04
Tiada potek yang lebih dahsyat daripada potek ketika menyaksikan wong seng kowe spesialno ngespesialke wong liyo.
— Mandala Deryaspati
***
Sebenarnya, kepala Sashi sudah diberati oleh tanya begitu dia melihat Jef—bukan salah Sashi ya, orang sinting itu sendiri yang tidak mau dipanggil dengan embel-embel 'om'—bicara dengan Papi. Pertemuan mereka di restoran ramen maupun rumah sakit kemarin bisa jadi kebetulan, tapi mana mungkin ada orang yang bisa sekacau itu nyasarnya ke rumah seseorang yang sedang berduka? Ditambah lagi kotak dari Papi untuk Jef yang katanya titipan dari Mami.
Bagaimana bisa Mami yang super waras mengenal orang seperti Jef?
Lalu sekarang, Jef juga ikut ke pemakaman. Papi bahkan mengizinkan lelaki itu berdiri di sampingnya, tepat di tepi liang tempat peti Mami akan diturunkan. Biasanya tempat terdepan hanya diperuntukkan untuk pastur dan anggota keluarga terdekat. Tapi Sashi terlalu bingung dan sedih untuk bertanya. Dia tidak lagi memperhatikan ketika Papi membiarkan Jef mengambil segenggam bunga, kemudian menaburkannya di atas peti yang sudah diturunkan. Tangan Sashi gemetar kala dia meraup segenggam, bikin Dery yang berdiri di sampingnya menarik napas panjang sebelum membantunya dengan menggenggam tangannya yang bergetar itu erat.
Mereka tetap di sana beberapa lama, hingga jumlah pelayat yang datang menyurut dan Papi selesai menyapa semua kolega bisnis serta kenalannya yang ikut-serta ke pemakaman. Sashi diam saja, berdiri di sebelah papinya sambil memegang lengan Dery. Pegangannya pada sahabatnya baru terlepas saat Om Tedra alias papanya Dery muncul dari kerumunan orang-orang berbaju hitam untuk memeluk dan menyalami Papi.
"Makasih banget, Ted, udah datang." Papi bilang begitu.
Om Tedra hanya mengangguk, lalu beralih pada Sashi yang memasang muka muram. Dia sempat melirik Jef yang berdiri agak jauh dari mereka, namun tidak menanyakan apapun tentang sosok asing yang baru dilihatnnya, termasuk alasan kenapa Papi membiarkannya berdiri di tepi liang lahat. Padahal Sashi sudah berharap Om Tedra yang hobi julid itu bisa setidaknya rada-rada ngepoin Papi. Tapi mungkin karena hari ini mereka lagi berduka, Om Tedra jadi agak jinak dan beradab.
"Baik-baik, Jo. By the way, Sashi, next time nginep lagi ya di tempat Dery? Minggu depan Om Tedra mau beli uler sanca. Sepasang, kata yang dagang sih mereka kembar sejak masih dalam telur. Om mau pamer lagi."
"Lah, Papa kan udah miara Gethuk ama Gemblong, masa mau miara uler?!" Dery yang lagi soft banget sama Duo G alias hamster yang jadi peliharaan baru keluarganya langsung bereaksi. "Pa, uler tuh bisa makan hamster, tahu?!"
"Gampanglah iku, ntar Papa beli rumah lagi kalau bisa, khusus buat Sanyo karo Shimizu." Om Tedra itu peranakan Bekasi-Pekalongan, tapi setelah menikah belasan tahun sama istrinya, tentu jadi ternaturalisasi dengan sendirinya. Lagian kalau nggak bisa bahasa Jawa, bisa-bisa Om Tedra dijulidin habis-habisan di keluarga mamanya Dery.
"SANYO KARO SHIMIZU IKU SOPO?!"
"Uler sanca calon piaraan Papa."
Dery memutar bola mata. Capek. Jika Sashi sering bilang selera humor dan kelakuan Dery bobrok, maka selera humor dan kelakuan Om Tedra jauh lebih ambrol. Mana ada orang waras yang menamai ular sanca peliharaan mereka dengan merek mesin air?
Sashi tertawa kecil. "Siap, Om. Nanti kabarin aku aja kalau Sanyo sama Shimizu udah mendarat di TKP."
"Sip!" Om Tedra mengacungkan jempol. "Yaudah, Om ama Dery pulang dulu ya."
"Gue balik ya, Bol. Kalau ada apa-apa, kabarin aja."
"Oke. Makasih ya."
Dery tersenyum sekali lagi sebelum berbalik seraya berjalan beriringan dengan papanya menuju mobil mereka yang terparkir di luar pagar taman pemakaman. Lalu tiba-tiba saja, serandom itu, Om Tedra tiba-tiba meng-headlock kepala anaknya dengan salah satu lengan.
"Pa, masih banyak orang! Kalau mau korslet tunggu sampe rumah, napa?!"
"Miris Papa ndelok kowe karo Sashi." (Miris Papa ngeliat kamu sama Sashi).
"Lah, emangnya kenapa?"
"Kowe nik sayang Sashi ku ngomong, ojo ngode terus. Sashi iku dudu brangkas seng butuh kode." (Kamu tuh kalau sayang Sashi itu ngomong, jangan ngode terus. Sashi itu bukan brankas yang butuh kode).
Dery bersungut-sungut sambil memukul tangan Om Tedra beberapa kali, bikin kuncian lengannya di leher Dery terlepas. "Mauku sih ngono."
"Oalah, bertepuk sebelah tangan a?"
"Papa!"
Om Tedra malah memandang anaknya dengan tatapan kasihan. "Mesakke putraku..." (Kasiannya anakku).
"IH!"
"Sashi suka orang lain ya?" Namanya juga Tedra Sunggana. Siapapun bisa jadi bahan gosip dan julid, termasuk kisah asmaranya sendiri. Tapi dipikir lagi, dia senang-senang aja sih kalau Dery jadi sama Sashi. Soalnya sudah kenal keluarganya, terus bisa banget bantu expand bisnis keluarga masing-masing.
"Nggak tahu."
"Masa nggak tahu."
Nada suara Dery naik sedikit. "Ya kalau nggak tahu, mau bilang apa?! Udah ah! Males ngomongin itu!"
Padahal dalam hati, Dery balasnya begini; sengaja, Pa. Aku macak goblok ben gak loro ati. (Sengaja, Pa. Aku belagak goblok biar nggak sakit hati).
Om Tedra meneliti ekspresi wajah Dery beberapa lama. "Sengaja pura-pura nggak tahu biar nggak sakit hati ya?"
BANGSAT KETEBAK.
Dery lupa kalau dia punya papa yang insting memburu gosipnya lebih kuat dari anjing pemburu manapun sekaligus kepekaan mengalahan daun putri malu.
"Beneran? Le, le, miris banget. Njobo tegar, njero ambyar. Tak golekki dukun sakti tokcer mandraguna, piye?" (Di luar tegar, di dalam ambyar. Dicariin dukun sakti tokcer mandraguna, gimana?).
"ORA USAH!"
"Seriusan iki."
"SHUT UP, PAPA!"
"Heh, cocotmu!" (Heh, mulutmu!).
*
Untuk pertama kalinya, Sashi tidak merasa canggung duduk dalam satu ruangan yang sama dengan Papi. Mungkin gara-gara fokusnya terlalu tersita pada kehadiran sosok berkemeja hitam yang duduk di depannya, dengan kaki terangkat dan ekspresi wajah songong luar biasa. Sashi mengembuskan napas, menatap sengit pada Jef sementara yang ditatap berlagak santai, sesekali sibuk membalasi pesan yang masuk ke ponselnya—entah memang dia menerima pesan betulan dan itu berarti dia tergolong orang sibuk, atau dia sok sibuk dan sengaja melakukannya untuk menghindari pelototan Sashi.
Papi berdeham, memecah keheningan yang telah melingkupi ruangan itu untuk setidaknya seperempat jam. "Sashi, sebelumnya Papi mau ngasih tahu kalau Mami sudah sempat bilang ke Om Jef soal ini—" Jef langsung menoleh pada Jo, terlihat sekali dia enggan dipanggil dengan sebutan 'Om Jef'. Tapi akhirnya dia tidak mengatakan apa-apa, melempar kode pada lelaki berambut hitam di depannya untuk meneruskan ucapan yang terputus. "—jadi hanya kamu yang belum tahu. Apa yang mau Papi omongin sekarang, ini pesan terakhir dari Mami untuk kamu. Kamu berhak bereaksi kayak gimana, berhak merespon dengan cara apa saja. Tapi kalau bisa Papi minta, hormati pesan terakhir Mami. Bisa janjikan itu ke Papi, Sashi?"
Sashi makin deg-deg-an, namun kontan mendengus kala dia melirik pada Jef yang dibalas lelaki itu dengan buang muka. "Aku janji."
Apa yang Sashi dengar berikutnya dari Papi adalah sesuatu yang tidak bisa dia percayai—atau lebih tepatnya, dia tolak untuk percayai. Papi bercerita tentang Jef yang ternyata adalah mantan pacar Mami semasa SMA. Tentang Mami yang setahun lebih muda sehingga Jef lulus dari sekolah lebih dulu. Soal kesalahan yang mereka perbuat hingga akhirnya Mami mengandung Sashi, lalu memutuskan untuk tidak pernah memberitahu Jef karena alasan pribadi—ditambah lagi, lelaki itu telah keburu pergi ke Australia untuk melanjutkan studi. Kisah yang Papi sampaikan sangat singkat, begitu klise, mudah dipahami, tetapi entah kenapa ketika berakhir, membuat dada Sashi sesak seakan-akan tengah dihimpit satu ton batu-bata.
"Kamu anak Papi. Seterusnya, akan selalu jadi anak Papi. Tapi kamu juga anak Om Jef. Selamanya bakal terus begitu, nggak akan bisa diubah. Jadi—"
Sashi menunduk.
"Sashi?"
Lantas tanpa didahului aba-aba, air mata berjatuhan di pipinya. Papi menarik napas, sedangkan Jef melotot dengan mata dipenuhi oleh keterkejutan. Dia tidak terbiasa melihat perempuan menangis, juga paling tidak tahan menyaksikan pemandangan semacam itu. Tidak peduli siapapun.
"Acacia—"
"Aku... aku mau sendirian." Sashi beranjak dari duduknya, secara tak sengaja menoleh pada Jef bertepatan dengan Jef memandang padanya. Mata mereka beradu. Jef benci melihat sepasang mata basah yang terarah padanya. Mata itu sarat oleh luka, kebingungan, tanda tanya dan yang paling menusuk... Jef melihat penolakan di sana.
"Sashi!" Papi memanggil, yang Sashi abaikan karena dia lanjut saja berlari menuruni tangga. Beruntung, Papi tidak menyusulnya dan hanya membiarkannya pergi. Dia tidak tahu apa yang mesti dia lakukan. Dery tidak ada di sini. Mami tak akan ada lagi. Dia tidak punya siapa-siapa untuk berkeluh kesah, apalagi berbagi perasaan, entah itu bingung, sedih atau marah. Satu-satunya yang terpikir olehnya sekarang adalah menyendiri, lalu menumpahkan air mata sepuasnya.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, hidupnya seperti dijungkir-balikkan dan tidak akan pernah sama lagi.
Sashi memilih pergi ke halaman belakang rumah, duduk di ayunan tempatnya biasa bersantai bersama Mami setiap sore. Pandangannya yang buram terarah pada pot-pot bunga milik Mami yang berjajar rapi, sudah kosong karena tumbuhan bebungaan yang ditanam di sana sudah lama mengering dan mati sebab tidak ada yang mengurus. Papi sibuk mengantar dan menunggui Mami di rumah sakit, sedangkan Sashi tidak tahu apa-apa soal merawat tanaman. Oma bilang dia bertangan panas, karena pohon apapun yang coba dia tanam tidak pernah tumbuh.
Bersama kesendirian, Sashi terisak sampai sesenggukan.
Dia berharap Papi tidak serius. Dia anak Papi dan Mami, bukan anak perempuan om-om aneh itu. Tapi Papi selalu serius. Terlebih di hari seperti ini, hari dimana mereka mengantar jiwa Mami pulang pada pemiliknya sejati... sangat mustahil Papi mengarang cerita hanya untuk bercanda.
Ada sakit yang mendadak menikam dada Sashi.
Apa itu artinya... apa itu artinya... dia adalah anak yang kehadirannya tidak pernah diinginkan?
Sashi masih menangis diiringi bahu yang terguncang ketika suara seseorang yang bicara di telepon terdengar mendekat menghampirinya. "Halo, Nyonya Kartadinata? Lo dim—hah?! Kowe nang belakang endi?! Heh, jangan balik duluan! Aku wanna melok mobilmu. He, kuampret—"
Itu Jef.
Kata-katanya batal terteruskan saat Sashi yang membelakanginya menoleh. Mereka saling diam sejenak, terjebak dalam situasi awkward hingga Jef berdeham, pura-pura melegakan tenggorokannya yang mendadak kering sambil pelan-pelan menurunkan ponselnya dari telinga. Sashi tidak bilang apa-apa, namun matanya menatap sinis.
"Apa liat-liat?!" Jef jadi terpancing.
"Saya punya mata, makanya liat-liat!"
Jef memiringkan kepala, kerutan muncul diantara kedua alisnya. "Ealah cah wedok iki. Nggak pernah diajarin sopan-santun ya?" (Halah, anak perempuan ini).
"Nggak usah ngurusin apa yang bukan urusan om!"
"Kalau ngomong sama orang tua—"
Sashi menatap dingin, membungkam kata-kata Jef dengan sebaris kalimat menusuk. "You're not my father. You'll never be my father."
Ouch. Ada yang kretek lalu buyar berjamaah dalam dada Jef.
"Saya cuma punya satu ayah dan itu Papi saya."
Jef berdecak, mulai marah. "Kamu kira saya juga mau jadi bapak kamu?"
Sashi tidak menyahut, namun sorot matanya sudah cukup untuk membalas tanya Jef yang penuh dengan penekanan.
"Kamu kira saya nggak sekaget itu waktu Tris—waktu Mami kamu telepon saya kemarin lusa? Saya sama kagetnya sama kamu." Sashi masih melihat padanya dengan sengit, berhasil membuat emosi Jef kian merambat naik. "Sekedar ngasih tau aja, saya nggak seneng sama sekali. It was a mistake. Saya nggak pernah menginginkan—"
Saat Sashi buang muka dengan bibir bergetar yang dia gigit paksa seraya menahan air mata, Jef sadar dia sudah mengatakan sesuatu yang salah. Dia tidak bisa meneruskan, ragu-ragu terpikir untuk meminta maaf, namun batal ketika Sashi bangun dari duduk. Gadis itu berjalan melewati Jef dengan tangan terkepal, lalu tak lama berpapasan dengan Jennie di ambang pintu. Jennie mengerutkan dahi, langsung terejut kala dilihatnya ada air mata yang kembali jatuh di pipi Sashi. Mengabaikan kebingungan yang tersirat jelas di wajah Jennie, Sashi melangkah cepat menuju tangga sementara disaat yang sama, Jef menarik napas dalam-dalam.
Jennie mendekati Jef, berbisik tanpa suara. "Opo'o?" (Kenapa?)
Jef tidak menjawab hingga Jennie menggaplok bagian belakang kepalanya. "What the hell, Jennie?!"
"Opo'o putrimu iku? Kok nangis..."
"I said something hurtful to her."
Ekspresi wajah Jennie berubah sangar seperti beruang yang hibernasinya baru terganggu. "OALAH GUOBLOK BANGET KONCOKU IKI! WHAT DID YOU SAY TO HER, HAH?! ANSWER ME! WHAT DID YOU SAY TO HER?!"
"I said what happened is a mistake. That I didn't want her—argh, Jen! Sakit, anjir!"
Jennie mengabaikan rintihan Jef, lanjut saja melayangkan kepalan tinjunya ke badan lelaki itu. "YOU—ASSHOLE—" satu tinjuan melayang ke dada Jef. "You and your clométan mouth! Awakmu ki menungso, dudu gedhang seng ndue jantung tapi ra ndue ati! I'll fucking kill you here, Jeffrey Gouw! I swear—" (Kamu dan mulutmu yang asal ngomong! Kamu itu manusia, bukan pohon pisang yang punya jantung tapi nggak punya hati!)
"Sorry?"
Sesi baku-hantam antara Jennie dan Jef terhenti oleh kehadiran Jo yang tiba-tiba muncul dan kini tengah berdiri di ambang pintu. Jennie menoleh, melotot dan dengan gesit, berhenti menggebuk Jef. Dia merapikan rambutnya dengan gerakan yang coba dibuat se-alami mungkin, kemudian tersenyum manis.
"Oh... mmm... nggak apa-apa, kok. Saya cuma nyari teman saya aja. Ini udah ketemu."
Jo mengangkat alis. "Ah, kamu temannya Jeffrey yang kemarin, kan?"
"Um... iya..."
"Terimakasih sudah turut datang—"
Jennie langsung gelagapan kala dia menyadari makna di balik jeda diantara kata-kata Jo. "Jeanneth Kartadinata. You can call me Jennie."
"Terimakasih sudah datang, Jennie."
"The pleasure is mine—"
"Joshua Tirtasana. Tapi biasanya saya dipanggil Jo."
"Ah, I see..."
Perhatian Jo berpindah pada Jef. "Soal Sashi, saya minta maaf."
Jef mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak peduli meski dalam hati, perasaannya sudah aur-auran. "It's okay. She needs time to recover. Kelihatannya dia sangat dekat sama Tris—um... maksud saya, sangat dekat sama maminya."
"Memang. Saya jarang di rumah. Dia juga nggak punya saudara, jadi dari kecil memang temannya di rumah hanya maminya."
Ungrateful son of a bitch, Jef berusaha menahan diri supaya tidak memutar bola mata waktu dia dengar Jo bilang begitu. Lelaki di depannya ini memiliki seorang Patricia Gunawan sebagai istrinya dan apa dia bilang tadi? Dia jarang di rumah. Jika Jef jadi dia, sudah pasti, Jef akan melakukan lebih baik dari itu.
Oh, come to think of it, something hurts again inside his chest.
"Dia butuh waktu dan kalaupun dia tidak bisa menerima saya, saya memahami itu."
"Saya senang kamu mengerti."
Jef mengangguk, kemudian melanjutkan dengan basa-basi singkat sebelum dia beralasan dia dan Jennie harus segera pergi dikarenakan mereka berdua punya acara penting untuk dihadiri. Jennie melengos pada Jef, namun sempat menyimpan senyum Jo dengan tatapan matanya sebelum mereka berjalan melewati pintu depan menuju.
"Padahal tadi dia nawarin minum teh dulu." Jennie mulai menggerutu setelah mereka masuk ke mobil. "Lo tuh nggak bisa lihat teman seneng banget, sih?!"
"Jangan pake nggaplok, bisa nggak?!" Jef merengut. "Lama-lama tugel leher gue punya teman kayak lo!"
"Abisnya! Gue lagi enak-enak fangirling-in duren, lo main geret keluar aja! Nggak setiap hari juga gue nemu duda sekeren dia!"
"Lo... naksir beneran sama dudanya mantan gue?!"
"Guanteng'e pol rek. Dan pastinya beda jauh ama lo yang belangsak sampe jeroan. Kelihatannya, dia tipe laki-laki yang bertanggung jawab dan sayang keluarga."
"Bodo amat."
"Gouw."
Jef baru memasang safety belt dan bersiap menyalakan mobil ketika Jennie tiba-tiba memanggil namanya dengan nada manis yang tidak biasa. Sontak saja, bulu kuduknya langsung berdiri. "What?!"
"Njaluk nomor'e de'e." (Minta nomornya).
"Nggak punya."
"Fucking liar!"
"Ogah."
"GOUW!"
"Baru juga dia single lagi! Tunggu aja lah at least tiga bulan!" Jef mengelak.
"LO KIRA DIA JANDA?!" Jennie betul-betul tidak bisa santai, kini mulai menggoyang lengan Jef sambil merengek. "Gouw... please toh ya..."
"Jen—"
"Njaluk nomooooooorrrrrrr. Please...."
Jef menyentakkan tangannya sampai lepas dari cengkeraman Jennie, membuat perempuan itu mengerucutkan bibir sambil menatapnya dengan pandangan teraniaya. Jef mengabaikannya. "Stop being nggilani and get yourself together. Laki-laki baik-baik, setia dan bertanggung jawab kayak dia mana mau sama orang kayak lo?! Ngaca! Lagian belum tentu juga dia bisa move on dari istrinya."
"Tahu dari mana lo?!"
Soalnya sampai sekarang gue pun nggak pernah bisa benar-benar move on dari dia.
"Nebak aja."
"Nggak usah sotoy kecuali lo masih satu aliran sama Roy Kiyoshi!" Jennie berdecak, kemudian katanya. "Yaudah lah. Gue mau molor. Ngantuk berat, tadi bangunnya kepagian. Jangan berani-beraninya instastory-in muka gue yang lagi tidur kalau nggak mau gue bejek-bejek lo sampai jadi bumbu rujak!"
"Kenapa? Takut muka jelek lo jadi bahan konsumsi publik?"
"I am Jennie fucking Kartadinata. Gue nggak pernah jelek, sori-sori jek. Gue cuma nggak mau nantinya masuk akun Instagram gosip, dituduh punya hubungan macem-macem ama lo! Gue ogah reputasi gue sebagai wanita berkelas ternodai."
"Kampret."
*
Sashi telah jatuh tertidur di atas ranjangnya waktu Jo menyambangi kamar anak itu. Jejak air mata masih tersisa di pipinya. Dia terpejam sambil mendekap bingkai foto ibunya ke dada. Jo mendekat, duduk dengan hati-hati di tepi ranjang kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi Sashi, merapikan rambut halus yang melekat ke kulitnya. Pipi gadis itu sembab dan ada bengkak di bawah matanya. Tidak heran, itu hasil dari menangis sejak kemarin.
Jo mengerti kenapa Sashi sesedih itu. Bisa jadi, dia merasa tiba-tiba ditinggalkan sendirian. Ibunya sudah tidak ada dan orang yang selama ini dia kenal sebagai ayahnya ternyata bukan ayah kandungnya. Status ayah kandung itu justru digantikan oleh sosok asing yang tidak pernah dia lihat sampai baru-baru ini. Seandainya saja semua terserah pada Jo, dia tidak akan mau memberitahu Sashi. Untuk apa juga? Hidup mereka baik-baik saja.
Tapi Pat punya keputusan sendiri dan bagaimana pun itu, Jo harus menghargainya.
Diam-diam, Jo merasa bersalah begitu dia tersadar, Sashi lebih kurus daripada setahun lalu. Tidak ada yang mengurusi dan memberinya perhatian sejak Pat sakit. Kalau tidak ada Dery, Jo tidak tahu apakah Sashi masih bisa baik-baik saja dan menghadiri pemakaman hari ini.
"I'm so sorry, babygirl." Jo berbisik. Dia baru berniat memperbaiki posisi selimut Sashi ketika mendadak, tangan gadis itu memegang pergelangan tangannya. Dia tersekat, kehilangan kata-kata saat melihat mata Sashi terbuka. Kantuk masih menggelayut di sana dan dari suara gadis itu saat bicara, Jo tidak yakin dia tengah sadar sempurna.
"Pi..."
"Iya?"
"Ayahku cuma satu. Cuma Papi."
Lidah Jo kelu dan untungnya, dia tidak perlu menjawab karena hanya perlu hitungan detik bagi Sashi untuk kembali terjun bebas ke alam mimpi. Jo menghela napas panjang, lanjut memperbaiki selimut anaknya hingga menutupi sekujur badan sampai ke batas leher.
"Sleep well, Sayang."
Dia ragu sejenak, tapi akhirnya beranjak dan membungkuk sedikit untuk menjatuhkan satu kecup di kening Sashi.
*
Tiga hari awal setelah Mami berpulang, Sashi dibuat sibuk mengatur siasat untuk menghindari Papi. Setiap hari, dia sengaja bangun pagi-pagi sekali agar dia bisa berangkat ke sekolah sebelum Papi turun ke ruang makan untuk sarapan. Sejak Sashi kecil, Mami mengurus rumah dan keluarga sendirian, mulai dari merawat tanaman dalam pot-pot di belakang rumah, memasak untuknya dan Papi hingga mengantar Sashi pergi-pulang sekolah maupun les kala tahun terakhir di sekolah menengah pertama. Satu-dua kali seminggu, baru tukang kebun dan petugas bersih-bersih datang untuk membersihkan bagian-bagian rumah yang tak sempat Mami bersihkan. Jadi otomatis setelah Mami tidak ada, hanya tinggal mereka berdua di rumah.
Agaknya, Papi tahu Sashi menghindarinya. Lelaki itu membiarkan saja, tidak berusaha mendatangi Sashi di kamarnya ketika dia pulang dari kantor di sore hari walau sempat bertanya kenapa Sashi buru-buru pergi ke sekolah hanya sesaat setelah dia duduk menghadapi meja makan. Untung urusan pergi-pulang sekolah, untungnya Sashi punya Dery yang dengan senang hati, bersedia direpotkan.
Di hari keempat, Sashi mati-kutu saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan—itu udah jadi kebiasannya sejak kecil, sebab Mami tidak pernah mengizinkan Papi dan Sashi keluar rumah sebelum mereka makan sesuatu di pagi hari—Papi sudah duduk tenang menghadapi meja dengan tangan kiri memegang setangkup roti tawar dan tangan kanan menggenggam sebilah pisau roti berbalut selai.
"Morning."
"Hng..."
"Kamu lebih suka pakai Nutella atau selai stroberi?"
Sashi bingung sejenak, lalu buru-buru mendekati meja. "Aku nggak sarapan, Pi. Udah telat." Dia meraih segelas susu yang sudah pasti dibuatkan oleh Papi untuknya, menelan beberapa teguk dengan tergesa-gesa hanya untuk tersedak tak lama kemudian.
"Drink slowly, Acacia." Papi meletakkan roti dan pisaunya ke atas piring, dengan cekatan meraih wadah tisu, tapi sebelum Papi bisa benar-benar mendekat, Sashi sudah bergegas mundur beberapa langkah. Ini semua terlalu awkward buatnya.
"Papi... masukkin gula apa garam ke susunya?"
Papi tercengang sebentar. "Ah... susunya asin?"
Sashi mengangguk.
"I'm sorry. Papi buatkan yang baru ya?"
"Nggak usah, Pi!" Sashi berseru, langsung menolak tanpa berpikir. "Aku buru-buru. Udah mau dijemput Dery. Hng—tuh kayaknya Dery udah datang!"
Tumben sekali suara klakson mobil Dery sudah terdengar jam segini, namun itu bikin Sashi lega. Dia tersenyum canggung pada Papi sebelum berbalik dan berlari menuju pintu depan. Papi tidak memanggilnya, hanya mengantarnya keluar lewat pandangan mata, lalu ganti menatap susu yang ternyata mengandung garam bukannya gula.
"Sumpah, Drol, gue nggak tahu ada angin apa sampai-sampai lo jemput gue kepagian gini, tapi makasih banget!" Sashi langsung berseru begitu tatkala dia membuka pintu dan duduk di sebelah Dery.
"Iya, soalnya Mama nyuruh Om Kun yang nganter buru-buru habis itu jemput Mama lagi buat belanja kepiting. Tadinya udah siap mau ngerusuhin rumah lo sih kalau dalam lima menit lo nggak keluar juga. Tahu sendiri Mama tuh sadisnya kayak apa." Dery menerangkan. "Emangnya kenapa?"
"Papi turun ke ruang makan pagi bener. Hampir aja gue kejebak sama dia. Awkward banget, gue nggak sanggup."
"Kok gitu sih?!"
"Gitu apanya?"
"Itu kan bokap lo sendiri."
Kata-kata Dery membuat Sashi speechless sesaat. Ah ya, Dery belum tahu soal cerita Mami dan om-om sinting bernama Jef itu. Tapi ya Sashi juga tidak berminat bercerita. Kalau bisa sih malah dia ingin kena amnesia saja sekalian. Sashi pikir-pikir lagi, jika dia bisa memutar waktu, dia akan menolak untuk tahu.
Selamanya, dia hanya mau jadi anak tunggal dari Patricia Gunawan dan Joshua Tirtasana.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah hari itu berlangsung sangat lambat dan membosankan. Guru-guru sibuk rapat dadakan, kemungkinan besar untuk membahas mengenai rangkaian acara perayaan hari jadi sekolah. Kelas-kelas hanya diberi tugas, lalu ditinggalkan. Sudah pasti sesuai dugaan, siswa-siswa yang tidak betah berada dalam ruangan sudah pasti berseliweran. Ada yang memutuskan jalan ke kantin atau sekedar nongkrong di teras kelas. Sashi? Pergi ke kelas sebelah. Alasannya sih nyamperin Dery, padahal niatnya mau cuci mata ke Ojun. Sayang seribu sayang, sosok Ojun tidak tampak dalam pandangan.
"Hari ini tuh kayaknya ada yang kurang gitu yah?" Sashi berujar sambil menghempaskan badan di atas bangku kosong di sebelah Dery.
Dery menatap Sashi dengan mata memicing. "Maksudnya karena kagak ada Ojun? Lagi keluar dia. Namanya juga ketua OSIS. Beda kasta ama kita yang kaum goleran."
"Keluar ngapain?"
"Sosialisasi rangkaian lomba buat perayaan ultah sekolah kali."
"Oh." Sashi kecewa, tapi sudah terlanjur pewe alias posisi wuenak alias nyaman di tempatnya duduk. Dia fokus pada layar ponselnya, sementara Dery memainkan rambutnya. Tadinya coba-coba aja sih. Kalau Sashi langsung mengaum, Dery bakal refleks menarik tangannya. Tapi ternyata tidak. Sashi malah seperti protes waktu Dery berhenti.
"Kok berhenti?"
"Dih, malah ketagihan."
"Nggak apa-apa. Enak."
Sesungguhnya ada baper di balik kata "hadeh" yang lantas Dery jadikan jawaban. Mereka masih duduk bersebelahan sambil fokus pada kegiatan masing-masing ketika sekumpulan anak OSIS masuk. Ojun berada paling depan, bikin Sashi sontak memukul tangan Dery agar berhenti memainkan rambutnya. Dia menegakkan badan, terlalu sibuk membetulkan seragam dan rambutnya hingga tidak sadar akan perubahan ekspresi wajah Ojun kala melihatnya sedekat itu dengan Dery.
Benar apa kata Dery, Ojun dan anak-anak OSIS lainnya masuk untuk menerangkan beberapa lomba yang akan digelar guna memeriahkan hari jadi sekolah.
"Bukannya pas upacara kemaren udah dikasih tahu? Amanatnya panjang banget ampe encok kaki gue!" Sashi berbisik pada Dery.
"Ini khusus buat lomba yang sepi peminat."
"Oh, gitu."
Ojun memaparkan presentase singkat, memberi tahu sejumlah lomba yang mewakili setiap kegiatan ekstrakurikuler sekolah serta aturan yang mewajibkan setiap siswa harus mengikuti setidaknya satu lomba dan maksimal tiga lomba. Usai mengakhiri penjelasannya, Ojun memberi kode pada anak-anak OSIS lain untuk membagikan formulir pada mereka yang belum terdaftar sebagai peserta lomba sama sekali. Gayanya penuh wibawa, bikin hati Sashi mbledos macam ban betus di jalan.
Yak untuk oknum bernama Juanda Sapta Widara, congratulation koen just make me baper marang awakmu over and over again.
Dery sih tidak diberi formulir karena dia sudah mendaftar jadi peserta dua lomba sekaligus. Gitu-gitu, dia tidak se-apatis Sashi. Puas mengagumi tampang Ojun yang luar biasa gantengnya hari ini, Sashi menekuni formulir di tangannya. Ada beberapa lomba dan semuanya tidak menarik perhatiannya. Gimana ya, namanya juga insan mageran, jadi mau seseru apapun jurinya, sebombastis apapun hadiah, ya respon Sashi tetap saja sama; ma-las.
Dia masih belum menentukan pilihan ketika formulir di tangannya terlepas dari genggamannya, lalu melayang estetik dan jatuh ke lantai. Sashi merunduk, bermaksud memungut formulir tersebut bertepatan dengan tangan lainnya milik seseorang terulur ke arah yang sama. Sashi suka geli kalau lihat adegan macam ini di sinetron, tapi begitu sadar orang yang berinisiatif ngambilin formulirnya adalah Ojun, dunia Sashi tentu langsung nge-pink seketika.
"Makasih, Jun."
Ojun senyum dikit. Irit banget. "Sama-sama, Sashi. Udah kepikiran mau ikut lomba apa?"
Airmukanya Dery berubah, menunjukkan sejenis ekspresi yang jika dikasih subtitle akan berbunyi kira-kira; "sepurane, cok. Modusmu iku tolong dikontroooooollllllll."
"Belum."
"Oh. Kenapa nggak lomba bikin lukisan aja. Atau story-telling? Penanggung jawabnya Angel." Ojun menyebut nama salah satu anak OSIS yang kerap bikin Sashi naik darah karena gemar cari perhatian dan glendotan sama Ojun. Biasa ya namanya juga persaingan asmara antara kaum hawa.
"Hm... gue nggak jago."
"Nggak apa-apa, yang penting kan dicoba dulu." Ojun senyum, kali ini kelihatan lebih ikhlas. Berbeda dengan Sashi yang separuh nyawanya langsung melayang jauh menuju awan, senyum itu bikin Dery bergidik jijik diam-diam. Rasanya kepengen langsung nyewa Nyi Roro Kidul buat memanggil segenap rakyat buas Pantai Selatan area dan sekitarnya, lalu menyediakan waktu dan tempat buat menyerang Ojun.
Ojun pun berlalu, memantau siswa lainnya yang tengah mengisi formulir, persis seperti pengawas ruangan di musim ujian.
"Drol, Ojun megang lomba apa?"
"Story-telling."
"Seriusan?!"
"Lomba masak."
"Idih, cupsky banget."
"Cupu-cupu tapi lo demen kan?"
"Itu tau!" Sashi terkekeh, tanpa berpikir dia langsung memilih buat jadi peserta lomba masak. Tidak berapa lama, Ojun kembali berkeliling untuk mengumpulkan formulir yang sudah terisi. Sashi berlagak malu-malu waktu dia menyerahkan formulirnya.
"Sashi,"
Dipanggil begitu oleh Ojun, Sashi tertunduk sedikit, tersipu sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Iya?"
"Lo nggak salah isi, kan?"
"Nggak. Kenapa?"
"Oh. Nggak apa-apa."
"Ihhh, beneran dong! Kenapa?"
"Gue nggak nebak kalau lo suka masak."
"Suka, kok."
"Udah lama suka masak?"
Dery harus menahan muntah kala Sashi menjawab manja. "He-eh."
"Oh, sip, sip!"
"Dua menit tuh lama ya, Bol?" Dery menyindir setelah Ojun berjalan menjauhi tempat duduk mereka, salty abis.
"Mulai dari dua menit yang lalu, memasak jadi hobi baru gue, Drol."
"Awakmu ki nggilani banget!"
"Semua demi cinta, Drol."
Of course, Dery hanya bisa menikmati kretek yang menghantamnya tanpa kulonuwun.
*
Jam digital di atas nakas sisi tempat tidur Jef baru menunjukkan angka delapan ketika ponselnya meraung tiba-tiba, memaksanya terbangun. Lelaki itu mendengus, malah mengubur kepalanya di bawah bantal dan memejamkan mata rapat-rapat untuk mengumpulkan pecahan mimpinya yang sudah buyar berantaan. Telepon itu tersudahi tanpa terjawab. Namun kelihatannya, orang yang meneleponnya masuk kategori keras kepala. Ponselnya kembali berdering, bikin Jef menyerah dan akhirnya menjawab panggilan yang masuk.
"Opo, cok?!"
"My lovely gondes, are you there?"
"Dar-der dar-der ndasmu! Ngapain nelepon gue pagi-pagi begini?!"
"Udah jam delapan loh, Kangmas."
"Itu masih hitungan pagi buat gue."
"Mabok lagi ya lo semalam?"
"Loh, kok ngurus-ngurus?"
"Nggak sih. Kepo aja. Bukannya enam bulan belakangan lo udah jarang minum dengan alasan kasihan sama badan?" Jennie benar, tapi Jef enggan membahasnya lebih jauh. Jika Jennie tahu Jef kembali minum sebagai pelariannya dari kesedihan akibat kepergian mantannya, tentu Jennie bakal meledeknya sampai akhir jaman.
"What do you want?"
"Minjem akun Spotify dong! Akun gue premiumnya abis!"
"Oalah, miskin."
"Bodo."
Jef mengacak rambutnya, menukar posisi berbaringnya dengan duduk. "Passwordnya masih sama."
"Wokeh."
"Yaudah."
"By the way, mau nanya."
"Apa? Kalau ini soal Rosé, gue sama dia udah putus kemarin."
"Terus dia mau?"
"Mau."
"Buset, jurus bersilat lidah apa yang lo pake? Ati-ati tuh idung tambah panjang karena bohong melulu."
"Jurus bersilat lidah ala Prancis."
"Seriusan, shayton."
"Gue jujur ke dia soal Tris, juga soal anak gue. Dia ngerti dan merasa nggak bisa berada di bawah bayang-bayang masa lalu gue. We ended our relationship for good. Bagus. Jadi dia nggak wasting time dan bisa cari laki-laki lain yang bisa ngasih apa yang dia mau."
"Halah, padahal mah lo-nya juga udah mati rasa ama mantan lo itu. Flat banget muka lo, mau itu waktu di rumah sakit atau waktu di pemakaman. Besok-besok bakar aja KTP-nya, ganti status jadi pohon pisang. Situ kan punya jantung doang, tapi nggak punya hati." Jennie berkata pedas, menciptakan seringai samar di wajah Jef.
Jika saja Jennie tahu... sampai sekarang dia belum punya keberanian membuka apapun yang Tris tinggalkan untuknya.
"Udah kan?"
"Ada yang lain."
"Apa lagi?"
"Wong ayu arep takon, apakah minggu depan bebi-ku iki free?"
"Emang kenapa?"
"Hari Sabtu gue mau nonton konser di Spore."
Jef mulai curiga. "Terus?"
"Bos gue ngizinin gue nelat hari Senin, tapi syaratnya kudu overtime di hari Jumat."
"Terus?"
"Gue ada job ngejuri lomba masak di sebuah sekolah hari Jumat sore. Please, gantiin gue? Sekali ini aja."
Jef langsung bereaksi keras. "Kebiasan gila lo mulai lagi ya?! Ngapa terima job kalau—"
Jennie tangkas memotong. "Please, yangbeb. This is the last time. I promise."
"Yaudah!" Jef cemberut. "Tapi mesti ada reward-nya. Lo bisa ngasih apa ke gue?"
"Kegadisanku?"
"Mana ade lo masih gadis. Serius."
Jennie menghela napas, menukas dengan setengah hati. "Lo bebas mau titip aja dari Spore asal bukan jablay."
"Deal."
"Lhadalah, memang murahan."
"Ngejuri doang, kan? Acara apaan, sih?"
"Lomba masak anak-anak SMA. Bagian dari ekstrakurikuler tata boga. Nyicip doang terus komentar."
"Emang dari sananya setuju kalau digantiin sama gue?"
"Setuju lah! Apalagi guru-guru yang perempuan. Denger nama lo aja langsung kelojotan ganjen mereka."
"Yaudah. SMA mana sih?"
"Masih Jakarta juga."
"Iye, di mana, cok. SMA di Jakarta banyak."
"Puspa Cendekia"
"Oke."
"Luar biasa memang mantapku yang satu ini."
"Shut up."
Jennie tak menyahut, langsung saja mematikan telepon.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yak, ternyata nggak jadi daily update ya haha.
gue tuh ngga pernah pasang sistem target sekalipun tp hm kalau pake target ternyata pada nge-gas dan gercep.
btw, gimana buat yang nge-war tiket konser sore ini? dapet ngga? semoga bisa menonton ya karena kalau rejeki kita, jalannya pasti ada aja.
haha sebenernya memikirkan soal relationship tris-jef tuh agak-agak makan ati ya soalnya sedih :( ketemu lagi, terus ya gitu langsung ditinggal untuk seterusnya :(
tapi mari kita lihat, kemana cerita ini akan bermuara ea.
btw ngga usah takut kalau yang gue pair di sini jadian di dunia nyata yaallah gue ga sesakti itu jadi selow ok.
biar enak, mari kita pasang sistem target lagi.
karena chapter ini jauh lebih panjang dari sebelumnya, targetnya jadi 1,9K votes dan 2K comments. dah itu aja. ((btw gue ga suka spam satu huruf-satu huruf so pls??? wkwk))
sampai ketemu lagi di chapter selanjutnya.
bonus om tedra.
Semarang, October 1st 2019
19.19
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro