Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05

Kampret dari dasar hati yang paling dalam kupersembahkan untuk mereka yang kutawari makan dengan maksud basa-basi doang tapi eh malah mau beneran.

—Acacia Tredayorka T.

***

Tadinya Jef berniat tidur lagi, namun kantuknya sudah benar-benar pergi dan setelah menghabiskan setengah jam dengan hanya memejamkan mata tanpa bisa jatuh terlelap, lelaki itu menyerah. Dia bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi buat membasuh tubuh, dilanjut menyeduh kopi dan membawanya menuju balkon. Hari baru dimulai, tetapi langit ibukota telah diwarnai oleh lapisan tipis kelabu, efek dari polusi yang menyesaki udara saban hari.

Ini sudah hari keempat sejak pemakaman Tris dan Jef belum menemui anak itu, apalagi menghubunginya. Seharusnya itu tidak menjadi masalah untuknya. Dia tidak pernah terbayang menjadi seorang ayah, apalagi memiliki anak perempuan yang super keras kepala. Tris juga tidak menuntutnya untuk merawat anak itu—lagipula tampaknya, Jo cukup mampu melakukannya sendirian. Tambahan lainnya, anak itu juga tidak menyukainya.

Namun, kenapa Jef tidak bisa berhenti memikirkannya?

Ada sentimen tidak suka yang berbaur dengan rasa bersalah setiap dia teringat pada anak perempuan itu. Tidak suka, karena anak itu selalu punya cara membantah kata-katanya. Bisa jadi juga karena garis wajahnya mirip dengan wajah Tris, membuat melihatnya bikin Jef serasa dipandang oleh Tris dengan sinis. Di saat yang sama, dia merasa bersalah karena sadar apa yang dia katakan tempo hari pasti sudah melukai anak itu.

She wasn't a mistake, Jef berpikir sambil menyeruput kopinya. Meski kehadiran anak itu tidak terduga, tetapi apa yang Jef lakukan bersama Tris bukan kesalahan. Setidaknya begitu menurut Jef.

To be honest, she was born out of love, because that's what he feels for her mother, even until now.

Jef tidak tahu apakah rasa bersalah itu juga yang mendorongnya untuk mencari segala informasi tentang Sashi yang bisa dia temukan di internet. Tidak banyak, sebab Sashi bukan anak yang aktif memosting sesuatu di akun media sosialnya. Akun facebooknya terakhir diperbaharui dua tahun lalu, itu pun hanya untuk mengganti foto profilnya. Akun Twitter miliknya terkunci. Dia paling banyak mengunggah foto di akun Instagram, tetapi jeda antara setiap foto begitu berjauhan.

Akun Instagram milik Sashi dipenuhi oleh banyak fotonya bersama anak laki-laki yang Jef lihat bersamanya di restoran ramen, rumah sakit maupun pemakaman. Kelihatannya, mereka telah cukup lama bersahabat dan sangat dekat. Pada unggahan lama, foto-foto Sashi bersama Tris lebih banyak daripada foto-foto Sashi bersama sahabatnya. Dalam foto-foto itu, Tris terlihat baik-baik saja dengan rambut panjang yang tergerai, sehat dan tersenyum lebar pada kamera. Jef berhenti beberapa lama pada satu gambar yang memuat sosok Sashi bersama ibunya. Mereka mengenakan baju berwarna senada, duduk bersebelahan di sebuah restoran sembari menatap lurus pada semangkuk es serut warna-warni. Ada senyum di wajah mereka.

Jef suka pada suasana dalam foto itu, tanpa pikir panjang men-screenshootnya.

Tampaknya, Sashi dibesarkan dalam keluarga yang bahagia dan kentara sekali, dia sedekat itu dengan Tris. Postingan lebih lamanya makin banyak didominasi oleh sosok Tris, jarang sekali ada foto Dery. Ada satu foto Jo yang tampaknya diambil secara candid dengan caption; it's candid but my daddy looks super fine 👌🖤.

Jef mendengus, merasa ada sesuatu yang menikam tajam perasaannya.

Foto terakhir bersama Tris diunggah Sashi setahun lalu. Perempuan itu terduduk di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk punggung tangannya. Sashi tengah memeluknya. Mereka menunduk, menyembunyikan wajah di bahu satu sama lain. Mudah bagi Jef menebak bahwa foto ini diambil hanya sesaat setelah mereka mengetahui penyakit yang Tris miliki. Dia belum sekurus ketika Jef menemuinya kemarin.

Jef menarik napas panjang ketika dia tiba di penghujung feeds Sashi dan tak ada postingan lain yang bisa dia kunjungi.

"Seenggaknya update apa kek gitu. Biar gue bisa tahu kabar lo."

Jef merasa konyol karena bicara sendiri, memilih untuk kembali masuk ke ruang tengah. Mungkin bukan keputusan bagus, karena matanya langsung tertuju pada sebuah kotak yang dibiarkan teronggok begitu saja di atas meja di samping salah satu sofa. Itu kotak yang diberikan Jo padanya di hari pemakaman kemarin, yang katanya berisi titipan dari Tris.

Jef berpikir beberapa lama, higga dia memutuskan meraih kotak itu dan membukanya sambil duduk di atas sofa.

Ada cukup banyak benda di dalam sana, namun sebagian besar berupa foto. Di bagian paling atas, foto-foto mereka semasa pacaran dulu tertumpuk rapi. Jef sudah benar-benar lupa jika dia pernah mengambil banyak foto bersama Tris, tapi kelihatannya begitulah adanya. Semua foto lama itu telah menguning dan memburam, namun sosok-sosok di dalamnya masih terlihat jelas. Tris menuliskan tanggal, tempat dan nama mereka berdua di belakang foto, lalu membungkusnya dengan plastik bening.

Cermat dan teratur, Tris selalu begitu sejak dulu.

Bukan hanya foto-foto, Jef juga menemukan lembar tiket bioskop film-film yang dulu mereka tonton bersama. Ada fotonya yang dipotret oleh Tris. Majalah yang Jef kenali menjadikan dirinya sebagai model sampul untuk pertama kali. Kliping-kliping berita koran soal pencapaian dan penghargaan yang dia raih. Rubrik pojok resep masakan pada sebuah tabloid yang pernah dia isi beberapa lama. Pada salah satunya, tertera serangkaian kata yang Tris tuliskan; so proud of you, Kak Jeffrey.

Lidah Jef kaku dan tatkala dia tiba pada foto hitam-putih sebuah kaktus mini dalam pot mungil—yang dia ingat pernah dia jadikan hadiah ulang tahun untuk Tris—air matanya berjatuhan tanpa bisa ditahan.

Don't tell me that after all this time...

Benda-benda yang berhubungan dengan Jef dan masa kebersamaan mereka telah habis. Setengah isi kotak lainnya adalah foto-foto Sashi, dari masih bayi, balita, fotonya di masa kanak-kanak. Setiap foto dilengkapi Tris dengan caption-caption sederhana, namun menunjukkan bagaimana dia tidak pernah melewatkan momen-momen penting dalam masa pertumbuhan Sashi. Entah itu kata pertama yang Sashi ucapkan, kapan dia tengkurap pertama kali, kapan dia mulai belajar berjalan, Tris merekamnya dengan apik melalui foto-foto dan tulisan.

Foto-foto perayaan ulang tahun Sashi ditata dalam album terpisah. Satu foto mewakili setiap tahun dan pada setiap foto, Sashi bertemankan kue yang berbeda-beda. Air mata Jef telah membanjir di wajahnya ketika dia menemukan sekeping flashdisk berbentuk kartu. Ada kertas yang tertempel di permukaannya, direkatkan dengan selotip tanpa warna, berhiaskan satu kalimat singkat; listen when you're ready.

Jef tidak tahu apa yang Tris tinggalkan di dalam sana, tetapi dia tidak siap mendengarnya sekarang, jadi dia mengembalikan benda itu ke dalam kotak.

Usai melihat foto-foto Sashi dari masa ke masa—dan bagaimana beberapa diantaranya turut menangkap sosok Tris—Jef menyadari sesuatu. Anak itu memang punya garis wajah seperti Tris walau mata dan bentuk hidungnya lebih mirip Jef. Saat dia tersenyum di salah satu foto, Jef serasa melihat duplikat identik dari senyum Tris. Semula, dia bertanya-tanya mengapa dia tidak menyadarinya, sampai dia menyadari sesuatu yang amat menohok batin;

Anak itu tidak pernah sekalipun tersenyum padanya.

Jef terisak sampai kedua bahunya terguncang. Dia menutup kembali kotak itu, lalu sibuk membungkam suara tangisnya dengan telapak tangan. Ada bisik yang berkali-kali dia gumamkan dalam hati. Terus saja, tanpa henti.

I am sorry. I am really sorry.

*

Tadinya, Sashi tuh bukan anak kantin sama sekali. Gimana ya, soalnya setiap hari, Mami tidak pernah lupa membuatkan bekal makan siang yang enak buatnya, jadi untuk apa juga nongkrong di kantin? Segalanya berubah sejak Mami sakit. Sashi tidak punya pilihan lain, sebab dia tidak sejago itu memasak dan tentu saja Papi tidak punya waktu serta keahlian untuk menggantikan tugas Mami. Sashi sempat berharap, jika ada keajaiban, Mami bakal segera sembuh dan bisa membuat bekal makan siang lagi untuknya. Harapan itu jadi penyemangat tiap kali Sashi dibikin gondok oleh makanan kantin yang bukan hanya tidak lebih enak dari masakan Mami tetapi juga butuh perjuangan super keras untuk didapatkan—perjuangannya beda tipislah sama perjuangan biksu Tong Sam Chong dan Sun Go Kong berburu kitab suci ke Barat.

Namun sekarang, sepertinya Sashi harus mengubur semua harapnya dan membiasakan diri dengan makanan kantin, setidaknya sampai dia lulus dari sekolah ini.

By the way, sekolahnya Sashi tuh sekolah orang tajir mampus gitu. Siswanya didominasi oleh anak-anak para wong sugih Surabaya macam Dery, anak pengusaha, anak artis dan anak anggota DPR. Maka tidak heran jika di kantin ada TV-nya. Tadinya sih kantinnya mau dibikin macam kafe-kafe hits gitu ya, sudah siap juga buat nyewa jasa arsitek yang bikin desain Hard Rock Café, tapi nggak jadi soalnya takut viral.

Kebanyakan orang jelata di Indonesia kan kalau lihat orang tajir mampus tuh bukannya terpacu buat kerja keras, malah sibuk salty sana-sini. Padahal yang di-salty-in mah santai aja makan pagi di Thailand-mandi sore di Korea Selatan-ngedugem di Itali, sementara yang salty cuma bisa duduk depan tivi sambil kaosan dan makan Indomie.

Sashi lagi makan lontong sayur pakai kuah opor dan rendang sambil nonton iklan kopi di TV kantin, julid karena bintang iklan kopi kok jadi oppa-oppa semua, waktu tiba-tiba ada yang menyapa.

"Sashi, sendirian aja?"

Sashi hampir tersedak, langsung menoleh ke sumber suara. Ada Ojun di sana, lagi berdiri di samping kios bakso, nungguin pesanannya yang sedang dibuat. Kantin sekolahnya Sashi semacam foodcourt gitu kali ya kalau di mall, jadi kursinya pada dijadiin satu, cuma kios-kios dan pantrynya aja yang berbeda-beda untuk setiap pedagang.

"Eh. Iya." Nawarin nemenin harusnya mah, Jun, Sashi nyambungnya dalam hati.

"Tumben nggak sama Dery."

FAK KENAPA YANG DIINGET BADROL. "Lagi dipanggil ke kantor kepala sekolah. Makan, Jun." Sashi lupa dia belum basa-basi sopan nawarin Ojun makan.

"Yo, santai aja. Bentar lagi bakso gue kelar kok."

"Oh, hehe."

Sashi berharapnya Dery nggak muncul, biar dia duduk sendirian gitu loh, siapa tahu membuat Ojun tergerak buat nemenin. Tapi tentu saja bukan Mandala Deryaspati namanya jika tidak berbakat menghancurkan ekspektasi. Tuh anak kayaknya memang tercipta buat bikin semua impian Sashi tidak jadi nyata, sebab tidak lama kemudian, dia muncul dari ujung koridor. Agak berlari, dia menghampiri Sashi yang kini cemberut. Meski begitu, berhubung masih ada Ojun di sana, sudah pasti Sashi harus pencitraan, dong!

"Makan, Drol."

Dery melotot, lalu bertanya dengan nada hati-hati. "Boleh?"

Sashi mengkeret. Niantnya basa-basi doang, tapi malah mau nih orang. Keberadaan Ojun yang masih berdiri di dekat mereka membuat Sashi tidak berdaya. Dia hanya bisa menahan gemas ketika melihat bagaimana dengan lancangnya, Dery mengambil alih sendok dari tangannya.

"Lo dipanggil guru ke kantor?"

"Iya."

"Kenapa? Jangan bilang karena nunggak SPP?! Yah, walaupun nggak mungkin sih. Mau dilelang ke Antartika bagian mana harga diri Om Tedra kalau anaknya sampai nunggak SPP?" Itu benar, soalnya Om Tedra tuh ya... mau beli sekolahan ini sampai ke demit-demitnya juga bisa.

"Emang bukan karena nunggak." Dery menyahut bertepatan dengan Ojun yang berjalan menjauh sambil membawa mangkuk baksonya. Dia sempat tersenyum pada Sashi, bikin Sashi mesem-mesem salah tingkah—yang mana langsung terganti oleh pelototan galak begitu matanya berpindah pada Dery.

"Heh! Setop! Setop you punya tangan!"

Dery terbatuk. "Hah?"

"IKI PANGANANKU! KOWE MESEN SENDIRI!" (Ini makanan gue! Lo mesen sendiri!) 

"Idih, tadi nawarin."

"Namanya juga pencitraan di depan Kangmas! Lo-nya aja yang nggak peka!"

"Kangmas ndasmu botak." (Kangmas palalu botak). 

"Bodo. Tapi serius, kenapa lo dipanggil?"

"Soal SPP gue."

"Kenapa?"

"Papa gue kan mageran ya orangnya. Males dia ke sekolah cuma buat bayar SPP. Kalau ke sekolah buat nyumbang AC baru atau apa kek gitu atau ambulans buat UKS sekolah sih masih mending. Gara-gara itu, Papa calling-calling kepala sekolah, bilang mau langsung transfer aja SPP gue untuk setahun ke depan. Kepala sekolah nggak enak kalau nolak, akhirnya ngasih rekening yayasan."

"Terus?

"Papa transfer, nolnya kelebihan dua."

"EDYAN."

"Terus pas kepala sekolah ngehubungin, yang ngangkat Mama. Mau tahu nyokap gue bilang apa?"

"Apa?"

"Kata Mama, simpen aja kembaliannya."

"Keluarga lo kenapa sih otaknya pada saklek semua?!" Sashi mendelik. "Keluarga bokap-nyokap gue juga berduit tapi nggak segila itu, tau nggak?!"

"Keluarga bokap-nyokap lo sih orang kaya waras, Bol." Dery nyolong sekeping kerupuk Sashi, membuatnya langsung panen gaplokan dalam waktu instan. "Lo-nya aja yang anomali. Nggak waras."

"Masih lebih bobrok lo lah! Tapi nggak mengherankan, sih kalau anaknya bokap-nyokap lo kayak lo."

Dery berdecak, baru bermaksud beranjak untuk memesan makanan waktu layar televisi kantin menayangkan iklan sebuah produk mi instan. Kening Dery berlipat kala dia merasa mengenali sosok yang mengiklankan produk tersebut. Jeffrey Gouw, itu nama yang tertera di layar.

"He, bukannya itu om-om yang kemarin baku-hantam ama lo?! Artis loh dia ternyata! Wah, piye iki, jal?! Masih untung lo nggak dilaporin polisi setelah ngajak dia ribut kemarin!"

Sashi menatap layar televisi, harus menahan diri buat tidak mendengus ketika senyum Jef menghiasi sebagian besar layar. Harus banget gitu mukanya notok jedok segede dosa?!

"Oh."

"Kok 'oh'?"

"Nggak apa-apa."

Dery mulai curiga, malah duduk lagi. "Opo'o to, Bol?" (Kenapa, Bol?). 

"Nggak apa-apa."

Sesungguhnya, meski hanya sepercik, Dery turut mewarisi DNA bigos alias biang gosip dan julid dari papanya tercinta. "Apaan?!"

Sashi jadi ragu. Di satu sisi, dia tahu lambenya Dery lebih kendor dari kancut bekas. Di sisi lain, dia merasa butuh teman curhat untuk mencurahkan segala ke-nggrunek-an di dada gara-gara situasi baru antara dirinya dan om-om bernama Jeffrey itu. "Drol, gue mau cerita. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Janji."

"Janji!" Dery mengangguk sepenuh napsu, inner iblis julid dalam dirinya sudah menggebu-gebu minta dilepaskan.

Sashi menghela napas panjang sebelum meluncurkan cerita soal kisah masa lalu Mami, Jeffrey Gouw yang ternyata adalah mantan pacarnya dan Jo yang bukan ayah biologisnya. Dery tenganga paripurna, hampir lupa bagaimana caranya menutup mulut selama beberapa lama. Waktu Sashi mengakhiri ceritanya dengan embusan napas lelah dan mendung yang menggelayuti mata, barulah Dery menunjukkan reaksinya.

"Oalah..."

"Gimana nggak pusing coba gue?"

"Iya juga, sih." Dery manggut-manggut. "Mari ngono, uripmu ki jadi drama banget ya, Bol?" (Abis itu hidup lo tuh jadi drama banget ya, Bol?) 

"Emang."

"Padahal kisah cinta lo aja udah cukup drama."

Sashi merespon galak. "Maksud lo?!"

"Iku lah. Kowe kan seneng karo wong sek rak seneng balik karo kowe." (Itu lah. Lo kan suka sama orang yang nggak balik suka sama lo). 

"Tolong ya, nggak usah dipertegas."

"Salah lo-nya juga sih, naksir kok sama yang kayak Ojun."

"Salahnya di mana? Gue cewek, dia cowok. Gue juga cantik, dia ganteng."

"Iya, sih—maksud gue lo emang bener. Ojun ganteng." Dery buru-buru menambahi, ogah ketahuan menganggap Sashi cantik. "Tapi ini Ojun loh. Sak angel-angele fisika ambek matematika, sek angelan mbedek isi atine Juanda." (Sesusah-susahnya fisika sama matematika, masih lebih susah memahami isi hatinya Juanda). 

Sashi terhenyak. "Benar juga anda! Tumben ngotak?!"

"Terus beda kasta juga lo ama dia. Nilai ulangan dia sempurna, nilai ulangan lo mines 2,5. Terus—" Dery mendadak berhenti bicara kala sadar akan death glare yang Sashi layangkan padanya. Tatapan itu seakan menjanjikan sesuatu yang lebih mematikan daripada larutan sianida campur Autan.

"Lanjutke wae, Drol. Masih tak ndelokno. Engko tak jotosi." (Lanjutin aja, Drol.  Masih gue liatin. Ntar gue jotosin). 

"Hehe, sori toh ya." Dery nyengir. "Tapi beneran... orang itu tuh beneran bokap lo? Kayak... bokap beneran?"

"Bokap biologis, tok."

"Terus gimana, dong?"

"Gue juga nggak tahu. Keleyengan lah pokoknya."

Obrolan antara Sashi dan Dery terinterupsi oleh ponsel Sashi yang mendadak bergetar. Ada satu pesan baru yang masuk dan itu dari Papi. Sashi membacanya, membalas singkat dan lanjut makan—agak dongkol karena televisi kembali menampilkan om-om itu. Ganteng sih, tapi tengil banget dan setiap melihat wajahnya, Sashi jadi teringat pada kata-katanya kemarin-kemarin.

It was a mistake.

Oke, Sashi tidak boleh menangis di sini, apalagi di depan Dery.

"Sopo tuh?"

"Papi. Katanya besok mau jalan ke Spore. Ada urusan kerjaan. Nanya gue nggak apa-apa atau gimana kalau sendirian sekalian nanya juga gue mau dibeliin sesuatu apa nggak." Sashi meraih gelas es tehnya, lantas tersekat begitu dia terpikir sesuatu. "Ah, pas banget! Gimana kalau besok-besok lo nginep aja di rumah gue? Papi kan nggak ada. Sekalian temenin gue belanja terus latihan buat persiapan lomba masak. Gimana? Biasanya sih kalau kerjaan ke luar negeri gini, paling cepet Papi balik tiga sampai empat hari lagi. Nanti gue bilang biar Papi nggak usah minta Oma nginep di rumah."

"Nggak apa-apa?"

"Maksudnya?"

"Takutnya Papi lo... mikirnya yang nggak-nggak? Selama ini kan kalau gue nginep selalu ada Mami."

"Nggak apa-apa lah!" Sashi berseru tanpa berpikir. "Kita nggak bakal ngapa-ngapain ini! Lo kan sahabat gue dari lama!"

Aduh, tertojos hati ini, kata benak Dery.

"Hm, yaudah."

"Oke sip!"

*

Tiada yang lebih diinginkan Jennie setelah terjebak macet hampir sesorean ini selain mandi air hangat, kemudian maskeran sambil makan ketoprak langganan. Maka tentu saja, itulah yang dia lakukan. Petang baru menjelang, menyepuh warna langit di luar jendelanya dengan jingga kebiruan saat Jennie meluruskan kakinya, menumpangkannya di atas meja sementara selembar sheetmask melekati wajahnya. Televisinya masih menayangkan episode-episode Karma yang tengah disiarkan ulang oleh AN**TV waktu dia menelepon nomor Jef. Bukan karena Jef tukang ketoprak, tapi karena Jef pasti tahu nomor ponsel baru tukang ketoprak langganan mereka.

Jennie tak harus menunggu lama hingga Jef menjawab teleponnya.

"Rek, nomor'e Parto ganti tah?" (Oy, nomornya Parto ganti ya?). 

"Parto siape?"

"Iku loh, tukang ketoprak rekomendasi lo, seng raine sawelas-ro las karo Aril Piterpen." (Itu loh, tukang ketoprak rekomendasi lo, yang mukanya 11 12 sama Aril Piterpen). 

"Oh. Iya. Sek. Iya, dia ganti nomor. Why?"

"Njaluk nomor'e seng anyar, aku kate delivery." (Minta nomornya yang baru, gue mau delivery). 

"Lo nelepon gue buat ini?"

"Kenapa? Jangan bilang lo baper."

"Jen, ada sebuah teknologi bernama Go-Food."

"Males ah, engko mamang gojek-e seneng aku.." (Nanti mamang gojeknya demen gue). 

"Tolong munduran dikit, situ ge-ernya kelewatan."

"Let me tell you ya, dadi wong ayu koyok aku ngene is very difficult, yo. Kesini dikit, ada yang naksir. Kesana dikit, ada yang naksir. Suka ngelu kadang ndasku tuh." (Gue kasih tahu ya, jadi orang cantik kayak gue nih susah banget. Kesini dikit, ada yang naksir. Kesana dikit, ada yang naksir. Suka sakit kadang kepala gue tuh). 

"Ck. Yaudah, gue kirimin lewat WA."

"Tengkyu, bebi. Selamat malam. Anyway, ojo nge-bokep melulu." (Makasih, beb. Selamat malam. Oh ya, jangan nge-bokep melulu). 

"Bokep muatamu!"

"Loh, bokep yang gue maksud tuh bobok cakep. Hayoooo... otaknya kemana-mana ya?"

"Halah, berisik."

Seperti biasa, tanpa cas-cus mukadimah, Jennie menyudahi telepon. Tak lama kemudian, Jef mengirimnya sebaris nomor. Jennie menyimpannya dengan nama 'Parto Ketoprak', kemudian langsung menelepon karena sudah lapar tingkat khayangan. Televisi masih menayangkan Roy Kimochi beserta partnernya yang kini sedang memilih volunteer untuk dikorek masa lalu dan masalahnya.

"Halo, Parto. Iki Jennie, langgananmu seng paling ayu iku. Parah ya kowe ngganti nomor meneng-meneng wae! Aku kate pesen, cok. Ketoprak sak porsi seng puedes, ambek kupate seng akeh yo! Ojo pelit, engko kuburan awakmu sempit! Woiya, es teh'e don't forget, oke?! ES TEH loh, dudu aer teh tok. Delivery ke tempatku, oke-oke?" (Halo, Parto. Ini Jennie, langganan lo yang paling cantik itu. Parah ya, ganti nomor diem-diem aja! Gue mau pesen! Ketoprak satu porsi yang pedes, sama kupatnya yang banyak ya! Jangan pelit, nanti kuburannya sempit! Woiya, es tehnya jangan lupa, oke?! ES TEH loh, bukan air teh doang! Kirimin ke tempat gue, oke-oke?). 

Hening.

"Parto, kowe ngrungu ora?" (Parto, lo denger nggak?). 

"Sori, Jennie, kayaknya kamu salah telepon nomor, deh."

Jennie freezing saat mengenali suara siapa yang menyahut. Jelas saja. Itu suara Jo, duda keren sarang cinta yang membuatnya ingin memanggil petrus sihombing hutabarat samyang jakandor memantul terbang bebas jumanji alias memang mantap gila pepet terus sampe hati terombang-ombang hubungan bertambah berat sampai sayang jangan kasih kendor memang mantap betul teruskan bambang the best and badass juancok mantap anjingggggg.

JEFFREY GOUW DESERVES A SPECIAL PLACE IN HELL.

"Oh." Jennie ingin disihir jadi tompel katak saja kalau begini caranya. Jo tidak menjawab, menciptakan keheningan diantara mereka meski hanya sesaat, karena suara Roy Kimochi memecah kesunyian tanpa permisi.

"Saya mencium bau-bau putus harapan karena cinta bertepuk tangan yanng kelihatannya tidak berbalas. Apa benar?"

MAMPUS KETAUAN KAN TONTONAN GUE ACARA MACAM KORMA.

"Jennie, are you there?"

Jennie tersadar. "OH, SORRY! Ak—saya—hng, I asked Jeffrey for his number—I mean, nomor telepon tukang ketoprak langganan. Sori kalau ganggu kamu."

"Oh, nggak apa-apa."

"Okay, then." Jennie meninju kepalanya berkali-kali, telepon tersudahi usai membawa semua gengsi dan harga diri Jennie terbang pergi.

Tentu, oknum yang bertanggung jawab harus disemprot makian detik ini juga. Tanpa menunggu lebih lama, Jennie menelepon sobat gebleknya. Tidak dijawab, seperti yang Jennie duga. Akhirnya, perempuan itu melampiaskan kekesalannya lewat WA.

jenniekartadinata

UWASU BUNTUNG KOE YA JUANCOK TENAN AWAS NANTI KETEMU TAK CABIK-CABIK WETENGMU SAMPE JADI KORNET!!!!!!!!!!!!

jeffreygouw

jarene arep njaluk nomor'e de'e. piye toh ya.

(katanya mau minta nomornya dia. gimana sih).

jenniekartadinata

ASU BABI BANGSAT ANJENK MONYET JANCOK

jefreygouw

awakmu ki memang superm alias super mantap!

Jennie berusaha mengatur napas. Okay, the damage is done. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya meminimalisir supaya si duda keren sarang cinta ini tidak ilfeel berlebihan padanya.

jenniekartadinata

jo, sori banget ya. maaf juga kalau kamu shock.

jotirtasana

no, don't worry. its ok 👌.

jotirtasana

sudah dapat nomor ketopraknya? kalau belum,

saya ada nomor tukang ketoprak langganan yang enak.

yah, namanya bukan parto, sih.

jenniekartadinata

sudah kok.

jotirtasana

good, then 😃

Weits, gahol tenan chatting-e nggawe emoji, Jennie membatin dalam hati. Dia menatap chat pendeknya dengan Jo sejenak, lalu sibuk cengar-cengir dengan perasaan nggak karuan. (Weits, gaul banget chattingnya pake emoji). 

Iki hati tah mentega? Kok gampang bener mlenyes'e. (Ini hati apa mentega? Kok gampang banget melelehnya). 

*

Dery baru turun dari mobil yang disupiri Om Kun saat dia disambut oleh sederetan kru berbaju hitam yang Dery kenali sebagai seragam karyawan sebuah stasiun televisi berskala nasional. Tumben juga, ruang tengah rumahnya ramai disesaki orang. Ada banyak peralatan yang berhubungan dengan proses shooting dimana-mana, lampu beraneka ukuran dan gulungan kabel yang kelihatan berat. Set kursi ratusan juta yang menghiasi ruang tengah telah digeser, tergantikan meja besar yang penuh oleh berbagai macam hidangan, mulai dari cangkir-cangkir kopi berlogo merek kekinian Star**bucks, berkotak-kotak piza sampai air mancur cokelat dan buah anggur-stroberi yang tertusuk lidi, siap dicelup.

Dery hanya bisa nyengir salah tingkah ketika beberapa kru menyapanya, hingga dari satu sudut, Om Tedra muncul sambil memegang ponsel yang kameranya mirip fidget spinner.

"Halo, gaes! Welcome to My Playground alias Tedra Sunggana's channel! Dino iki—eits, maap keceplosan haha vlog hari ini bakal dimulai dari—ealah, Dery! Dery! Come here!"

Dery mendekat. "Shooting opo to iki, Pa?"

"Say 'hi' to camera first!"

Dery tersenyum ke kamera sembari melambaikan tangannya salah tingkah.

"Iki putra gue, jenenge Mandala Deryaspati. Rai boleh strong, tapi atine kobong hahahahahahaha..." Om Tedra tertawa pada jokesnya sendiri yang menurut Dery tidak lucu sama sekali. "Ora deng, bercanda. Udah ah, jangan lama-lama nge-shoot dia. Ntar kalian semua salah fokus!"

"Pa, ini syuting buat apaan?" Dery bertanya setelah Om Tedra mematikan kamera.

"Vlog pertama buat Youtube Papa."

"Hah?!"

"Papa mau jadi youtuber."

"HAH?!"

"Kok hah-heh-hoh sih kamu?! Kurang jelas apa Papa jawab? Papa mau jadi youtuber!"

"Gimana ceritanya?!"

"Tadi pas iseng jalan ke mall, Papa jalan sendiri, mampir ke toko sekuisi."

Dahi Dery berlipat. "Sekuisi?"

"Mosok nggak tau? Iku loh, sekuisi seng kalau dipejet-pejet, dia balik lagi bentuknya ke bentuk asal!" (Masa nggak tahu? Itu loh, sekuisi yang kalau dipencet, dia balik lagi ke bentuk asalnya). 

"ITU TUH SQUISHY, PAPA!"

"Alah, sama aja." Om Tedra mengibaskan tangan. "Papa telepon Mama, cerita kan. Terus Mama mau juga katannya, soalnya gemes. Papa liatin dong nggawe video call, dikira mbaknya lagi rekam. Terus nanya de'e, 'kakak youtuber ya?'. Papa mesem-mesem dong! Udah dipanggil kakak, dikira youtuber pula! Yaudah, Papa jadi kepikiran jadi youtuber."

"Terus itu kru apaan?"

"Papa ki confuse, udah borong kamera dari tokonya Om Wawan, tapi ora ngerti satang-setting'e piye. Terus kok uelek gitu Papa di video, padahal kan asline ganteng ngene. Akhirnya, Papa telepon Om Irul." (Papa tuh bingung, udah borong kamera dari tokonya Om Wawan, tapi nggak ngerti satang-settingnya. Terus kok jelek banget gitu di video, padahal kan aslinya ganteng). 

"Om Irul yang punya stasiun TV itu?"

"Yoi." Om Tedra mengiakan. "Om Irul langsung kirim krunya, padahal Papa nggak minta. Nggak enak lah Papa jadinya! Akhirnya Papa beliin makanan buat kru-nya."

Dery manggut-manggut, sudah paham kelakuan bobrok papanya. Paling juga, dia hanya akan serius soal keinginan jadi youtuber selama dua minggu ke depan. Setelahnya, channel youtube dan kameranya bakal terlupakan. Nggak apa-apa, sih, jadi aset hasil batalnya Om Tedra jadi youtuber bisa Dery jual di Tokped.

"Oiya, Jo bilang katanya kamu mau nginep di tempat Sashi selama bapaknya ke luar kota."

"Ke luar negeri, Pa. Ke Spore."

"Halah, Spore ama Lenteng Agung beda tipis, Der. Ngesot dikit juga nyampe." Om Tedra berdecak. "Soal nginep nang omahe Sashi, kowe ojo—"

"Aku nggak bakal macam-macam, Pa! Selama ini juga nggak pernah macam-macam, makanya maminya Sashi ngizinin aku ama Sashi nongkrong di kamar tiap aku main!"

"Loh, Papa belum selesai ngomong! Maksud Papa, kalau mau nginep di tempat Sashi, jangan lupa itu Fiesta-nya dibawa!"

"PAPA!" Dery berseru, membuat beberapa kru menoleh pada mereka.

"Better safe than sorry, Son." Om Tedra menepuk bahu anaknya. "Yo Papa sih seneng-seneng wae kalau kamu jadi sama Sashi. Lumayan gitu loh, menyatukan Keluarga Sunggana dan Keluarga Tirtasana. Terus nanti masuk infotaiment pake judul royal wedding ala Asia. Muehehe. Papa kan bisa pamer."

Dery mendengus, namun kata-kata papanya soal 'keluarga' membuatnya terpikirkan sesuatu yang lain dan entah kenapa, dia jadi penasaran sendiri. "Pa, aku mau nanya."

"Apa?"

"Tapi Papa jangan marah loh ya..."

"Kapan Papa marah sama kamu? Kamu tuh kalau mau bilang gitu ya ke Mama, bukan ke Papa."

"Pa..." Dery menghela napas panjang sebelum menyuarakan tanyanya. "Aku ki beneran anak Papa, kan?"

"Hah, maksudnya?"

"Aku tuh anak kandung Papa, kan? Bukan anak adopsi atau sejenisnya."

Om Tedra melongo, kemudian tawanya pecah. Dia tergelak sampai terbahak-bahak, membuat lebih banyak lagi kru yang menatap pada mereka.

"PAPA!"

"Ya Gustiiiiii, loro wetengku!" Om Tedra masih belum menghabiskan sisa-sisa tawanya. (Ya Tuhaaaaaaannn, sakit perutku!). 

"SERIUS, PAPA!"

"Kowe iki seng ngawur!" Om Tedra terkekeh. "Kalau kamu diadopsi, emangnya Papa bakal milih anak kayak kamu?! Nggak lah! Papa cari yang bagusan!" (Kamu ini yang ngawur). 

"ASTAGA, SAKIT HATIKU, PA!"

"Lagian kowe rak pernah ngaca a? Mukamu itu plek-ketiplek karo mukaku! Untung, sih. Jadinya kan kamu ganteng. Kalau plek-ketiplek karo mukane Om Kun, wes tak tendang kamu dari rumah!" (Lagian kamu nggak pernah ngaca apa? Wajahmu itu mirip banget sama wajahku). 

"Oh..." Dery lega.

"Emang kenapa gitu, tiba-tiba nanya?"

"Hng... Papa jangan bilang siapa-siapa ya?"

Radar bigos Om Tedra langsung mencuat. "OPO'O?!"

"Nggak jadi, deng."

Om Tedra makin nge-gas. "MANDALA DERYASPATI—"

Dery menghela napas panjang, agak menyesal, tapi apa daya, dia sudah terlanjur menarik rasa penasaran bapaknya. Akhirnya, Dery menceritakan ulang apa yang Sashi beritahukan padanya. Om Tendra mendengarkan dengan serius, diselingi kegercepan jari untuk mencari nama Jeffrey Gouw di Google.

"Edan tenan iki, jal. Jadine piye? Papine Sashi ono loro, gitu?!" (Gila bener ini. Jadinya gimana? Papinya Sashi ada dua, gitu?!). 

"Jangan cerita ke siapa-siapa loh, Pa!"

"Ke Mama boleh? Sebagai suami yang baik, Papa nggak boleh rahasia-rahasiaan dari Mama."

Dery hanya bisa menarik napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Nasib punya orang tua julid dengan harta dan koneksi melimpah ya begini. Tapi mungkin gara-gara itu mereka cocok.

"Karep'e Papa." Dery membalas pasrah sambil berjalan menuju tangga, tapi berhenti kala Om Tedra memanggil lagi.

"Der!"

"Apa?"

"Ojo lali subskreb channel Papa loh ya!" (Jangan lupa subscribe channel Papa loh ya!). 

*

Jef masih terkekeh puas usai berhasil mengerjai Jennie ketika dia menutup aplikasi WhatsApp dan ganti membuka Instagram. Iseng saja, Jef mengetikkan username Instagram Sashi di kolom pencarian. Dia hampir bersorak ketika mendapati Sashi mengunggah instastory baru. Hanya satu, namun cukup membuat Jef senang. Dia mengklik tanpa pikir panjang—soalnya kan sudah pakai fake account. Isinya sederhana, postingan boomerang Sashi yang menunjukkan wadah kaset film dengan caption singkat; amunisi buat lo nginep di sini tiga hari! @m_deryaspati.

"Hah, mana bisa begitu?!" Jef jadi sewot sendiri membayangkan ada cowok menginap di rumah Sashi. Dari roman-roman mukanya Dery, mudah buat Jef menebak kalau Dery ada rasa sama Sashi. Kentara sih, anak geblek yang terjebak friendzone. Coba, apa yang bakal dilakukan orang sejenis itu apalagi kalau mereka hanya berduaan di rumah?

Ini benar-benar tidak betul.

Jef sedang mempertimbangkan untuk menghubungi Jo dan mengonfirmasi soal anak cowok yang mau menginap di rumah bareng Sashi ketika ponselnya berdering. Ada telepon masuk. Itu dari ibunya.

"Nggih, Buk?" (Ya, Bu?).

"Piye kabarmu? Apik?" (Gimana kabarmu? Baik?). 

"Apik, Buk."

"Minggu depan bisa mbalik ke Semarang, le?"

"Loh, memangnya ada apa, Bu?" Jef mulai ketar-ketir.

"Ibu mau ngenalin kamu sama putrinya temen ibu."

"Hng... maksudnya?"

"Le, kamu iku sudah cukup umur untuk berumah tangga. Kalau kamu ada masalah dalam mencari, biar sekarang Ibu bantu."

NINU NINU NINU, HALO POLIS???????!!!!!!!






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

ternyata kalian nge-gas juga dan tidak spam komen satu huruf. bagus. saya suka.

buat yang menginginkan ada momen akur sashi-jef, selow aje kita kan baru di awal cerita haha you know, the reason why both jef and sashi love tris that much is because she understood them.

kayak tris itu kalem banget, pendengar yang baik, bijak, penyayang dan lebih suka mengalah, beda sama jef dan sashi yang keras kepala.

namanya juga ayah dan anak ya pasti ada sifat-sifat yang terwariskan.

terus ya momen sama jo juga nanti ada sendiri.

tterus buat yang kepo jef ama jennie pernah bobo bareng atau ngga, well, liat ntar aja. soal storyline jennie ama jo ya ngga usah mikir kejauhan dulu karena saya senang bermain-main ea ea

dah kayanya itu aja. tadinya mau nonton joker hari ini, tapi targetnya udah nyampe wkwkwk jadi yaudin update dulu deh.

terus apa lagi ya? hm, targetnya samain aja deh. 2K comments and 1,9K votes for next chapter.

sekian dariku. ciao. 




bonus mami tris (gabole protes) 

Tanah Para Bidadari, October 3rd 2019 

19.55

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro