01
Tau nggak apa yang lebih nyebelin dari pembina upacara yang amanatnya sepanjang Tol Jagorawi?
Guru yang nggak ingat waktu kalau lagi ngajar dan main geruduk aja jam istirahat. Misi, Pak, anda bukan banteng, saya bukan matador dan jam istirahat bukan kain merah.
— Acacia Tredayorka T.
***
"Jilat terooosssss sekalian telen sampe bungkus-bungkusnya!"
Sashi tersentak begitu mendengar seruan milik seseorang yang suaranya sudah bisa dia kenali tanpa berpikir dua kali. Sialan. Padahal dia sudah susah-susah kabur dari kelas buat makan es krim dan bakso bakar di belakang bangunan kelas yang sudah lama tidak terpakai—et masih ketahuan juga sama tuh anak.
"Apaan sih?"
"Gue yang harusnya nanya, Bol. Ngapain lo di sini jam pelajaran? Pantesan aja tadi gue cariin di kelas lo kagak ada."
"Lah, lo juga ngapain ada di sini?!"
"Nemenin lo."
Sashi tidak tersanjung sama sekali, justru memutar bola matanya sementara tuh cowok nyengir sembari menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sekolah Sashi itu tergolong sekolah dengan total luas bangunan paling besar di seantero ibukota. Ada banyak bangunan yang tidak terpakai karena kegiatan belajar-mengajar dipindahkan ke gedung yang lebih baru dengan fasilitas yang lebih lengkap. Padahal kondisi bangunan lama masih cukup bagus. Biasanya, Sashi sering kabur ke salah satu bangunan itu, nongkrong di dalamnya kalau tidak dikunci, atau di belakangnya sambil ngemil bakso bakar yang dibelinya di kantin. Untung ya Sashi sudah konco kentel sama ibu-ibu kantin, jadi dia bisa jajan santai bahkan saat jam pelajaran. Jangan salahkan dia. Salahkan gurunya yang dengan sewenang-wenang, menyeruduk jam istirahat tanpa merasa berdosa.
"Hayo, jangan baper."
"Gue baper ama lo? Tunggu babi bisa dangdutan dulu kali, Drol."
"Ah, itu mah gampang."
"Gampang apanya?"
"Nanti malem kita karaokea-an. Lo nyanyi lagu Sayangnya Via Vallen. Dah tuh, babi dangdutan in our areyah."
"Bangsat."
Cowok di sebelah Sashi malah nyengir.
Sebenarnya, dia biasa dipanggil Dery. Nama lengkapnya Mandala Deryaspati. Macho banget kan? Dia teman dekat Sashi sejak masih SD. Mereka saling kenal waktu dihukum oleh guru setelah kedapatan makan kecapi bareng-bareng waktu upacara berlangsung. Walau lawan jenis, Dery itu asyik, tidak bawel dan yang terpenting, bukan orang yang hobi mengadukan kenakalan Sashi di sekolah pada Mami. Yah, walaupun kalau senyum, Sashi rasa dia rada mirip kuda.
Saat masih lebih kecil, Sashi memanggil Dery dengan sebutan 'Mek'. Jangan ngeres dulu, itu panggilan adalah versi singkat dari judul acara reality show penuh taburan bumbu drama berjudul 'Termehek-mehek' yang dulu pernah tayang di salah satu stasiun televisi. Nama salah satu presenternya Mandala—apa gitu, Sashi lupa kepanjangannya. Tapi sejak mereka masuk SMA, Sashi sih sudah punya panggilan baru buat Dery.
Apa panggilannya? Badrol.
Kenapa? Soalnya, tampang Dery beda-tipis sama tokoh Badrol dalam serial animasi Upin dan Ipin. Mungkin Badrol asli lebih cakep sedikit kali ya—tapi itu wajar, karena dimana-mana barang kawe tidak akan pernah bisa mengalahkan barang original, ya toh?
"Lo ngapain di sini?"
"Makan es krim sama bastus."
"Baskar kali."
"Hah?"
"Kan bakso bakar."
"Sebelum dibakar diapain dulu? Ditusuk."
"Intinya bagusan bakso bakar."
"Suka-suka gue mau nyebutnya bakso tusuk kek bakso bakar kek. Ngapa jadi lo yang ribet?"
"Ih, nge-gas amat. Tusuk nih!"
"Tusuk pake apa, kalau boleh tahu?"
"Nggak usah mancing. Nanti diladenin nangis."
Sashi malah merengut.
Dicuekin lagi sama Ojun ya?"
Sashi makin cemberut kala Dery menyebut nama cowok yang sudah dia taksir sejak awal masuk sekolah. Jadi tuh ya, ketika kelas satu dulu, Sashi dan Dery memang sudah sekelas. Baru seminggu jadi siswa berseragam putih-abu, Sashi dibikin klepek-klepek mabuk kepayang sama sesosok cowok yang ternyata kelasnya sebelahan sama kelas mereka. Namanya sih Juanda. Keren banget gitu, berwibawa—tapi Dery nggak setuju, bilang kalau namanya kayak nama bandara. Tapi seringnya dipanggil 'Jun' atau 'Ojun'. Namanya juga lidah Indonesia, nama sekelas Princessa aja bisa tereja sedemikian rupa jadi Prin-ces-sa lalu masih disingkat lagi sampai jadi En-ces.
Ojun tuh bertolak-belakang banget dari Dery. Misalnya gini, Ojun kalau lagi pakai pomade, kecenya ngingetin Sashi pada Kim Namjoon yang leader boyband Korea itu—kerennya mirip-mirip lah sama kayak waktu Namjoon pidato di PBB. Dery? Paling juga dikira vokalis Ka**ngen band nyasar. Ojun kalau lagi main gitar, ekspresi menjiwainya macam John Mayer lagi konser. Dery? Masih untung kagak disiram air panas karena suaranya mirip-mirip sama bunyi kucing yang lagi bereproduksi. Ojun kalau senyum mirip pangeran. Dery kalau senyum mirip keledai.
Sayangnya, pas kenaikan kelas, Sashi yang lama naksir Ojun justru nggak sekelas sama tuh cowok. Malah Dery yang dapat rejeki nomplok—yang tidak dia syukuri, soalnya dia masih ngotot kalau Ojun nggak sekeren itu. Masih mending Dery yang namanya beda-tipis sama presenter ganteng acara jadul, Ojun kan namanya mirip nama bandara.
Tapi perasaan Sashi yang seteguh batu karang tidak tergoyahkan oleh komentar-komentar tidak bertanggung jawab Dery yang saban hari mendiskreditkan Ojun. Dia malah menetapkan Dery sebagai Pak Comblang untuk membantunya dekat dengan Ojun. Dery tidak berdaya, soalnya kalau dia menolak, Sashi mengancam bakal memantrai boneka santet lengkap dengan foto, helai rambut dan nama bapaknya. Mau ganti muka, oplas mahal. Mau ganti bapak, mustahil. Minta bapak ganti nama, alamat ditampol.
Jadi yaudalahya.
"Nggak usah bawa-bawa Ojun."
"Oh, jadi beneran dicuekin."
"Badrol!"
"Salah lo sendiri, naksir kok sama orang kayak dia. Ibarat kanebo nih ya, Bol, dia tuh bukan cuma kering, tapi udah disimpen di samping kompor lebih dari sewindu. Bukan lagi sebatas steak hangus, dia tuh udah jadi dendeng basi. Kakunya nggak kira-kira—aduh, kok malah digebuk sih dada gue?!"
"Lo manggil apa gue tadi?"
"Cebol."
"Nggak usah sok tinggi!"
"Emang tinggi." Dery mencibir. "Gini aja, abis bubaran sekolah, jalan bareng ke mall mau nggak? Temenin gue belanja komik. Nanti gue bayarin ramen. Gimana, mau nggak?"
"Abis ngebobol mesin ATM mana?"
"Depan sono, dekat halte."
"Serius gue tuh!"
"Gue juga serius. Apa gunanya punya bokap yang tajirnya sebelas-dua belas ama Mister Grey alau bayarin cewek—eh maksudnya bayarin temen makan ramen aja nggak bisa?" Dery buru-buru ralat. Hampir aja keceplosan.
Hahahahahahahaha.
Iya, sebenarnya Dery udah lama naksir sama Sashi.
Sejujurnya, ada bagian harga dirinya yang pecah pyar sampai jadi serpihan tiap kali dia dengar Sashi memuji-muji Ojun tiap hari. Tapi apa daya, Dery hanya bisa membisu. Haha, nggak deng. Bukan Dery namanya kalau tidak bermulut sekotor tempat sampah Bantargebang dan bersikap seasin Laut Madura. Pernah, suatu kali Sashi bagus-bagusan Ojun melulu dan ditimpali Dery dengan kata-kata sinis.
"Ojun aja terus. Gede bener kayaknya jasa tuh anak, ngalah-ngalahin budi-baik Naruto dan khotbah no jutsunya yang berhasil menyelamatkan sejagad raya dunia perninjaan dari Mugen Takoyaki."
"Mugen Tsukuyomi!" Sashi yang juga penikmat setia Naruto langsung bereaksi keras.
"Beda tipis lah. Lagian Mugen Takoyaki lebih enak."
Tapi ya namanya juga friendzone, cuy. Hannya ada tiga pilihan dalam menghadapinya. Pertama, meratapi nasib terus nangis. Kedua, meratapi nasib dilanjut menertawakan ketololan diri sendiri. Ketiga, meratapi nasib sampe sinting, terus akhirnya nangis sambil ketawa. Dery sih lebih milih yang nomor dua. Mau dikata bagaimanapun, dia tetap nggak bisa berhenti sayang sama Sashi.
Perih-perih maknyus, memang.
"Tapi serius lo mau neraktir gue makan ramen?" suara Sahi menarik Dery kembali ke kenyataan. Dia langsung menoleh, refleks senyum. Gimana nggak senyum ya kalau lihat Sashi nanya dengan muka ngegemesin kayak gitu. Di satu sisi, Dery suka. Di sisi lain, ada sedikit rasa nggak suka.
Bisa-bisanya nih anak mainin hatinya kayak begini.
"Nggak mau?"
"Mau."
"Yaudah. Abis balik sekolah ya? Sekarang mending lo ke kelas, deh. Takutnya Bu Dela lagi bagi-bagi kisi-kisi buat ulangan minggu depan. Sebego-begonya lo, masih mending dapet nilai kursi terbalik daripada dikasih telor ceplok."
"Loh, peduli?"
"Nggak juga, tapi ya mana mau Ojun deket sama cewek yang nilai ulangannya kembaran sama nilai ulangan Nobita?"
Sashi mengerjap. "Wah, iya juga ya!"
"Makanya, balik ke kelas. Alasan sakit perut, kek. Atau lo mau gue dorong dulu biar jatoh? Seenggaknya, kalau lo ke kelas dengan lutut berdarah—argh—anjrit, preman bener ya lo!? Kalah tuh abang-abang tatoan Lebak Bulus!"
"Mau gue cubit lagi?"
Dery kicep. "Nggak. Ampun."
"Tapi tumben, kenapa lo tau-tau nawarin neraktir ramen?"
"Lagi mau buang-buang duit."
Padahal sih jawabannya beda dalam hati.
Soalnya, akhir-akhir ini lo sering sedih. Dan minggu depan... lo ulang tahun.
Tapi apakah suara dalam diri itu terkatakan? Tentu tidak, para pemirsa. Yaiyalah. Sudah sifat alami manusia, memperibet apa yang mudah dan makin memperumit apa yang sudah susah. Capek? Pasti.
Balik lagi, namanya juga hidup, shay!
*
"Ini tuh masalah serius, Jen. Gue butuh masukan dan satu-satunya orang yang terpikir sama gue tuh cuma lo. Masa nggak bisa ketemu walau hanya sebentar aja?"
"Halah, sok-sok-an. Bilang aja lo kagak punya teman selain gue."
"Jen—"
"Di kehidupan gue yang sebelumnya, gue pasti udah ngebunuh raja atau paus."
"Ikan paus?"
"Paus pemimpin agama lo, kampret."
"Oh."
"Apes banget gue."
"Kok bilangnya gitu?"
"Kurang sial apa gue, punya temen udah bangsat, introvert pula?!"
"Tapi ini penting. Sumpah. Lebih penting dari masa depan hubungan gue sama Rosé."
"Apa? Fakta kalau ternyata lo termasuk kalangan homogen? Yaelah. Lo harap gue bisa percaya?!"
"Bukan."
"Terus apa?"
Jef menelan ludah sebelum menjawab terpatah. "Gue—"
"Iya?"
"Gue... gue..."
"Brengsek? Udah dari dulu itu mah."
"Bukan!"
"Ya apa, bangsat?!" Jennie nge-gas.
"Gue punya anak."
Hening sejenak.
"Anak... kucing?"
"Bukan."
"Anak anjing?"
"Orang, Jen! Orang! Manusia! Kakinya dua, tangannya dua, hidungnya du—et satu, deng. Serem amat kalau hidungnya dua. Pokoknya gitu lah!"
"Lah, gimana bisa?!"
"Kagak tau gue pun."
"Keseringan nebar benih sih lo!"
"Intinya lo mau dengerin curhat gue apa nggak?! Sekalian gue minta saran. Soalnya ternyata urusannya rada rumit. Ampe keleyengan pala gue."
Jiwa ghibah Jennie seketika menggebu-gebu. "Oke. Jam lima sore. Di restoran ramen yang biasa. Telat gue sunat. Titik."
"Oke."
Sebagai tindak-lanjut dari obrolan telepon antara Jef dan Jennie pagi ini—setelah Jef menghabiskan semalaman merenungi ulang segala keputusan yang telah dia ambil sejak dia mengerti apa itu akal sehat hingga semenit sebelum mantannya menelepon hanya untuk mengucapkan tiga kata sakti yang nyaris bikin Jef mati berdiri—disinilah sekarang lelaki itu berada, di sebuah mall tempat dimana restoran ramen yang disebut Jennie berada.
Berteman belasan tahun dengan Jennie, mereka punya beberapa tempat langganan untuk ghibah. Mau itu di Sydney, di Brisbane, di LA, di Jakarta even di Malang yang jadi kampung halaman bapaknya Jef atau Semarang yang jadi daerah asal ibunya tuh orang. Itu juga masih dibagi lagi ke dalam kategori lain, misalnya tempat yang enak untuk ngopi cantik doang, tempat yang nyaman buat ngopi sekalian makan berat sampai tempat yang enak untuk getting wasted together.
Kata Jennie sih ya, alkohol itu bukan cuma ampuh mengobati luka luar, tapi juga bisa sedikit meredakan 'sakit' luka di 'dalam'.
Lima menit sebelum jam lima sore, Jef sudah sampai di depan restoran ramennya. Ogah kelihatan kayak anak hilang, dia kirim chat ke Jennie.
jeffreygouw
nang endi?
jenniekartadinata
excuse me. use english or bahasa sekalian, please.
jeffreygouw
awakmu rak ngerti?
jenniekartadinata
males ngetik medok
jeffreygouw
awakmu ki still wong jowo loh ya.
jenniekartadinata
mau gue block lu?
jeffreygouw
gue di depan.
jenniekartadinata
depan pintu akherat?
jeffreygouw
kalo udah kayak gini suka nyesel ngga punya temen orang rangkas.
jenniekartadinata
mang nape?
jeffreygouw
ngga ada yang bisa dimintain tolong kirim santet gratisan
jenniekartadinata
halah.
jeffreygouw
dimana lo?
jenniekartadinata
wes on the way ki.
jeffreygouw
on the way alam kubur?
jenniekartadinata
tunggu aja di sana. jangan bawel.
cari meja. sore-sore gini, mau weekend suka
rame ama bocah-bocah piyik pacaran.
jeffreygouw
lo telat. gue kasih sunat khusus ya ntar.
jenniekartadinata
emang berani?
jeffreygouw
nantangin?
jenniekartadinata
nanya aja.
jeffreygouw
is this an invitation?
jenniekartadinata
dipancing dikit langsung mangap.
takut jadi bapak, tapi rajin tebar bibit kesana-kesini.
jeffreygouw
jen
jenniekartadinata
kasian sekali bangsaku memilikimu.
Jef sengaja tidak membalas, soalnya tidak mungkin juga dia bisa menang berargumen melawan seorang Jennie Kartadinata. Akhirnya masuk deh tuh ke dalam restoran. Benar apa kata Jennie, di dalam sudah penuh sesak sama orang. Jef mengedarkan pandang ke segala arah, mengembuskan napas lega waktu dia melihat ada satu meja kosong—dan pas banget, buat dua orang.
Dia baru menarik salah satu kursi untuk duduk ketika seorang anak gadis berambut panjang dengan jaket bomber kebesaran (yang jelas terlihat kalau itu jaket cowok) menarik kursi lainnya pada saat yang bersamaan.
Sejenak, mereka bertatapan.
"Sori, Om. Tapi saya tarik kursinya duluan."
Jef tercengang. Apa kata tuh cewek tadi? Dia dipanggil 'Om'? Wah, memang sudah mau terbalik dunia ini. Mana ada lelaki tampan, mapan, macho, lajang dan bersenyum serupa pangeran sepertinya disebut om-om? Memangnya dia punya aura om-om?!
"Kamu sebut apa saya tadi?"
"Om."
"Saya bukan om kamu."
Anak itu melipat tangan di dada. "Ya saya juga nggak inget kapan om kawin sama tante saya, sih. Bodo amat. Intinya, saya lihat dan tarik kursinya duluan. Jadi saya yang dapat meja ini."
"Loh, nggak bisa gitu lah!"
"Om nggak mau ngalah?"
"Nggak ada kata 'mengalah' dalam kamus saya!"
"Om nggak ingat umur apa mau berantem ama bocah kayak saya?" Anak itu mencibir. Ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya yang bikin Jef betulan kesal. "Lagian om dateng sendiri. Pasti jomblo. Saya nih dateng sama tem—pacar saya. Orangnya lagi ke toilet dulu—nah tuh dia. Kita berdua. Om sendirian. Ngalah aja ya, Om?"
"Saya nggak datang sendiri!"
"Oh ya?"
"Iya!"
"Yaudah, gini aja. Tem—pacar saya sama teman Om, mana yang duluan dateng, itu yang dapet mejanya. Gimana?"
Jef mengerjap. "Loh, nggak bisa gitu!"
"Lie detected. Om bohong kan, makanya nggak setuju?"
"Kenapa, Bol?" Jef beralih pada cowok berambut hitam yang baru datang. Dia mengenakan kaus berwarna hitam, meski bawahannya masih celana panjang abu-abu yang Jef kenali sebagai seragam SMA.
"Ini, si Om ngotot mau rebut meja kita."
"Meja kamu?!" emosi Jef tersulut. "Mana ada ini meja kamu?! Saya nggak lihat ada tulisan nama kamu di sini!"
"Ck." Anak itu hanya berdecak, kemudian membuka tas ranselnya yang berukuran sedang dan mengeluarkan sebuah sticky notes lengkap dengan pulpen. Dia menulisi sticky notes dengan serangkaian huruf, lalu menempelkannya di meja.
Jef membaca kata pendek yang tertera; SASHI.
"Tuh, sekarang ada nama sayanya."
"Wah, cah edyan—"
"Om-om gendeng koyok ngene—"
"Bol—bol, udah." Pacar anak bernama Sashi itu dengan cepat merangkul Sashi untuk menenangkannya, sementara Jef melengos dengan wajah dan telinga yang sudah memerah. Dia telah dibikin tidak bisa tidur semalaman karena telepon tidak terduga dari mantan pacarnya—yang juga membawa fakta bombastis tentang dirinya yang tiba-tiba memiliki anak—dan sekarang masih harus berhadapan dengan bocah nyolot hanya karena berebut meja di restoran ramen?
"Apa sih, Drol?! Faktanya kan emang gue duluan yang lihat mejanya!"
"Udah—udah, nggak apa-apa. Om, ini mejanya buat om aja. Saya dan teman saya—"
"Pacar!" Sashi mengoreksi tajam.
Jef menyeringai. "Oh, cinta yang bertepuk sebelah tangan nih ceritanya?"
"Dia cuma lupa kalau udah jadian sama saya!"
"Mosok sih?"
"Iya. Bener kan, Bad—maksud gue, bener kan, Dery?! Kita udah jadian?!"
"Hah, jadian ape?!"
"Dery!"
"Ape!?"
Muka Sashi sudah terlanjur merah dan kian terasa terbakar kala dilihatnya Jef tertawa dengan cara yang teramat merendahkan. Sebelum dia betul-betul kehilangan harga diri, dia menarik Dery yang masih clueless menjauh. Jef? Tentu saja merasa menang dan langsung menduduki kursi yang telah dia tarik dengan wajah serupa raja yang baru saja kembali dari medan pertempuran.
"Lo tuh ya!"
"Ape?!"
"Bisa bedain nggak sih pas gue bohong sama pas gue nggak?!"
"Kagak. Soalnya lo keseringan bohong, jadi gue kagak tahu gimana muka lo pas lo lagi nggak bohong."
"Badrol!"
"Kenape si emangnya?"
"Tau ah! Bete!"
"Gara-gara om-om tadi?"
"Gara-gara lo juga!"
"Ck." Dery berdecak. "Jadinya mau makan nggak?"
"Mau makan juga gimana, orang udah nggak ada meja kosong!" Sashi bersungut-sungut.
"Gampang. Gue tinggal telepon bokap gue."
"Hah, emang bokap lo yang punya tuh restoran?!"
"Bukan."
"Ya terus gimana ceritanya, Bambang?!"
"Bokap gue yang punya mall-nya. Perasaan gue udah bilang sama lo."
"Hah?! Sejak kapan?!"
"Bulan kemaren sih. Dia mendadak kepingin belanja saham gitu. Nanya enaknya saham apa yang mau diborong. Gue bilang mall ini aja, soalnya gue ama lo sering kesini kan."
Sashi pusing.
*
"Muka lo abis kena apa, jelek amat?"
Jef tidak menjawab saat Jennie tiba sekitar setengah jam kemudian, dengan setelan kemeja putih dan skinny jeans. Entah bagaimana, gayanya matching dengan style Jef yang juga mengenakan kemeja putih dan celana jeans.
Jef mengangkat alis. "Kirain lupa jalan."
"Sarkas nih ceritanya?" Jennie menjawab cuek seraya meraih gelas berisi ocha dingin milik Jef yang tinggal setengah. Dia tidak peduli, langsung saja menyedot ocha yang tersisa melalui sedotan bekas Jef. Jangankan sedotan, mereka sudah berbagi lebih banyak hal dari jaman kuliah di Sydney dulu. Sedotan sih bukan apa-apa.
"Itu anting apa gandulan gorden?"
"This is fashion, you uncultured swine." Jennie menghardik. "Udah deh, nggak usah banyak bacot. Mending kita langsung mulai per-ghibahan. Eh tapi pesen dulu. Lo udah pesen?"
"Gyu Chasu Aburi. Tori Kara Miso with straight noddle, extra soup and extra tamago. Mabo satu porsi. Iced lemon tea. Lo pasti bakal pesan itu, kan?"
Jennie batal bangun dari duduk. "Tau nggak sih, kalau udah kayak gini tuh rasanya gue pengen bawa lo ke rumah terus kenalin lo sebagai calon mantu ke nyokap gue."
Iya, sama kayak Jef yang belum settle down, Jennie juga belum nikah. Padahal dia seumuran sama Jef—yang artinya dalam waktu kurang dari lima tahun, mereka bakal menginjak kepala empat. Tapi Jennie sih tampaknya tidak terlalu peduli. Selain karena tampangnya masih macam mahasiswa baru lulus, juga karena dia nggak ada impian jadi ibu atau ngasuh anak.
Dipikir lagi, petualangan cinta Jennie juga tidak jauh berbeda dari Jef—walau mungkin Jef lebih brengsek ya. Makanya banyak yang merasa mereka cocok. Apalagi mereka udah temenan belasan tahun. Kebanyakan orang sih nggak percaya kalau mereka nggak pernah pacaran atau minimalnya saling ngapa-ngapain dengan satu sama lain.
"Yaudah, sekarang cerita."
"Mulai dari mana ya? Oh ya, soal Rosé—"
Jennie gesit memotong. "Gue nggak minat tahu apa-apa soal lo dan Rosé. Lo-nya brengsek, dianya nggak percaya saat gue peringatkan kalau lo brengsek. Ya, meskipun dengan kalian pacaran ampe hampir dua tahun tuh rada bikin gue salut. Tapi gue nggak minat dengerin. Udah kenyang gue dicurhatin Rosé. Langsung ke intinya aja, soal mantan lo ini."
"Namanya Patricia."
Jennie sedot lagi ochanya Jef. "Dia mantan gue waktu SMA."
"Pacar pertama?"
"Bukan." Jef menghela napas panjang. "Gue kira, gue udah sepenuhnya lupa ama dia. Tapi saat denger gimana dia memperkenalkan dirinya semalam, menegaskan siapa dia... wajahnya... even sampai sekarang gue mendadak ingat sama dia dan semua kebiasaannya."
"Ow." Jennie membalas datar, tidak terkesan. "Why? Because she is not like the other girls?"
"Tris—" Ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan Jef waktu dia menyebut nama panggilan mantannya itu. Hanya dia yang memanggil Patricia dengan sebutan 'Tris'. Sebutan yang terdengar konyol karena sama sekali tak mirip namanya, tapi tidak pernah gagal membuat gadis itu tersenyum.
Oh shit, kenapa sekarang Jef jadi kangen dan ingin melihat senyum itu lagi?
"Tris itu adik kelas gue. Dia kalem, berbeda dengan kebanyakan cewek yang barbar tiap lihat gue main basket bareng tim sekolah atau nyamperin gue saat gue lagi duduk sendirian di depan kelas. Dia nggak banyak omong."
"Terus gimana bisa pacaran sama lo?"
"Kita satu gereja. Suatu sore, gue nawarin nganter dia pulang, soalnya temannya balik belakangan karena ada keperluan."
"Terus jadi suka?"
"Gue suka senyumnya. Ketawanya juga manis."
Jennie manggut-manggut. "Memang lo ini sudah berbakat jadi bedebah sejak masih berbentuk kecebong."
Jef berdecak. "Yaudah, kita pacaran. Tris tuh kayak oase di padang pasir buat gue. Dulu. Dia bisa dengerin gue tanpa menyela—nggak kayak lo ya. Rajin dateng buat lihat gue latihan basket. Suka bikinin bekal. Berasa bahagia banget gue pacaran ama dia."
"Ah, bangsat. You didn't deserve her at all, cuk. Terus?"
"Tris ini anaknya lurus banget. Beda ama gue yang lebih lentur dari pensil inul. Terus ya... gitu."
"Lo tidur ama dia?"
"Iya. Kejadiannya waktu itu habis gue wisuda kelulusan SMA."
"It wasn't my first time, but it was memorable. At least to me. For the first time, I was gentle and we intertwined hands and—"
"Sori, Pak, tapi gue nggak minat dengar cerita porno ala stensilan. Langsung aja ke intinya gimana?"
"Dia pergi duluan, ninggalin gue di rumah gue. Setelah itu, gue telepon rumahnya, tapi dia nggak pernah mau ngangkat. Gue coba cari dia dan dia menghindar. Abis itu ya lost contact beneran, karena bokap-nyokap gue ngirim gue buat kuliah ke Aussie kan."
"Terus lo nggak pernah tergerak nyari dia?"
Jef tertawa masam. "Menurut lo, dengan menghilang tiba-tiba kayak gitu, dia bakal mau dicari atau nggak?"
"Tapi sekarang dia menghubungi lo lagi."
"Mau tahu kenapa? Dia ngerasa waktunya udah nggak lama lagi."
"Piye the fuck?!"
"She has cancer. Katanya, kemoterapi udah nggak banyak membantu. Operasi pengangkatan organ terlalu risky. Dia udah punya suami, sih. Tapi dia merasa, gue perlu tahu soal eksistensi anak gue ini." Jef remas rambutnya sendiri. "This is super unbelievable. I mean, alasan terbesar kenapa gue menghindari pernikahan adalah karena gue nggak mau punya anak. Dan sekarang, tiba-tiba saja gue punya anak. Perempuan. Umurnya 17 tahun. Gue nggak pernah tahu bentuknya kayak gimana. Apa dia bisa terima atau nggak? Apa dia bakal menuntut gue jadi ayah buat dia? Gimana gue harus bersikap di depan dia?! I am so clueless. This is too insane!"
"Kenapa? Semangat bikinnya doang ya?"
"Bukan gitu!" Jef bersungut-sungut.
"Well, menurut gue—"
Jennie belum lagi menyelesaikan ucapannya ketika ponsel Jef berdering, bersamaan dengan ponsel milik seorang lainnya yang duduk tiga meja dari tempat duduk mereka berdua—ponsel Sashi.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
PANIK SUMPAH JASTIP UDAH PADA TUTUP KALO ADA YANG TAU JASTIP TIKET EKSO EP5 IN JAKARTA YANG PASTI DAPET PLEASE KASIH TAU WKWKWK
btw kenapa nextnya cepet? soalnya kalian memenuhi hidden target saya dan saya lagi mood. karena lagi mood, coba jajal pake target deh wkwkwkw
1k votes and 700 comments for next chapter.
ea, ojun dan papi jo belom muncul ya. kita liat aja nanti.
btw cerita ini bakal lebih santai kok, kalian ngga usah trauma gara-gara DLP gitu.
wkwkwk oke deh sekian dan terimakasih.
sampai ketemu di chapter selanjutnya.
bonus ojun.
Semarang, September 27th 2019
19.50
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro