kamu bikin saya keingat itu."

Leni mengutuk dirinya sendiri yang lupa melepas plester luka yang masih melekat di tangannya. Itu benar. Mereka memang bertemu kemarin—lagipula, bagaimana bisa Leni lupa pada orang yang punya tampang tak terlupakan seperti Jeffrey Gouw? Dia tahu perusahaannya menjadikan lelaki itu sebagai brand ambassador mereka, tapi urusan handling artis bukan urusannya. Dia kebetulan saja berada di lokasi pre-recording hari ini untuk menggantikan salah satu temannya di bagian marketing yang tidak bisa hadir karena masuk angin setelah karaoke-an dilanjut sesi minum hampir semalam suntuk.

Dia sudah berusaha menghindari laki-laki itu sebaik yang dia bisa selama pre-recording berlangsung, tapi takdir bisa sebercanda itu. Tanpa bisa dia tolak, salah satu seniornya di bagian marketing menyuruhnya mengantar Jef menuju tempat berikutnya yang harus laki-laki itu datangi.

"Oh, really?"

"Kamu nggak ingat saya?"

Leni menggelang. Dusta besar.

"Interesting. Bukannya sombong, tapi banyak orang bilang saya bukan orang yang mudah dilupakan." Jef tertawa dan siapapun paham jika lelaki itu hanya berniat bercanda. Namun ucapannya berhasil bikin Leni sebal. Bukan apa-apa sih, tadi di ruang rias dia tidak sengaja melihat bagaimana Jef mencuri pandang pada belahan dada makeup artistnya yang tanpa sengaja terlihat pada cermin saat si makeup artist itu menunduk untuk merapikan rambutnya.

Jef mungkin tidak menyadari itu, namun kelakuannya bikin Leni jadi ilfeel dan semakin percaya jika semua lelaki itu memang sama saja.

Jadi, dia tidak tertawa.

"Sorry, that was a joke." Jef akhirnya berkata.

"No need to." Leni berkata seraya mengemudikan mobil masuk ke tol dalam kota. Dia mengeluarkan kartu e-tollnya, menurunkan jendela dan menempelkan kartu itu pada scanner yang tersedia.

"Fransesca V." Jef bergumam, membaca nama yang tertera pada ID Card Leni. "Why Leni?"

"Fransesca Valencia is my full name." Leni mengedikkan bahu. "Fransesca kepanjangan. Valencia apalagi. Sesca terlalu feminin buat saya. Therefore, keluarga saya memanggil saya 'Leni'."

"Fransesca cocok untuk kamu."

Leni mendengus tanpa sadar, bikin alis Jef terangkat dan itu membuatnya tersadar. "Sori. Refleks."

"Kamu pasti bukan penggemar saya."

"Kalau saya jujur, apa kamu bakal ngelaporin saya ke perusahaan?"

Jef mengerjap pada pertanyaan Leni, kemudian tawanya pecah. "No, of course no. Nggak ada kewajiban buat setiap orang untuk suka sama saya. Nabi aja masih ada yang nggak suka, apalagi saya yang hanya manusia biasa."

"Saya bukan penggemar kamu."

"It's okay." Jef terlihat santai saja, tapi dia tiba-tiba teringat pada sesuatu yang lain. "Ah ya, soal remaja yang kamu lihat sama saya kemarin... itu bukan pacar saya atau apapun itu yang sejenisnya. Saya nggak tahu kenapa saya harus menjelaskan ini ke kamu, tapi supaya biar nggak salah paham aja."

"Oh."

"Dia anak saya."

Leni tersentak sedikit, tapi hanya butuh waktu singkat bagi wajahnya untuk terlihat kembali normal. "Really?"

"Kamu nggak terlihat kaget."

"Ini jaman yang maju. Kayaknya mulai wajar buat orang punya anak tanpa menikah, walau mereka yang lebih konservatif akan menganggap itu kemunduran moral dan tanda-tanda kiamat sudah dekat." Leni menyahut sekenanya.

"Kamu santai banget, beda dengan kebanyakan cewek lain."

"Maksudnya?"

"Kamu nggak ganjen."

"In general, saya memang nggak suka cowok ganteng." Kecuali Jungkook BTS, Leni meneruskan dalam hati.

"Saya akan anggap itu pujian." Jef berdecak, mengeluarkan ponselnya yang baru saja bergetar beberapa kali untuk membalasi pesan yang masuk. Setelahnya, mereka terjebak dalam keheningan yang canggung hingga akhirnya dua-duanya sama-sama berinisiatif menyalakan musik. Mereka mengulurkan tangan pada saat yang bersamaan, membuat jemari mereka tanpa sengaja, saling bersentuhan.

Leni mengembuskan napas, mengeratkan cengkeraman jemarinya pada roda kemudi sementara Jef berlagak tidak terjadi apa-apa dan menekan tombol pemutar musik.

Intro dari lagu Just One Day milik BTS terdengar.

"I don't usually listen to korean songs, but I think this is okay."

Leni berusaha menahan diri untuk tidak membenturkan kepalanya ke roda kemudi. Jujur saja, walau dia sebal dengan kelakuan Jef di ruang rias tadi, entah kenapa ada sesuatu yang tentangnya yang terkesan mengintimidasi namun menarik di saat yang sama. Mungkin itu suara tawanya... atau dalamnya dekik di pipinya yang muncul setiap kali dia tersenyum?

Lalu sekarang, lagu dari boyband kesayangannya hadir serupa soundtrack untuk kebersamaan mereka. Bisa dipastikan, setelah ini Leni tidak akan bisa memandang lagu itu dengan sama lagi.

"Soal anak yang kemarin sama saya... saya akan sangat appreciate kalau kamu nggak bilang siapa-siapa. Saya ngasih tau karena tatapan kamu di supermarket kemarin terkesan... curiga? Jadi saya bilang sekarang, daripada jadi spekulasi yang nantinya bakal berkembang jadi gosip lainnya. Saya nggak mau ada lagi informasi yang salah tentang saya dan anak itu yang nongol di media, apalagi yang sejenis Lambe Turah."

Leni menelan ludah. "Lagi?"

"Ah ya, sempat ada gosip soal saya dan anak itu yang beredar. Tapi semuanya ditake down dengan cepat. Kamu tahu?"

Bagaimana mungkin Leni tidak tahu?

Dia adalah orang yang mengambil foto Jef dan Sashi malam itu di McDonald's dan mengirimkannya pada temannya yang telah lama kesengsem dengan Jeffrey Gouw—niatnya sih untuk manas-manasin sekaligus menunjukkan jika Jef yang ditaksir temannya telah taken. Eh, malah dikirim ke Lambe Turah dan sempat jadi gosip hot sebelum secara misterius, seluruh beritanya menghilang.

"Nggak."

Jef menatapnya, tersenyum sedikit sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. Leni mengerjap berkali-kali, mencoba berkonsentrasi pada jalanan walau jelas, hari itu akan jadi salah satu hari paling tak terlupakan dalam hidupnya.

Ternyata berkendara bersama Jeffrey Gouw yang rajin tersenyum jauh lebih berat daripada menyaksikan Jungkook beraksi di atas panggung dengan rambut gondrongnya.

*

Sashi kembali mengeringkan telapak tangannya yang mendadak jadi sering berkeringat dengan gugup. Berkali-kali, dia berusaha mencari distraksi dengan memastikan bahan-bahan kue yang mau dia buat telah lengkap di atas meja konter. Kontes memasak yang akan dia ikuti bakal dimulai kurang dari satu jam lagi dan ruangan tempat kontes itu diadakan telah ramai. Ruangan itu adalah ruangan khusus untuk ekstrakurikuler tata boga sekolah, dengan deretan pantry yang dilengkapi oleh wastafel untuk membasuh piring. Ruangan lainnya penuh oleh kitchen utensils yang bisa digunakan. Di sisi lain ruangan, berjajar lima oven yang Sashi tahu harganya tidak murah—kata Ojun sih, harga setiap oven itu setara dengan satu buah mobil Avanza. Tapi entah kenapa Sashi merasa sesak.

Waktu untuk memasak hanya satu jam dan dia tetap ingin membuat kue red velvet. Dia tidak mesti jadi juara. Dia hanya berharap, kue buatannya cukup enak, jadi meski tidak menang, dia bisa bikin Ojun kagum. Yah, namanya juga cinta.

"Lo mau bikin apa hari ini?" Sashi baru saja mengecek tabung gas di bawah pantry ketika sebuah suara terdengar, membuatnya langsung berdiri hanya untuk disambut kehadiran Ojun.

Ojun ganteng banget hari ini, dengan lanyard terkalung di leher dan kaus kepanitiaan warna hitam. Ada jaket terikat di pinggangnya.

"Kue red velvet."

"Wow, bukannya itu susah?"

"Sedikit." Sashi bohong. Tentu saja saudara-saudara, hukum paling penting dalam proses mengambil hati orang yang ditaksir adalah; pen-cit-ra-an.

"Keren lah." Ojun menumpukan tangannya di atas meja konter, menampilkan kedua lengannya yang amboy... uratnya lebih seksi dari urat bakso manapun.

Dalam hati Sashi:

"Semangat ya. Gue nggak sabar nyobain cake bikinan lo nanti. Pasti enak." Ojun berujar seraya menepuk pelan bahu Sashi tanpa sadar tindakannya telah membuat seperempat nyawa Sashi berpulang ke Rahmatullah lebih dulu.

Sashi mengangguk sembari menebar senyum sok manis. Ojun balik tersenyum dan berbalik untuk mengecek apa-apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum juri mereka untuk kontes memasak hari itu hadir. Seluruh dunia Sashi masih dipenuhi oleh bunga-bunga yang berguguran dan semerbak harum dari satu kontainer Molto yang tumpah tatkala sesosok manusia yang penuh kedengkian berjalan mendekat.

Manusia penuh kedengkian itu adalah manusia yang sama yang kemarin sempat kalap dan meminta ayahnya membeli pabrik jaket se-Jabodetabek alias siapa lagi jika bukan Dery.

Jadi kemarin tuh, waktu lagi jalan ke kelas dan hujan lagi turun rintik-rintik, payungnya Sashi tiba-tiba terbang. Otomatis, Sashi langsung mengejar, dong. Dia kehujanan deh, sampai hampir basah. Dery sama Ojun kebetulan melihat dari jauh. Sayangnya, Dery kalah gercep, jadi Ojun yang sampai di dekat Sashi duluan. Dia nggak bilang apa-apa, sok gentleman banget dengan mengambil payung Sashi, terus menarik gadis itu ke tempat teduh. Habis itu, dia copot jaketnya sendiri dan pasangin jaket itu ke badan Sashi.

Terjadilah adegan yang membuat malaikat pencatat amal buruk Dery kerja lembur, sementara malaikat pencatat amal baiknya bisa bobo siang.

Sesungguhnya, sebagai pria yang sejak kecil dididik oleh seorang Tedra Sunggana, Dery sangat paham jika bahwasannya harta, tahta dan wanita adalah titipan. Tapi gimana ya, kelakuannya Ojun yang akhir-akhir ini nge-gas ke Sashi bikin Dery ingin menggelar sayembara untuk menemukan dukun santet terbaik sejagad raya. Lagipula, sebagai lelaki yang (masih berharap) kelak nanti akan dititipi seorang Acacia Tredayorka Tirtasana untuk dijaga sampai napasnya habis, Dery tidak bisa tinggal diam melihat Sashi digoyang terus sama Ojun.

Apanya yang digoyang? Perasaannya lah!

"Nggak usah baper, dia cuma bilang semangat, bukan ngajakin kawin."

Sashi dipaksa turun dari lapisan langit ketujuh. Wajahnya langsung berubah masam. "Beneran nggak bisa lihat orang seneng ya? Lagian 'semangat' tuh bisa jadi adalah awal dari 'will you marry me?' tau!"

"Lagian, kelakuan lo tuh nggatheli. Nek ngomong ojo duwur-duwur, mengko kesampluk montor mabur." (Kalo ngomong nggak usah tinggi-tinggi, nanti kesampluk pesawat terbang). 

"Cocotmu mambu comberan." Sashi mendelik. "Tapi lo mau ada lomba juga kan nggak lama lagi? Jadi nggak bisa lihat gue, dong." (Mulut lo bau comberan). 

"Iya."

"Yaudah, sini."

"Apaan?"

"Sini."

Dery curiga, tapi tetap mendekat karena siapa sih yang bisa menolak permintaan sang pujaan hati.

"Tekuk lutut, Drol."

"Kenapa?"

"Gue lebih pendek dari lo. Kagak nyampe."

"Apaan sih?"

"Tekuk lutut!"

"Iye, hadeh, galak bener." Dery menurut dan sebelum dia bisa menyadari apa yang tengah terjadi, Sashi sudah lebih dulu membungkuk dan meniup pelan titik diantara kedua alisnya. Spontan, ritme jantungnya seakan-akan dipercepat. Cowok itu salah tingkah, berupaya mati-matian menormalkan warna wajahnya yang sekarang pasti memerah. "Lo—lo—"

"Goodluck charm dari gue. Kalau udah gue tiup, pasti menang! Jadi lo harus menang, oke?"

Dery hampir meng-ge-le-par.

"Kok nggak jawab sih?! Muka lo juga, kenapa merah?"

Lidah Dery kelu. Dia bingung harus menjawab apa. Untunglah, seseorang yang berdiri di luar pintu tiba-tiba memanggilnya. Itu ibunya. Dery merasa terselamatkan, sok-sok-an pamit pada Sashi karena dipanggil Mama, padahal dia sendiri juga tidak tahu kenapa ibunya ada di sana.

Joice tengah sibuk kipas-kipas leher serupa istri pejabat dengan payung di tangan kanannya ketika Dery keluar.

"Loh, Mama kenapa di sini?"

"Bosen. Tadinya Mama mau mabur ke Paris, soalnya lagi bete sama si Kontet. Tapi nggak jadi ah, mager. Jadi Mama kesini aja."

Dery langsung paham jika si Kontet yang dimaksud ibunya tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah Yang Mulia Tedra Sunggana. "Kok mbeto payung toh, Ma? Mboten jawah ngeten, perasaan." (Kok pake payung toh, Ma? Perasaan nggak hujan). 

"Puanase sampe mbun-mbunan ngene, nek ora payungan, iso mletek Mama. Awakmu arep lomba, kan? Mama sekalian ngenteni." (Panasnya kayak neraka gini, kalau nggak payungan, bisa mletek Mama. Kamu mau lomba, kan? Mama sekalian nungguin). 

Dery memiringkan wajah, mengamati Joice yang masih sibuk kipas-kipas dengan tangan kanan memegang payung.

Mamaku iki yo... wes nggowo payung... nggowo tas Hermes... kari ditabuhi gendang... (Mamaku nih ya... udah bawa payung... bawa tas Hermes... tinggal ditabuhi gendang...)

Dery tinggal ngomong aja...

"Saritem pergi ke pasar..."

Tapi yo wedi dikutuk jadi batu.

Joice memiringkan wajah dengan alis terangkat kala menyadari bagaimana anak semata wayangnya terlihat menahan tawa, tapi batal bertanya sebab ponselnya telah lebih dulu berdering. Agak kerepotan, dia mencari-cari. Namun setelah membaca nama yang tertera di layar, Joice buru-buru menyerahkan ponselnya pada Dery.

"Silit ayam ku sopo, Ma?" Dery heran, merasa tidak kenal pada nama kontak yang tertampil. (Silit ayam tuh siapa, Ma?). 

"Papamu. Omongke karo de'e, Mama baru mau ngomong lagi sama Papa kalau presidennya udah ganti!"

Dery mengembuskan napas, tidak menjawab telepon itu. "Emangnya kenapa sih, Ma?"

"Papamu mau reunian. Ketemu sama mantannya."

"Yo ojo spaneng toh, Ma. Kan reunian tok." (Ya jangan spaneng lah Ma, kan cuma reunian). 

"Reunian tok matamu reunian tok!" Joice berseru sepenuh emosi. "Papamu iku nge-send meme ke mantane kui, jarene 'ojo sebut aku mantan, sebut wae aku alumni, marai iso reuni'. Nggatheli tenan, memang turunan kucing garong si Kontet kui. Kuesel Mama jadine."

(Reunian doang matamu reunian doang!). (Papamu tuh ngirim meme ke mantannya yang itu, katanya 'jangan sebut aku mantan, sebut aja aku alumni, biar bisa reuni'. Nggatheli banget, memang turunan kucing garong si Kontet itu. Kesel Mama jadinya!). 

"Ma, kalau Papa turunan kucing garong, berarti aku juga kucing garong."

"Yo ora ngono lah! Kowe kan turunan Mama! Lihat aja tinggimu, lebih mirip Mama apa mirip Papa?!"

"Iya, Ma. Iya."

"Wes, ra usah bahas menungso cilik. Bahas Sashi aja tuh. Ayu banget yo. Celemek'e kembang-kembang ih, Mama naksir." (Udah, nggak usah bahas manusia cilik). 

"Emang ayu, Ma..."

"Calon mantu Mama yo mesti ayu."

Dery jadi senyam-senyum sendiri mendengar kata-kata ibunya. Tentu saja. Seperti petuah yang selalu dikatakan Papa; halu ndhisik, dukun kemudian!

*

Lima menit sebelum kontes memasak dimulai, Sashi masih sibuk menata ulang bahan-bahan masakannya di atas konter. Alasannya biar terlihat rapi, padahal itu hanya respon spontan karena dia merasa kelewat gugup sekarang. Dia masih menerka-nerka, mangkuk mana yang akan dia gunakan untuk mengocok campuran frostingnya ketika seisi ruangan mendadak senyap dikarenakan kehadiran seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruangan. Sashi mengernyit, merasa heran dan ikut mengangkat wajah hanya untuk mendapati sepasang mata Jeffrey Gouw kini tertuju padanya.

Keduanya sama-sama bingung, hingga Sashi tersadar, itu berarti Jeffrey Gouw adalah chef yang katanya akan menjadi juri dalam kontes memasak yang dia ikuti. Kelihatannya, Jef juga menyadari itu, sebab ada seringai yang tertarik di wajahnya. Perubahan ekspresi yang drastis, bikin sebagian emak-emak dan para peserta kontes kontan menahan napas.

Sashi tidak terpengaruh sama sekali, justru jadi sebal. Tapi seakan-akan itu belum cukup, Jef meninggalkan mejanya dan malah berjalan mendekati Sashi. Gosip yang waktu itu diunggah oleh Lambe Turah telah menyebar, tetapi tidak ada orang yang bernyali membicarakannya di sekolah—sebab mereka tahu, ada tiga keluarga sekaligus yang menggunakan koneksi mereka untuk menarik semua berita terkait unggahan Lambe Turah.

Sekarang, walau tidak ada yang bicara, Sashi tahu ada banyak mata menatapnya tanpa berkedip, membuat punggungnya terasa panas.

"Red velvet?" Jef bertanya setelah melihat bahan-bahan yang Sashi punya.

"Bukan urusan om."

"Saya jurinya." Jef membalas pongah. "Saya nggak tahu seberapa jago kamu dalam memasak, tapi kue ini tergolong kue yang menantang terutama buat mereka yang nggak sering bekerja di dapur. Semoga beruntung."

Sashi merasa sedang diejek, tapi dia ogah membuang tenaganya untuk berdebat, jadi dia hanya mendengus keras dan buang muka. Jef tertawa kecil, kemudian berbalik dan kembali ke tempatnya.

Beberapa lama setelahnya, Ojun selaku penanggung jawab kontes memasak membuka acara dengan memperkenalkan Jef—yang sebetulnya tidak terlalu perlu dilakukan karena sebagian besar orang yang ada di sana telah mengenalnya—penjabaran aturan dalam kontes, waktu yang disediakan serta indikator penilaian berikut hadiah yang akan diberikan. Sashi baru tahu, ternyata hadiahnya cukup oke. Ada paket jalan-jalan untuk dua orang ke Raja Ampat untuk mereka yang berhasil memenangkan posisi pertama serta laptop dan ponsel keluaran terbaru untuk posisi kedua dan posisi ketiga.

Tapi yah, tetap saja tidak banyak yang berminat karena selain bisa jalan ke Raja Ampat atau membeli gadget dengan uang sendiri, kebanyakan siswa di sekolah Sashi adalah anak-anak yang langsung dibekali tujuh suster sejak mereka lahir. Boro-boro memasak, mungkin buka salak aja nggak becus.

Usai penjelasan Ojun, kontes resmi dibuka. Para peserta mulai mengerjakan makanan mereka dan yang lain mengamati dengan tenang. Namun ada sesuatu yang terasa mengganggu, membuat Jef mengernyit selama beberapa lama hingga dia menyadari, ada bau gas yang menguar. Bau itu samar, tapi mudah terdeteksi baginya yang lama bekerja di dapur. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan yang besar, tersadar belum ada satupun dari peserta yang menyalakan kompor.

Dia baru saja berniat menghimbau pada para peserta untuk tidak menyalakan kompor mereka lebih dulu karena dicurigai ada salah satu tabung gas yang bocor ketika gadis yang berada di pantry paling ujung memutar kenop kompornya dan dalam hitungan sepersekian detik, sebuah ledakan tercipta.

Ledakan itu sangat keras hingga Jef merasa tanah tempatnya berpijak bergetar sejenak. Kaca-kaca ruangan pecah berhamburan. Pekik dan jerit terdengar, menyertai asap juga api yang muncul. Telinga Jef berdenging hebat. Dia masih mencoba membaca situasi di sekeliling tatkala seseorang tiba-tiba menarik lengannya, membawanya keluar dari ruangan yang kini telah sesak oleh asap serta debu.

"Bang!" seruan Coky mengoyak telinganya. Jef mengerjap beberapa kali, merasa jantungnya berdebar kelewat keras dalam dadanya, seperti ingin mendobrak keluar dari kungkungan tulang rusuknya. Serupa adegan film yang diperlambat, dia menyadari bagaimana orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Pecahan kaca terserak di lantai. Sebagian siswa terluka, memegangi lengan mereka yang berdarah atau kepala mereka yang terbentur material keras yang terpental saat ledakan terjadi. Dari jendela-jendela yang sudah tidak berkaca, semburat jingga terlihat, berasal dari api yang perlahan tapi pasti menjalari benda-benda dalam ruangan ekstrakurikuler tata boga. Sebagian tirai telah terkena jilatannya, membuat kobaran api makin terang.

"Bang!" Coky mengguncang bahunya, membuat perhatian Jef berpindah. "Bang, lo bisa dengar gue, kan?!"

Jef mengerjap berkali-kali, lalu mendadak, sebentuk kesadaran menghantamnya dengan telak.

Dia belum melihat Sashi dimanapun. Layaknya orang linglung, lelaki itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari diantara wajah-wajah panik, memanggil nama Sashi beberapa kali. Tetapi hasilnya nihil. Masih tidak ada jawaban. Sosoknya tak kunjung tampak dalam pandangan.

Jef menelan ludah, merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Dia menatap lagi pada ruangan yang kini tengah terbakar, kemudian tatapan matanya berganti ngeri. Laki-laki itu berjalan menjauhi Coky tanpa berpikir, menyusuri koridor hingga dia menemukan apa yang dia cari—kotak kaca dimana alat hydrant ditempatkan.

Jef mengernyit, mencari pemecah kacanya, namun setelah beberapa detik berlalu, dia menyerah dan memilih meninju kotak kaca tersebut dengan tangannya sendiri. Kacanya pecah berhamburan. Tangannya terluka, memar berwarna merah—yang pasti akan berganti jadi ungu setelah beberapa jam—tercipta, diikuti darah yang mengalir menuruni jemarinya. Sebagian menetes ke lantai koridor yang putih. Jef tidak peduli. Dengan alat hydrant di tangan, dia berlari ke dalam ruangan yang terbakar.

Api belum membesar, jadi Jef bisa memadamkan sebagian besar diantaranya dalam waktu singkat. Beberapa orang lainnya ikut masuk ke ruangan itu, mengekor di belakangnya. Dalam tebalnya asap yang membuat jarak pandang terbatas, Jef mencari-cari.

Lalu, dia menemukan gadis itu, tergeletak di lantai dengan kaki dan tangan berhias luka bakar. Dia tidak berdiri dekat dengan tabung gas yang meledak, membuat lukanya tidak terlalu parah. Beberapa peserta lain yang berada dekat dengan tabung gas tersebut tidak seberuntung itu. Mereka semua tergeletak di lantai, sebagian besar mengalami luka bakar parah dan sudah kehilangan kesadaran.

Jef berlari ke arahnya, meraihnya dalam dekapan dengan mudah dan membawanya keluar dari sana. Ada beberapa orang lainnya yang masuk, masing-masing membawa alat hydrant. Seseorang di kejauhan berteriak, meminta siapapun untuk menelepon ambulans. Jef mengabaikan mereka semua, juga tak peduli pada berpasang-pasang mata yang tertuju padanya. Pada bangku panjang yang ada di koridor tidak jauh dari tempat kejadian, Jef berhenti.

Tangannya gemetar ketika dia menyentuh pipi gadis yang ada dalam dekapannya. "Acacia!?"

Gadis itu mengernyit, terbatuk beberapa kali sebelum membuka matanya sedikit. Mata itu merah dan berair. Dia mengerang samar, kemudian batuk lagi. "Don't be so loud. Your voice hurts my ear."

Suaranya serak, mungkin karena dia terlalu banyak menghirup asap. Namun dari kata-katanya, setidaknya Jef tahu Sashi akan baik-baik saja. Dia mengembuskan napas lega, disusul setetes air mata yang tanpa sadar menuruni pipinya. Tanpa berpikir dua kali, lelaki itu memeluk Sashi ke dadanya, membenamkan hidungnya pada helai rambut gadis itu—yang kini berbau seperti terbakar.

Sashi diam saja, merasa lidahnya kelu meski ada sebaris tanya terlintas dalam pikirannya.

Did he just cry?





bonus

"Anginnya kencang sekali!" Tamara berseru sambil menempelkan wajahnya ke kaca mobil. "Look, Mas Felix, Mas Jansen! The trees geal-geol like they're almot fall!"

Jansen dan Felix sama-sama tidak menjawab sampai suara petir terdengar menyambar di kejauhan.

"The gluduk too! Njlegar-njlegor like mercon! Sepertinya akan turun hujan yang sangat deras nanti malam!"

Dua lelaki yang duduk di depan Tamara masih saja diam.

"Aku bicara pada kalian! Nek diajak bicara ku jawab loh ya! Ndue lambe kok dipakai misuh saja!" Tamara protes.

"Aku masih melancarkan gerakan tutup mulut."

"Dan Mas Jansen masih ngambek. Kalian tuh kalau nakal kira-kira, kek. Waktu Mama ama Papa kalian nggak sibuk, misalnya. Kalau gini, kan jadi Mas Jansen yang harus jemput—" omelan Jansen yang sedang menyetir terinterupi oleh suara ponselnya sendiri. Dia menjawabnya tanpa repot-repot, karena headset model robot telah tersemat di salah satu telinganya. "Halo, sayangku. Of course I miss you so much, my lovely yayang. Oh, oke. Wait, aku nganter adek-adek sepupu pulang dulu. Okay, see you. Muachhhh..."

Telepon ditutup dan saat Jansen menoleh, baik Felix dan Tamara telah berada dalam mode ᵈᶦˢᵍᵘˢᵗᵉᵈ ᶦⁿ ʲᵃᵛᵃⁿᵉˢᵉ ™.

"Jika punya pacar membuatku jadi nggatheli seperti Mas Jansen, better aku tidak pernah punya pacar seumur hidupku." Tamara bergumam.

"Itu pacarmu yang keberapa, Mas Jansen?"

Jansen santai saja menjawab. "Empat. Atau lima ya?"

"Oalah, asu buntung." Tamara merespon.

"Mas Jansen akan anggap Mas nggak dengar itu." Jansen santai saja. "Tapi kalian tuh ngambek sampai nggak mau dijemput Mama tuh kenapa sih?"

"Felix yang ngambek, aku sih tidak."

"Kenapa, Lix?"

"Aku mau pindah sekolah."

"What?!"

"Aku akan terus ngambek sampai Mama memindahkanku ke sekolah lain."

"Sekolah lain?"

"Sekolahe Mbakyu Sashi." 

Jansen: 






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

eak, maaf telat. 

wkwkwk. 

oke, karena sepertinya kemarin ada kesalahpahaman, gue kasih tau ya, gue selalu nulis mulai jam tiga sore, jadi kalau jam tiga sore target belom nyampe ya geser ke hari berikutnya. gitu. 

terus maksudnya gue nerapin target tuh biar kalian ada patokan dilanjutnya kapan, biar kalian tuh kayak ngerasa ada 'power' dalam menentukan kapan cerita ini berlanjut, daripada diem-diem bae terus bolak-balik cek tanpa tahu kapan dilanjut. 

jadi kayak apa ya sebenernya ya kapan juga gue update sesering ini... 

kayak seakan-akan wow ngga pantes banget gue pasang target dengan effort gue yang dianggap kurang padahal gue update ini 2-3 hari sekali. 

jadi gatau deh ya, kalau ngga mau pake target juga gapapa, berarti kita lanjut seminggu sekali aja kayak DLP atau Guardiationship. 

eak. 

tapi yauda ni tak kasih target 2,3K comments dan votes. 

next time gatau pake target apa ngga. 

dah lah kalo gitu. 

btw kalian kayaknya kepo banget ya visualisasi coky siapa haha jadi... inilah... 

coky. 

di bawah 

(mari kita lihat apakah coky akan berjodoh dengan salah satu member keluarga gouw???) eaaaaaa



coky tapi nama asli lucas WKKWKWKW

Kim's Manor, October 21st 2019

21.20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro