[A]ncestor
Untuk semua orang first impression adalah hal yang penting ketika baru bertemu dengan seseorang. Namun, untuk Aiden hal itu hanyalah sebuah mitos.
"Kau aneh," kata Luxie sambil meminum soda yang ada di tangannya.
"So?" Aiden tidak memedulikan omongan anak kecil itu, ia terus saja melahap semua makanan yang ada di depannya. Luxie hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah pria dewasa itu.
"Ai, maksudku kak Aiden." Respect Luxie seolah turun drastis ketika melihat sifat asli lelaki itu. Dirinya kira lelaki yang ada di hadapannya ini bisa bersikap seperti seorang gentleman. Mungkin hal itu benar jika kau melihat dari luar. Untung saja pria ini memiliki nilai tampang yang cukup menjual, Luxie bisa menjadikannya umpan jika terkena masalah nanti.
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan, huh?" Mulut Aiden penuh dengan makanan. Ketika ia berbicara pun Luxie sebenarnya tidak mendengar jelas apa yang dikatan pria tersebut, gadis itu hanya mengangguk agar Aiden bisa cepat diam.
"Astaga, sudah berapa lama sebenarnya kau belum makan?" Pertanyaan itu spontan saja keluar dari mulut Luxie.
"Satu hari mungkin?" Aiden mengangkat kedua bahunya.
Mendengar hal tersebut Luxie memutar kedua bola mata, ia kemudian berdiri dan menuangkan segelas air putih dan menyuguhkannya ke Aiden.
"Silahkan Yang Mulia." Luxie berjalan mundur dan membungkukkan badannya seperti pelayan kerajaan.
Aiden mendadak bingung melihat tingkah bocah tersebut, ia mulai menaruh curiga pada air yang dibawakan Luxie.
"Air apa ini?" Aiden memutar-mutarkan gelas tersebut. Scientist tingling-nya mulai bekerja.
"Air keras," ucap Luxie dengan nada yang santai.
Terjadi keheningan antara keduanya. Aiden menatap Luxie dan Luxie menatap Aiden, keduanya hanya mengedipkan mata secara bersamaan.
Luxie menarik napas panjang."Itu hanya air biasa! Kau pikir aku akan menaruh larutan arsenium ke sana?" Suara Luxie memecahan keheningan. Tingkat ketenangan ruangan itu menjadi rendah seketika.
"Well, arsen itu tidak bisa larut di dalam ...."
Aiden memberhentikan ocehannya ketika Luxie memberikan tatapan kecut. Tanpa basa-basi ia pun meneguk air yang telah disuguhkannya.
"T-Terimakasih," ucap Aiden sambil mencari posisi enak untuk duduk.
"Oke, back down to business." Atmosfer ruangan tiba-tiba saja berubah menjadi mencekam. Dari kantung Hoodie-nya Luxie mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mengarahkannya ke dada Aiden. "Apa yang kau ketahui soal HOPE, huh?"
Aiden yang masih kenyang tidak dapat bergerak dan berfikir banyak. Perutnya terlalu begah dan pikirannya menjadi lambat ketika pria itu terlalu banyak mengonsumsi makanan.
"Hah?" Tatapan Aiden sangat kosong seperti orang yang baru saja dihipnotis.
"Sudah kuduga kau menjadi bodoh jika selesai makan." Luxie pun menurunkan pisau lipatnya. Dari dalam kardus ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisikan pil berwarna hijau. "Makan pil ini, kandungan di dalamnya bisa mengurangi gen bodoh di dalam dirimu."
"Hah? Kau serius?"
Luxie menepuk dahinya pelan. "Cepat makan saja lah!"
Aiden mengambil pil tersebut dan langsung memakannya. Tubuhnya tiba-tiba saja mengeluarkan bunyi-bunyi aneh.
"Eu ... kau tidak sedang meracuni ku 'kan?"
"Aku sedang meracunimu, pil itu bisa membuat dirimu mati dalam tiga puluh menit ke depan," Luxie tersenyum simpul.
"Oh, oke. Bye world."
Luxie yang serius seketika tertawa melihat respons yang diperlihatkan Aiden, pria itu bahkan tidak merasa khawatir jika dirinya akan diracun oleh seorang gadis penggemar Siwa family.
"Apa?" tanya Aiden dengan wajah polos.
"Kau sepertinya lelaki yang tidak takut mati ya?"
Aiden menegakan posisi badannya, postur tubuhnya sudah kembali tegap, pil yang ia telan tadi sudah melakukan pekerjannya dengan baik.
"Mati? Aku sudah pernah merasakan itu." Suara basnya sudah kembali menjadi normal. Aiden teringat dengan kejadian di mana tubuhnya tertimpa batu yang besar.
"Maksudmu?"
"Nope, aku sudah mati Lux. Diriku ditusuk oleh salah satu terasphober dan jantungku tercerai-berai tergeletak di tanah. Terdengar gila, tapi itu adalah kejadian sebenarnya," jelas Aiden sambil menyeruput air minum yang telah disediakan. Semua yang dikatakan dirinya tentu saja tidak terjadi, ia tidak akan semudah itu ditusuk makhluk hitam yang mengikutinya selama ini.
Luxie yang mendengar hal itu seperti tidak memiliki kecurigaan sama sekali terhadap perkataan Aiden. Lelaki itu selalu melakukan kontak mata dengannya, pupilnya bahkan tidak membesar. Hal ini membuat dirinya berasumsi apa yang dikatan Aiden benar adanya. Ada dua kemungkinan yang terjadi di sini. Luxie yang memang mudah percaya atau Aiden yang terlalu handal dengan aktingnya.
"I trust you. Omong-omong para monster yang berkeliaran itu kau namakan terasphober?"
"Yap. Bagus bukan? Terdengar terlalu elit untuk mereka, tapi sesekali sesuatu yang buruk memiliki panggilan yang bagus."
Luxie hanya mengiyakan. Dirinya tahu orang-orang seperti Aiden hanya akan terus berbicara ketika ego-nya diberi makan.
"Sekarang aku yang bertanya. Apa itu HOPE? Dan kenapa kau menuduhku? Jadi kau pikir aku salah satu dari anggota mereka?"
"Honestly? Yes. Badan yang tinggi, postur tegap, mata biru ...." Luxie tiba-tiba saja mendekat pada Aiden dan memegang badan serta bagian lengan atasnya. "Uh, yeah those abs and muscles are real. Tipikal seorang prajurit."
Aiden membuang tangan Luxie yang sedang memegangi tubuhnya.
"What's wrong with you? Kau tidak bisa memegang tubuh orang yang baru saja kau kenal tahu!"
"Ini untuk protokol keamanan! Lagipula aku juga tidak akan mungkin memutilasimu ... unless ...." Luxie memberikan smirknya kepada Aiden. Gadis yang Aiden kira imut berubah menjadi seorang psikopat dalam waktu yang cepat.
"That's creepy. Apa poin yang ingin kau jelaskan sebenarnya!" Teriakan Aiden memenuhi ruangan.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa diriku ini aman dan pilihanku tepat, oke? Kau pastinya tidak akan percaya gadis berusia empat belas tahun bisa bertahan hidup dalam apocalypse seperti ini!"
Seketika Aiden terdiam. Semua yang dibicarakan Luxie seolah membungkam semua argumen yang sudah disusun di kepalanya saat ini. Jika diperhatikan dari gestur tangan dan juga tubuhnya yang mencodong ke belakang, harusnya pria itu tahu, gadis yang ada di depannya ini sedang ketakutan.
Aiden menghela napas. Ia merasa bersalah karena baru pertama kali dirinya meneriaki seseorang di hidupnya. Mungkin keadaan sekarang membuatnya dirinya menjadi lebih sensitif dan tidak bisa mengontrol emosi yang ia miliki.
"My bad. Aku tak seharusnya meneriakimu seperti itu, aku terkadang ... tidak bisa diajak bercanda."
Luxie terkejut melihat tingkah Aiden yang berubah 180 derajat belum sepenuhnya, tapi baru kali ini ia menemukan seorang pria yang mau mengakui kesalahannya.
"I-Is okay, aku pun salah telah memegangmu tanpa izin, kau pasti mengira aku gadis yang salah pergaulan, walaupun statement itu tidak salah sebenarnya."
"Maksudmu?"
"Ya, anggap saja aku ini dibesarkan di lingkungan yang tidak benar."
"Oh, sorry ...."
"Don't be, Aku tak perlu dikasihani. Pekara HOPE, mereka adalah sebuah intuisi yang bekerja di bidang teknologi. Kenapa aku menuduhmu? Karena aku hampir pernah tertangkap oleh mereka. Hampir semua anggotanya berpura-pura sedang kesakitan atau pun mati, tapi ketika kau mendekat mereka tak segan menancapkan suntikan yang berisi obat bius dan membawa tubuhmu untuk dijadikan bahan percobaan."
Nama institusi itu seperti tidak asing ketika masuk ke dalam telinga Aiden, ia sering mendengarnya, tetapi di saat yang sama bagian lopus temporalnya tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang dimaksud Luxie.
"Kau kenapa, mulai ingat tujuanmu ya?"
"Sembarangan. Aku hanya merasa sedikit pusing saja, entah kenapa ...." Aiden yang tadinya berdiri tegap kini terpaksa duduk dan bersandar ke arah tembok yang ada di dekatnya.
"A-are you sure you okay?" tanya Luxie yang terlihat khawatir melihat keadaan Aiden seperti seseorang yang akan pingsan.
"I'm fine, hal ini biasa terjadi kepadaku. Lanjutkan ceritamu saja. Tadi kau bilang soal pilihan bukan? Apa yang kau maksud? Dan bagaimana kau bisa tahu dengan detail mereka akan membiusmu and stuff."
"Calm down cowboy, aku ini bukan mesin pencari."
"Take your time then."
"Oke, aku akan mulai ceritaku ketika pernah mencoba menyelamatkan salah satu tentara HOPE yang terluka cukup parah. Setelah aku merawatnya, memberi ia makan dan minum, tempat beristirahat kau tahu apa yang ia lakukan? Dia hampir saja menikamku dikala aku tidur. Bisa kau bayangkan hal itu?"
Aiden menggelengkan kepalanya.
"Kami pun akhirnya bertengkar dan aku menjadi pemenangnya. Terpaksa aku harus membunuh lelaki itu. Selama aku hidup aku tidak pernah merasa dimanfaatkan. HOPE sialan mereka bahkan tidak punya toleransi untuk anak yang belum lulus sekolah menengah."
Aiden tertawa ketika mendengar cerita yang dibawakan Luxie, tangannya yang tidak bisa diam dan ekspresi mukanya yang sangat menghayati setiap kata yang ia ucapkan membuat lelaki itu semakin teringat dengan Emily. Ia bahkan tidak menganggap cerita yang Luxie bawakan itu terjadi secara utuh. Dirinya masih bersikeras menggangap gadis yang ada di hadapannya ini tidak berbahaya sama sekali.
"Oi, apa yang kau tertawakan sebenarnya!" Luxie menepuk pundak Aiden dengan keras.
"Kau seharusnya lihat ekspresi wajahmu, carrot." Seketika Aiden terdiam, ia tersentak dengan perkataannya sendiri. Sebutan yang baru saja ia katakan adalah sebutan khusus untuk adiknya, Emily.
"Aku memiliki nama tahu!" Pundak Aiden pun menjadi korban kekerasan tangan Luxie. Suara tamparannya begitu kencang membuat Aiden bergeming. Ia berlagak kuat setelah menerima pukulan itu, tapi mulutnya yang sedang komat-kamit berkata hal lain.
"Sakit ya? Mau lagi?" Aiden menjauh dan menggelengkan kepalanya dengan cepat sedangkan Luxie tersenyum simpul. Kepalanya yang dimiringkan membuat Aiden semakin bergidik ngeri melihat bocah yang ada di hadapannya sekarang.
"Oh iya, aku ingin bercerita soal pertama kali aku menemukanmu, ini terdengar sulit dipercaya tapi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Terserah kau ingin percaya atau tidak." Luxie kemudian mengambil posisi duduk.
Aiden menoleh, ia pun mendekatkan dirinya kembali kepada Luxie. Kedua tangannya sudah bertumpu kepada sepasang lutunya yang sudah disilangkan.
"Apakah kau pernah mendengar ramalan Suku Maya?" tanya Luxie.
"Ya, aku sering mendengar berita bahwa mereka mempunyai ramalan soal kapan dunia akan berakhir."
"Kau benar, tetapi semua ramalan itu tidak pernah terwujud, bukan?"
"Iya. Sebelumnya maaf, tapi aku tidak suka bertele-tele apa yang ingin kau beritahu kepadaku sebenarnya?" Kedua mata biru yang menatap gadis perempuan itu menandakan keseriusan Aiden. Luxie merasakan atmosfer pria ini berubah dengan cepat.
Akhirnya ia pun beranjak dari posisi duduk kemudian mengambil beberapa buku yang ada di dekat lilin. Salah satu buku menangkap perhatian Aiden. Buku itu berwarna krem bersampul simbol-simbol aneh dan memiliki gambar sebuah mahluk yang mirip ular di tengahnya.
"Lux, mahluk apa yang berada di tengah buku ini?"
"Itu adalah Quatzalquatlus. Menurut kepercayaan suku Maya, binatang itu adalah dewa yang menciptakan kehidupan di dunia ini."
Aiden kembali menengok buku tersebut, ia seperti mendapatkan perasaan aneh yang membuat dirinya gelisah. Buku itu seolah memanggil-manggil namanya dan mengingingkan untuk dibuka.
"Hei!"
Tepukan Luxie membuat Aiden terbangun dari lamunannya.
"Kau mendengar apa yang barusan ku jelaskan tidak?" Aiden menggeleng.
Luxie mengeluarkan napasnya yang panjang. "Oke. Seperti yang baru saja kukatakan tadi, kau tidak sengaja hampir dibunuh."
Ekspresi Aiden berubah 360 derajat. Kedua matanya membesar dan kepalanya menjauhi Luxie ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya. Mulutnya menganga dan dirinya terus saja berkedip heran.
"Kau ... tampak kaget."
"Siapa yang tidak kaget ketika kau mendengar kau akan dibunuh! Tuhan ... kau tidak bercanda 'kan?" Wajah aiden menjadi panik dan kedua tangannya refleks memegang kepala.
Luxie membuka sekotak jus lalu meminumnya, ia sangat menikmati tingkah laku pria yang terlihat sedang panik itu.
"Huh, kenapa kau bisa panik ketika kau akan terbunuh oleh satu orang manusia dan tidak panik ketika hampir setiap hari kau bertemu makhluk-makhluk hitam yang sudah membunuh ratusan orang?"
Aiden pun sekalagi tercerahkan oleh omongan Luxie. Ia kemudian membenarkan posisi dan menahan rasa malu yang dialaminya dengan tenang.
"Oke, lupakan diriku yang panik. Bagaimana perawakan orang ini? Yang aku ingat aku tertidur dan terbangun di ruangan ... tunggu dulu! Secara tidak sengaja kau menyalamatkanku bukan? Dear god, thank you!"
Aiden memeluk tubuh mungul Luxie dengan sangat erat, hoodie-nya yang kebesaran semakin saja menenggelamkan gadis kecil itu.
"Lepaskan! Aku sudah bilang 'kan aku ini fobia orang tampan!" Aiden akhirnya melepaskan tangannya.
Luxie menepuk-nepuk hoodie-nya seolah-olah Aiden adalah debu yang baru saja menempel pada pakaian yang ia kenakan.
"Aku ini orang bukan parasit Lux. Aku baru tahu ada seseorang yang tidak suka dipeluk."
"Ya, aku adalah orang itu. Sudahlah jangan banyak bicara aku ingin bercerita soal bagaimana aku memungutmu." Aiden pun mengiyakan karena tidak ingin membuat anak kecil itu kembali marah padanya.
Saat itu aku sedang mencari sinyal, batang yang berada di sebelah kanan ponselku naik seketika. Di saat yang bersamaan, diriku juga sedang membawa barang-barang bekas, kau tidak usah tahu untuk apa. Aku pun dari kejauhan melihat seseorang yang bugil ... maksudku tidak sepenuhnya. Dia masih memakai koteka untuk melindungi, kau tahu apa yang ku maksud kan? Entah dia sedang mengcostplay menjadi salah satu suku pedalaman atau apa, intinya orang ini membawa sebuah lampu petromak dan juga tombak.
"Hm, bisa saja dia adalah suku pedalaman asli."
"Kau mau aku menyelesaikan ceritaku dulu, atau tidak, huh?"
"Ah, iya-iya aku minta maaf. Silakan dilanjut."
Sebenarnya aku tidak peduli dan berniat untuk pergi saat itu juga, tetapi melihat orang itu tiba-tiba berlari ke arah pohon besar membuatku penasaran. Dirinya pun terdiam, ia seperti mengambil ancang-ancang untuk melemparkan tombaknya dan benar saja ia melontarkan tombak itu ke arah atas.
"Tombaknya berhasil mengenai diriku? Tunggu jika dia melemparkannya dari bawah bukannya itu melanggar hukum gravitasi? Oke, ini mulai tidak masuk akal." Luxie memicingkan kedua matanya dan menatap Aiden tajam.
"Jangan merasa sok pintar, Einstein. Tentu saja tombak itu dapat meluncur ke atas dengan tekanan tinggi dan juga kecepatan yang tepat."
"Ah, kau benar ...."
"Jika sekali lagi kau mengoceh aku akan mensumpalkan bibirmu dengan ini." Luxie mengambil sebuah lem dari dalam hoodie-nya.
Benda itu adalah lem rubberband yang terkenal dengan tingkat kerekatannya yang sepuluh kali lipat melebihi lem super glue.
Anak ini sepertinya seorang psikopat ....
Singkat cerita tombak itu melesat ke arahmu dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebelumnya aku melihat orang tersebut seperti membacakan sebuah mantra. Kejadian yang aneh terjadi setelahnya. Tombak yang hampir saja mengenaimu tiba-tba saja berbalik arah, like literally it goes back to his owner! Di saat yang bersamaan, dan entah dari mana juga antek-antek HOPE muncul dan memukul leher sang pria pedalaman. Ketika akan membius orang itu, kau mau tahu apa yang terjadi? Tombak yang berbalik itu menancap kepala sang prajurit HOPE.
"Lalu setelahnya?"
"Ya, dia mati. Aku pun yang melihat kejadian itu sangat terkejut karena aku dengan jelas melihat prajurit itu memakai helm untuk melindungi kepalanya. Yup, Jadi itu yang terjadi. Terdengar gila dan benar-benar di luar nalar bukan?"
Aiden bergeming, ia sedang mencerna semuanya. Otaknya sangat begitu menolak dengan kejadian yang diceritakan Luxie. Semua seperti adegan yang direkayasa. Namun, di satu sisi hatinya berkata lain. Karena harus ia pikirkan juga gadis inilah yang telah menyelamatkan nyawanya.
"Sudah kubilang kau tidak usah mempercayai kata-kataku ini, aku hanya menyampaikan apa yang harus kusampaikan." Perempuan itu lalu tersenyum. "Untuk seseorang yang terlihat sering memikirkan sesuatu, kenapa rambutmu belum memutih ya?" Luxie mendekati Aiden ia langsung mengacak-ngacak rambutnya.
"Hei-hei apa yang ...."
"Nah!" Luxie dengan polos menarik sehelai rambut putih dari kepala Aiden.
Aiden terperanjat. Namun, dia menahan rasa sakit itu, ia harus sabar menghadapi bocah usil yang telah memberinya makan sampai dirinya menjadi bodoh.
"Lihat aku menemukan rambut putihmu!" Dengan bangga Luxie memamerkan hasil temuannya.
"You gonna pay for that!" Aiden melancarkan serangan kejutannya kepada Luxie. Luxie yang sadar telah membangunkan sang singa pun mencari perlindungan dengan mengambil salah satu buku yang ada di dekatnya.
"Aku ini kutu buku Lux, kau memberikan ku buku dengan senang hati aku akan membacakan isinya dan melontarkan semua informasi yang aku temukan padamu!" Aiden pun tertawa seperti seorang penjahat yang sudah tidak waras.
"Gertakanmu harus diperbaiki lagi, Einstein!" Gadis itu pun melemparkan buku yang ia pegang ke arah Aiden.
"Aw!"
Aiden merasakan pusing yang begitu mendadak. Kepalanya mulai berputar seperti mengalami vertigo sementara. Setelah beberapa saat menstabilkan dirinya, ia pun mengambil buku yang dilemparkan Luxie. Tak sadar itu adalah buku yang menangkap perhatiannya Aiden membuka buku itu dan pupil matanya kian membesar.
"Oke, Sekarang kau membuatmu takut."
Aiden kembali terdiam. Pria itu membalikan buku tersebut ke halaman depan. Dirinya tersadar bahwa buku yang dia baca saat ini adalah buku yang memiliki simbol-simbol aneh yang selalu ia lihat. Entah ini efek samping dari pil yang ia minum atau memang dia adalah keturunan Einstein itu sendiri.
"Tidak, tidak, ini tidak mungkin terjadi."
Semua tulisan aneh yang selalu menghantuinya, kini dapat dibaca oleh Aiden.
~***~
Hi guys! Jumpa lagi di DAWN. Aku mau ngingetin cerita ini bakal aku update seminggu sekali lebih tepatnya Minggu sih (kalau di jadwal hehe) bakal ada perubahan yang lumayan banyak di cerita dan misteri-misteri tambahan juga, jadi tunggu kelanjutannya gais! Thank you!
Sincerly, Xenon
2510 Words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro