Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

Seburuk-buruknya friendzone, masih lebih buruk like-postingan-doang-zone.

Rasane pengen tak omongke, "lha ya ojo postinganku tok seng di kek'i love, hatiku ki yo lebih butuh love-mu, Sayang."

— Mandala Deryaspati

***

Sunyi menyambut Jef dan Sashi ketika mereka kembali ke ruang tengah. Dery kelihatan salah tingkah, sementara Tamara tertunduk sambil meremas-remas ujung plastik bekas pembungkus es krimnya. Felix tampak tidak nyaman, namun sebelum dia sempat memecah keheningan, Tamara sudah buru-buru melotot padanya—yang jika diartikan, kurang lebih bermakna; shut up or die.

Mereka tidak bilang apa-apa sampai kedua orang tua Jef datang hampir sejam kemudian. Jef memaksa Felix, Dery dan Tamara menunggu di salah satu kamar—yang tentu saja bikin Felix tidak terima. Anak itu hampir saja berkoar bahwa tujuannya berada di sana adalah untuk menyaksikan pakliknya yang jago pencitraan terkena batunya dan disembur omelan oleh Eyang Putri Gouw nomor dua ketika dia menyadari bagaimana Sashi yang berdiri di belakang Jef memandangnya dengan sorot mematikan, lalu melajukan jari telunjuknya dari kiri ke kanan, mendemonstrasikan sebentuk adegan penggorokan. Felix menelan ludah, akhirnya menurut.

Usai mengamankan tiga anak lainnya di dalam kamar, Jef berbalik pada Sashi.

"Tell me, what do you want me to do?"

"Kenapa nanya saya?"

"Masih nanya?" Jef berdecak, tapi kemudian tersadar nada suaranya terlalu menusuk. Dia menarik napas, menyambung lagi dengan suara yang lebih rendah. "Saya nggak tahu harus berbuat apa. Semua yang saya lakukan selalu salah di mata kamu."

"Terserah."

"Kenapa perempuan hobi banget bilang 'terserah', sih?" Jef jadi jengkel.

"Capek duluan, karena laki-laki, terutama yang kayak om, nggak akan bisa ngerti."

"Dengan kata lain, kamu bilang saya bodoh?"

Sashi membalas dengan super nge-gas. "Setahu saya sih orang pintar nggak akan punya anak di umur 19 tahun!"

"Kalau saya nggak bodoh, kamu nggak akan ada. Ngerti?"

"Emangnya saya pernah minta ada?"

Ada medan listrik tak kasat mata diantara Jef dan Sashi waktu tatapan mata mereka beradu. Keduanya saling melotot sengit, lalu melipat tangan di dada dan buang muka. Jef menghela napas dalam-dalam, berusaha mendinginkan pikirin. Oke. Dia harus mencoba mengontrol emosinya dan tidak boleh mengatakan sesuatu yang nantinya akan dia sesali. Seandainya saja Tris ada di sini, tentu semuanya tidak akan sesulit sekarang.

"Okay, then. You're meeting my parents."

"Nggak sekalian mau nyiapin ambulans, om? Takutnya jantungan." Sashi menyindir.

Jef mendengus kesal. "Terserah."

Mereka kembali tenggelam dalam bisu, walau kini duduk di dua sofa yang saling berhadapan. Senyap menyesaki udara, membuat tiga tersangka yang berupaya menguping dari celah pintu jadi frustrasi dibuatnya. Menit demi menit lewat, hingga sebuah ketukan lembut di pintu depan terdengar, membuat punggung Sashi seketika menegang. Jef tidak langsung beranjak, dia sempat menatap Sashi sejenak sebelum kembali menarik napas dalam.

Masih tidak ada yang bicara kala pintu terbuka. Sashi diam saja seraya menundukkan kepala. Tiba-tiba, dia merasa canggung. Bagaimana jika kedua orang tua Jef—yang berarti, kakek-neneknya secara hubungan darah—tidak menerima keberadaannya? Bukan berarti dia ingin diakui. Dia punya dua kakek dan dua nenek yang menyayangi dan peduli padanya tanpa syarat.

Tapi dengan cara apapun, penolakan akan selalu menyakitkan, kan?

Sejujurnya, ketenangan yang ditunjukkan kedua orang tuanya bukan sesuatu yang Jef duga. Ibunya cenderung emosional setiap kali membahas mengenai hubungan asmaranya, dan itu wajar. Dia anak satu-satunya, belum menikah hingga usianya jelang menginjak kepala-empat, sementara Jessica dan Talitha—anak-anak dari mendiang adik ayahnya—sudah lama berumah tangga dan memiliki anak. Kali ini, ibunya diam saja, melangkah tenang menuju salah satu sofa. Ayahnya sempat memandangnya sebentar, kemudian ikut duduk di sebelah ibunya. Mereka menatap Sashi yang masih tertunduk, sebelum beralih pada Jef.

"Perjalanannya lancar—"

"No need for small talk, Jeffrey." Ayahnya sudah memotong duluan, bikin Jef mati kutu di tempat.

Ibunya menatap Jef, agak judes dan penuh prasangka. "Kalau perjalanannya ndak lancar, ibuk ndak akan ada di sini sekarang. Piye toh, Le?"

Jef meringis, serasa baru ditampar walau hanya dengan kata-kata.

"Ibuk karo bapakmu yakin, kamu mesti wes paham kenapa kami ada di sini. Bojone Yono wes cerita ke ibuk soal gosip itu."

"Bu—"

"Arek wedok iki," ibunya memotong, melirik sekilas pada Sashi yang masih diam. "Benar dia pacarmu?"

"Bukan."

"Jeffrey Gouw, lihat ibuk waktu kamu jawab."

Jef mengembuskan napas pelan, menatap ibunya dan mengulang. "Dia bukan pacarku."

"Lalu dia siapa?"

"Aku..." Jef berpikir sejenak, sempat ragu, tapi akhirnya menyambung lirih. "Aku mau cerita soal sesuatu, tapi Ibu sama Bapak harus janji, Ibu nggak akan marah sama dia."

"Lha yo tergantung."

Jef meneguk saliva, lantas berpaling pada Sashi. "Acacia, look at them."

"Why should I?"

Jef tidak membalas, begitupun Sashi yang tak lanjut bicara karena kedua orang tua Jef sudah terlanjur dibuat tercengang tak percaya saat melihatnya. Itu bukan sesuatu yang mengherankan. Garis wajah Sashi mengingatkan mereka pada sesosok gadis dari masa lalu—gadis yang kerap berkunjung untuk memasak bersama ibu Jef di akhir pekan. Gadis yang karena telah dekatnya dengan mereka, beberapa kali diundang menghadiri acara keluarga. Gadis yang mendadak menghilang dari hidup Jef tepat delapan belas tahun yang lalu. Namun begitu, tak seluruh bagian dari wajahnya persis sama dengan Patricia. Waktu menatap Sashi, ibu Jef serasa memandang ke dalam mata anaknya sendiri.

Perempuan itu terhenyak sejenak, hingga dia berhasil menguasai diri setelah beberapa lama dan menoleh pada anaknya. "Ndang kasih tahu ibuk, sebenarnya apa maksud semua ini?"

"Ibu percaya kalau aku bilang dia anakku?"

Sesuatu yang seharusnya terduga, tapi tetap berhasil membuatnya tersekat untuk yang kedua kalinya. "Le, guyon macam apa ini?"

"Apa aku kelihatannya lagi bercanda?"

Perempuan itu mengerjap beberapa kali. "Lha yo kok iso?"

Jef berdeham, sengaja melegakan tenggorokannya sebelum dia mengisahkan ulang apa yang diberitahu Tris dan Jo padanya. Cerita tentang masa lalu, yang sesungguhnya teramat klise. Mereka tidur bersama. Lalu Tris menghilang tanpa kabar, juga menolak dihubungi. Waktu berjalan dan Jef terpaksa berpindah ke lain negara tanpa sempat berpamitan, apalagi menjanjikan diri untuk kembali di kemudian hari. Tris memiliki anak darinya, menyimpan semuanya rapat-rapat tanpa memberitahu Jef hingga menjelang kematiannya, dia merasa baik Jeffrey maupun Sashi berhak tahu kebenarannya.

Penjelasan Jef bukan hanya membuat napas kedua orang tuanya tertahan, tetapi juga membikin Sashi dikuasai keterkejutan. Dia tidak menebak jika apa yang terjadi sesungguhnya seperti itu. Dia hanya tahu, Jo bukan ayah biologisnya. Dia tidak pernah mendengar kalau ibunya adalah pihak yang meninggalkan, bukannya ditinggalkan. Berjuta rasa berbaur dalam benak Sashi, membuatnya bingung sekaligus merasa bersalah. Dia bingung sebab tidak memahami mengapa ibunya yang justru pergi. Rasa bersalah timbul karena dia teringat pada kata-kata yang diucapkannya untuk Jef tempo hari.

"Dia anakku. Namanya Acacia."

Ibunya beranjak dari duduk, menatap Sashi dengan mata membulat dan tangan melekat di bagian depan kerah pakaiannya. Wajahnya masih diliputi rasa tidak pecaya. Ayahnya hanya diam, walau matanya yang cokelat terang terarah pada Sashi dengan sorot penuh emosi yang sukar terdefinisikan. Jef masih duduk di tempatnya, tetapi refleks bangkit kala dia melihat ibunya mulai berjalan mendekati Sashi.

Lelaki itu buru-buru bergerak, langsung pasang badan di depan Sashi yang tengah bingung harus bersikap seperti apa.

"Minggir, Le."

"Aku tahu ini mengejutkan buat Ibu, tapi dia nggak salah apa-apa. Aku yang salah di sini."

"Ibu bilang, minggir."

Jef memejamkan mata selama sepersekian detik, menghela napas panjang dengan tangan terkepal sebelum akhirnya bergeser dengan berat hati, menonton dengan harap-harap cemas tatkala dia melihat bagaimana ibunya kini berjongkok di depan Sashi yang masih menghindari kejaran matanya. Perempuan itu tercengang, karena semakin lama dia melihatnya, semakin dia tersadar bagaimana anak di depannya memiliki wajah yang familiar. Dan yang terpenting, dia bukan hanya mirip dengan Patricia.

Anak itu... juga mirip dengan anaknya sendiri.

"Bu—"

Kata-kata Jef tidak terteruskan ketika ibunya mencondongkan badan, kemudian meraih Sashi ke dalam pelukannya.

*

Jennie Kartadinata boleh jadi tergolong perempuan agak brengsek, tetapi sesungguhnya dia juga sosok berhati malaikat yang setia menjaga setiap kepercayaan yang diamanahkan kepadanya. Jadi tentu saja, alasan kenapa dia sampai menghubungi Jef atau mencari informasi terkait akun Instagram Dery nyaris sepanjang sore hanya agar dia tahu di mana Sashi berada bukan karena yang meminta tolong adalah Joshua Tirtasana, tapi lebih kepada karena dia merasa harus betanggung jawab atas kepercayaan yang sudah diberikan padanya. Maka, usai tahu dari Jef jika Sashi tengah berada di apartemen begundal itu, Jennie pun langsung meluncur menuju TKP diiringi semboyan 'siap, 86!'.

Namun tentu saja, kekurang-ajaran Jeffrey Gouw adalah sesuatu yang tidak akan bisa luntur meski telah direndam dalam puluhan liter cairan pemutih selama semalaman. Jeffrey tidak bilang apa-apa pada Jennie soal Papa dan Mama Gouw nomor dua yang tengah nongkrong di rumahnya. Maka jadilah, dengan seenaknya, Jennie nyelonong masuk usai Jef membuka pintu, diiringi senandung yang meniru nada theme-song animasi Tayo si Bis Kecil yang Ramah.

"Hey Jeffrey... hey Jeffrey... dia si jancok brengsek—ups—" Jennie spontan berhenti menggoyang tasnya dan langsung berdiri tegak dengan muka yang dibikin sekalem mungkin tatkala dia menyadari bagaimana kini mata kedua orang tua Jef yang tengah duduk berhadapan di sofa sudah terarah padanya. "—ndilalah... sugeng ndalu, Om... Tante..." (Selamat malam, Om, Tante). 

Jef menyusul di belakangnya, kentara sekali menahan tawa. Jika Felix menganggapnya jago melakukan pencitraan, maka Jennie sudah pasti adalah pakar dari segala pakar dalam urusan itu. Di depan kedua orang tua Jef, Jennie bisa dengan sedemikian rupa mengubur karakternya sebagai perempuan binal yang juga professor di bidang per-misuh-an dan per-sambat-an, menjelma menjadi gadis selembut dan seanggun putri Solo—ya meski Jennie bukan gadis lagi, sih. Tertangkap basah seperti sekarang jelas agak-agak bikin dia tengsin.

"Malam, Jennie. Apa kabar?"

"Ehem... baik, Tante." Jennie jadi betulan malu sekarang. Rasanya dia ingin menghilang saja. "Kok ndak kasih tau kalau Om sama Tante ke Jakarta? Kan saya bisa jemput di bandara."

"Ini juga mendadak, Jen." Papa Gouw membalas. "Jeffrey bikin masalah. Lagi."

Jef meringis. "Lo mau ngapain ke sini?"

"Jemput Acacia."

Mama Gouw langsung menembak Jennie dengan pertanyaan. "Awakmu wes eroh soal Jeffrey dan Acacia?"

"Sudah, Tante."

"Oalah, jadi kita yang belakangan tahu, Pak." Mama Gouw mendelik pada Jef. "Lain kali kamu begini lagi, Le, tak coret kamu dari Kartu Keluarga."

"Tapi kenapa kamu yang jemput Acacia?" Papa Gouw justru penasaran pada sesuatu yang lain.

"Uhm... saya kebetulan kenal sama papanya—maksud saya, Joshua Tirtasana, papinya Sashi yang—hng..."

"Ra usah bingung koyok ngono. Kita sudah tahu ceritanya seperti apa." Mama Gouw meletakkan cangkir tehnya di atas meja, kentara sekali masih ada sebalnya pada Jef yang tersisa. "Kenapa mesti dijemput? Biar saja Acacia menginap di sini malam ini."

"Buk, kita sudah sepakat kita bakal pelan-pelan." Jef merendahkan suaranya, sengaja supaya tidak terdengar oleh Sashi dan anak-anak lainnya yang kini dipaksa mendekam di dalam kamar. "Kalau Ibu kaget, Acacia jelas lebih kaget. Dia butuh waktu."

"Mau sampai kapan, Le?"

"Sabar, Bu." Papa Gouw berujar seraya menyentuh lengan istrinya, membuat perempuan itu menarik napas panjang dan akhirnya mengalah.

Jef membiarkan ayahnya memberi pengertian pada ibunya, sementara dia menarik Jennie menuju balkon. Jennie tersenyum anggun seolah-olah dia baru saja dinobatkan sebagai pemenang kontes kecantikan Miss Universe, namun wajahnya seketika berubah jadi segalak harimau lapar saat dia telah berdua saja dengan Jef di balkon.

"Kasih gue alasan untuk nggak nyepak lo sampai jatuh ke bawah, Gouw." Jennie berkata sambil menggulung lengan sweater yang dia pakai.

"Bokap-nyokap gue ada di ruang tengah."

"Shit." Jennie memaki. "Kenapa lo nggak ngomong kalau ada bokap-nyokap lo di sini?! Hampir aja belang gue kebuka di depan mereka!"

"Udah kebuka kali," Jef mencibir.

"Jongkok buruan lo, biar bisa gue jotosin!"

Tawa Jef membahana, yang hanya berlangsung sebentar karena gelaknya cepat terganti oleh erang kesakitan. Jennie, dengan kebarbarannya, telah menganugerahkan sejumlah cubitan menyakitkan di dadanya. "Hahaha, kalau pendek tuh nggak usah kebanyakan gaya—argh—Jen, ampun! Tolong jangan cubit tete gue!"

"Salah lo sendiri, nyet! Untung aja gue datang ke sini kaosan ya. Coba kalau gue seksi dikit, pasti udah diceramahin abis-abisan ama nyokap lo!"

"Oh ya. Tumben nggak pamer badan. Ada apa gerangan nih?"

"Tentu untuk keperluan pencitraan di depan calon anak tiri." Jennie meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya dengan ekspresi wajah super songong. "Lagian, nggak berfaedah juga gue datang ke apartemen lo pake baju seksi."

"Loh, kenapa? Hitung-hitung sedekah."

"Ogah sedekah sama lo. Salah-salah malah diterjang."

"Kalau diterjang duda mau?"

"Kalau itu sih, sebelum diterjang, gue udah buka lapak duluan."

Jef berdecak. "Ngapain lo inisiatif amat ngejemput Sashi?"

"Ada amanah dari duda keren kesayanganku."

Jeffrey pun MARRRAAAAAAAHH.

"OH, JADI KALAU DIA YANG MINTA BANTUAN, LO AUTO BERANGKAT?! KALAU GUE YANG MINTA, LO LANGSUNG NGGAK BISA. GITU YA?!"

"Woyajelas. Ngaca lah, anda siapa, dia siapa. Anda bajingan, dia idaman. Jelas beda, toh ya!"

"Babi."

"Tolong cocote dikondisikan."

Jef tidak menyahut, malah menyipitkan mata pada Jennie sambil cemberut. Jennie mengernyit ngeri, merasa bulu kuduknya serentak berdiri.

"Raimu iku ra usah dimanja-manjake koyok ngono, cok. Nek aku muntah piye jal, opo kowe gelem tanggung jawab, ha?!" Jennie berdecak. "Udah ah, males ngomong lama-lama sama lo! Misi mengambil hati calon anak tiri lebih penting so adios ndhisik, ndes." (Muka lo nggak usah dimanja-manjain kayak gitu, Cok. Kalau gue muntah gimana, apa lo mau tanggung jawab?!) (Jadi goodbye dulu lah, ndes). 

Jef menonton punggung Jennie yang melangkah santai menuju pintu balkon, bergumam samar dengan wajah penuh dendam. "Nek ra mikir konco, saiki wes tak antemi kowe." (Kalau nggak mikir lo tuh temen gue udah gue hantem lo). 

*

Dery tidak tahu persis apa yang terjadi di ruang tengah apartemen Jef sesaat setelah kedua orang tuanya datang, namun dia sadar, Sashi jadi lebih murung saat dia kembali ke kamar. Pipi dan matanya sembab, jelas habis menangis. Dery tidak suka melihatnya. Sepanjang pertemanannya dengan Sashi—dan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak mereka hanya anak kecil berseragam merah-putih yang hobi baris di deretan paling belakang setiap upacara supaya kalau pegel bisa jongkok—Dery tidak pernah melihat Sashi sesedih sekarang. Kehilangan ibunya sudah cukup berat untuknya dan masih harus ditambah fakta jika ayah biologisnya bukan ayah yang dikenalnya selama ini.

Jika saja Dery bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya berhenti bersedih, meski Dery harus membeli semua sungai dan rawa di jagad Indonesia Raya, maka sudah pasti akan Dery kerjakan.

Kenapa harus sungai dan rawa? Nggak tahu sih Dery juga. Biar anti-mainstream aja gitu.

Ditambah lagi, hanya dalam hitungan hari, Sashi akan berulang tahun. Dery ingin, tahun ini Sashi merasa sebahagia tahun-tahun sebelumnya, seperti ketika ibunya masih ada dan dia masih mendapat kue ulang tahun yang diinginkannya.

Seandainya harus jujur, sebetulnya Dery ingin menemani Sashi. Tetapi Tante Jennie tiba-tiba muncul, bilang dia ada di sana untuk menjemput dan mengantar Sashi pulang—namun sebelum itu, dia berencana mengajak Sashi nonton film dan makan-makan. Tamara boleh ikut, soalnya dia sama-sama perempuan dan Tante Jennie bilang, acara malam ini memang khusus perempuan.

Dery? Terpaksa terjebak bersama Felix.

Teknisnya, sekarang mereka berada di mall yang sama dengan Sashi, Tamara dan Tante Jennie. Hanya tempatnya saja yang berbeda karena seperti kata Tante Jennie; makhluk berbatang dilarang join. Sekarang, mereka lagi di Baskin Robbins gara-gara Felix merengek minta es krim.

"Mas Mandy, what is your Instagram account?" Felix tiba-tiba bertanya sambil fokus main handphone. Satu tangannya yang lain megang sendok es krim.

"Mandy?"

"Short for Mandala. Mandala itu nama yang terlalu panjang, Mas Mandy."

"Terserahlah." Dery berdecak. "Ngapain juga lo nanya-nanya Instagram gue, Bocah?"

"No, no, aku bukan bocah. Aku memang lebih muda darimu, but ngene-ngene, aku ki wes understand about how to make a baby. Don't call me bocah. Dek Felix is okay tho. Mbak Erina sometimes calls me Dek Felix and it sounds cute."

"Iye, ngapain lo nanya-nanya Instagram gue?"

"Tidak apa-apa, kepingin tahu saja. Siapa tahu Mas Mandy jadi sepupu iparku di masa depan."

Perasaan Dery: 

Begitu saja, dia memberitahu username akun Instagramnya pada Felix. Murahan memang. Jika Yang Mulia Tedra sampai tahu, bisa-bisa Dery tidak diakui sebagai anak.

"Hm, do you like my cousin that much, Mas Mandy?"

"Anak kecil kayak lo tahu apa?"

"Tahu cukup banyak." Felix mengamati Dery sejenak. "Dari tebakanku, kelihatannya Mas Mandy dan sepupuku terjebak dalam hubungan yang sebetulnya simple, but painful. Is it right?"

Walah, uasem. "Simple but painful koyok opo?"

"For example, jika kalian chat dengan satu sama lain, Mas Mandy balas chat dari sepupuku secepat gledhek. De'e balas chat Mas Mandy sakpenake dewe. Am I right?"

Inilah definisi dari serapi-rapinya menyimpan bangkai, akan tercium juga baunya. 

Dery mencondongkan badan, bertanya dengan suara pelan. "Keliatan banget, po?"

Felix mengangguk. "Jadi aku benar ya? Hm, kalau sudah begitu, hanya ada satu kata untuk Mas Mandy."

"Apa?"

"Tuman."

Dery jengkel seketika. "Ndasmu arep tak gaploki, a?"

Felix malah nyengir tanpa dosa dan lanjut stalking akun Instagram Dery. "Mas Mandy, can I be honest?"

"Opo meneh?!"

"Setidaknya Mas Mandy can be happy, soalnya sepupuku rajin like your posts." Felix berkata. "But hati-hati dengan hati, Mas Mandy. Papa once said that nek salah letak, ati iku bisa kratak."

Dery malah tersenyum getir. Oalah, cah gendheng mana ngerti. Seburuk-buruknya friendzone, masih lebih buruk like-postingan-doang-zone. Rasane tuh dadi pengen tak omongke, "lha ya ojo postinganku tok seng di kek'i love, hatiku ki yo lebih butuh love-mu, My Darling."

"Mas Mandy," Felix memanggil lagi.

"Apaan lagi dah?!"

"Sekolah Mas Mandy cool tidak? Apakah banyak gadis-gadis yang besar dan cantik seperti sepupuku di sana?"

"Emangnya kenapa?"

"Kalau iya, aku mau pindah sekolah saja."

"Idih, ganjen."

"Kata Papa, tidak apa-apa, selama janur kuning belum dipasang, aku masih punya banyak waktu untuk berpetualang."

"Bokap lo sesat."

Felix terperangah. "Hah, masa? Kukira selama ini, my Papa iku jamet."

Dery capek.

*

Sashi tahu, sebenarnya Jennie bermaksud baik. Tetapi dia terlalu lelah untuk berpura-pura senang malam ini. Tadi saja, waktu Jennie mengajak mereka mengambil selfie bertiga—katanya untuk dikirimkan ke Papi—Sashi harus mengerahkan banyak tenaga hanya untuk menarik senyum. Sebelum nonton, Jennie mengajak mereka makan di restoran ramen favorit Sashi (yang ternyata juga jadi tempat favorit Jennie). Tamara setuju-setuju saja. Tampaknya, anak itu jauh lebih kalem daripada kembarannya.

"Enaknya kita pesen dessert juga nggak ya? Tapi kalau nanti mau jajan popcorn buat nonton, kayaknya mending nggak usah. Menurut kamu gimana, Mara?"

"I agree with you."

"Acacia?"

Sashi tidak menjawab, malah mengaduk-aduk es batu dalam ocha dingin di gelasnya.

"Koyok di sinetron opooooo gitu, lali aku, seng jelas minum'e diaduk tok." Tamara bergumam.

Jennie mengerjap beberapa kali sebelum memanggil lagi. "Acacia?"

Sashi tersentak, menoleh pada Jennie dengan senyum dipaksakan. "Hng... ya, Tante?"

"Sweet cheeks, what's wrong?"

Sashi tidak suka cara Jennie bicara padanya. Juga cara Jennie menatapnya. Semua itu mengingatkannya pada Mami, membuatnya makin merindukan perempuan itu.

"Um... kayaknya... aku perlu ke toilet."

Sashi sengaja tidak menunggu tanggapan dari Jennie, maupun Tamara. Gadis itu berjalan diantara keramaian restoran di jam makan malam menuju toilet. Untung, toiletnya sendiri tidak ramai. Sashi memilih salah satu kubikel, kemudian menutup pintu rapat-rapat sebelum mulai menangis. Dia membekap mulutnya dengan tangan, mencegah supaya tangisnya tidak menimbulkan suara.

Dia kangen Mami. Dia berharap Mami ada di sini. Mengapa keinginan yang amat sederhana bisa semustahil itu untuk jadi nyata?

Semua orang tiba-tiba jadi orang asing. Mendadak, aku nggak kenal siapa-siapa lagi selain Mami. Tapi kenapa Mami pergi dan ninggalin aku sendiri?

Sashi masih tersedu dalam diam saat ponselnya berdering. Ada telepon masuk dan itu dari Papi. Tatapannya yang kini terarah pada layar ponsel telah terselubung air mata, membikin segalanya jadi buram. Namun Sashi tahu dia harus menjawabnya. Tidak mengangkat telepon itu hanya akan membuat Papi cemas dan Sashi tidak mau menambah beban pikiran ayahnya.

Dia menjawab telepon yang masuk setelah sebelumnya menarik beberapa hela napas yang sangat dalam, berusaha membuat suaranya terdengar normal.

"Iya, Pi?"

Senyap sejenak di seberang sana, hingga suara Papi yang terkesan canggung terdengar. "Papi dikasih tahu Tante Jennie, katanya kamu lagi jalan ama dia ya?"

"Iya, Pi."

Papi diam lagi, sebelum tanyanya yang terdengar hati-hati terlontar. "Acacia, you okay, right babygirl?"

"Iya. Nggak apa-apa. Aku cuma lagi di toilet aja." Kontras dengan kebohongan yang baru saja dia katakan, setetes air mata lainnya meluncur menuruni pipi Sashi.

"Good, then. Have fun ya sama Tante Jennie."

"Iya, Pi." Sashi menggigit bibir, menerka setelahnya Papi akan menutup telepon, tapi entah apa yang mendorongnya, mendadak dia bicara lagi. "Pi..."

"Iya, Sayang?"

"... Papi... kapan pulang?"

Papi membisu, agak lama. "Well, soon. Kenapa?"

Tetes-tetes air mata lainnya jatuh, berkejaran di wajah gadis itu. "Aku... aku... kangen Papi." Aku juga kangen Mami. Aku mau semuanya balik kayak dulu. Aku lebih bahagia saat itu.

"Ah, I see. Soon... very soon." Papi terdengar ragu-ragu lagi sebelum bicara. "Mau titip sesuatu untuk oleh-oleh? Kemarin Papi lihat ada ponsel tipe terbaru yang dirilis."

"Nggak usah."

"Are you sure?"

Sashi mengangguk meski dia tahu Papi tidak bisa melihatnya. "Aku cuma mau Papi pulang."

"Soon, baby. I promise you."

"Okay."

"Again, have fun ya. Kalau ada apa-apa, kasih tahu Papi."

"... iya."

Ada sedikit lega yang mengaliri perasaan Sashi setelah pembicaraan telepon itu tersudahi. Dia tetap diam di dalam sana selama beberapa menit. Sashi lebih suka sendirian, di mana dia bisa menangis sepuas yang dia mau tanpa mengundang pertanyaan, tetapi dia juga tidak bisa membuat Jennie atau Tamara khawatir. Jadi gadis itu menghapus sisa air mata di wajahnya, kemudian membuka pintu toilet sebelum melangkahkan kakinya keluar dari sana.

*

"Rasane pengen tak golekki dukun santet." (Rasanya pengen gue cariin dukun santet). 

Talitha santai saja mendengar omelan dari lelaki yang menyetir di sebelahnya. Namanya Jatiadi Prajapati. Di masa mudanya, dia dikenal sebagai petinju yang berprestasi. Bukan hanya itu, dia juga jago menggaet hati wanita. Konon katanya, dia adalah singa baik di dalam ring maupun di luar ring—apalagi di atas kasur. Ibarat kata, kasur adalah medan pertempuran yang telah dia kuasai secara professional. Tapi daripada memanggilnya Mas Jati atau sejenisnya, Talitha lebih suka menyebutnya Jajang atau Jamet.

Kenapa Jajang? Soalnya menurut Talitha, Jati itu kebagusan. Apalagi dibandingkan dengan mantan-mantannya terdahulu, wah, dari segi muka maupun harta, jelas Jajang bakal langsung mental. Orang-orang—termasuk member Keluarga Gouw sempat tersekat tak percaya ketika dia mengumumkan pertunangannya dengan lelaki itu. Dalam bayangan mereka, aktris muda merangkap fashionista bercitra cool dan classy seperti Talitha Gouw seharusnya bersanding dengan pangeran, bukannya tukang kudanya pangeran.

Tapi ya, namanya juga jodoh. Mungkin juga cinta. Mereka bertemu belasan tahun lalu di pernikahan teman Talitha yang juga teman Jajang. Talitha sedang patah hati kala itu setelah putus dari pacarnya yang lama—seorang aktor Korea yang tampan dan tengah jadi idola remaja. Namanya Kang Min-hyuk. Eh, lagi hancur-hancurnya, dipepet. Maka jadilah.

Gara-gara itu juga, Jajang jadi rada songong. Di awal pacaran dengan Talitha, dia sering bilang, "Kang Min-hyuk boleh saja punya pesona ala oppa, tapi tetap Kang Jajang juaranya."

Biasanya Talitha bakal menjawab. "Kang Jajang who? Tukang bakso aci pengkolan?"

"Udah capek belom ngomelnya?" Talitha bertanya sambil cuek saja memainkan ponsel. Dia mengecek berita soal sepupunya dan gadis remaja yang tertangkap basah pergi bersamanya ke McDonald's di tengah malam—dan seringainya tertarik kala dia sadar, berita itu telah ditarik dari semua platform dan kanal. Tidak ada satupun linknya yang dapat diakses.

Tidak mengherankan, terutama ketika Keluarga Gouw telah turun tangan.

"Capek sih, tapi si Cebol Sunggana kui memang kurang ajar tenan. Kuesel aku. Next time ketemu, tak gaplok barbel lambene." Jajang masih sebal, soalnya dikata-katain jamet sama Tedra di live Instagramnya. "Pengen tak jitaki, tapi nanti tambah ucrit. Mesakke si Joice, ndue bojo kok koyok ngono."

"Koyok ngono piye?" (Kayak gitu gimana?). 

"Mini tenan. Moga aja manuk'e de'e ora semini badane." (Moga aja burungnya nggak seucrit badannya). 

"Koyok'e sih ora." (Kayaknya nggak). 

"Tahu dari mana?" Jajang mendengus.

"Lha buktine Joice mau terbuang dari keluarga demi si Tedra. Berarti gitu-gitu, Tedra service-nya oke-punya."

"Masih lebih oke aku kan, tapi?"

"Meneketehe. Aku kan belum pernah nyicipin Tedra."

"Mama!"

Talitha tertawa puas. "Iya ih, bawel!"

Jajang cemberut dan Talitha masih cekikikan ketika sebuah sepeda motor mendadak mendahului mobil mereka tanpa permisi dengan cara yang sangat tidak sopan. Spontan, Jajang menginjak pedal rem dalam-dalam, membuat mobil mereka terhenti mendadak hingga dahi Talitha hampir beradu dengan dashboard. Jelas saja, Jajang emosi. Dia kembali memijak pedal gas, bermanuver di jalanan yang agak padat dan begitu mobilnya telah kembali bersebelahan dengan sepeda motor tanpa tatakrama tersebut, Jajang buru-buru menurunkan kaca dan berteriak dengan sepenuh napsu.

"WEEEE, JIANCOK, KOWE NDUE MATA PORA?!" (HEY KAMPANG KAMU PUNYA MATA TIDAK). 

Supaya lebih dramatis, Jajang menekan klakson dengan membabi-buta.

"Pa, jangan bar-bar dong!"

"Lagian!"

"Wes lah, ojo kakehan sambat. Nyupir wae seng apik." Talitha berkata sambil mengeluarkan kaca dan memoles ulang lipstik di bibirnya. (Udahlah nggak usah kebanyakan sambat, nyupir aja yang bener). 

"Ma, kalau pake lipstik jangan tebel-tebel."

"Kenapa gitu?"

"Nanti Papa mesti gosok gigi tiga kali soalnya lipstiknya bikin gigi Papa merah."

"Ew, gross." Talitha melirik suaminya, ilfeel. Tapi perhatiannya langsung tersita oleh sesuatu yang lain kala mereka mendekati sebuah jembatan penyeberangan orang. Ada papan iklan besar di sana yang memuat wajah Erina, berikut foto seorang pria tampan yang kelihatan memelas. "Oh wait, your daughter did it again."

Jelas saja reaksi Talitha seperti itu, karena serangkaian kata yang tertera di papan iklan besar tersebut terbaca; Erina Prajapati, please come back to me. I can't live without you.

Setahu Talitha, Sony Ong sempat jadi pacar putri sulungnya sebelum mereka putus sebulan yang lalu. Erina tidak pernah bercerita apa-apa, tapi waktu Felix iseng bertanya, katanya dia sudah bosan dengan Sony. Sayang sekali, karena diam-diam Tamara nge-fans setengah modar pada Sony Ong.

"Hahaha, kui baru gadisku."

"Alah, Erina laku keras gitu juga karena gennya Mama. Coba kalau mirip Papa. Boro-boro ditaksir, orang lihat dia bawaannya pengen nabok, kali."

"Terus aja, Ma. Hujat aku dengan bibir manismu itu."

"Ew."

"Tapi Papa ki baru sadar, anak-anak wes pada guede. Lama-lama rumah sepi deh, Ma. Apalagi Tamara karo Felix dua tahun lagi lulus SMA. Belum tentu mereka mau kuliah di Jakarta."

"Terus?"

"Bikin rumah rame lagi yuk?"

"Rame?"

"Bikin Prajapati nomor empat. Kalau Mama mau, papa tak gas ki."

Talitha memutar bola mata. "Pa, Mama ini bukan pabrik kelinci yang kerjaannya beranak terus. Ogah, deh. Lagian Papa tuh ya—"

"IYA YAUDAH IYA KALAU NGGAK MAU BILANG AJA NGGAK MAU." Jajang bersungut-sungut. "Ojo kakehan ngomel, Ma. Puyeng Papa dengernya."

Talitha melotot, sudah siap menyembur Jajang dengan repetan yang lebih dahsyat saat ponselnya berdering. Ternyata telepon dari Felix.

"MAMA!" suara Felix jadi jauh lebih berisik karena Talitha mengaktifkan mode loudspeaker.

"Yes, son? What's wrong?"

"TAMARA DITANGKAP POLISI, MA!"

"WHAT?!"

"LHA PIYE, COK?!"





to be continued.

***

Catatan dari Renita:

maaf, beb, telat. mati lampu soalnya rumah aink.

eak apakah yang terjadi pada tamara???

ngga tau ya, tapi yang jelas di chapter depan, kita akan bertemu mba leni lagi ea ea ea siapakah dia.

terus soal jef dan sashi dan papi... ofc semua butuh waktu.

mari kita lihat, apakah red velvet cake bisa menyatukan jef dan sashi, atau justru bikin mereka gonjang-ganjing lebih heboh lagi.

((and I don't wanna talk about recent event cause I think I said enough about mental health things in DLP so yah)) ((just... rest in peace))

dah deh kalau gitu.

targetnya samain aja kayak kemarin, baik untuk vote dan comment.

sekian dan sampai ketemu di chapter berikutnya. ciao.




bonus papa jamet

Bandar Lampung, October 15th 2019

21.20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro