Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog: Devil Child

Bau darah segar tercium dari sebuah ruangan bercahayakan lampu yang remang-remang. Jika kita menengok ke dalam sana, terlihat seorang pria bertubuh besar sedang berdiri di depan anak kecil berusia sekitar sepuluh tahunan.

Pria itu seakan memandang rendah sang bocah perempuan yang memegangi perutnya sambil meringis kesakitan. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya, beberapa memar biru juga terlihat di kulitnya yang putih pucat namun kotor oleh darah itu.

"Berdiri," kata pria itu, dengan intonasi datar tetapi aura memerintahnya sangat terasa.

Mendengar suaranya saja membuat siapapun bergidik ngeri jika tidak menuruti ucapan orang itu. Ya, orang itu. Villain nomor satu dengan rank S, All For One.

Dengan susah payah, anak kecil itu bangkit. Berusaha menyingkirkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Dalam otaknya hanya satu hal yang terbesit, 'Jika aku tidak bangkit sekarang, pasti ayah akan memukulku lagi.'

Ayah macam apa yang tega memukul putrinya sendiri hingga membuat memar biru di sana-sini?

Ambisi ayahnya sangat besar, terlalu besar untuk diluapkan kepada anak berusia sepuluh tahun yang -seharusnya masih dalam masa bermain.

Yah, setidaknya bagi All For One, putrinya memang masih dalam masa bermain.

Bermain dengan senjata tajam dan nyawa orang.

"Aku melatihmu bukan untuk menjadi lemah," ucap All For One lagi ketika putrinya sudah sepenuhnya berdiri.

Tentu saja putrinya berusaha tidak memedulikan darah yang masih menetes dari mulutnya. Bahkan ia tidak ada niatan untuk sekadar mengusap bibirnya, membersihkan noda merah di sana.

"Kau tahu apa maksudku, bukan?"

Tidak ada jawaban.

Hanya ada suara isak tangis yang ditahan.

All For One sepertinya dapat sedikit bersabar hari ini. Tangan besarnya mencengkeram kepala putri semata wayangnya, kepala itu sepenuhnya dalam genggaman sang Simbol Kejahatan. Tanpa tenaga penuhpun, cengkeraman itu sudah cukup untuk membuat jeritan menggema di seluruh ruangan.

"Jawab pertanyaan ayahmu, Yukina," ucapan yang terdengar seperti gertakan itu membuat anak kecil di cengkeraman All For One segera membuka mulutnya. Mengeluarkan suaranya yang serak untuk menjawab pertanyaan sang ayahanda.

"A-aku mengerti, ayah," jawab Yukina sambil berusaha melepaskan cengkeraman yang membuat kepalanya seperti ingin pecah. Air mata yang mengalir di pipinya tidak membuat cengkeraman itu semakin merenggang.

"Apa yang kau mengerti?"

Yukina menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya agar tidak serak lagi. Namun, sepertinya itu sia-sia saja karena suaranya masih saja parau.

"Seorang quirkless sepertiku.. harus berlatih keras.. agar berguna untuk ayah.."

All For One melepaskan tangannya dari kepala Yukina, "Bagus,". Ia terlihat puas dengan jawaban putrinya. Hal itu terbukti dengan seringaian lebar terlihat di wajahnya yang setengah hancur.

Yukina hanya tersenyum lemah. Senyuman itu seperti anak seumurannya, benar-benar polos dan masih murni. Senyuman yang selalu dia tunjukkan walau dalam situasi buruk sekalipun.

Namun sayang, All For One sangat membenci senyuman itu. Entah kenapa itu mengingatkannya pada Nana Shimura yang mati menyedihkan. Setidaknya itulah yang dipikirkan All For One.

Tangan All For One mengepal. Sedetik kemudian, tubuh Yukina terhempas ke belakang hingga menabrak dinding ruangan dengan keras. Menciptakan retakan di belakang punggungnya. Retakan itu terlihat jelas setelah tubuh kecil Yukina jatuh ke lantai yang dingin. Entah itu pukulan All For One ke berapa untuk hari ini.

"Bukankah sudah kubilang untuk berhenti tersenyum seperti wanita brengsek itu?!"

Yukina bahkan tidak kenal siapa wanita brengsek yang dimaksud ayahnya. Ia hanya tersenyum, sesuatu yang manusiawi. Perutnya terasa nyeri karena baru saja menerima pukulan. Punggungnya sendiri seperti menjerit kesakitan karena bertemu dinding ruangan dengan keras. Pandangan Yukina perlahan memburam, kepalanya seakan berputar-putar bersama rasa sakit di seluruh tubuhnya.

Melihat putrinya tidak dapat bangkit lagi, All For One mengangkat tubuh kecil itu di pundaknya seperti karung beras. Berjalan ke sebuah ruangan yang sepertinya tidak ada seorangpun yang mau memasukinya.

"Malam ini kau tidur di sini."

Yukina membuka matanya perlahan, ruangan ini sangat gelap. Tidak ada seberkas cahaya pun di ruangan yang dingin itu. Jantungnya berdetak tak beraturan, keringat dingin menetes di pelipisnya.

'Apapun asal jangan ruangan ini,' batinnya. Ia sudah tidak punya tenaga bahkan untuk protes sekalipun. Rasa takut telah menguasai dirinya.

"Ini hukuman karena kau mengingatkanku padanya," All For One melempar tubuh Yukina ke kasur.

Ia tidak peduli gelagat Yukina yang ketakutan, ia memilih untuk keluar dari sana. Langkahnya terhenti, All For One memegang gagang pintu itu.

Ia berbalik, "Nikmati jeritan mereka sebagai lagu pengantar tidurmu," pesannya sebelum keluar dari ruangan.

Yukina menutup kedua telinganya serapat mungkin. Berdoa agar tidak ada suara yang dapat dia dengar malam ini dari ruangan di sebelahnya.

Dia menyebutnya "Torture Room" alias Ruang Penyiksaan. Sebuah ruangan khusus bagi All For One untuk menyiksa orang-orang yang ia 'tangkap'.

Entah apa yang All For One lakukan pada mereka hingga membuat suara orang kesakitan, menangis, dan meminta tolong. Telinga Yukina sudah sering mendengar orang memohon yang diikuti suara tembakan, tebasan, atau pukulan dari ruang penyiksaan.

Hal tersebut menimbulkan rasa ngeri sekaligus trauma bagi Yukina. Tubuhnya sudah cukup lelah dengan latihan -atau penyiksaan sehari ini. Kemudian pada malamnya, telinganya harus mendengar jeritan orang kesakitan sebagai pengganti lagu nina bobo.

Yukina hanya dapat menutup telinganya sambil memohon ayahnya untuk berhenti.

Namun ayahnya selalu berkata...

"INI AKIBATNYA JIKA KAU LEMAH, KAU DENGAR ITU?!"

Dan jeritan orang kesakitan kembali terdengar, bersamaan dengan suara tulang yang patah. Hanya satu hal yang dapat menghentikan jeritan itu.

Waktu.

"Kau dengar itu, Yukina? Orang ini hanya dapat bertahan tiga menit sebelum akhirnya meninggalkan kita," kata All For One. Nadanya terdengar kecewa.

Ya, jeritan itu akan berhenti ketika waktu sang korban sudah habis.

Lebih tepatnya, waktu untuk hidup.

All For One mencabut nyawa seseorang dengan mudahnya seperti mencabut sehelai rambut.

Takut, sedih, dan marah bercampur menjadi satu menjadi trauma bagi Yukina. Dia terkulai lemas di kasur sambil memeluk dirinya sendiri. Berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk dan badannya yang bergetar hebat. Matanya perlahan menutup.

Yukina berharap ketika bangun nanti ini semua hanya mimpi buruk.

Jika dia harus memilih satu dari jutaan kata untuk mendeskripsikan ayahnya, maka kata itu adalah iblis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro