06
Awakmu iku sawelas-ro las alias beda tipis alias mirip-mirip karo tsunami.
Sama-sama bisa bikin atiku megap-megap, hanyut dan tak sadar diri.
— Jeanneth Kartadinata
***
"Le, kok malah diam?"
Lamunan Jef disentak sampai bubar jalan oleh pertanyaan ibuya setelah beberapa detik beliau habiskan tanpa jawaban.
"Aku bingung harus jawab apa."
"Ayu kok putrine." (Cantik kok anaknya).
Jef kini menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Kamu meragukan selera ibuk ya? Tenang, kalau nyariin calon buat kamu, pasti sudah banyak yang ibuk pertimbangkan, mulai dari bibit, bebet—"
"Nggak gitu, Bu." Jef memotong, yang disambut ibunya dengan embusan napas lelah.
"Terus gimana? Ibuk tuh kepingin punya cucu, yang bisa digendong-gendong, kalau kamu pusing, biar nanti ibuk karo bapakmu seng urusi."
Ibu nggak tahu aja kalau udah punya cucu, yah meski udah nggak bisa ditimang lagi soalnya badannya udah segede kingkong, Jef berbisik dalam hati sambil meringis.
"Jeffrey, kowe ngrungu ibuk, pora?" (Jeffrey, kamu dengerin ibu apa nggak?).
"Aku wes ndue calon sendiri." (Aku udah punya calon sendiri).
"OH YA?!" nada suara ibunya langsung naik. "Siapa?"
"Hng..."
"Jangan bilang kalau Rosé. Kamu kan tau ibuk ndak suka ama dia. Kebule-bulean. Nggak paham adat dan unggah-ungguh wong Jowo. Belum lagi kelambine de'e. Mosok di rumah, ketemu tamu pake kutang tali spaghetti tok? Nggak, deh. Ibuk ndak setuju!" (Jangan bilang kalau Rosé. Kamu kan tau ibu nggak suka ama dia. Kebule-bulean. Nggak paham adat dan sopan-santun orang Jawa. Belum lagi pakaiannya dia. Masak di rumah, ketemu tamu pake kutang tali spaghetti doang? Nggak, deh. Ibu nggak setuju!).
"Bukan dia."
"Terus siapa?"
Jef menggigit bibir, memutar otak. Tadinya mau menyebut nama Jennie—yang sudah pasti disetujui oleh ibunya karena seliar-liarnya seorang Jennie Kartadinata, pencitraannya masih jauh lebih jago daripada Rosé. Namun tentu saja itu tidak mungkin. Jika sampai dia menciptakan kesalahpahaman yang menyebabkan Jennie mesti berganti nama belakang dari Kartadinata menjadi Gouw, maka niscaya Jennie akan langsung menggrauk muka Jef sampai bocel.
"Pokoknya ada."
"Kenalin ke ibuk."
Mati aku. "Dia belum siap, Bu."
"Terus kapan siapnya?"
Jef diam.
"Atau kamu sebener'e bohong ya? Le, le, kamu sampai segitunya amat sama ibukmu sendiri. Apa ini ada hubungannya sama kamu yang nggak bisa move on dari mantanmu jaman sekolah dulu? Siapa sih itu ya... hm... putrine Pak Gunawan iku, sopo jeneng'e..." Jef meneguk ludah sementara ibunya masih mengingat-ingat. "Patricia... nah iku... Patricia... jangan bilang ibuk kamu masih ngarepin dia? Sudah hampir 20 tahun, Jeffrey. Ndak usah nungguin orang yang mungkin sekarang udah bahagia sama keluarganya sendiri."
Mampus, skakmat.
"Aku telepon lagi nanti, Bu. Aku lagi sibuk. Maaf."
Jef menutup telepon tanpa bicara lebih jauh, kemudian mengembuskan napas. Tentu saja ibunya mengenal Tris. Tris pernah beberapa kali mengunjunginya di rumah, saat kedua orang tuanya tengah ada di sana. Keduanya menyukai Tris yang menurut mereka sangat sopan dan betul-betul mencerminkan bagaimana seharusnya perempuan Jawa bersikap—lemah lembut, penuh pengertian, paham kapan saatnya bicara dan kapan saatnnya diam lalu tentu saja, sopan-santun pada yang tua. Jef bahkan merasa ibunya jauh lebih patah hati darinya setelah kandasnya hubungan mereka. Namun ya, karena Keluarga Gouw tidak punya koneksi sedekat itu dengan Keluarga Gunawan, ibunya terlalu segan mencari tahu apalagi sampai ngepoin Tris usai putus dari Jef.
Meski begitu, Jef ogah dibuat pusing. Dengan suatu cara, dia pasti bisa mengelak, seperti yang sudah-sudah. Sekarang yang lebih penting tentu saja adalah lanjut stalking Instagramnya Sashi. Tapi sayang seribu sayang, Jef justru dihantam oleh sebuah fakta keras begitu dia merefresh halaman; entah ada angin dari mana, Sashi memutuskan memprivate akun Instagramnya.
Kampret iki bocah, akun Instagram iku dudu sel Bang Napi loh ya. Pake digembok segala. (Kampret nih bocah. Akun Instagram tuh ukan sel Bang Napi loh ya, pake digembok segala).
Tentu saja, bukan Jef namanya jika dia menyerah bahkan sebelum perang dimulai. Jef langsung menekan pilihan follow pada akun Instagram anak perempuannya. Tidak apa-apa, toh yang dia gunakan adalah fake account. Lagian, kege-eran betul anak itu jika sampai bisa menebak orang di balik fake account tersebut adalah Jef. Setelahnya, Jef menunggu, tetapi sampai lewat sepuluh menit, follow requestnya masih tak kunjung diterima.
"Halah, stress gue lama-lama!" Jef mendengus, lalu memutuskan menelepon Coky. Coky ini manajer yang bertugas mengatur semua aktivitasnya sebagai celebrity chef. Memang masih ada saat-saat khusus dimana Jef bekerja di dapur, tetapi dia lebih aktif di media, entah itu mengisi acara masak-memasak, membuat buku resep masakan yang biasanya diikuti talkshow dan demo masak ke kota-kota hingga membawakan acara wisata kuliner yanng disertai review makanan. Gara-gara urusannya dengan Rosé, dia sengaja mengambil break sebulan.
"Halo, Coky. Ini gue. Jeffrey. Mau konfirmasi, Jennie udah hubungin lo belum ya?" Jef langsung berbicara tanpa basa-basi begitu telepon dijawab.
"Oh. Sudah, Bang. Jadi soal acara di sekolah itu dimasukkin ke Jumat ini ya?"
"Iya."
"Oke, Bang."
"Besok ada jadwal nggak? Soalnya seingat gue ada."
"Ada satu, Bang. Shooting untuk iklan salah satu produk bumbu masakan sih. Mereka ngeluarin varian rasa baru. Tempatnya di... hm... bentar, gue ambil agenda gue dulu—"
"Bisa di-reschedule nggak?"
"Wah, kenapa, Bang?"
"Ini yang nanya lo apa orang dari brand bumbu masakannya?"
"Oh." Coky langsung paham. "Kalau orang dari brand sana nanya, gue harus bilang apa?"
"Gue sakit dan masih rada jetlag."
Bohong besar, mana ada jetlag yang nggak reda setelah seminggu.
"Oke, Bang. Tapi alasan sebenarnya kenapa? Bukan mau lamaran, kan?"
"Ngaco kamu!" Jef berseru. "Besok lo supirin gue. Kita bakal jadi mata-mata."
"Hah?!"
"Pokoknya siap-siap aja."
Jef langsung menyudahi obrolan tanpa memberi Coky kesempatan bicara. Dia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian meraih laptopnya. Pada tab pencarian Google, Jef mengetikkan alamat website salah satu e-commerce yang turut menjadikannya sebagai brand ambassador, kemudian mengetikkan serangkaian nama benda yang dia cari; teropong serta kumis palsu.
*
Tedra jadi yang pertama beranjak dari kasur setelah sesi tempur rusuh mingguannya dengan istri tergalak sekaligus tercinta selesai. Joice santai saja berbaring di bawah selimut, sibuk melarikan jemarinya di atas layar hingga beberapa saat kemudian, terdengar nada suara khusus tanda berhasilnya transaksi yang dilakukan via mbanking.
"Ngapain kamu?"
"Transfer olshop. Tadi kan sebelum kamu mancing perang, aku lagi scrolling Syopi." Joice membalas tidak peduli, kemudian memiringkan wajah dan memandang Tedra dengan tatapan meneliti selama beberapa saat. "Papa mulai besok nge-gym lagi lah. Roti sowek'e udah mulai ilang. Mama nggak mau punya suami yang perutnya mbleber tumpah-tumpah kemana-mana."
"Oiya bener, sekalian nge-vlog."
"Papa beneran mau jadi youtuber?"
"Iya. Kenapa? Mama takut banyak bocah piyik yang naksir Papa?"
"Nggak apa-apa. Tapi kalau subscribernya dikit, bilang Mama. Nanti Mama beliin. Malu lah, duit bergudang-gudang eh subscriber Youtube cuma seencrit."
"Iya." Tedra tiba-tiba teringat sesuatu. "Ealah, Papa baru inget, sore ini pas lagi shooting vlog pertama bareng krunya Irul, Papa denger gosip mantap dari Mandala."
"Hah, tumben Dery bisa jadi sarang gosip?!" Joice langsung duduk dari posisi berbaringnya sambil tetap menahan selimut agar menutupi dada. "Gosip apaan?!"
"Mama eroh Jeffrey Gouw ora?" (Mama tau Jeffrey Gouw nggak?).
"Jeffrey Gouw—Jeffrey Gouw—loh, Jeffrey Gouw seng jadi bintang iklan Indomi kui?!"
"Mama kenal ta?"
Joice melotot, jelas sekali api julid dalam matanya langsung berkobar. "Mama kan sak arisan karo sepupune de'e. Talitha, inget rak?" (Mama kan satu arisan sama sepupunya. Talitha. Inget nggak?).
"Talitha yang mana?"
"Talitha yang pernah Papa goda-godain terus kedip-kedipin ganjen terus ketahuan suaminya itu! Mosok lupa?! Papa kan hampir bonyok kena gampar! Seng bojone mantan petinju, seng konco kentel'e Chris John kui lohhhhh!" (Masak lupa?! Papa kan hampir bonyok kena gampar! Yang suaminya mantan petinju, yang temen deketnya Chris John itu lohhh).
Tedra akhirnya ingat. "Oh, Talitha seng koyok bidadari iku. Beda sama Mama yang—"
Joice jadi ngegas. "BEDA APANYA?!"
"Sabar, Ma. Sabar." Tedra nyengir. "Maksud Papa tuh, Talitha boleh kayak bidadari, tapi hanya Mama seorang pemilik hati ini."
"Halah, sepik tok cocotmu iku. Kayak Mama nggak tahu aja Papa suka tebar pesona sama cewek-cewek muda. Jangankan Talitha Gouw, anak sekolahan di Starbucks aja Papa kedipin!" (Halah, sepik doang mulutmu itu).
"Kok Mama jadi salty-in Papa, sih?! Yaudah, kalau gitu Papa nggak jadi cerita."
"LOH, NGGAK BISA GITU DONG!"
Tedra berlagak berpikir. "Hm... gimana ya..."
"Pa, iku lambemu ojo koyok manukmu seng kalau nggak disempaki mengsla-mengsle ngiwo tengen." Joice melotot. "CERITA BURUAN!" (Aduh ini translatenya pusing pokoknya gitu lah manuk mengsla-mengsle).
"Hm..."
"Ndasmu arep tak gaplok a?" (Mau gue gaplok lu?).
"Tapi Mama jangan bilang siapa-siapa ya?"
"IYO! NDANG CERITA MAMA WES KEPO!" (IYA! BURUAN CERITA MAMA UDAH KEPO!).
"Jarene Mandala, Sashi iku dudu putrine Joshua." (Kata Mandala, Sashi tuh bukan anaknya Joshua).
"Hah? Terus apa hubungannya sama Jeffrey Gouw?"
"He is her real father."
"WHAT THE JANGKREK?!!"
*
Jika ada yang bisa Coky syukuri dari situasi yang menjebaknya saat ini, maka itu sudah pasti adalah fakta bahwa tidak banyak semut merah yang berkeliaran di batang pohon mangga tempatnya dan Jef berada sekarang. Iya, ternyata kata-kata Jef soal jadi mata-mata tidak main-main. Mereka memang mengintai seseorang secara sungguhan. Bahkan saking menjiwai peran, Jef menyuruh Coky memarkir mobil mereka di balik semak-semak, sebelum memanjat sebuah pohon mangga yang cukup tinggi berbekal teropong dan kumis palsu yang tertempel di atas bibir. Coky harus ikhlas dipaksa menggunakan sunglasses berikut jenggot palsu yang membikin dia tidak berhenti garuk-garuk sejak tadi.
"Bang, lo mau ngapain sih?"
"Misi penting ini!" Jef berkata sambil mengatur teropongnya, mengarahkannya ke bagian kanan sebuah rumah dengan jendela besar yang terbuka. Tanpa teropong, Coky tidak bisa melihat apa-apa tapi dia rasa jendela besar itu adalah penghubung antara ruangan mirip dapur dan ruang makan rumah tersebut.
"Bang, ini kalau sampe lo kejepret hengpong jadulnya Mak Lambe, bisa tamat riwayat lo, Bang! Ganteng-ganteng tapi hobi ngintip tuh bisa bikin cewek-cewek ilfeel. Tanpa fans lo yang bejibun, nggak bakal ada tawaran brand atau—"
Jef masih menatap lurus pada teropong, mengangkat tangan kanannya pada Coky yang sontak membungkam mulut lelaki itu. "Sst... suara lo menodai kuping gue. Ini penting. Lo diam aja."
Coky menghela napas, akhirnya tidak bicara lagi. Dia malah mengedarkan pandang ke segala arah, kemudian terpikir untuk memetik satu mangga besar terdekat dari kepalanya. Tangan kanannya terjulur sementara tangan kirinya masih rajin menggaruk dagu yang tergatali oleh keberadaan jenggot palsu.
Perhatian Jef sendiri sudah tersita sepenuhnya pada sosok-sosok yang kini dia amati. Sosok-sosok itu tiada lain tiada bukan adalah Sashi dan Dery. Jef sudah mengikuti mereka secara diam-diam ketika mereka berbelanja di supermarket. Beruntung penyamarannya cukup berhasil. Dengan kumis palsu dan topi, tidak ada seorangpun yang mengenalinya apalagi sampai minta foto bersama. Proses pengintaian Sashi dan Dery jadi agak sulit ketika mereka tiba di rumah. Pintu depan dijaga oleh seorang satpam dan pagar belakang rumah Sashi cukup tinggi. Untungnya, Jef tidak kehabisan akal dan berhasil menemukan pohon mangga yang ditanam hanya beberapa meter dari pagar belakang rumah keluarga Sashi.
Lelaki itu mendengus ketika dia melihat Dery berdiri di belakang Sashi yang tengah menghadap konter dengan pisau di tangan, kemudian dengan gerak sok polos yang menurut Jef sangat terlatih, Dery menunduk sampai wajahnya cukup dekat dengan telinga Sashi.
"Wah, asu tenan iku bocah! Besok-besok mesti gue bawain es batu kayaknya!"
"Es batu?" Dahi Coky berkerut. "Buat apa emangnya?"
"Buat mbalang'i ndas'e de'e. Dasar tukang cari kesempatan! Awas aja kalau bibirnya sampe nempel-nempel telinga! Tak kebiri on the spot!" (Buat menghantam kepalanya dia).
"Mana sih? Kok gue jadi kepo."
Jef menurunkan teropong dari matanya, memberikannya pada Coky. "See it for yourself."
Coky menerimanya, turut meneropong sejenak ke arah yang dimaksud Jef. Dia hanya melihat dua remaja berseragam SMA yang kelihatannya sedang memasak bersama. Menurutnya, mereka terlihat normal dan tidak melakukan sesuatu yang aneh. "Ah, kelihatannya tuh anak bocah baik-baik kok, Bang. Mukanya polos gitu."
"Justru itu!" Jef jadi berapi-api. "Bocah seng sawangane alim gak mesti alim tenanan, cok. Cowok tuh banyak yang onderdil dalamnya brengsek meski di luarnya kalem!" (Bocah yang luarnya alim belum tentu alim beneran).
"Kayak lo ya, Bang?"
Aduh, tertohok.
"Cok."
"Apa, Bang?"
"Sesuk kowe tak tumbasno cakram rem ben cocotmu ora blong yo." (Besok lo gue beliin cakram rem ya biar mulutnya nggak blong).
Coky meringis. "Hehehe, ampun, Bang."
Jef mengabaikannya, cepat merebut teropong dari tangan Coky dan melanjutkan pengamatannya yang sempat terhenti.
*
Ini belum weekend, tapi berhubung Jennie sudah kelewat suntuk dikarenakan banyak pressure yang dia terima di tempat kerja—sesungguhnya bekerja di dapur terutama di jam-jam sibuk tidak jauh beda dengan beraksi di medan perang—dia merelakan diri menembus macetnya arus pulang kerja para penghuni satu kota menuju sebuah mall. Rencananya sih mau karaoke gemes bersama sahabat di masa SMA—katanya mumpung suaminya lagi dinas keluar kota guna menjalankan tugas negara. Anaknya mah gampang, bisa dititipkan sama neneknya. Mereka janjian ketemuan di sebuah kedai kopi yang juga terletak di mall yang sama.
Jennie tiba lebih dulu, jadi dia harus menunggu. Usai memesan secangkir iced latte, perempuan itu duduk sendirian sambil memainkan ponsel. Dia membuka email untuk mengecek surat yang masuk, membalasi beberapa email penting, dilanjut ngejulid sedikit di Instagram, me-retweet jokes-jokes sampah nan receh di Twitter hingga tanpa sengaja, dia membuka aplikasi WhatsApp dan disambut oleh chat dari Joshua Tirtasana yang berada di urutan paling atas.
Iya, soalnya chat dari Jo jadi satu-satunya chat yang dia paku. Jef? Dia sih lebih pantas di-block aja.
Jennie menatap foto profil WhatsApp Jo yang diisi oleh fotonya bersama Tris dan Sashi. Tipe lelaki tampan, matang, baik dan bertanggung jawab yang sangat mencintai keluarga. Jennie jadi agak cemburu pada Tris. Seperti apa rasanya terbangun di samping lelaki seperti Jo setiap hari selama belasan tahun?
Duh, Mas'e... awakku ajane kangen... pengen nge-chat tapi wedi ngrusuhi awakmu...
(Duh, Masnya... aku sebenernya kangen... pengen nge-chat tapi takut ngeganggu kamu).
Jennie membuka chatnya dengan Jo. Singkat, tetapi membacanya berulang kali selalu berhasil bikin Jennie terkikik sendiri. Hatinya seperti ditumbuhi ribuan bunga. Taman Bunga Cipanas? Lewaaaaaat.
"Kapan ya JNE isok ngirim cinta? Biar kukirimkan seluruh cinta dalam hati ini padamu..." Jennie berbisik sambil mesem-mesem melototin foto profil Jo.
Khayalan babu Jennie terputus ketika ponselnya tiba-tiba meraung. Ada telepon masuk dan itu datang dari sahabatnya yang sedang dia tunggu. Jennie menjawabnya, mengucapkan 'halo' dengan sangar tapi manis, hingga kemudian apa yang dikatakan lawan bicaranya membuatnya meledak serupa bom nuklir.
"HAH?! KOWE NDUE UTHEK RAK?! HEH AKU KI WES NANG STARBUCKS, PEKOK?! Aelah! Tau gitu gue langsung balik aja, tadi! Karaoke-an sendiri? Ogah, nanti gue disangka jones! Aku ki jomat yo! Jomblo terhormat, dudu jomblo ngenes! Sara-sori ndasmu, cok, Jakarta sore-sore iku muacete mantap ngono, awakmu enteng banget bilang sara-sori. Ck. Yaudahlah. Bhay! Aku ngambek, bodo amat!"
(HAH?! KAMU NGOTAK NGGAK?! HEH AKU NIH UDAH DI STARBUCKS, PEKOK?!).
Setidaknya kepala dari setengah pengunjung kedai kopi tersebut tertoleh pada Jennie hingga dia menyudahi telepon diikuti dehaman manja.
"Sorry, is there something wrong?"
Mereka pun buru-buru mengalihkan perhatian, berlagak sibuk dengan kopi dan kerjaan masing-masing. Jennie menggerutu, tidak peduli pada citranya walau dia dikenal sebagai sahabat dekat Jeffrey Gouw. Lagipula, kebanyakan orang sudah tahu karakter nyelenehnya. Dia masih cemberut ketika seseorang tiba-tiba berjalan mendekati mejanya.
"Jennie, kan?"
Jennie tergagap, wajahnya kontan memerah begitu dia mengenali siapa yang berdiri di dekat mejanya dengan iced Americano di tangan kanan. Itu... Jo.
"Ah—oh—"
MAMPUS GUE JANGAN BILANG DIA DENGER SENI PISUH-MEMISUH YANG BARUSAN GUE MAINKAN.
"Lagi bete ya?"
"Hng..."
"Tadi waktu saya denger suara kamu, kok kayaknya kenal. Ternyata beneran kamu. Nggak nyangka, kita bisa ketemu di sini. Saya duduk di meja itu." Jo menunjuk pada meja yang berada di pojok, berjarak sekitar tiga meja darinya. Ada macbook terbuka di samping iced Americano yang telah tandas setengahnya. Di dekat kursi, teronggok sebuah koper hitam ukuran kabin yang terkesan mahal dan eksklusif.
KRATAK SUDAH HARGA DIRI INI.
"Temanmu nggak jadi datang?"
Jennie tersenyum kecut. "Kelihatannya begitu."
"Pasti bete banget ya. Jadi sendirian aja? Mau duduk bareng saya? Kebetulan kerjaan saya udah selesai dan saya masih punya beberapa jam lagi sebelum ke bandara." Dia tersenyum, bikin Jennie tertusuk oleh panah Arjuna.
Anjaaaaaaaaay, Mas'e. Senyummu iku loohhhhh... beda tipis karo ciuuuu... sithik nanging marai ngeluuuuu...
(Senyum kamu itu beda tipis sama ciu... cuma dikit aja udah bikin pusing).
"Atau kamu lagi nggak mood dan lebih suka sendirian? Saya paham kok, memang ada beberapa orang yang lebih suka sendirian."
Jikalau ada pantun yang bisa menggambarkan bagaimana suasana hatiku saat ini maka sudah pasti pantun itu berbunyi ono ranting ono kayu I am nothing without you.
"Boleh?"
"It will be a pleasure. Makan berdua kedengarannya lebih menyenangkan daripada makan sendirian, iya, kan?"
Oalah bebi... sak manis-manis'e es boba karo brown sugar seng trendy iku, sek kalah manis karo sikapmu...
(Semanis-manisnya es boba pake brown sugar yang lagi nge-tren, masih kalah manis sama sikapmu).
"Indeed."
*
Sashi tengah menuang fettucini aglio olio dari wajan ke dalam piring ketika Dery berdiri agak terlalu dekat dengannya, membuat Sashi bisa merasakan embus napas cowok itu di puncak kepalanya, juga wangi parfum yang dia pakai. Sashi mengerjap lalu menggelengkan kepala beberapa kali dengan gerakan yang tidak kentara. Tidak, tidak, tidak. Dia tidak boleh berpikir dengan tidak sepatutnya. Dery adalah sahabatnya. Titik.
"Drol."
"Apa?"
"Tumben lo wangi. Abis minum parfum segentong apa gimana?"
"Hehehe." Dery nyengir.
Dalam hatinya sih; ojo baper... ojo baper... ojo baper...
Sashi masih terus memindahkan isi wajan ke piring menggunakan spatula, namun kelihatannya mereka terlalu banyak memasukkan bahan-bahan—terutama udang dan sosis karena Dery nggak sengaja memasukkan seluruh isi mangkuk ke dalam wajan—jadi wajan tersebut cukup berat. Pegangan Sashi pada tepi wajan mengendur sedikit, bikin wajan itu hampir terlepas jika saja Dery tidak cekatan memegang tangan Sashi, memastikan wajan itu tercengkeram sempurna.
Ada jeduar yang tercipta dalam hati Sashi, entah di bagian mana.
"Drol."
"Apa lagi?"
"Jangan pegang-pegang tangan gue."
Dery mengangkat alis. "Takut baper?"
Dalam hatinya; plis... kumohon kepada Tuhan semesta alam... mau itu Tuhan dari tanah seberang hingga Tuhan para insan per-indomi-an... izinkan dia mengatakan 'iya'...
"Nggak. Tangan lo bau bawang."
Sayang karo de'e iku kudu seloro iki a? Dery meratap dalam hati.
Namun Dery hanya tersenyum sok kuat sambil mencerca. "Jangkrek."
Sashi terkekeh, melanjutkan menuang seluruh isi wajan ke dalam piring dan setelah selesai, dia membawanya ke meja makan. Usai dengan aglio olio kebanggaannya, dia lanjut membuka kulkas untuk mengecek pudding cokelat regal yang sempat dia buat sebelum mulai memasak aglio olio. Pudding tersebut sudah mulai mengeras, tetapi belum cukup solid untuk dimakan. Dery diam saja, menatap ke luar jendela yang kini dipenuhi oleh titik-titik hujan. Sekitar setengah jam yang lalu, hujan memang tiba-tiba turun dengan deras disertai oleh angin kencang dan petir yang menyambar.
Jujur, hujan membuat Sashi jadi agak sedikit murung. Penyebabnya adalah karena Mami menyukai hujan. Hujan apapun, mau itu hujan rintik-rintik, hujan panas di siang hari yang katanya pertanda ada anak genderuwo baru lahir atau ada orang besar yang baru saja berpulang, hujan badai, hujan yang menyebabkan mati lampu, hujan berangin. Mami akan berdiri di tepi jendela yang terbuka dan menarik napas dalam-dalam, menghirup bau khas hujan sepuasnya.
Sashi suka bau hujan, namun dia tidak suka hujan dengan petir dan angin yang kelewat kencang. Itu membuatnya takut. Juga hujan yang memicu pemadaman listrik. Dia benci gelap dan tidak pernah bisa tertidur jika lampu kamarnya dimatikan.
Suatu malam, pernah hujan turun dengan derasnya, menjatuhi Bumi tanpa ampun dan belas kasihan. Sashi masih kelas satu SMP waktu itu, turun dari tempat tidurnya sambil gemetar ketakutan. Dalam kegelapan, dia memanggil Mami. Mami muncul tidak lama kemudian, bersama sebatang lilin di tangannya. Papi tengah melakukan perjalanan bisnis kala itu, jadi Sashi hanya berdua dengan Mami—dan Pak Sulaiman, satpam yang berjaga di posnya dekat pintu pagar.
Mereka duduk di tepi jendela kamar Mami. Mami membukanya lebar-lebar, juga menggeser tirainya. Udara yang lembab dan basah menyerbu masuk, membawa petrikor tengah malam yang mencipta senyum lebar di wajah Mami.
"Nggak ada yang perlu ditakuti dari hujan, Sashi." Kata Mami waktu itu. "Hujan itu menyenangkan. Bahkan ada yang bilang, katanya hujan itu hanya satu persen genangan dan sembilan puluh sembilan persen lainnya kenangan."
"Maksudnya?"
"Hujan bisa bikin kita ingat sesuatu yang lama terlupakan, tapi berkesan buat kita. Mau itu yang menyenangkan atau... yang kurang menyenangkan." Mami tertawa kecil. "Misalnya... setiap kali hujan turun... Mami selalu keinget sama seseorang."
"Hah, siapa?"
"Jangan bilang-bilang Papi ya?"
Sashi mengernyit, tapi akhirnya mengangguk. "Iya."
"Mantan pacar Mami waktu SMA dulu."
Tanpa sadar, Sashi tersenyum pahit ketika kenangan itu menghantamnya, diikuti sebuah bisik yang bergema dalam benaknya; apa mantan pacar yang Mami maksud itu sama dengan om-om yang jadi alasan kenapa aku bisa ada? Kalau iya... seriously, Mom? What was so good about him that you fell that hard?
Sashi baru berniat mencuci tangannya menggunakan air dari keran bak cuci piring ketika mendadak, angin kencang bertiup hingga membuat daun jendela yang terbuka beradu dengan tembok, menciptakan suara keras yang membuat Sashi tersentak kaget. Dia belum sempat berkata-kata saat tak lama, suara gemuruh yang lebih keras terdengar diikuti oleh petir yang menyambar. Gadis itu menatap nanar pada arah datangnya suara, betul-betul membeku di tempat kala dia menyaksikan sesuatu yang berat menimpa atap dan tembok, menciptakan lubang yang membuatnya bisa melihat halaman samping. Batang pohon yang berat jatuh menghantam akuarium berisi puluhan ikan mas koki sesaat setelahnya, membuatnya pecah seketika. Air menggenang di lantai, sementara ikan mas koki menggelepar dengan mulut megap-megap.
Sashi bergeming, terlampau terkejut untuk bereaksi sementara Dery justru berteriak heboh—yang untungnya, masih terdengar macho.
Sashi speechless, membeku selama sebentar di tempatnya berdiri. Butuh beberapa menit buatnya untuk menyadari apa yang baru saja terjadi. Kelihatannya, pohon di halaman samping tumbang. Pohon itu sudah tua dan setahu Sashi, telah ada sejak mereka pindah ke sana yang artinya—pohon itu mungkin seumur atau lebih tua darinya. Mungkin akarnya tidak lagi kuat dan empasan angin kencang membuatnya tak bisa bertahan. Diameter batangnya besar, membuatnya mampu menghancurkan tembok, atap bahkan bikin akuarium di pojok ruang makan tidak lagi berbentuk.
Kemudian, perhatian Sashi justru tersita oleh ikan-ikan berbadan jingga yang tersebar di atas genangan air di lantai. Ikan-ikan itu adalah ikan peliharaan Mami, yang dibelikan Papi beberapa bulan lalu untuk merayakan ulang tahunnya. Sashi tidak bisa membiarkan ikan-ikan itu mati begitu saja, jadi dia berlari ke arah ikan-ikan yang tersebar di lantai bertepatan dengan seseorang masuk ke ruang makan diikuti seruan.
"No! Don't move!"
Sashi menoleh, terkejut oleh seruan yang tidak dia duga akan dia dengar. Itu bukan keputusan yang tepat, karena dia justru tak melihat kubangan air yang mengenang di lantai. Tanpa bisa dihindari, gadis itu terpeleset dan jatuh dengan kedua telapak tangan serta lutut mencium lantai lebih dulu. Berita buruknya, dia mendarat di bagian lantai yang penuh pecahan kaca akuarium.
Sashi mengerjap, refleks meringis kesakitan dan menahan napas kala dia melihat bagaimana darah dari telapak tangan dan lututnya menetes ke lantai, bergabung dengan genangan air yang membanjir disana-sini.
"Oh shit." Satu gumam berisi makian membuat mata Sashi teralih dari luka di tangan dan kakinya. Dia menoleh hanya untuk mendapati Jef berjalan cepat ke arahnya. Tanpa pikir panjang, lelaki itu menyelipkan lengan di bawah lutut dan di bahunya, kemudian mengangkat tubuhnya dari lantai yang kini penuh bercak merah.
*
"Besok-besok kita bawa pawang hujan, deh. Kesel gue, hujannya awet banget."
"Kayak bacotan lo kalau lagi cerewet ya, Bang?"
Jef menoleh cepat pada Coky yang duduk menghadapi roda kemudi. Mereka tengah melakukan pengintaian ketika hujan tiba-tiba turun dan langsung deras. Jef yang lebih tangkas dari Coky karena pernah menekuni panjat tebing sebagai olahraga tidak mengalami banyak kesulitan turun dari pohon dalam waktu singkat. Tapi tidak untuk Coky. Butuh waktu lama bagi pemuda itu untuk bisa kembali menapak tanah. Jef otomatis jadi kesal, soalnya kausnya nyaris basah sepenuhnya saat dia tiba di mobil. Tambahan lainnya, kaus yang dia kenakan berwarna putih. Untung saja Coky itu cowok tulen yang suka cewek, karena kalau tidak, bisa-bisa dia sudah ngiler lihat otot perut Jef yang terlihat gara-gara bajunya yang mendadak transparan.
"Lo mau digampar ya?"
"Hehehe... ampun, Bang. Sensi banget, deh."
"Gimana nggak sensi kalau anak perempuan gue—um... maksudnya, gimana gue nggak sensi ngebayangin itu anak cewek ama anak cowok berduaan aja di dalam rumah?!"
"Anak perempuan lo?"
"Nggak. Tadi gue salah ngomong."
"Yaudah sih, hak dia juga. Orang tuanya aja nggak keberatan. Apalagi di pos depan tadi gue lihat ada satpam yang berjaga."
Jef memutar bola matanya, terkesan sarkastik. "Pokoknya nggak boleh! Dua anak itu harus diawasi ketat! Jangan sampe mereka ngapa-ngapain!"
"Emang dulu pas jaman seumur mereka lo nggak ngapa-ngapain gitu, Bang?"
"Gue ya gue! Mereka ya mereka! Beda lah!"
"Oiya."
Mereka diam lagi. Jef mendengus, merutuk dalam hati karena hawa dingin terasa menusuk tulangnya. Bajunya basah dan dia tidak membawa kaus tambahan di mobil. Walau tidak menyalakan AC, embus udara dari luar sudah cukup mampu membuat siapapun menggigil. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sambil menyisir rambutnya yang lembab menggunakan jari ketika tiba-tiba saja, Coky memekik. Refleks, Jef mengikuti arah pandang manajernya dan ekspresinya berubah ngeri kala dia melihat sebuah pohon besar di halaman samping rumah mendadak miring, lalu tumbang sepenuhnya menghantam tembok dapur. Ada suara gemuruh keras yang terdengar, bikin bulu kuduk Jef sontak berdiri.
"Anjir, Bang! Pohonnya tumbang! Wah, parah, kena orang nggak tuh?!"
Seruan heboh Coky tidak Jef tanggapi sebab dia telah lebih dulu membuka pintu mobil dan berlari menyeberangi jalan menuju pagar depan rumah Sashi tanpa peduli pada hujan deras yang masih mengguyur. Satpam yang berjaga ikut keluar dari posnya, berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah panik. Mau tidak mau, Coky tak punya pilihan selain mengikuti Jef sambil berseru keras.
"WOY! BANG JEFFREY! MAU KEMANA?! BANG, ITU RUMAH ORANG!"
Jef mengabaikan teriakan Coky, juga tatap heran satpam rumah kala melihatnya. Dia cepat-cepat berjalan melintasi ruangan rumah Sashi menuju dapur. Ada rasa takut dalam dirinya, yang entah bersumber dari mana.
Begitu tiba di dapur, Jef disambut oleh anak itu... yang berlari menuju bagian dapur yang hancur. Jef tahu, tembok dan atap yang bolong telah berada dalam kondisi rapuh. Bukan tidak mungkin, akan ada material keras yang berjatuhan lagi. Karena, dia berseru agar semua orang tidak bergerak, terutama mendekat ke bagian rumah yang terhantam oleh batang pohon.
"No! Don't move!"
Seruannya membuat anak itu terkejut, hingga dia terpeleset dan jatuh mendarat di atas pecahan kaca akuarium. Jef tersekat, merasakan sebentuk déjà vu kala dia melihat darah yang mengalir dari telapak tangan dan lutut Sashi.
Dia pernah melihat peristiwa yang sama, belasan tahun lalu, di lapangan basket sekolah hanya sejenak sebelum senja menjemput. Jef sengaja main basket untuk menunggu Tris selesai dengan kelas tambahannya di sekolah—gadis itu pendiam, namun tergolong pintar dan dipercaya oleh sekolah untuk menjadi wakil mereka dalam sebuah olimpiade sains tingkat nasional. Jef ingat, Tris memanggilnya dari tepi lapangan, dengan seruan manis yang diikuti senyum lembut.
"Kak Jeffrey!" ujarnya seraya berlari menghampiri Jef hingga mendadak, langkahnya terhenti waktu dia tersandung. Gadis itu terjatuh dengan tangan dan lutut mencium permukaan keras dan kasar lapangan basket yang juga agak berpasir. Lukanya langsung berdarah.
Kemudian seperti sekarang, Jef juga berlari menghampirinya. Dia tidak peduli pada rambutnya yang basah, juga bajunya yang kini sudah kuyup. Lelaki itu menghampiri Sashi, membawanya dalam sebuah dekap dan menggendongnya menuju ruang tengah. Sashi menatap nanar. Dia ingin berontak, dia ingin bertanya mengapa Jef ada di sini, ada banyak yang ingin dia lakukan tapi badannya terlalu kaku untuk digerakkan. Dia masih diam ketika Jef mendudukkannya dengan hati-hati di atas sofa ruang tengah. Darah Sashi menetes, mengotori kaus putihnya yang sekarang sudah setengah transparan, tapi kelihatannya dia tidak peduli.
Hal pertama yang dia lakukan adalah berjongkok di depan Sashi yang duduk di atas sofa, melihat pada lukanya dan darah yang telah mengalir menuruni betis gadis itu.
"This must be hurt."
Sashi mengerjap, lalu membalas sinis. "Why do you care, anyway?"
Jef menengadah, memandang padanya dengan sorot mata sengit. Sashi benci mata itu. Mata yang terlihat seperti matanya, membuatnya serasa menatap pada dirinya sendiri. "Kamu ini bener-bener nggak bisa dibaikin ya?"
"Saya nggak butuh dibaikin sama om." Sashi mendelik, melotot pada Dery yang berdiri menonton mereka dengan Pak Sulaiman berdiri di sebelahnya, kelihatan sama bingungnya. Dery mengedikkan bahu, bingung harus berbuat apa terutama setelah dia tahu fakta bahwa lelaki di depan Sashi sekarang adalah salah satu dari dua lelaki yang dia harapkan restunya jika dia ingin menikahi Sashi di masa depan. "Ngapain om di sini?"
"Itu nggak penting." Jef mengeluarkan ponsel, mencari sebaris nomor dan usai menekan tombol 'call', langsung menempelkan ponselnya ke telinga.
"Om nelepon siapa?! Kalau nelepon Papi, nggak guna. Papi saya ke Spore malam ini. Jangan diganggu."
"Dia harus tahu apa yang terjadi di rumahnya."
Sashi memegang pergelangan tangan Jef, membuat tatapan mata lelaki itu langsung jatuh pada jemarinya. Sashi tergugu, menyesali tindakannya dan ragu-ragu, menarik tangannya lagi. "Pak Sulaiman bisa panggil orang buat benerin temboknya. Kalau Papi tahu, bakal cuma jadi beban pikiran aja. Papi butuh fokus dengan pekerjaannya. Aku nggak mau ganggu!"
Damn, why does this girl sound so much like her mother!?
"Okay, then. Gue nggak bakal kasih tau bokap—I mean, gue nggak bakal kasih tahu Jo, tapi dengan satu syarat."
"Ye, dasar tukang peras! Mantan preman ya?!"
"Agree or I'll call Jo."
"Yaudah, apa?!"
"You're sleeping in my place tonight."
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yak, kembali lagi dari saya yang seharian ini sakit kepala wkwk
dikirain lagi gaenak badan atau telat makan, ternyata aftertaste-nya nonton joker. aduh emang sesakit itu aja filmnya buat gue, di seperempat terakhir nonton pusing banget wkwk.
but it was good.
jadi, ini chapter lanjutannya karena sudah mencapai target :3
hm kalau begini ternyata silent readers pada keluar ya yoksi tengkyu nomu gomawo.
terus apa lagi ya.
hm kayaknya ngga usah banyak bacot deh berhubung saya juga bingung mau bacot apa.
sesungguhnya setiap papa punya naluri untuk menyayangi anaknya :3
dah kalau gitu.
main target lagi ngga ya? hm, bole deh. 2k comments dan 2k votes. dah biar kembar.
sekian dariku sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao.
bonus mama joice alias mamanya dery dan istri tergalak sekaligus tercinta pak tedra.
Kolong Langit, October 5th 2019
20.12
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro