11
Succulents symbolize enduring and timeless love, for they are tenacious plants that store water in their thick leaves and stems.
Just like what I feel for certain someone.
It's enduring and timeless love.
— Jeffrey Gouw
***
Jennie sudah tahu ada yang tidak beres ketika Sashi kembali ke meja dengan wajah sembab. Dia tampak murung, hanya sesekali menyahut dan selebihnya diam saja ketika Jennie atau Tamara mencoba mengajaknya mengobrol. Beberapa kali, Jennie menyadari bagaimana anak itu menghela napas panjang, juga memaksakan senyum. Sepertinya, mengajaknya nonton film bukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan.
"Kayaknya mending kita shopping aja deh daripada nonton." Jennie berujar usai dia membayar bill makanan mereka. "How about it Tamara?"
"Tidak apa-apa, Tante. Aku juga suka shopping."
"Sashi?"
"Aku ikut aja." Sashi membalas dengan suara pelan, hingga tiba-tiba dia teringat pada sesuatu. "Tapi sebelum pulang, kayaknya aku mau mampir di supermarket di lantai satu."
"Mau ngapain?"
"Beli bahan kue."
"You can bake?!" Tamara jadi antusias. "Can you teach me, Mbakyu?! Aku suka sekali chocolate cookies tapi Mama lebih sering membeli daripada bikin sendiri."
"Aku nggak mau bikin cookies."
"Lalu Mbakyu arep nggawe opo?"
"Red velvet."
"Girlband Korea?!" mata Tamara membulat, terlihat seperti bisa sewaktu-waktu loncat. "Oalahhhh... Mbakyu ki Reveluv toh? I'm not a Reveluv, I'm an Army but I like Mbakyu Wendy, tho. Bias Mbak Sashi di Red Velvet siapa?"
Sashi mengernyit. "Red velvet yang aku maksud itu kue... bukan girlband Korea."
"Oh. Sorry. Tak kira girlband Korea." Tamara terlihat santai aja. "Baiklah kalau begitu, piye kalau kita langsung turun saja ke lantai bawah? Ada yang mau aku beli."
Jennie setuju dan tanpa butuh waktu lama, mereka bertiga meninggalkan restoran ramen tersebut. Mall cukup ramai oleh orang. Jennie sengaja berjalan di belakang supaya Tamara dan Sashi tidak lepas dari pengawasannya. Dipikir lagi, ini adalah kali pertama dia jalan dengan gadis-gadis remaja yang cukup umur buat jadi keponakan atau bahkan anaknya. Jennie berasal dari keluarga yang agak apatis dan sebagian besar sibuk dengan urusan masing-masing. Ditambah lagi, dia tinggal sendiri di Jakarta sementara yang lain kebanyakan memilih berdomisili di Surabaya atau Semarang. Dia nyaris tidak pernah jalan keluar bersama keponakannya—lagipula, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak cowok yang lebih suka membicarakan game atau klub sepakbola favorit.
Jennie tidak pernah punya rencana jadi seorang ibu. Dia selalu merasa dia tidak punya sisi lembut apalagi capability untuk mengasu anak. Namun setelah dia pikir lagi, punya anak sepertinya bukan gagasan yang buruk. Apalagi kalau anaknya seperti Sashi, yang mana jarak umurnya tidak terlalu jauh dengan Jennie. Mereka bisa jadi teman curhat, bisa jadi rekan shopping atau duo maut yang siap merecoki Papi setidaknya sesekali.
Tonggoni wae, Nduk... bentar lagi, kujadikan kamu anak tiri... Jennie membatin dalam hati, tanpa sadar jadi senyam-senyum sendiri.
Begitu tiba di lantai yang mereka tuju, perhatian Jennie dan Tamara langsung terpecah pada bagian yang berbeda. Mata Jennie menyala kala mendapati koleksi terbaru yang dipajang di kaca depan gerai tas branded favoritnya—lalu tiba-tiba saja dia teringat pada rencananya nonton konser di negeri tetangga dan bagaimana dia belum punya tas yang cocok buat melengkapi outfitnya nanti. Tamara beda lagi, tatapan elangnya jatuh pada toko yang menjual beraneka ragam aksesoris dan benda-benda lucu.
"Tante Jennie, I think I have to go there."
"Yaudah, tante juga mau lihat tas dulu. Kamu gimana, Sashi?"
"Aku—"
"Mbakyu temani aku saja, ya? Pleaseeeeee..."
Rengekan Tamara bikin Sashi tak punya pilihan selain setuju. Dia membiarkan Tamara meraih salah satu lengannya, menyeretnya masuk ke toko yang dituju. Mereka menghabiskan lima belas menit awal dengan melihat-lihat benda-benda yang dipajang. Sebenarnya, Sashi tidak sedang kepingin-kepingin amat belanja, tetapi namanya juga wanita, tentu akan mudah salah fokus pada barang-barang unyu. Dalam waktu singkat, tangannya telah penuh dengan beraneka macam jepit warna-warni, juga topi kelinci yang kupingnya bisa naik-turun. Topi kelinci itu sengaja Sashi beli buat Dery. Pasti lucu kalau dia pakai itu. Tamara juga tidak beda jauh, malah barang yang dia ambil jauh lebih banyak dari Sashi dan beberapa diantaranya dia jepitkan saja di tali tasnya.
Sashi baru berpindah ke lorong yang memajang beragam plushies waktu ponsel Tamara berdering. Gadis itu langsung menjawabnya.
"Opo'o, Lix—yooo sorry, I mean, what's wrong, Mas Felix?"
Oh, ternyata yang menelepon adalah Felix, sesosok manusia yang Sashi curigai, pernah menelan toa di masa bocahnya.
"Lagi nang Stroberi karo Mbak Sashi. Lapo? Shopping lah, masa ngising!" Kata-kata Tamara yang tanpa filter membikin beberapa orang diantara mereka menolehkan kepala. Sebab utamanya tentu saja adalah penampilan Tamara yang tidak sinkron dengan kemedokan bahasa jawanya. "Arep join a? Yo ra popo sih. Stroberi-ne nang second floor."
(Lagi di Stroberi sama Mbak Sashi. Ngapain? Shopping lah, masa boker! Mau join tah? Ya nggak apa-apa sih. Stroberi di lantai dua).
Telepon tersudahi begitu saja dan Tamara kembali sibuk belanja cantik hanya untuk terinterupsi oleh dering telepon yang sama tidak sampai setengah menit kemudian.
"What? I said second floor, Cok. Why you sampai tersasar lagi ke lantai bawah—ah, tunggu sebentar. Aku sekarang berjalan keluar dari toko—" Sashi ternganga, berniat mengingatkan Tamara jika dia masih punya banyak jepit tersemat di tali tasnya—belum lagi boneka berukuran sedang serta beberapa belanjaan lain yang dia dekap ke dada. Gadis itu santai saja berjalan melewati pintu depan, melangkah makin jauh dari toko hingga penjaga toko yang berada di belakang meja kasir dibikin melotot. Sashi tidak terpikir menjelaskan situasinya pada penjaga toko dan saat dia tersadar, penjaga toko itu sudah lebih dulu berjalan cepat mengejar Tamara.
Orang yang dikejar? Masih sibuk bicara lewat telepon.
"Kurang jelas apalagi aku memberitahumu, Mas Felix?! Kubilang kan kami ada di second floor! Second floor!"
Felix balik berteriak dari seberang sana. "I can't find you!"
"Second floor, Cok."
"I heard it but I can't find you! Where the hell are you right now?!"
"SECOND FLOOR."
Felix malah balik nge-gas. "YO OJO SPANENG TOH! AKU KI MAS MU LOH YA!"
(YA JANGAN SPANENG DONG GUE TUH KAKAK LO YA).
"YO AKU ORA SPANENG, MASKU SENG TERJANCIK. I AM ON SECOND FLOOR, GOD DAMN IT." Tamara berteriak dengan sepenuh tenaga dalam.
"Nang endi sih?!" (Dimane sih?).
"LANTAI LORO, GOLEKKI PATUNG KATHES, SU. NGRUNGU PORA SIH?!" Tamara berjalan makin cepat hingga kini dia hampir mencapai eskalator, tidak menyadari kehadiran penjaga toko yang berlari kecil ke arahnya. Penjaga itu berusaha memanggil, tapi Tamara justru melenggang santai dengan ponsel tetap melekat ke telinga. "Wait. I see you. Gunakan eskalator yang berada di sebelah kulon—he, kowe ngerti ngulon ora?!"
(LANTAI DUA, CARI PATUNG PEPAYA, JING. NGEDENGER NGGAK SIH?!).
"ORA, AKU NGERTINE NGIRI KARO NGANAN!" (GUA NGERTINYA KIRI AMA KANAN!).
"YAWES NGANAN—EH NGIRI DENG." (YAUDAH KE KANAN, EH KE KIRI DENG).
"Tamara—"
Tamara tidak mendengar jelas apa yang dikatakan oleh Felix karena lengannya tiba-tiba ditarik. Gadis itu mengerjap kaget, lalu mengerutkan dahi kala dia mendapati ada seorang perempuan muda berwajah jengkel berada di sebelahnya, memegang tangannya erat.
"Is there something wrong?"
"Kamu mau maling, kan?!"
"What?!" Tamara hampir tersedak, langsung merasa risih bercampur bingung. Dia berusaha melepaskan tangannya, tetapi perempuan itu justru makin mengeratkan cengkeramannya. "Let go of my hand!"
Keributan itu membuat beberapa pengunjung mall memperlambat langkah mereka, juga menarik perhatian petugas keamanan yang berjaga tidak jauh dari eskalator. Petugas keamanan itu ikut berjalan mendekat, bertepatan dengan Sashi yang datang. Napas gadis itu terengah, kentara sekali dia habis berlari.
"Ada masalah apa ya ini?"
"Adek ini maling dari toko saya, Pak."
"You better think wise before you speak ya, Mbak. I'm not a thief—I'm just—"
"Ini semua salah paham—" Sashi memotong, namun ucapannya terputus karena napasnya yang memburu. Gadis itu membungkuk, memegangi lututnya seraya berusaha mengatur napas. Jeda itu memberi kesempatan bagi mbak-mbak toko untuk menyela sinis.
"Terus kalau kamu nggak maling, coba jelasin kenapa ada banyak jepit dan barang-barang lain dari toko saya yang kamu bawa tanpa izin?!"
"I didn't mean to steal! I—"
"Saya rasa kita harus bicarakan ini di pos keamanan." Petugas keamanan mall akhirnya bicara dan dari nada suaranya, Sashi tahu mereka tengah dalam masalah.
*
Sashi capek dan itu bukan sesuatu yang tidak beralasan, Selama lima menit pertama mereka terduduk di dalam pos keamanan—yang berada di lantai dasar, tidak jauh dari basement, dia harus menyabarkan diri menyaksikan cekcok trilingual antara Tamara dengan mbak-mbak Stroberi. Lima menit kemudian, kedatangan Felix dan Dery memperparah segalanya, sebab Felix, tanpa tahu malu, turut menceburkan diri dalam kontes adu bacot. Dia berlagak layaknya kakak yang baik, berusaha membela adik kembarnya, namun semua argumennya tidak berbobot dan hanya bikin telinga Sashi pengang.
Situasi baru membaik ketika sekitar setengah jam kemudian, kedua orang tua Tamara dan Felix datang, disusul kehadiran Jennie. Sashi lega, tadinya, hingga sosok lainnya muncul dan bikin moodnya jatuh seketika.
Tiada angin tiada hujan, Jef ikut hadir di sana.
"Ngapain om di sini?" Sashi langsung bertanya, sinis dan tanpa basa-basi.
"Dapat telepon dari Felix kalau anak saya dibawa ke pos keamanan mall karena dugaan pencurian." Jef membalas datar, bikin Felix meringis karena Sashi refleks melotot sadis padanya.
"Saya nggak salah apa-apa di sini! Salahin tuh duo keponakan om yang barbar!"
Talitha menyikut Jef, lalu berbisik samar. "Kui putrimu?" (Itu anak lu?).
Jef hanya mengangguk.
"Nggilani tenan, just like her father."
"Lambemu, Tal."
Talitha mengangkat bahu. "It's true, though."
Jajang mengamati situasi dan kondisi, kemudian berdeham, membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. "Baik, karena saya sudah di sini, bisa terangkan apa masalahnya?"
"Anak bapak mencuri dari toko saya."
"I DID NOT!" Tamara membantah keras. "Aku berniat membayar. Hanya saja, waktu menelepon Mas Felix, dia itu sangat ndablek, tidak tahu arah mana yang harus dituju untuk tiba di Stroberi. Jadi aku keluar untuk memberitahunya—"
Jajang berpaling pada anak laki-lakinya. "Bener iku, Mas?"
"Yes, Papa."
"I think we're clear here." Talitha ikut bicara. Gayanya yang kharismatik namun mengintimidasi berhasil membungkam semua suara. "Pa, you take care of this. Felix dan Tamara, we go to car first."
"Jadi, untuk barang-barang yang anak saya ambil dan kompensasi keributan yang mengganggu pengunjung lain, berapa yang harus saya bayar?"
"Soal itu..." Mbak-mbak Stroberi yang tadinya sangar tiba-tiba saja mati kutu.
"Untuk itu sepertinya bisa diselesaikan di toko saja, Pak." Petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan ikut angkat bicara. Kesepakatan pun dicapai dengan mudah. Jajang dan mbak-mbak penjaga toko berlalu meninggalkan pos keamanan untuk menyelesaikan urusan yang mesti diselesaikan, sementara Talitha berbalik dan menatap sangar pada kedua anak kembarnya.
"FELIX PRAJAPATI—"
"—Gouw, Ma." Felix mengoreksi.
"Whatever, Son!" Talitha mendelik.
"Mom, aku bukan yang berdosa di sini! Ini semua pure ulah Tamara!"
"Tetap saja, you did things wrong! Sebagai Mas-nya Tamara, kamu gagal menjaga adikmu! Jadi sekarang kamu harus bilang apa?"
Felix urung membantah, justru tertunduk serupa tahanan yang baru divonis bersalah. "Sorry seng akeh, Mama. Felix bersalah."
"Tamara, you know what to do." Talitha berpindah pada putri bungsunya.
Tamara masih cemberut dengan tangan terlipat di dada, tetapi akhirnya dia menghela napas dan berujar dengan suara lunak yang terkesan cute pada Felix. "Sepurane, Mas Felix."
"Good, now, hug each other."
"Mama, kami sudah SMA!" Felix membantah, sedangkan Tamara tampak enggan.
"Who cares? You are siblings!"
"Mama, tidak usah pakai peluk, boleh tidak? Aku malu, apalagi ada Mbakyu Sashi di sini."
"Ck. Yawes. Oh ya, Felix, next time, Mama nggak mau ya kamu mendramatisir suasana seperti di telepon tadi! Kamu bilang Tamara ditangkap polisi, padahal kan nggak!"
"Loh, Mam, kan betul Tamara ditangkap polisi. Polisi mall."
"Itu berbeda, Felix."
"For me, semua polisi iku podho wae, Mam. Polisi bandara... polisi mall... polisi tidur."
"Oke, kalau gini berarti urusannya udah selesai, kan? Soalnya saya mau belanja."
"Tante Jennie temenin." Jennie langsung menukas.
"No need to." Jef menyergah cepat. "Jen, lo bisa balik duluan. Gue yang bakal antar Acacia pulang."
"Gue yang bakal antar dia pulang." Jennie membantah tegas.
"Jen, please?"
Jennie buka mulut, sudah siap untuk melancarkan segala macam argumen tanpa membawa-bawa soal amanah yang Jo titipkan padanya (itu bisa membuat usahanya mengambil hati Sashi gagal seketika) tapi ada sesuatu pada cara Jef menatapnya, yang membikin perempuan itu hanya mampu menarik napas dalam sebelum akhirnya mengalah. "Fine. Make sure she comes home safely."
"Saya nggak bilang saya mau diantar om."
Jef memutar kepalanya ke arah Sashi. "Dan saya juga nggak bilang kalau saya butuh persetujuan kamu."
"Saya mau pulang sama Badrol aja."
Jef ganti melotot pada Dery, meski sahutannya ditujukan buat Sashi. "Tapi sayangnya, teman kamu yang satu ini mesti pulang duluan dan nggak bisa nganter kamu pulang. Benar begitu kan, coy?"
Dery menelan ludah, menatap bergantian pada Jef dan Sashi yang kini sama-sama melayangkan death glare padanya melalui penjuru yang berbeda. Inilah definisi terhakiki dari ungkapan maju kepeleset, mundur mati. Dery berpikir keras selama sepersekian detik, yang akhirnya membuatnya memutuskan memihak Jef. Tidak apa-apa. Paling juga, Sashi hanya akan kesal padanya. Beda lagi dengan Jef. Jika Jef sampai tidak senang, itu berarti restu untuknya di masa depan akan tertahan.
"Iya... tadi Mama chat aku, minta ditemenin kemanaaaa gitu. Sori ya, Bol."
"Dasar teman bedebah." Sashi sudah tahu jika Dery hanya membuat alasan. Gadis itu menghentakkan kakinya ke lantai sebelum melangkah menjauh. Jef memandang Dery, mengacungkan salah satu jempol dengan wajah datar dan berpamitan alakadarnya pada Talitha juga Jennie sebelum dia berlari mengejar langkah Sashi.
*
"Om pulang aja."
"Moh." (Ogah).
"Idih. Maksa. Saya kasih tau ya, om di sini tuh nggak guna-guna amat buat saya. Malah bikin saya kesal. Saya yakin, om juga terpaksa ada di sini. Jadi biar sama-sama enak—"
"Mau sampai kapan kamu panggil saya 'om'?" Jef memotong repetan Sashi dengan pertanyaan yang tidak gadis itu duga.
"What?"
"Mau sampai kapan kamu panggil saya 'om'?" Jef mengulang.
"Kenapa? Om pengen dipanggil 'ayah', gitu?" Kali ini, ganti Jef yang terdiam dan itu berhasil memicu tawa sumbang Sashi. "Really? You want me to call you 'Dad' or 'Father'? Just because we share blood, doesn't mean you're my father."
Jef diam saja, walau dia menyertai Sashi yang cuek saja mendorong troli.
"Kenapa om diam aja?"
"Karena saya tahu, jawaban saya bakal bikin kamu marah atau sakit hati."
Sashi mengangkat alis. "Ow, don't play a hero here. Kalau hari itu om bisa dengan santainya bilang om nggak pernah menginginkan saya dan bilang saya adalah kesalahan, kenapa juga om mau repot-repot jaga perasaan saya hari ini?"
"Acacia—"
Sashi tidak memberi kesempatan Jef untuk menyelesaikan ucapannya. Gadis itu berjalan santai menjauhi troli untuk mengambil satu kemasan besar mentega tawar. Dia mendekat kembali hanya untuk memasukkan mentega itu ke dalam troli.
"Sori, om tadi ngomong sesuatu?"
"Look, I'm so sorry for—"
Sashi masih tidak mendengarkan Jef, berhenti mendorong troli tiba-tiba dan berjongkok untuk mengambil sekantung tepung terigu. Jef berdiri di sisi troli, menghela napas dalam sambil memejamkan mata selama sepersekian detik. Tangannya terkepal sementara dia mencoba menekan emosinya. Dia mensugesti dirinya sendiri untuk tetap sabar.
Dia tidak boleh membiarkan emosi membuatnya mengatakan sesuatu yang nantinya akan dia sesali—terutama, dia tidak ingin menyakiti Sashi lebih dari yang telah dia lakukan.
"Sebenarnya kamu mau bikin apa?" Jef menyerah, memutuskan untuk membicarakan topik yang lain.
"Red velvet cake."
"Bisa masak?"
"Masak telur bisa. Masak air bisa. Masak mi bisa."
"Berarti kamu masih pemula." Jef melangkah lebih dulu, mengambil sekotak cokelat bubuk tanpa bicara apa-apa dan memasukkannya ke dalam troli. "Untuk bikin red velvet cake, kamu bakal butuh cokelat bubuk. Jangan membantah. Kamu boleh aja nggak suka sama saya, tapi saya chef dan saya tahu gimana caranya bikin kue."
"Sombong." Sashi mencerca.
"Red velvet cake terlalu susah buat pemula. Kenapa kamu mau bikin itu?"
"Nggak ada alasan buat saya ngasih tahu om."
"Ada." Jef membantah. "Barusan saya nanya. Harusnya kamu jawab."
"Nggak ada kewajiban buat jawab."
"Fine." Jef memilih tidak memaksa, kali ini tangannya terulur mengambil sebotol kecil vanilla bubuk. Serupa dengan bahan kue lainnya, sebotol vanilla bubuk tersebut turut meluncur ke dalam troli. Beberapa botol pewarna makanan menyusul tidak lama kemudian. Sashi memiringkan wajah, menatap Jef yang sibuk mengedarkan pandang ke sekeliling, memandang setiap benda yang terpajang di rak seperti tengah mencari sesuatu.
"So, you're really a chef."
Jef berhenti mencari, menoleh pada Sashi dan balik menatapnya. "Kamu pikir saya bohong?"
"Saya kira om cuma chef sok jago yang modal tampang." Sashi mengangkat bahu, lantas mendorong trolinya kembali. Jef mengikuti, berjalan di sampingnya. Tangannya sesekali terulur lagi untuk menjangkau sebotol cuka dan satu kemasan kecil baking soda. "Ada bagusnya juga om di sini. Saya nggak perlu repot-repot ngecek catatan bahan-bahan setiap saat."
"Jadi, kenapa red velvet cake?"
"Mau bikin aja."
"Kenapa?"
"Kenapa juga om sepeduli itu?" Sashi mendengus, mendorong trolinya lebih cepat. Tindakan yang salah, karena hanya butuh waktu singkat baginya untuk kehilangan kendali atas troli tersebut. Troli itu meluncur cepat dan saat seorang perempuan muda tiba-tiba muncul dari arah lain di persimpangan koridor, Sashi tidak cukup mampu membuat trolinya berhenti tepat waktu.
Tanpa bisa dihindari, troli itu menabrak perempuan tersebut. Cukup keras, karena dia memekik kencang. Jef langsung menarik troli Sashi mundur, menatap sebentar pada Sashi yang kini buang muka sebelum dia berjalan mendekati perempuan yang Sashi tabrak.
"Sorry, dia nggak sengaja—oh my, kamu luka." Jef tersekat tatkala dia melihat ada segaris luka gores yang merembeskan warna merah di lengan perempuan itu. Tanpa berpikir, dia mengeluarkan dompetnya dan mencabut selembar plester luka dari sana. "Please take this. Ah ya, saya chef, karena itu saya selalu bawa plester luka di dompet saya."
Perempuan itu menggumamkan sesuatu yang tidak Jef dengar dengan jelas.
"Pardon me, what?"
"Nothing." Perempuan itu kelihatan salah tingkah.
Jef berpaling pada Sashi yang masih diam di belakangnya, tak bersuara dan hanya menonton mereka. "Acacia, you know what to say."
Sashi ogah terlihat seperti dia menuruti Jef, tapi dia tahu dia memang salah dan karenanya, dia harus minta maaf. "I'm so sorry. Aku nggak sengaja. Maaf udah bikin Tante luka. Semoga lukanya cepat sembuh."
"Nah, it's okay."
"Salahnya om-om ini juga sih, bikin saya kesel."
"Acacia!" Jef berseru memperingatkan, tapi dia jadi bingung sendiri kala menyadari bagaimana cara perempuan itu menatapnya dan Sashi bergantian. "Saya bukan om-om dalam artian—dalam artian negatif..." Jef menelan ludah dengan susah payah. "Don't get me wrong..."
Sashi memutar bola matanya, mendorong troli untuk lanjut berjalan sambil geleng-geleng kepala. Sashi sempat mendengar Jef meminta maaf sekali lagi pada perempuan itu sebelum berlari mengejarnya. Kakinya panjang, jadi dalam waktu singkat, dia sudah berada di samping troli Sashi lagi.
Tadinya Sashi menduga Jef bakal menanyainya lagi tentang alasan kenapa dia ingin membuat kue itu, tapi ternyata tidak. Jef malah merunduk, mengecek satu per satu bahan kue yang telah berada di dalam troli. Sashi memperhatikannya beberapa lama, agak tersentak kala Jef tiba-tiba mengangkat wajah dan menatapnya. Dia tahu Jef punya mata yang sama dengan matanya sendiri, tapi entah kenapa, bertatapan dalam jarak yang sedekat itu tetap membuatnya terkejut.
"Kamu bakal butuh susu skim, perasan jeruk lemon dan butter cream. Saya asumsikan, kamu punya garam, gula dan telur di rumah, kan?"
Sashi tidak bisa berkata-kata, hanya mengangguk sekenanya.
"Okay, let's get it." Jef mengambil tempat di depan troli. Sengaja, jadi dia bisa mengatur arah troli tersebut. Juga untuk antisipasi, kalau-kalau Sashi mendorong trolinya terlalu keras. Bisa berabe jika gadis itu sampai menabrak orang lagi.
Tidak butuh waktu lama bagi Jef untuk menemukan bahan-bahan kue yang dia cari. Kelihatannya, dia sudah hapal dimana biasanya bahan-bahan kue yang dicarinya diletakkan. Sashi menurut saja, memperhatikan dalam diam kala Jef mengambil butter cream. Waktu Jef melangkah menuju rak penuh buah lemon, Sashi berinisiatif mengambil susu skim dari lemari pendingin.
Sayangnya, susu skim itu diletakkan di deretan rak tertinggi dalam lemari pendingin tersebut. Sashi harus berjinjit dan masih kesulitan meraihnya ketika tanpa dia sadari, Jef telah berada di belakangnya. Dengan mudah, lelaki itu meraih susu skim yang ingin dia ambil.
Sashi berbalik, mengernyit pada Jef yang juga memandangnya sambil memegang kotak karton kemasan susu skim di tangan kanan.
"Got it for you, little one."
"Don't call me 'little one'."
Jef berbalik untuk memasukkan susu skim ke dalam troli, membuat Sashi tidak bisa melihat tawa kecilnya yang terlepas begitu saja. "But you're indeed a little human, Acacia. Just like your mother."
"Don't talk about me and my mother like that."
"I didn't say it is a bad thing." Jef memutar arah badannya, bikin dia kembali berhadapan dengan Sashi yang kini telah berkacak pinggang. "Mau beli es krim?"
"Nggak. Mau cepat-cepat pulang." Sashi membalas ketus sembari mengambil alih troli belanjaan dari tangan Jef dan mendorongnya menuju meja kasir. Jef diam sejenak, melihat punggung Sashi yang menjauh hingga begitu saja, senyumnya tertarik tanpa dia sadari apa sebabnya. Dia bingung sendiri, tapi akhirnya bergerak menyusul gadis itu.
Jef sibuk memainkan ponselnya ketika Sashi mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam troli, memindahkannya ke atas meja besi. Suara barcode yang di-scan terdengar, disertai suara musik yang disetel oleh pihak supermarket sebagai latar belakang. Jef baru berhenti menarikan jemari di layar handphone tepat ketika barang terakhir selesai di-scan. Tanpa berpikir, dia mengeluarkan dompetnya.
"Saya bisa bayar sendiri." Sashi langsung menolak.
"Dan kamu kira saya peduli?" Jef membalas tak kalah sewot, tetap mengulurkan kartu debitnya pada petugas kasir. Sashi mendesis, dan untungnya dia terlalu lelah buat berdebat. Jadi dia membiarkan Jef membayar semuanya sementara dia mengumpulkan belanjaan yang telah dikemas dalam beberapa kantung plastik.
"Nggak usah bawa yang itu. Berat." Jef berkata sambil memasukkan kartunya lagi ke dalam dompet. Sashi mencibir, walau entah kenapa, dia merasa ada yang luluh dalam hatinya waktu dia melihat Jef meraih kantung plastik yang muatannya paling berat itu. Selama sejenak, Sashi hanya bisa membatu di tempatnya berdiri, tiba-tiba bingung harus bersikap seperti apa.
"Kita pulang sekarang?"
Sashi masih tidak bereaksi.
"Acacia?"
"Ah—hng—iya."
*
Mereka ada di taman belakang pada suatu sore yang cerah setelah diguyur hujan. Rumput dan pucuk dedaunan lembab, masih dipenuhi oleh titik-titik air, tetapi matahari bersinar dengan cerah seakan-akan hari esok tiada lagi. Sashi duduk di atas kursi rotan, menatap pada dedaunan hijau sementara tidak jauh dari tempatnya berada, Mami membungkuk di depan sebuah pot berisi tanaman mawar. Mawar itu, tidak jauh berbeda dengan tanaman lainnya, juga basah habis diguyur hujan, dicumbu oleh derainya hingga jauh ke kedalaman setiap kelopak.
"Isn't it beautiful, babygirl?"
"Iya, Mami."
Mami cemberut sedikit saat menyadari reaksi Sashi yang biasa saja. "Kamu nggak terlihat antusias sama sekali."
"Soalnya aku nggak suka mawar."
"Masih nggak suka mawar?"
"Kupikir sampai seterusnya, aku nggak akan pernah suka mawar."
"Kenapa?" Mami bertanya dengan dahi berkerut sambil melangkah mendekati Sashi, meninggalkan pot mawarnya begitu saja. "Kebanyakan anak perempuan suka bunga mawar."
"Tapi nggak semua. Dan aku nggak suka aja."
"Dia indah."
"Tapi berduri." Sashi mengangkat bahu. "Ada banyak bunga yang indah dan nggak berduri."
"Mami justru suka mawar karena dia indah dan berduri."
"Kenapa begitu?"
"Soalnya... itu bikin mawar terkesan... jujur? Sama kayak manusia. Setiap orang punya keindahan, namun di saat yang sama, mereka juga punya duri. Sifat buruk, yang bahkan orang paling baik sekalipun pasti punya itu. Nggak ada sesuatu yang sepenuhnya hanya penuh dengan keindahan, sama seperti nggak ada sesuatu yang seluruhnya hanya diisi oleh keburukan."
Sashi tertawa. "Apa karena itu juga Mami suka sukulen?"
Sukulen adalah tumbuhan yang mempunyai karakter menyerap dan menyimpan air pada batang utamanya. Banyak orang menganggapnya mirip atau sejenis dengan kaktus, meski itu tidak sepenuhnya benar. Dilihat dari fisiknya, sukulen memiliki kelopak seperti daun, sedangkan kaktus mengganti jaringan daun ke dalam bentuk duri. Bisa dikatakan, semua kaktus adalah sukulen, tetapi tidak semua sukulen adalah kaktus.
"Bukan."
"Terus kenapa Mami suka sukulen?"
"Seseorang yang Mami kenal pernah menghadiahi Mami dengan sukulen."
Itu adalah jawaban terakhir yang Sashi dengar sebelum napasnya tertahan tanpa alasan yang jelas, membuatnya mengerjap dan ketika dia membuka mata, dia disambut oleh cahaya lampu di langit-langit kamarnya. Gadis itu mengedipkan kedua matanya dengan cepat selama beberapa saat. Ada hampa yang menyergap tatkala dia tersadar apa yang baru dilihatnya hanya mimpi belaka.
Tentu saja, sebab Mami tak akan pernah ada lagi di sisinya.
Sashi beranjak dari ranjangnya, menatap pada jam di dinding dan sadar ini baru pukul tiga pagi. Rumah sepi, walau dia tahu kakek-neneknya ada di lantai bawah. Mungkin telah tenggelam dalam titik terdalam alam mimpi. Sashi terdiam sejenak, kemudian memutuskan untuk bangkit karena dia tahu akan sulit baginya kembali tidur.
Dia rindu Mami.
Mungkin itu juga yang menggerakkan langkahnya menuju kamar Mami. Papi tidak menguncinya dan ketika Sashi masuk, masih ada wangi khas Mami yang tertinggal di sana. Kamar itu rapi, dengan kasur yang dingin sebab lama tidak ditiduri. Ada foto pernikahan Mami dan Papi pada salah satu sisi dinding. Salah satu foto dimana Mami kelihatan begitu cantik di dalamnya.
Sashi terdiam di depan foto itu, memandang senyum Mami selama beberapa saat dan bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang tercipta dengan senyum seindah itu.
Setelahnya, Sashi beralih ke lemari pakaian yang berada di ruangan lain. Dia membuka satu pintu, hanya untuk disambut belasan dress yang melekat di gantungan. Seluruhnya dress milik Mami. Sashi memilih salah satu, lalu memeluk dress itu dengan erat ke tubuhnya sendiri.
Seakan-akan dia membayangkan, ibunya yang kini tengah dipeluknya, bukan hanya sehelai kain tanpa nyawa.
Sashi berputar, membiarkan lantai dingin mengecupi telapak kakinya yang telanjang. Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam hingga aroma dari kain yang dipegangnya memenuhi hidungnya. Gadis itu bergerak seakan-akan embus angin malam tengah memainkan lagu yang hanya bisa dimengerti olehnya. Ketika gerakannya terhenti, dia telah menghadapi jendela besar yang terselubungi tirai tipis, menunjukkan beberapa sukulen dalam pot yang masih terawat baik.
Sukulen-sukulen itu milik Mami. Mereka tidak terurus selama beberapa minggu belakangan. Biasanya, Papi selalu menyempatkan diri menyiramnya beberapa hari sekali. Tapi sukulen itu tidak mati, karena mereka memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan air.
Kenapa Mami suka sukulen?
Seseorang yang Mami kenal pernah menghadiahi Mami dengan sukulen.
Tanpa Sashi sadari, setetes air mata menyapa lembut pipinya.
*
Jef tidak bisa tidur malam ini.
Entah kenapa, padahal dia telah ditinggal sendiri. Kedua orang tuanya lebih memilih menginap di hotel terdekat karena menurut mereka apartemen Jef terlalu berantakan. Dia sudah makan dengan kenyang. Secara mengejutkan, dia juga bisa menghabiskan sejam lebih bersama Sashi tanpa diakhiri dengan membuat gadis itu menangis dan sejenisnya. Segala gosip telah ditarik hilang dari peredaran. Orang-orang di sekitarnya tampak bisa menerima kenyataan dan kehadiran Sashi sebagai anaknya dengan mudah—bahkan kedua orang tua Joshua Tirtasana tidak terlihat seperti menaruh rasa tidak suka padanya.
Semestinya, tidak ada yang Jef pusingkan sampai membuatnya sukar terlelap.
Namun dia tetap tidak bisa tidur hingga sekarang, dimana jarum pendek jam dindingnya menunjuk ke angka tiga. Langit di luar gelap, tak menampilkan bintang karena polusi cahaya yang parah. Jef tengah berpikir untuk merokok di balkon ketika dia iseng mengecek akun Instagramnya dan update instastory dari akun Sashi muncul di paling kiri.
Tanpa pikir panjang, Jef meng-kliknya.
Apa yang Sashi posting adalah foto beberapa sukulen dalam pot yang dijejerkan di kusen jendela. Ada beberapa kata yang menyertainya; and the light you left remains, but it so hard to stay when I have so much to say and you're so far away.
She's missing her, Jef bergumam untuk dirinya sendiri, dalam hati sebelum dia mengetikkan balasan untuk instastory Sashi.
3cy_2403: you like succulents?
acacia_t: they were my mom's
3cy_2403: so your mom liked succulents.
acacia_t: very.
Jawaban Sashi membuat Jef terdiam, karena selain memantik kesedihan dalam benaknya, balasan itu juga membuat Jef teringat pada suatu sore yang terjadi belasan tahun yang lalu. Hari itu, Tris ulang tahun. Mereka pergi kencan secara dadakan, sebab sorenya, Jef masih harus bertanding untuk tim basket sekolah. Jef masih ingat, mereka tengah duduk berhadapan di kedai nasi goreng favorit Tris waktu dia mengeluarkan pot mungil berisi tanaman sukulen yang telah dikemas dalam kotak transparan berpita.
"Happy birthday, love."
Tris mengangkat alis kala itu. "A cactus?"
"No." Jef tertawa hingga matanya bertransformasi jadi dua lengkung kembar. "Bukan kaktus, tapi sukulen. Semua sukulen pasti kaktus, tapi nggak semua kaktus itu sukulen."
"Thankyou, Kak Jeffrey."
"Aku tahu kamu lebih suka bunga mawar, tapi untuk kamu, menurutku nggak ada yang lebih cocok daripada sukulen."
"Mmm... kenapa?"
"Succulents symbolize enduring and timeless love, for they are tenacious plants that store water in their thick leaves and stems." Jef meraih jemari Tris, mengusap kulit punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya sambil tersenyum lembut. "Just like what I feel for you. It's enduring and timeless love."
"Kak Jeffrey... thankyou..."
"Patricia,"
"Mmm?"
Jef menatap gadis di depannya dengan lekat, kemudian perlahan senyumnya tertarik lagi. "I love you."
Bukannya menjawab, Tris malah menunduk dan tanpa Jef duga, gadis itu menangis. Tangis yang terlihat aneh, karena bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
"No, no, no." Jef tak peduli sekalipun ada orang yang melihat mereka, dia menunduk hingga matanya sejajar dengan mata Tris, sementara tangannya bergerak menghapus air mata dari pipi gadis itu. "Love, don't cry. Look—Tricy, look at me. What's wrong?"
Tris menatap Jef, membiarkan kedua telapak tangan lelaki itu menangkup sisi kiri dan kanan wajahnya. Dia menggeleng dan tertawa, merasa konyol dengan reaksinya sendiri. "I'm so happy. Thankyou."
"Normally, kebanyakan cewek biasanya menjawab dengan 'I love you too', bukannya nangis terus bilang makasih."
Tris mengangguk.
"Do you love me like I love you?"
Tris mengangguk. Lagi.
"Say it."
"I love you too, Kak Jeffrey."
Ponsel yang bergetar adalah apa yang menarik Jef kembali ke kenyataan.
acacia_t: hey, do you speak bahasa?
3cy_2403: yap. kenapa?
acacia_t: tau caranya bikin kue red velvet nggak?
3cy_2403: emang kenapa?
acacia_t: for my mom. she promised me a red velvet cake but... you know what happened to her.
seen.
acacia_t: but it's okay if you don't, tho :-)
3cy_2403: gue tau... sedikit soal kue itu.
*
Hari ini, Singapura diguyur hujan sejak pagi dan itu membuat Jo teringat pada dua orang sekaligus. Orang pertama adalah Tris. Orang kedua adalah Sashi. Agak lucu, karena Tris menyukai hujan, sedangkan Sashi tidak. Well, Sashi tidak bisa dikatakan membenci hujan, sebetulnya. Hanya saja, dia gampang kedinginan dan di musim hujan, Tris akan makin gencar melarangnya bermain di luar rumah.
Maka pagi ini, usai brunch bersama beberapa kolega bisnisnya, Jo memutuskan mampir di Starbucks terdekat. Bertemankan segelas hot Americano, dia sengaja memilih spot yang agak pribadi untuk duduk. Kedai kopi itu tidak seberapa ramai, hanya ada seorang laki-laki Kaukasia yang tengah mengetik dan dua pasangan Asia yang bicara dalam bahasa Mandarin bercampur Singlish.
Jo mengeluarkan ponselnya, menelepon Sashi tanpa berpikir lebih dulu soal perbedaan waktu Singapura yang satu jam lebih awal dari Jakarta.
Tapi Sashi menjawabnya setelah beberapa kali deringan nada tunggu.
"Iya, Pi. Kenapa?"
Nggak ada apa-apa. Papi boleh kan menelepon anak perempuannya tanpa harus punya alasan? Jo membatin, meski dia tidak menyuarakannya keras-keras. "Sudah jam istirahat di sekolah, Acacia?"
"Pi."
"Hm?"
"Papi lupa ya kalau Spore satu jam lebih awal dari Jakarta?"
"Ah ya... sorry. Papi ganggu kamu?"
"Nggak, sih. Soalnya lagi jam kosong." Ada suara hujan di latar belakang dan tak lama, Sashi bersin tiba-tiba.
"You okay?"
"Cuma bersin aja. Tadi pagi lupa bawa jaket, tapi udah dipinjemin jaket."
"Sama Mandala?"
"Nggak. Sama Oj—maksudku sama Juanda."
Ah, Juanda. Jo tahu anak itu. Ketua OSIS di sekolah yang telah lama Sashi taksir—lebih tepatnya, sejak kelas satu. Sashi tidak pernah bercerita soal Ojun padanya, tapi sering sekali menyebut nama anak itu di depan Tris. Dari Tris juga, Jo tahu soal Ojun.
"Teman kamu baik."
"Banget, Pi."
Jo tertawa kecil, menyeruput isi cangkirnya. "Mungkin dia naksir kamu."
"Nggak mungkin, Pi..."
"Kenapa nggak mungkin?" Jo tidak bisa melihat Sashi, namun dia bisa menerka gadis itu pasti sedang meringis malu-malu sekarang.
"Banyak yang lebih cantik."
"Banyak yang lebih cantik," Jo membenarkan. "tapi mereka kan bukan kamu."
"Papi pasti ngomong begitu biar aku senang aja."
Jo tertawa, membuat Sashi yang ada di seberang sana terdiam. Jujur saja, dia jarang sekali mendengar ayahnya tertawa. Jo yang Sashi tahu adalah Jo yang lebih sering menunjukkan wajah serius. Jika dia menunjukkan perhatian, dia selalu menggunakan Tris sebagai perantara. Tidak pernah secara langsung.
"Sebentar lagi kamu ulang tahun. Mau hadiah apa?"
"Apa aja, terserah Papi."
"Papi nggak jago memilih hadiah, nantinya kamu nggak suka. Nggak lagi butuh sesuatu akhir-akhir ini? Atau ada keinginan sendiri?"
Senyap sejenak, hingga Sashi menjawab lirih. "Nggak ada, Pi."
"Betulan?"
"Kan aku udah bilang kemarin, aku cuma mau Papi cepet-cepet pulang."
Sahutan Sashi membikin Jo terdiam. Ini untuk yang pertama kalinya, Sashi mengucapkan kata-kata semacam itu padanya secara langsung. Biasanya, Sashi hanya akan merengek manja pada Tris jika ayahnya lama tidak pulang dan barulah, Tris menyampaikannya pada Jo.
"Pi?"
"Kalau urusan Papi di sini udah selesai, Papi pasti pulang."
"Yaudah. Aku mau itu aja jadi kadoku. Papi pulang. Udah cukup."
Lidah Jo kelu dan mendadak, dia seolah lupa bagaimana caranya berbicara. Dia masih tidak tahu harus mengatakan apa ketika suara Sashi lagi-lagi menyentak. "Eh, guruku kebetulan udah masuk. Later ya, Pi."
"Have a great day, babygirl."
Telepon terputus, meninggalkan Jo yang hanya ditemani oleh Americano panas pesanannya. Dia berpikir sejenak. Dia akan pulang, namun tentu saja dia tidak bisa mengucapkan 'happy birthday' pada Sashi tanpa memberi kado apapun.
Begitu sebuah ide melintas dalam benaknya, dia langsung buru-buru beranjak dan berjalan menuju tempat pemberhentian taksi terdekat. Supir taksinya adalah pria setengah baya keturunan India yang terkesan ramah, dengan bahasa Inggris bercampur Melayu dan aksen India yang kental, lelaki itu menanyakan tempat yang ingin Jo tuju.
"Orchard. ION." Hanya itu jawaban Jo.
*
Jef kurang tidur semalam dan itu membuat makeup artistnya harus mengeluarkan effort lebih untuk menutupi garis hitam di bawah matanya, tetapi moodnya luar biasa baik. Sambil dirias guna mempersiapkan diri untuk pemotretan cover salah satu majalah—yang juga bakal membahas masalah putusnya dia dengan Rosé juga sedikit tentang karirnya di dunia kuliner, lelaki itu tak bisa berhenti memainkan ponsel. Kelakuannya mengundang kecurigaan Coky, sebab biasanya Jef lebih suka tidur ketika sedang dirias.
"Nugu-ya?"
"Apanya yang naga-nugu?" Jef berpaling dari ponselnya pada Coky.
"Pacar baru lo. Gebetan. Cewek yang lagi lo pedekate-in. Apapun itu. Nuguseyo?"
"Gue nggak lagi pedekate sama siapa-siapa."
"Terus dari tadi lo texting sama siapa?"
"Acacia."
Coky mengerjap, memiringkan wajahnya dan tampak takjub. "Udah jinak tuh anak?"
"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue cor mulut lo ya?"
Coky mengkeret. "Dih, galak amat. Lo aja sering ngomong kasar ama dia."
"Kalau gue nggak apa-apa. Lo nggak boleh." Jef berdecak. "Dia nggak tahu kalau yang chatting ama dia itu gue, of course dia jinak."
"Oh, jadi kayak semacam secret admirer gitu nih ceritanya?"
Jef melotot. "Shut up."
Coky mengabaikan pelototan Jef. "Ngomongin apa sih emangnya? Kayaknya seru banget, sampe nggak ada ujungnya gitu."
"Dia lagi bikin kue."
"Busunsuriya?!"
"Dia lagi bikin kue. Red velvet cake. Gue kasih arahan lewat chat."
"Wuih, gimana hasilnya tuh?"
"Bentar. Tadi gue sih minta fotoin." Bertepatan dengan Jef menjawab, ponselnya bergetar. Sashi mengirimkan foto red velvet cake yang telah selesai di-garnish. Tampilan kue itu berantakan, tapi menurut Jef, tidak buruk untuk ukuran pemula. Terutama Sashi yang lebih sering memasak telur, air atau mi instan. Tetapi yang menarik perhatiannya dalam sekali lihat bukan kue itu, melainkan luka bakar yang tampak di punggung tangan Sashi—dalam foto, dia mengacungkan jempolnya di tepi frame.
acacia_t: berantakan, tapi enak (y)? makasih ya buat bantuannya. lo jago deh.
3cy_2403: tangan lo luka?
acacia_t: dih, kok salfok? iya, tadi ga sengaja megang loyang panas.
3cy_2403: dikasih air.
acacia_t: im okay, don't worry.
3cy_2403: dikasih air dan ke apotek. beli salep untuk luka bakar.
acacia_t: nanti.
3cy_2403: now.
acacia_t: oh stop it. you're not my parent.
I am, though. Jef menghela napas sambil membatin dalam hati.
3cy_2403: send me your address.
acacia_t: buat apa?
3cy_2403: gue gojekin salep luka bakar.
acacia_t: ya ampun, bawel banget. iya, abis ini gue ke apotek. puas?
3cy_2403: great.
3cy_2403: anyway, boleh nanya sesuatu?
acacia_t: apa?
3cy_2403: dari semua kue, kenapa red velvet?
acacia_t: oh. this might sound pathetic. tapi karena lo udah bantu gue... well...
3cy_2403: well?
acacia_t: I'll turn 17 in two days. nyokap gue selalu bikinin gue kue ulang tahun setiap tahunnya. dia sempat nanya, gue mau kue apa untuk tahun ini, dan gue bilang, gue mau red velvet.
acacia_t: this year, she couldn't do it, so I do it for her.
Jef merasa betul-betul buruk. Bagaimana bisa dia tidak mengingat hari ulang tahun anaknya sendiri?
3cy_2403: happy early birthday, acacia.
acacia_t: thankyou :-)
acacia_t: anyway, you're the first to wish me happy birthday.
acacia_t: that means a lot for me.
3cy_2403: why? I'm just a stranger.
acacia_t: nyokap gue selalu jadi yang pertama ngucapin. dan sekarang lo. lo juga yang bantuin gue bikin kue. nggak tau kenapa... itu bikin perasaan gue lebih baik. makasih ya.
Jef tidak membalas, malah berpaling pada Coky yang kini sibuk ngemilin keripik kentang.
"Cok."
"Ne?"
"Balik nanti anter gue ke supermarket."
"Hah, mau ngapain?"
"Beli bahan kue."
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
sebelumnya, nyonya suh mau memohon maaf sebesar-besarnya. jadi sebenernya chapter 11 udah selesai diketik kemarin malem, tapi terus gue nggak suka, akhirnya gue ketik ulang. mohon maaf ya. sebagai gantinya, chapter ini panjang bgt hampir 6000 words. mostly about sashi-jef-jo sih haha
buat yang kangen ojun dan huru-hara felix, next chapter deh ya.
terus apa lagi ya? kayaknya udah itu aja, biar bisa cepet di posting juga chapternya.
makasih buat yang udah baca, udah setia vote dan udah setia comment.
buat target chapter ini, jadinya 2,25K votes + 2,25 comments ya hahaha
jadiin kembar aja.
udah kayaknya itu aja. sampai ketemu lagi di chapter selanjutnya.
dariku yang sedang rindu johnny.
ciao.
bonus jansen. abang jansen ini udah mahasiswa ya, jadi lebih tua dari sashi. sepupunya sashi yang masih sma cuma tamara sama felix.
Dekapan Mas Johnny, October 19th 2019
20.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro