Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09

Nge-ghibah itu enak selama bukan kita bahan ghibahnya.

— Acacia Tredayorka T.

***

"Mau makan apa, Bang?"

Hari sudah menjelang sore ketika Coky mengemudikan mobil melintasi jalanan yang padat dengan Jef duduk di sebelahnya. Orang yang ditanya tidak langsung menjawab, malah sibuk memasang sunglasses lalu bersandar pada jok mobil. Napas pelannya terembus ke udara, meniup sejumput rambut yang jatuh di dahinya. Sebetulnya, hari ini jadwalnya tidak terlalu padat. Dia hanya perlu mendatangi beberapa tempat dan melakukan pengambilan gambar untuk iklan produk bumbu instan terbaru, namun entah kenapa, Jef merasa lebih lelah dari biasanya.

Mungkin karena semalam dia kurang tidur. Bisa jadi juga karena dia banyak pikiran. Sejak melihat Sashi pulang bersama Dery tadi pagi, Jef belum tahu kabar anak itu sama sekali. Tidak ada update apapun di akun Instagramnya. Jef hanya butuh satu unggahan baru, setidaknya supaya dia bisa tahu kalau anak itu sedang baik-baik saja.

"Bang." Coky memanggil lagi.

"Apa aja yang enak dan nggak ngantre." Jef berkata sambil membuka akun fakenya—sengaja, soalnya notifikasi di akun Instagram utamanya selalu menumpuk dan membayangkan melihatnya saja sudah cukup bikin puyeng, apalagi nekat mengeceknya satu –persatu. "Ya ampun, belum update juga..."

"Siapa?"

"Kepo banget?"

"Woyajelas!" Coky malah nge-gas. "Soalnya gue paham bener, Bang, lo ini bukan tipe orang yang nunggu dikabarin. Et, hari ini stress banget, lo kayak kepikiran sesuatu. Siapa sih? Jangan bilang kalau bocah cewek yang kemarin itu. Emang dia siapa lo?"

Jef berdecak. "Itu pertanyaan apa rombongan manasik haji?"

"Namanya juga kepo."

"Ada deh."

"Masa lo nggak percaya sama gue sih, Bang?"

"Emang nggak percaya." Mata Jef menyipit. "Terakhir kali gue cerita sama lo soal pedekate gue sama Rose, lo jual cerita gue ke admin Lambe Turah."

"Kan kagak jadi, Bang!"

"Sama aja. Udah ada niat."

"Tapi... dia bukan sugar baby lo kan, Bang?"

"Maksud lo apa?!" tanpa sadar, Jef menaikkan suaranya.

"Ya... kali aja..." Coky meringis, tidak menebak akan dapat reaksi yang se-nggak santai itu. "Soalnya lagi musim banget sekarang kan... pacaran beda umur tapi jauh banget."

"Dia bukan pacar gue—oit, tumben nih dedemit nelepon."

"Siapa?"

"Nyi Blorong." Jef menukas asal, kemudian menjawab telepon yang masuk tanpa pikir panjang. Dia menempelkan ponselnya ke telinga sebelum berujar pendek, "Halo."

"WHAT KIND OF JANCOK THING YOU JUST DID, JEFFREY GOUW?!"

Refleks, Jef langsung menjauhkan ponsel dari telinganya yang terasa berdenging sekarang. Coky melongo, bisa menerka kalau lawan bicara Jef pasti barusan berteriak sebab tanpa mode loudspeaker pun, Coky bisa mendengar tiap kata berikut intonasinya dengan jelas.

"Siapa?" bisiknya tanpa suara, walau satu orang muncul dalam dugaan. "Mbak Ital?"

Jef mengangguk membenarkan, bikin Coky langsung kicep, terlalu gentar untuk menciptakan suara.

"Tal, you don't have to be so loud."

"Level ke-gendheng-anmu ki wis menembus batas angkasa! So of course, I have every right to shout the shit up to your goddamn ears!"

"Lo ada masalah apa sih sama itu jamet di rumah?"

"This is not about me and my husband, this is about YOU." Talitha membalas penuh emosi. "Lo udah putus dari Rosé?"

"Udah."

"Terus pacar lo yang sekarang siapa?"

"Nggak ada."

"FUCKING LIAR!"

Jef jadi terpacu untuk ikutan pakai urat. "NGGAK ADA BENERAN, NYET!"

"JAWAB SIAPA!"

"YA NGGAK ADA!"

"JAWAB ATAU MODAR."

Jef mulai panik. Selain dikenal sebagai keluarga super ekslusif dengan gen unggulan yang bikin tampang mereka kelihatan ethereal atau anggota keluarga yang memang menonjol di bidang masing-masing hingga dikenal banyak orang gara-gara prestasinya, sudah jadi rahasia umum kalau wanita-wanita dalam Keluarga Gouw bisa jauh lebih menyeramkan dari rubah berekor sembilan ketika marah.

"SUMPAH, ANJRIT! BENERAN NGGAK ADA! GUE HARUS JAWAB APA!?"

Talitha melunak sedikit—hanya sedikiiiiiit, paling juga kurang dari 0,0000001%. "Terus cewek yang sama lo itu siapa?!"

"Cewek mana?!"

"You don't know? It's already become a hot topic that I think almost everyone, like literally every single soul knows about it."

"APAAN SIH KOK GUE JADI TAKUT?!"

"Lo ke McDonald's semalam?"

"What—oh, shit. SHE IS NOT MY GIRLFRIEND!"

"Terus siapa?!" Talitha menuntut jawaban.

"..."

"JEFFREY!"

"..."

"Answer me, you dumb shit!"

Jef menghela napas. "Anak gue."

Bukan hanya Talitha yang terkejut, namun juga Coky yang masih menyetir di sebelah Jef. Saking terkejutnya, cowok itu kehilangan fokus dan hampir saja menginjak pedal gas bukannya rem. Itu sangat beresiko karena mereka tengah berada di tengah kendaraan lainnya yang mayoritas berjalan lambat. Untung, Coky berhasil menguasai diri, buru-buru memperdalam pijakannya di pedal rem, bikin mobil terhenti mendadak hingga dahi Jef nyaris terantuk dashboard.

"Cok, what do you think you are doing?!"

"Jigeum marhaebwa, itu anak cewek beneran anak lo, Bang?!"

"Iya."

"IGE MWOYA?!"

"IYA, BENERAN ANAK GUE, NYET."

Talitha yang masih terhubung lewat telepon akhirnya turut melepaskan respon. "WHAT THE FUCKING HELL?!"

"Call you later, Tal."

Jef menyudahi telepon secara sepihak, nyaris panik dan kini bimbang dia harus menghubungi siapa lebih dulu—apakah Jo atau Sashi—ketika tiba-tiba ponselnya bergetar dan puluhan pesan WhatsApp masuk secara bersamaan, berhasil membuat getar tersebut berlangsung tanpa jeda. Jef membuang napas, mengabaikan Coky yang melirik dengan alis terangkat, tampak super kepo.

Dia memutuskan membuka pesan WhatsApp dari Jennie lebih dulu.

jenniekartadinata

lo debut di lambe turah. congrats, ma gondes.

jeffreygouw

miminnya yang upload?

jenniekartadinata

terpaksa, atas desakan publik. katanya miminnya nggak fair karena ada membership special.

pada bete, terutama yang nggak berduit.

jeffreygouw

shit.

jenniekartadinata

lagian ngapain lo ama anak lo ke mekdi malem-malem? mana jamnya mencurigakan.

jeffreygouw

laper.

jenniekartadinata

ono teknologi jenenge deliperi.

jeffreygouw

how do I get out of this mess.

jenniekartadinata

dunno.

jeffreygouw

help.

jenniekartadinata

no. im leaving the country in less than 100 hours. i have no time for your problem.

jeffreygouw

jen, plis. you're my friend.

jenniekartadinata

jesus crispy

jenniekartadinata

damn autocorrect

jenniekartadinata

lord, forgive me for I've sinned.

jeffreygouw

jen.

seen.

Oke, berarti Jennie tidak bisa diharapkan untuk membantu. Jef mengerutkan dahi, berpikir keras. Tidak seperti gosip-gosip yang pernah menerpanya sebelumnya, dia harus hati-hati pada yang satu ini. Dia tidak bisa mengabaikannya, karena itu hanya akan bikin desas-desus menyebar makin luas. Mungkin mengaku adalah jalan terbaik buatnya—lagipula, siapa juga yang tidak pernah membuat kesalahan dalam hidup? Tentu akan ada penggemarnya yang jadi ilfeel, menganggapnya brengsek dan citra sempurnanya bohong belaka, tapi itu lebih baik.

Namun, jujur belum tentu jadi solusi yang bagus buat Sashi. Stempel itu akan melekat padanya; anak yang lahir di luar nikah. Dia akan tersakiti dan Jef tidak akan membiarkan itu terjadi.

Dia masih memutar otak saat ponselnya bergetar. Ada chat baru. Waktu melihat itu datang dari ibunya, jantung Jef serasa meluncur jatuh ke perut.

ibu

ibuk udah nelepon kamu, tapi nomormu sibuk. ibuk karo bapakmu wes boarding flight ke jakarta.

Maka tiada yang bisa dilakukan Jef selain mengucap 'jiangkrek' dengan sepenuh rasa.

*

Hanya sesaat setelah meeting sore itu selesai, Jo langsung beranjak dan melangkah keluar dari ruangan sambil mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan baru yang masuk dan Jo sempat berharap, salah satunya datang dari Sashi, tidak peduli jika itu hanya untuk alasan sesepele mengabari kalau dia telah berada di rumah atau sedang pergi dengan temannya. Selama ini, Tris selalu jadi perantara diantara mereka, entah itu hanya untuk saling tahu kabar satu sama lain, menu makan siang mereka hari itu atau jika Sashi ingin request oleh-oleh. Tapi anak itu tidak mengirim apa-apa.

Jo menghela udara, ganti membuka pesan lainnya. Itu dari orang kantor. Sebagian besar isinya adalah screenshoots dari sejumlah berita yang beredar di Instagram, berikut foto yang memuat dua orang. Foto itu buram, kentara sekali diambil secara sembunyi-bunyi, tetapi Jo dapat mengenali keduanya. Kerut muncul diantara kedua alisnya, lalu embusan napas pelannya terlepas.

"Something happened?"

Jo menoleh, mendapati seorang perempuan ramping dengan setelan blazer abu-abu gelap menghampirinya. Kakinya terbalut pumped heels, senada dengan setelannya. Ada rasa ingin tahu dan kekhawatiran di wajahnya. Perempuan itu adalah salah satu peserta meeting yang baru selesai—yang berarti, dia mewakili salah satu dari beberapa perusahaan yang sepakat bekerja sama. Dari penampilannya, Jo menerka usianya masih muda, paling berada di sekitaran angka tiga puluh. Namanya Rachel.

"Ah no, nothing. Just a message from my daughter."

"So, you're married?" Dia terdengar kecewa dan Jo tahu kenapa. Sepertinya, semua orang yang ada dalam ruangan meeting tadi pun dapat menyadari bagaimana Rachel Chew menatap Jo dengan jenis pandangan yang lebih dari sekedar rekan kerja.

"Yes."

Rachel terlihat salah tingkah, lantas berbasa-basi sedikit sebelum melangkah pergi, meninggalkan Jo sendiri. Lelaki itu lantas mencari spot yang lebih private sebelum menelepon seseorang. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menunggu teleponnya diangkat.

"Halo, Aga. Ini saya. Saya perlu bantuan kamu, bisa? Saya akan kirimkan username beberapa akun Instagram. Saya mau segala berita yang terkait dengan berita itu ditarik sebelum malam ini selesai. Untuk jaga-jaga, saya akan sekalian menghubungkan kamu dengan pengacara saya. Selesaikan dengan tenang dan cepat, oke? Thanks, Aga."

Orang yang baru saja Jo telepon adalah salah satu bawahannya di kantor yang sangat bisa diandalkan, mampu bekerja dengan cekatan dan dalam tekanan, serta tidak banyak bicara. Selesai dengan urusan yang itu, Jo kembali dibuat berpikir sebentar. Tadinya, dia berniat menghubungi Jef. Tetapi kelihatannya itu bukan ide yang tepat, jadi Jo malah beralih menghubungi... Jennie.

Perlu tiga kali nada dering sampai teleponnya diangkat.

"Halo, Jennie. Ini Jo."

Ada hening sejenak di seberang sana sampai akhirnya Jennie menjawab. "Oh—hng—hai. Kenapa ya?"

"Ada sedikit masalah di Jakarta dan saya perlu bantuan kamu. Sori, sebenarnya saya nggak enak mau minta tolong begini, tapi saya nggak terpikir minta bantuan ke orang lain karena—well, kalau kamu nggak bisa, saya bisa mengerti itu."

"Oh, no, no, nggak ngerepotin sama sekali. Kamu butuh bantuan apa?" Jennie menyambar cepat.

"Ada gosip yang tersebar—"

"Ah, soal Jeffrey dan—sori. Saya nggak maksud memotong kata-kata kamu."

"It's okay. Dan memang itu masalahnya. Saya sudah minta bantuan orang untuk tarik semua berita tentang itu. Tapi saya masih nggak tahu kabar Acacia sampai sekarang. Karena kamu di Jakarta, bisa minta tolong... temani dia? Dia anak yang agak keras, nggak semua orang bisa approach, makanya saya terpikir kamu."

"Terpikir saya?"

Jo jadi bingung harus menjawab dengan cara yang bagaimana. "Kamu juga... kelihatannya... keras dan unik..."

"Oh. Haha." Jennie tertawa, terdengar dibuat-buat. "Oke. Saya akan pastiin kabarnya dan kasih tau ke kamu. Tapi... kenapa kamu nggak langsung hubungi dia sendiri aja?"

"Ah... itu... hng... menurut saya kayaknya bakal lebih enak kalau sesama perempuan yang saling bicara? Apalagi masalah ini... agak sensitif buat Sashi."

"Oh, oke."

"Jeanneth,"

Jeda sebentar. "... iya?"

"Thanks a lot."

"Anytime, Jo."

Obrolan mereka berakhir.

Untuk yang kesekian kalinya, Jo kembali menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sendiri. Terus terang saja, apa yang terjadi membuatnya khawatir. Terlebih sekarang, tidak ada lagi Tris yang bisa jadi tempat Sashi bergantung. Jika dia bisa, dia ingin segera kembali ke Jakarta secepatnya. Namun masih ada serangkaian rapat lainnya yang mesti dia hadiri untuk beberapa hari ke depan.

Jo dibuat membatu, tenggelam dalam ragu sambil menatap layar ponsel hingga akhirnya dia menyerah dan mengirim pesan teks pada putrinya.

jotirtasana

babygirl, are you okay?

Jo terdiam, lalu jemarinya bergerak menghapus pesan itu untuk menggantinya dengan yang baru.

jotirtasana

acacia, lagi di mana?

kalau ada apa-apa, kabari papi ya.

*

Jika diibaratkan Sashi itu Kurama alias kyuubi piaraannya Naruto yang sedang mengamuk, maka kini bisa dibilang, dia sedang berada pada tahap peralihan dari kemunculan ekor kelima menuju ekor keenam—yang mana kemunculan ekor kesembilan berarti kehancuran bagi jagad raya dunia perninjaan. Sayangnya, Felix tampaknya clueless dengan itu. Dia malah memasang wajah layaknya orang yang sedang berpikir keras.

"So, you're not dating him. Are you his sugar baby?"

Sashi mengepalkan tangan. Kalau dia itu tokoh komik, pasti alisnya sudah digambar dalam bentuk api sekarang. "SUGAR BEBI PALALU PEYANG!"

"Oh ya. Kamu benar juga. Daripada sugar baby, you lebih pantas disebut mercon baby. You know mercon? Something seng hot spicy like seblak jeletet murni." Felix memiringkan wajahnya, mengamati Sashi dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Kalau begitu, apa hubunganmu dengan paklik-ku?"

"None of your business."

Felix malah tertawa songong. "So sorry, girl, but of course it's my business. I am a Gouw."

Tamara yang berada di sebelahnya mengoreksi dengan suara pelan. "No, you're not. Your last name is Prajapati."

Felix menoleh pada Tamara, mukanya sewot tingkat dewa. "I'm Prajapati just in the outside! Deep down inside, I am a true Gouw!"

"You are Prajapati inside and outside. Both your face and your mentality are just like Papa's."

Felix mendengus. "Tamara, I'm so sorry but I am in the middle of an important conversation right now and—"

"Important conversation buat mendapat bahan gosip yang bisa kamu jual ke budhe dan pakdhe untuk ditukar dengan iPhone mata tiga terbaru, begitu maksud kamu?"

"JANGAN BUKA SIASATKU DI SINI, DONG!"

Tamara melipat tangan di dada. "Aku benar, kan?"

"TAU SOPAN-SANTUN TIDAK?! AKU INI LEBIH TUA DARI KAMU!"

"Hanya tiga puluh detik."

"Still, awakku ki mas-mu. Where is your unggah-ungguh?!"

"APA SIH KOK LO PADA MALAH RIBUT SENDIRI????" Sashi jadi capek duluan, padahal tinggal dipanasin dikit aja kayaknya dia sudah siap menerjang Felix sampai mereka bergulingan di lantai.

"Sorry, I am lali." Felix berpaling pada Sashi. "Okay. So, what's your relationship with my paklik? Atau kamu dekat dengan paklik-ku hanya untuk social climbing, apa begitu?" By the way, kemampuan berbahasanya Felix dan Tamara itu rada-rada payah, soalnya dari kecil, Talitha rajin bicara dengan mereka pakai bahasa Inggris, sementara papanya lebih suka bicara dengan mereka pakai bahasa Jawa. Dalam temu-kumpul keluarga besar pun lebih banyak orang mixing bahasa Jawa dengan bahasa Inggris. Ditambah lagi, keduanya bersekolah di sekolah internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Makanya, bahasa Indonesia mereka rada semi-baku begitu.

"SOCIAL CLIMBING WHAT?!" Sashi menatap Felix dengan mata nyalang, seperti banteng yang siap menyeruduk matador. Felix tetap saja clueless, malah menatap Sashi polos. Untungnya, Tamara mampu membaca situasi sebab dia langsung melompat dan pasang badan di depan Felix.

"Sorry. I'm so sorry on his behalf. He is kinda stupid in the head. Mom said, sewaktu baru tiba di dunia, kepalanya kepentok ujung meja."

Felix melotot pada Tamara, jelas tidak terima. "HE, JANCIK!"

Sashi mengernyit, menatap bergantian pada Felix dan Tamara, kemudian merasa bodoh sendiri. Dia melengos, memilih membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Firasat buruknya terbukti karena setelah ponselnya menyala sempurna, benda itu langsung bergetar tanpa henti saking banyaknya pesan dan pemberitahuan yang masuk. Mereka bertiga hanya bisa berdiri berdekatan di tengah-tengah tumpukan buah dan sayuran, sampai akhirnya ponsel Sashi berdering. Ada telepon datang dari Dery. Tanpa berpikir dua kali, Sashi menjawabnya.

"Lo di mana? Gue jemput."

"Emang kenapa?"

"Ceritanya panjang. Jangan buka Instagram. Nanti lo emosi."

"..."

"Send me your location, okay? I'm on my way."

Sashi menelan ludah, akhirnya menjawab lemah. "Oke."

Apapun yang tengah beredar di Instagram, itu pasti jadi salah satu penyebab kenapa bisa ada dua bocah kembar—yang mengaku sebagai keponakan Jef—yang menghampiri Sashi di supermarket. Sashi sendiri tidak mengerti bagaimana dua bocah itu bisa mengenalinya. Namun dia menuruti kata-kata Dery dan mengirim locationnya pada cowok itu.

Dery tiba di supermarket tidak sampai dua puluh menit kemudian, bersama Om Kun selaku supir kesayangan. Tapi keningnya seketika berlipat kala dia menyadari keberadaan Tamara dan Felix yang menyertai Sashi seperti sepasang pengawal.

"Mereka siapa?"

"Wong edan."

"Jeffrey Gouw is my paklik." Felix menyahut dengan nada menyombong. "I want to know, what is his relationship with—" Tamara kontan membekap mulut Felix dengan tangannya saat dia sadar bagaimana Sashi telah menoleh dan menganugerahi Felix dengan tatapan mematikan.

"Coba lo diem dulu gitu bisa nggak?"

"Aku akan diam kalau aku sudah tahu. What's your relationship with my paklik?"

Sashi memutar bola matanya, lalu membalas sarkastik. "Kurang sering nanyanya."

Felix manggut-manggut. "Okay, then. What's your relationship with my paklik? What's your relationship with my paklik? What's your relationship with my paklik? What's your relationship with my paklik?"

"Oalah, sekeluarga edyan kabeh." Sashi berdecak. "I am his biological daughter."

Felix ternganga, begitu pun Tamara. Om Kun tercengang, sementara Dery mendesah pelan. Abang penjual jambu bangkok yang berdiri di dekat mereka pun ikut-ikutan terperangah—walau untungnya dia tidak mengenal siapa itu Jeffrey Gouw karena jarang nonton TV, apalagi nonton acara masak-memasak.

"Beritanya udah nyebar di Instagram sampe ke Twitter. Udah jadi trending topic juga. Tapi bokap gue bilang semuanya bakal di-handle dan beritanya bakal kelar-tuntas-sampai ke akar sebelum malam ini berakhir. Sekarang, lo perlu menenangkan diri." Dery berusaha menjelaskan agar Sashi tidak panik. "Semuanya bakal bersih sebelum besok. Jangan khawatir. Sekarang, lo mau kemana?"

Sashi masih diam dan yang menjawab malah Felix. "LET'S GO TO PAKLIK'S HOUSE!"

"Felix!"

"SUMPAH, INI AKAN SANGAT EXCITING, LEBIH SERU DARI NAIK TORNADO DI DUNIA FANTASI!"

"Kemana pun asal nggak ada mereka." Sashi berdecak, masuk ke kursi belakang mobil Dery dan duduk tepat di sebelah cowok itu. Niatnya, dia mau buru-buru menutup pintu supaya dua anak kembar sinting di depannya tidak bisa melakukan tindakan radikal seperti memaksa masuk. Sayang, Dery tidak gercep. Felix berhasil menahan pintu dengan menjadikan kakinya sebagai ganjalan.

"LET US IN!"

"No!" Sashi berteriak sambil meninju kaki Felix, berusaha mendorongnya keluar supaya tidak jadi pengganjal pintu. Felix bertahan, bahkan berhasil memasukkan lengannya ke celah pintu.

"IF YOU'RE TRULY PAKLIK'S DAUGHTER, THEN THAT MAKES US COUSINS!"

"I don't want to have cousin like you!" Sashi balik berseru.

"I don't want you as my cousin either!" Felix tidak kalah nyolot.

Sashi mengangkat alis, merasa ter-to-lak. "... but why?"

"Because you're more good looking than me! AKU TUH TIDAK SUKA YA MENDAPAT SEPUPU BARU DAN BESAR YANG LEBIH BAGUS WAJAHNYA DARIPADA AKU!"

Tanpa sadar, kata-kata Felix bikin Sashi tersipu. Bukan hanya itu, tinjuannya pada kaki Felix pun terhenti. Dery mengernyit, menoleh heran karena perubahan sikap Sashi dan Felix mampu memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik. Dia menyerukan nama Tamara, membuat Tamara cepat-cepat menarik pintu mobil sampai terbuka lebar. Kemudian gadis itu mendorong Felix masuk, sebelum dirinya ikut melompat masuk ke mobil dan menutup pintu rapat-rapat.

Hasil akhirnya; mereka semua dempet-dempetan kayak bandeng di kursi belakang.

Sashi yang berada di paling pinggir tentu menerima dampak terparah. Kepalanya bahkan hampir terbentur jendela mobil, jika saja Dery tidak segera merangkul gadis itu dan memosisikan tangannya diantara kepala Sashi dan kaca mobil. Tangan diri sakit karena serasa jadi isian sandwich antara kepala Sashi dan kaca, tapi itu tidak penting.

Sebagai sobat ambyar, dia akan melindungi penyebab segala ke-ambyar-annya bahkan dengan nyawanya sekalipun.

Om Kun melirik dari rear-view mirror, lalu berdeham. Felix dan Tamara masih menggeliat mencari posisi wuenak saat lelaki itu bertanya. "Jadi kita ke mana, Mas Mandala?"

Felix menjawab dengan penuh tekad dan keyakinan. "LET'S GO TO PAKLIK'S HOUSE!"

"Kenapa juga kita mesti ke tempat dia?!" Sashi sudah naik darah, tapi tidak bisa melakukan apapun karena sempitnya medan. Dia hanya mampu meluruskan kakinya melewati paha Dery hingga dia bisa mencolek bagian bolong ripped jeans Felix dengan jempol kaki, berharap sentuhannya bisa melukai tapi malah bikin Felix jadi geli.

"Akan ada event seru yang terjadi sebab Mama baru saja beritahu di group chat jika Eyang Putri Gouw nomor dua sedang dalam perjalanan ke Jakarta!"

"Hah?!"

"LET'S GO TO PAKLIK'S HOUSE SO WE CAN SEE HIS TRIAL!"

"What trial?!"

"THE TRIAL OF MY PAKLIK, OF COURSE!" Saking nge-gasnya, seruan Felix sampai menghadirkan hujan lokal yang berjatuhan di pipi Dery. Dery tercengang, menatap tak percaya pada Felix sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri. "PAKLIK PASTI AKAN DIADILI OLEH EYANG PUTRI GOUW NOMOR DUA! Itu kejadian langka! Just once in a blue moon karena pencitraan paklik sangat jago!"

Sashi lagi-lagi, hanya mampu tercengang.

"Jadi kita ke mana, Mas Mandala?"

"Turutin aja maunya dia, Om. Lama-lama kuping saya congean kalau disuruh denger teriakan dia semenit lebih lama."

*

Setengah jam kemudian, mereka berempat dibuat duduk berjajar dengan tangan tergeletak rapi di pangkuan masing-masing di ruang tengah apartemen Jef. Jef berdiri di depan keempatnya, telah beberapa kali menyisir rambut dengan jari sambil melepas dengusan frustrasi.

"Kalian ngapain ke sini?!"

Felix santai saja memakan es krim yang dia curi dari lemari es Jef. "Sshh... uncle, you don't have to be so loud."

Tamara manggut-manggut, sibuk juga dengan es krimnya. "Anyway, tumben sekali you have so many ice creams in your refrigerator. Lain kali tolong stock juga yang rasa cokelat-kacang ya. I like that one very much."

Jef melirik Sashi, berdeham. "Mendingan kalian pulang—and when I said 'kalian', that means you and your twin sister, Felix."

"Jadi sepupuku tidak disuruh pulang juga. Begitukah, paklik?"

"It's pakdhe for you, not paklik!" Jef mengoreksi.

"Mama said, you're too nggatheli to be called 'pakdhe'." Felix membalas. "But is it true, though? Gadis ini anakmu, paklik?"

Sumpah, Sashi berasa terjebak dalam adegan sinetron ala Indosair.

"Felix—"

"Paklik dapat anak sebesar ini dari mana?"

"Listenyou're still too young to—"

"I know. Aku mungkin masih muda tapi aku sudah tahu bagaimana cara membuat bayi. Jadi, paklik umur berapa waktu membuat dia?"

"FELIX—" kata-kata Jef tertahan saat ponselnya bergetar. Pesan WhatsApp baru dan itu datang dari ibunya. Biasanya, ibunya lebih suka meneleponnya jika ingin bicara. Kini, melihat bagaimana ibunya mengabarinya bahwa beliau sudah landing dalam kata-kata yang amat singkat justru bikin Jef makin ketar-ketir. Akankah amarah ibunya mengalahkan kedahsyatan letusan Krakatau? Boleh jadi.

"Now, you all have to leave. ALL of you."

"Why?" sekarang Sashi yang menanggapi.

"Because my parents will be here—Felix, stop biting your ice cream's stick!" Jef tidak bisa menahan diri, refleks berseru kala dia melihat Felix menggigiti stik es krimnya.

"Then we have all the reasons to be here."

"Mau ngapain?!"

"To watch you diadili, paklik. Memangnya apa lagi? Can I invite Mom too?"

"There won't be trial."

"Oh, berarti paklik langsung dihukum mati?"

"Dam—" Jef menghela napas, ingat bahwa dia tidak boleh misuh di depan anak-anak. "Felix—"

"Are you that ashamed?" satu pertanyaan terlepas begitu saja dari Sashi yang mengatakannya sambil menatap lurus pada Jef, membuat semua orang yang ada dalam ruangan itu menoleh padanya. Sashi mengabaikan tatapan Dery, Felix dan Tamara. Fokusnya tetap pada Jef. Suaranya tenang kala dia bicara lagi. "Are you that ashamed of my existence? Keberadaan saya di dunia ini segitu memalukannya buat Om?"

Felix ternganga, membuat stik es krim yang dia gigit jatuh ke pangkuannya.

"Oh, please." Jef mengerang. "Jangan mulai lagi..."

"It's okay." Sashi menggigit bibir, menelan ludah untuk meredakan sesak di dadanya sebelum dia meneruskan. "You never want me, anyway. I'm unwanted child. Not that I want to be wanted, though."

Jef menarik napas dalam, memandang Sashi sejenak dan dia mendekat dengan cepat. Tangannya meraih pergelangan tangan Sashi, menariknya hingga gadis itu beranjak. Jef membawanya ke balkon, sengaja mengunci pintunya supaya Felix, Tamara atau Dery tidak bisa menyusul.

"You hate me that much, huh?" Jef menembak Sashi dengan pertanyaan itu. Tinggi badan Sashi tidak jauh berbeda dari Tris, membuatnya harus menengadah jika ingin menatap Jef tepat di mata. Tetapi cara gadis itu menatap membuat Jef merasa kerdil.

"Of course I hate you."

Seharusnya, itu jadi jawaban yang bisa diduga, namun entah kenapa, kata-kata Sashi tetap mampu menampar Jef.

"You ruined my life. I constantly have to remind myself that no matter what, I am STILL Acacia Tirtasana, the only daughter of Patricia and Joshua. I constantly have to remind myself that my Mom was a good mother and loyal wife. I constantly have to remind myself that I was born out of love, that I was wanted, that I wasn't a mistake." Ada air mata menetes di pipinya. "AND IT HURTS. YOU KNOW WHY? BECAUSE DEEP DOWN INSIDE, I KNOW THAT I AM NOT."

Jef menutup matanya selama sepersekian detik, berusaha meredakan gejolak perasaan yang membuat napasnya menderu.

"Of course I hate you! I hate you so much!"

Tetes air mata Sashi sepenuhnya telah berubah jadi tangis sesenggukan. Jef membisu dengan tangan terkepal. Dia membuang muka. Dia tidak bisa melihat perempuan menangis, dan rasanya jadi makin tidak tertahankan karena dia tahu siapa yang kini tengah menangis di depannya, menangis karena dia. Dia ingin memeluk Sashi, mendekapnya dan bilang kalau dia tidak pernah sekalipun merasa malu dengan eksistensi gadis itu, namun dia tidak bisa.

"Don't cry."

Sashi tidak menjawab, masih saja terisak.

Don't cry like that. Don't choke on your own tears like that. It's too painful for me.

"Fine." Jef akhirnya bicara lagi setelah beberapa lama. Suaranya serak dan berat. "Kamu mau apa? Kamu mau saya mengakui kamu di depan semua orang? Saya akan lakukan itu. Kamu mau saya mengakui kamu di depan orang tua saya? Saya juga bisa lakukan itu."

Sashi menengadah, menatapnya dengan mata yang basah.

"Kamu boleh membenci saya sesuka kamu, tapi itu nggak akan mengubah kenyataan. Saya ayah kamu. Selamanya akan terus begitu."

Sashi tidak menjawab dan hanya begitu saja, Jef melangkah menuju pintu balkon, membuka kuncinya untuk kembali masuk, meninggalkannya sendirian di bawah embusan angin Jakarta menjelang senja. 







to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

hu, sedih :(

but jigeum nomu happy. 

haha ngga deng. 

relationship ayah dan anak itu berat, saudaraku hahahahaha 

cuma ya soal gosip, kalau udah tiga keluarga sekaligus (aka keluarga gouw, keluarga tirtasana dan keluarga sunggana) yang turun tangan mah jangankan lambe turah, koreaboo aja bisa dihempaskan seketika. 

kita lihat apakah jef akan mengakui anaknya di depan bapak-ibunya atau cari alasan. 

ataukah jo akan berjodoh dengan jennie. 

ataukah felix akan rukun dengan sashi. 

dan apakah badrol akan kembali ambyar oleh interaksi sashi ojun di lomba masak. 

lets see. 

wkwkwkwkwkwwk hm kayanya udah deh itu aja. 

untuk chapter ini, targetnya samain aja kayak kemarin, soalnya aku baik haha jadi 2,2K votes dan 2K comments. 

dah sekian dan terimakasih sampai ketemu lagi. 

ciao. 



bonus om kun, supirnya keluarga sunggana 

Under the Suh-nshine, October 13th 2019 

19.52

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro