Chapter 31: Night Nova
"Hero Killer: Stain..."
Yukina menyapa dengan nada dingin. Kali ini dia menyebut nama lawan bicara dengan benar sebagai bukti keseriusannya.
"Kudengar namamu diucapkan banyak orang akhir-akhir ini. Itukah pencapaian yang kau peroleh dari pengorbanan mereka?"
"Dunia ini tumbuh dengan pahlawan palsu di mana mereka sudah kehilangan makna sejatinya..." Stain menjeda ucapannya sembari menatap tajam Yukina. "...dan kriminal yang sembrono menggunakan kekuatannya, semua harus dibersihkan."
Yukina menghela napas. "Sebenarnya kriteria macam apa yang kau gunakan untuk menggolongkan pahlawan dan kriminal?" tanyanya heran. Muncul pedang kegelapan di tangan kirinya yang teracung ke arah Stain.
"Berharaplah ada polisi yang sudi mendengar ocehanmu di Tartarus."
Tanpa ba-bi-bu lagi, Yukina lekas merangsek maju. Stain berkedip, Yukina menghilang dari pandangannya. Tidak, Yukina kini sudah ada di hadapannya. Stain terkejut namun mampu bereaksi sigap.
'Dia... cepat sekali!' pikir Stain saat pedang mereka bersinggungan. Jika terlambat menahan ayunan pedang Yukina sepersekian detik saja, Stain pasti sudah terluka sekarang.
Menyadari serangan pertamanya berhasil ditahan, Yukina memutar tubuh dan menendang Stain sekuat tenaga. Stain pun terdorong ke belakang dalam posisi bertahan.
'Tidak hanya cepat, dia juga kuat!'
Stain menyabet pedangnya secara horizontal ketika Yukina memelesat. Sayang, lawannya adalah manusia yang pulang-pergi sekolah lewat jalur atap warga sehingga mengelak dalam posisi melayang bukanlah hal sulit. Yukina memanfaatkan entakan kaki untuk menendang udara, membuatnya berguling melewati Stain dengan mudah.
'Apa?!' Stain mendongak seraya menoleh. Secara slow-motion, dia dapat melihat Yukina di atasnya siap menghunuskan pedang. 'Dia melompat... di udara?!'
Pedang kegelapan Yukina menebas punggung Stain yang terbuka tanpa perlindungan. Syal merahnya terpangkas menjadi lebih pendek, jatuh bersama cipratan darah berwarna senada. Rasa sakit tak menghalangi Stain untuk bergerak. Dia berbalik, menamengi diri dengan katana dari tusukan pedang Yukina.
"Sasuga villain elit, Black Death. Reputasimu terlihat jelas, kau kuat seperti yang dikabarkan," puji Stain. Bicaranya tenang seakan perih yang membakar punggung tidak terasa.
"Namaku sekarang adalah Night Nova. Ingatlah itu," koreksi Yukina dingin. Terbit seberkas cahaya di tangan kanannya yang menyilaukan mata. Stain menyipit. Meski buta sesaat, instingnya mengatakan Yukina melancarkan serangan kepadanya.
'Cahaya?! Dia punya quirk lain, ya?!' Stain melompat mundur secepatnya. Terlambat, goresan di pipi membuktikan Yukina berhasil mengenainya. Lukanya cukup dalam hingga darah menitik keluar.
Momen ketika Stain melayang itu tidak Yukina sia-siakan. Dia menyentuh tanah, meresapkan kegelapan. Permukaan berguncang dan puluhan duri hitam menyembul keluar. Stain langsung memotong duri-duri tersebut sambil menghindari tusukan dari segala arah.
Gemuruh terdengar, mengalihkan perhatian Stain untuk mendongak. Di atasnya terlihat bola-bola hitam mulai berjatuhan. Stain refleks menghindar namun ternyata bola tersebut meledak sebelum menyentuh tanah. Stain pun terhempas ke belakang walau telah menahan diri agar tidak terpelanting lebih jauh.
"Tch. Aku terlalu bersemangat," Yukina mendecih kesal karena serangannya menyebabkan kerusakan di sana-sini. Dia lupa ajaran Endeavor soal meminimalisir kerusakan sebisa mungkin.
Yukina mengusap kepala belakangnya kikuk, "Menjadi hero itu merepotkan juga, ya. Tidak boleh merusak, tidak boleh membunuh, lalu aku harus bagaimana?"
"Aku tidak mengerti," Stain bangkit seraya mengusap darah di pipinya. "Dengan kekuatan sehebat itu, kau pasti bisa membunuh All Might suatu hari nanti."
"Masih bisa bicara juga? Seharusnya aku memotong lidahmu tadi," sahut Yukina bernada santai namun maksudnya sangat serius.
"Asal kau tahu saja, aku ini mengakui kemampuanmu, Yukina. Kau bahkan lebih hebat daripada pahlawan palsu yang kulawan," Stain berdiri tegap, menghadap Yukina yang mengerjap bingung. "Tapi, kenapa kau malah ingin menjadi pahlawan palsu seperti mereka?"
Yukina terdiam. Pertanyaan Stain telah menyinggungnya. Matanya menyipit tajam menyiratkan ketidaksukaan pada topik yang dibahas.
"Kenapa kau mau berteman dengan anak-anak menyedihkan itu?" tanya Stain lebih lanjut. "Ingenium dan dua teman-"
"Yang menyedihkan itu adalah kau, Stain."
Stain tertegun mendengar Yukina memotong ucapannya dengan nada dingin. Yukina menutup matanya seraya menghembuskan napas singkat, usahanya untuk menenangkan diri di tengah kekesalan yang meluap.
"Pengecut ketakutan lalu menyerah. Pahlawan ketakutan namun terus maju. Mereka yang kau sebut pahlawan palsu pasti punya kisah perjuangan tersendiri sebelum menjadi seperti sekarang, termasuk Ingenium dan All Might."
Dilihat dari bayangan hitam yang menggelapkan wajahnya, sudah dapat dipastikan Yukina sedang marah sekarang. Sekalipun raut muka Yukina tidak ngotot seperti Bakugo, aura gelap yang keluar darinya kian membenarkan fakta tersebut.
Yukina membuka mata. Irisnya berubah merah terang dengan kilatan tajam.
"Kaulah yang menyedihkan, Stain. Kau tidak mau berjuang menjadi pahlawan lalu akhirnya menyerah, menjadi pembunuh seperti sekarang," simpul Yukina. "Karena itulah, Tomura merekrutmu."
"Karena aku sadar bahwa... Kata-kata tak bisa mengubah apapun, kecuali jika kau menulisnya dengan darah di koran esok hari," balas Stain penuh kebencian.
Yukina sangat tidak menyetujui hal tersebut. Dia sudah membuktikannya saat festival olahraga, kata-kata memiliki kekuatan besar. Jika kata-kata tidak bisa mengubah apapun, pasti Todoroki enggan menggunakan apinya sekarang. Yukina terkekeh pelan, menertawakan Stain yang kebingungan.
"Kata-kata tidak bisa mengubah apapun, kau bilang? Kau pasti tidak lulus ujian Bahasa dan Sastra saat sekolah," timpal Yukina sarkastis. Memang mulutnya tidak kenal tempat dan situasi untuk bicara.
Stain menggeram, kesal karena Yukina tidak menanggapi serius dan malah mempermainkannya. Emosinya tersulut. Mereka kembali beradu pedang. Pola serangan Stain makin beringas namun Yukina masih dapat mengimbanginya.
"Anak yang ditakdirkan membunuh pahlawan malah menjadi pahlawan. Sungguh ironis," ucap Stain tiba-tiba.
Yukina tertegun, perhatiannya teralihkan. Stain langsung memanfaatkan kelengahan Yukina untuk menyorong pedang kegelapannya. Kalah tenaga, Yukina pun terdesak ke belakang.
"Apa yang sebenarnya Tomura katakan kepadamu?!" tanya Yukina menahan marah.
"Kisah yang memuakkan!"
Stain mengayunkan katananya, menebas Yukina yang melompat menjauh. Ujung katana yang tajam berhasil menggores baju Yukina. Robekan di sisi depan memperlihatkan belahan dadanya yang bertato sayap malaikat hitam-putih.
Namun, pemandangan indah tersebut tidak menyurutkan nafsu membunuh Stain. Dia justru makin gencar menyerang Yukina yang terpojok.
Stain melayangkan tendangan. Yukina jatuh terguling-guling, meneteskan darah di sepanjang jalurnya. Duri tajam di sepatu Stain telah mengoyak baju juga dagingnya.
"Aku takjub kau masih bisa bertahan padahal hidupmu dipenuhi kenyataan ironis," sinis Stain. 'Bukan villain, apalagi hero. Kau mau tahu apa sebenarnya dirimu? Pengkhianat munafik!"
"Urusai naa... Ini hidupku, bukan hidupmu. Jadi, tutup mulutmu!" Yukina yang mulai emosi berusaha bangkit, "Hatiku telah memutuskan untuk menjadi hero. Makanya, aku menapaki jalan yang kupercayai!"
Stain menginjak perut Yukina, menahannya agar kembali tertelentang di tanah. "Menjadi hero, katamu? Memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan tangan berdarah itu?"
Yukina tertegun. Matanya yang membulat sempurna mulai gemetaran, menyiratkan suatu keterkejutan yang luar biasa. Bibirnya terdiam kelu, pertanyaan Stain benar-benar membungkamnya.
"Kau pikir dengan mengganti namamu akan membuat orang-orang lupa jati dirimu?" Stain mengambil pisau kecil kemudian menghunjamkannya ke armband Yukina yang bertuliskan "NN", singkatan dari nama heronya -Night Nova.
"Dan apa yang telah kau lakukan?" lanjut Stain bertanya.
Aneh tetapi nyata, Yukina sama sekali tidak mengerang kesakitan meskipun benda tajam menusuk lengannya. Begitu dalam hingga darah membanjir. Rasa sakitnya tertukar oleh amarah yang memuncak karena Stain terus mengungkit sesuatu yang dia benci.
"Selamat tinggal, Yukina a.k.a. Black Death."
Stain langsung menikamkan katananya namun tertahan tepat sebelum mengenai leher Yukina. Stain tersentak kaget, tangan kanan Yukina mencengkeram katana bergerigi tajamnya. Tanpa takut melukai telapak tangannya sendiri, Yukina semakin mengeratkan genggaman hingga menimbulkan getaran kecil disertai aliran darah.
"Berhenti mengungkit-ungkit masa lalu yang tidak ada artinya, cecunguk sialan," geram Yukina dengan aura membunuh.
Stain merinding hebat.
KRAK! Katana langsung patah karena tak sanggup menahan kuatnya cengkeraman Yukina. Alat genggam saat Tes Pengukuran Bakat dulu saja remuk, apalagi katana tergolong yang tipis itu. Namun tentu saja, telapak tangan Yukina terluka cukup dalam gara-gara aksi nekat tersebut.
'Dia mematahkannya dengan tangan kosong?!' Stain melompat mundur, mulai menjaga jarak dengan Yukina yang mengeluarkan aura gelap.
"Setiap orang punya kisah dan setiap kisah punya seorang hero. Tapi, tidak semua orang bisa mendapatkan hero di kisah mereka," Yukina bangkit seraya mencabut pisau yang tertancap di armbandnya. Darah menderas, mengalir jatuh mengikuti lengannya yang terkulai.
"Jadi, aku akan berjuang menjadi hero dalam kisahku sendiri!" tegas Yukina.
"Jati diri seseorang takkan berubah semudah itu!" Stain melempar katana yang patah ke sembarang arah dengan kesal. Tangannya meraih katana baru di punggung kemudian mengacungkannya ke Yukina, "Kau hanya akan semakin menyesatkan idealisme dari 'pahlawan'!"
"...."
Tidak ada sahutan dari Yukina. Stain mengerutkan alis, heran musuhnya mendadak diam padahal tadi berkoar-koar layaknya kampanye politik. Ditambah lagi, setengah wajahnya tertutupi bayangan hitam. Entah ekspresi apa yang terpampang di muka dinginnya.
Sementara itu, di otak Yukina sedang terjadi proses analisis data yang rumit. Fokus utamanya hanya satu, mengalahkan Stain tanpa membunuhnya. Saking fokusnya, dia sampai tak mendengar suara apapun di sekitar.
'Menganalisis Pembunuh Pahlawan. Kecepatan dan tekniknya di atas rata-rata manusia normal. Quirk cahaya yang kusimpan sejak siang sudah habis dalam perjalanan ke sini. Quirk kegelapan tidak punya peningkatan mobilitas, pasti sulit untuk mengimbangi kecepatannya. Jadi, cara mengalahkannya bukanlah adu kecepatan, tapi-'
"Kenapa mendadak diam?" tanya Stain heran. "Apa kau terbungkam oleh kenyataan pahit?"
Setelah lima detik berpikir dan menyusun strategi, akhirnya Yukina menemukan jalan kemenangan. Dia menghela napas berat, "Sebenarnya aku tidak ingin menggunakan ini karena belum terlalu menguasainya, tapi mau bagaimana lagi. Ini pertaruhan," gumamnya.
Stain mengernyit bingung.
Yukina menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "Dark Abyss..."
Tato sayap malaikat di dada Yukina mulai menghitam. Kegelapan merambak keluar, menutupi kostum heronya dan menyelimuti seluruh tubuh. Elemen konkret itu membentuk zirah yang melindungi lengan, dada, perut, serta kaki. Di beberapa bagian terdapat aksesori sayap gagak, menunjukkan bahwa armornya bertema demon.
"Version Two: Guardian Phantom."
'Apa itu? Tidak hanya tubuhnya saja yang berubah, tapi auranya juga...' Stain mendelik menyaksikan hal tersebut. Dia tak sanggup menyangkal rasa takut kian melemahkan keyakinannya.
Katakan selamat tinggal pada Yukina yang beloon dan sambutlah Yukina versi monster.
Pijakan Yukina retak begitu dia melesat maju. Stain melontarkan dua pisau lemparnya namun terpental begitu saja. Suara logam jatuh bebas ke tanah terdengar lebih nyaring dari seharusnya. Stain mengerti, zirah kegelapan Yukina bukanlah untuk fashion show atau aksesori semata. Itu adalah armor yang sesungguhnya.
Yukina menciptakan dua pedang kegelapan pada masing-masing tangannya. Gemuruh pedang saling bertumbukan menggema di lorong gang Ekou. Yukina mendorong lebih kuat, sejalan dengan api hitam yang berkobar hebat di mata pedang.
Stain terbelalak tak percaya. Retakan di katananya semakin meluas. Letusan energi dari pedang kegelapan sukses memaksanya mengelak mundur. Karena katananya hancur, Stain segera berganti senjata dua pisau kecil untuk melawan Yukina.
Dengan gerakan lihai, Yukina mengayunkan dua pedangnya secara bergantian untuk menyerang. Di sisi lain, Stain kesulitan mencari titik lemah Yukina. Semua tubuhnya terlapisi kegelapan sekeras baja. Setiap kali Stain mendaratkan serangan pada Yukina, senjatanya langsung hancur lebur.
'Cih! Apa-apaan dia ini?! Monster?' batin Stain geram.
Layaknya blade dancer, Yukina seolah-olah menari saat bertarung. Memanfaatkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya, dia memutar tubuh, salto ke belakang sementara kakinya menendang. Saat Stain terentak akibat tendangan tersebut, Yukina menarik kedua pedangnya yang tersilang hingga menciptakan letupan energi kegelapan. Alhasil, Stain pun terhempas jauh karena terkena serangan telak.
"Aku mengantuk. Kuakhiri sekarang saja," kata Yukina dingin. Dengan santai, dia mengangkat tangan kirinya. Puluhan pedang kegelapan melayang dengan ujung terarah pada Stain. Begitu menurunkan tangan, pedang-pedang tersebut memelesat menuju target.
Tentu saja Stain tidak tinggal diam. Dengan pisaunya, dia menangkis puluhan pedang yang berdatangan. Semua pedang hitam tersebut tertancap ke sembarang arah, baik tanah maupun dinding gang.
"Sayang sekali itu tidak cukup untuk membunuhku," ucap Stain sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
"Iie. Game over da," balas Yukina santai.
Seluruh pedang kegelapan berpendar. Muncul jaring hitam yang saling menghubungkan satu sama lain. Stain yang berdiri di pusat zona pun terperangkap jaring-jaring rumit tersebut. Tubuh beserta kaki tangannya terikat. Semakin dia bergerak, semakin kencang pula ikatannya.
"Sialan!" Stain menggeram emosi. Dia menoleh pada Yukina yang berjalan santai sembari memutar-mutar pedangnya ala mayoret. Sekilas tampak kilatan cahaya bulan yang terpantul di bilah pedangnya. Hanya ada satu hal yang terlintas dalam benak Stain.
"Siapapun yang melihat kilatan pedang hitam di bawah sinar bulan, maka hidupnya takkan lama lagi."
Yukina bersiap dengan kuda-kudanya. Dia merendahkan lutut, jari-jari kakinya menekuk kala dia mencondongkan diri ke depan. Keringat dingin mengalir di pelipis Stain ketika melihat Yukina menyeringai lebar.
"Nightmare Slash."
Yukina melesat lurus, menebas Stain dari depan lalu belakang. Seketika Stain batuk darah, bersamaan dengan cairan merah yang memancar keluar dari tubuhnya. Yukina melakukan serangan di udara, berputar 360° bersama pedang di kedua sisi. Bahkan usai mendarat, dia tidak melonggarkan serangan. Darah Stain menyembur keluar usai Yukina memelesat menohokkan pedangnya sebagai serangan penutup.
"Rest in peace..." Yukina yang berdiri tegap di belakang Stain berucap dengan nada dingin. Dia mengibaskan pedangnya, mencipratkan darah yang berlumuran agar bersih.
Begitu gestur tersebut selesai, Stain mengerang kesakitan. Kegelapan merasuki dirinya, membuatnya dipenuhi energi negatif seperti kemarahan dan keputusasaan. Sebuah siksaan batin yang luar bisa. Dinding yang tertutup mural darah langsung retak oleh desiran angin. Pada akhirnya, Stain hilang kesadaran dan tumbang.
Hening sesaat.
Yukina jatuh terduduk di tanah. Napasnya memburu, kakinya lemas hingga tidak sanggup berdiri lagi. Dia terbatuk-batuk, mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Kegelapan yang menyelimuti semakin pekat dan membesar.
Dugh! Kepalan tangan Yukina memukul tanah tanpa belas kasihan. Jari-jarinya menggaruk daratan, mencengkeram kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakit yang menggerogoti. Namun nyatanya, dia malah semakin tenggelam dalam lautan kegelapan.
"Ugh... Tidak, kumohon... Jangan...!!!"
Yukina mendongak. Kegelapan merayap naik, bersatu menciptakan topeng hitam yang menutupi wajahnya. Hanya terlihat sepasang mata sipit berwarna merah berkilat tajam serta gestur bibir yang menyeringai lebar. Menakutkan.
Sementara itu,
Di waktu yang sama...
Midoriya, Todoroki, Iida, dan Native telah berjalan cukup jauh dari gang Ekou. Mereka berhenti di pinggir jalan raya yang sepi. Midoriya langsung mengambil ponselnya untuk memanggil bantuan pro hero juga ambulans.
"Iida, kau sudah bisa bergerak?" tanya Todoroki pada Iida yang melepaskan papahannya. Iida hanya mengangguk dan berusaha berdiri sendiri.
Iida yang bergolongan darah A telah terbebas dari pembekuan darah. Namun, Native yang bergolongan darah B masih terkena efeknya. Sesuai analisis Yukina, efektivas quirk Stain tergantung pada golongan darah. Mulai dari yang tersingkat adalah O, A, AB, dan yang terlama adalah B.
"Ternyata quirknya tidak sehebat dugaanku..." komentar Todoroki pelan. Melihat Iida yang sudah bisa bergerak, dia merasa Yukina-lah yang hebat karena mampu mengulur waktu sekitar 5 menit untuk mereka.
"Aku sudah memanggil ambulans dan pro hero. Mereka akan tiba sebentar lagi," tutur Midoriya sambil menurunkan ponselnya dari telinga.
"Kalau begitu, ayo kita kemba-"
Langit bergemuruh memotong perkataan Todoroki. Keempat kaum adam itu menoleh ke sumber suara, gang Ekou. Kepulan asap hitam membumbung tinggi disertai guntur berasal dari sana. Todoroki, Iida, dan Native menganga kebingungan sementara Midoriya justru bercemas.
"Jangan-jangan... Yukina..." Midoriya menggantung ucapannya sendiri. Menolak percaya dan berharap kelanjutan omongannya nanti tidak terjadi sungguhan.
"Ada apa dengan Yukina?" tanya Todoroki cepat. Setelah melihat ekspresi kekhawatiran Midoriya, dirinya juga ketularan.
"Bukankah itu quirknya?" tambah Iida bertanya.
"Tidak salah lagi, itu memang quirknya..." jawab Midoriya. "Namun, Yukina yang biasanya pasti tidak akan menggunakan serangan berskala besar saat bertarung di gang sempit begitu. M-Mungkin terjadi sesuatu yang buruk di sana."
"Kita harus segera ke sana untuk memastikannya," ucap Todoroki. Midoriya mengangguk dan mengikutinya. Namun mereka kembali berhenti karena melihat Iida juga hendak menyusul.
'Iida, kau mau ikut juga? Dengan kondisimu sekarang?" Todoroki menyadari tangan Iida terluka parah akibat serangan Stain. Sekalipun bertarung dengan kaki, rasa sakit di tangan Iida pasti akan menghambatnya jikalau bertarung nanti.
"Jangan! Pembunuh Pahlawan itu mengincarmu, 'kan? Jangan kembali ke sana, lebih baik kalian menunggu pahlawan pro!' seru Native yang belum bisa bergerak.
"Yukina-kun dan kalian tetap bertarung meskipun ini tidak ada hubungannya dengan kalian semua. Makanya, aku takkan membiarkan kalian bertiga terluka lebih dari ini," kata Iida penuh penyesalan.
"Lagi-lagi kau berkata seperti itu..." Midoriya menghela napas singkat. Ketua kelasnya itu memang terlampau serius sedangkan wakilnya terlampau santai. Pantas penghuni kelas A nyeleneh-nyeleneh dan perlu dipertanyakan kewarasannya.
"Kalau begitu, mari bergegas!" Todoroki langsung berlari, disusul Midoriya dan Iida.
"Native-san! Jika bantuan sudah datang dan kami belum kembali, katakan untuk menyusul ke gang Ekou!" seru Midoriya.
Native yang terduduk lemah hanya mengangguk. Andai saja tidak lumpuh akibat pembekuan darah, dirinya rela menggantikan keempat remaja itu untuk bertarung dengan Stain -lagi.
Midoriya, Todoroki, dan Iida sampai di gelanggang pertempuran. Betapa terkejutnya mereka mendapati gang Ekou sudah rata dengan tanah. Gedung-gedung sekitar mereka retak parah. Stain terkapar di tengah-tengah lorong. Darah bepercikan sana sini, entah berapa liter yang tertumpah. Sulit dipercaya jika itu adalah bekas pertarungan dua orang.
"A-Apa yang... sebenarnya terjadi... di sini?" Iida sampai terbata-bata saking syoknya. Midoriya dan Todoroki terdiam meski sebenarnya juga menanyakan hal yang sama.
Di tengah kehancuran nyata tersebut, sebuah siluet seorang gadis terbakar api hitam. Ketiga laki-laki tersebut sontak menoleh. Namun tindakan tersebut justru membuat mereka ketakutan dalam diam. Sosok itu memang mengerikan.
"Y-Yukina? I-Itu... Yukina, 'kan?" tanya Midoriya memastikan. Hati Todoroki ingin menjawab 'bukan' dengan lantang, namun kepalanya justru berpikir hal sebaliknya.
Memangnya siapa lagi kalau bukan Yukina?
Dia menyeringai sangat lebar, memperlihatkan barisan giginya yang tajam. Matanya bulat besar berwarna hitam kelam. Bulan redup malam itu membayangi sosoknya. Namun kengeriannya tidak terbatas pada penampilan saja, tetapi juga kata yang terlontar dari mulut lebarnya.
"Bunuh semuanya."
Seketika Midoriya, Todoroki, juga Iida merinding hebat. Tulang mereka rasanya mulai mencair hingga lemas. Apalagi setelah melihat Yukina mode iblis mulai membuat pedang hitam. Gelagatnya jelas menunjukkan bahwa dia siap bertarung -bukan, membunuh.
"Yukina-kun! Kami tidak ingin bertarung denganmu! Kami ini temanmu!" seru Iida.
"Awas!" Todoroki langsung menciptakan dinding es raksasa begitu tahu Yukina memelesat. Tak sampai dua detik, es itu langsung terpotong simetris secara sempurna. Dari balik bongkahan es, Yukina muncul dengan kedua pedangnya untuk menyerang.
Midoriya melompat dengan One For All-nya, melayangkan pukulan pada Yukina yang melayang di udara. Sayang, Yukina mampu menahannya dengan mudah dan langsung melempar Midoriya ke sembarang arah.
"Midoriya-kun!" Iida hendak maju untuk membantu Midoriya, namun tangan Todoroki menghalanginya.
"Hati-hati! Yukina tidak mengenali kita. Dia bisa menyerang kita kapan saja," kata Todoroki memperingatkan. Dia menggunakan kombinasi es dan apinya untuk menjaga jarak dari Yukina yang terus menyerbu.
"Kurasa dia.. kehilangan kendali atas quirknya," ucap Midoriya yang terkapar. "Semakin besar kekuatan seseorang, semakin besar pula tanggung jawab yang harus diemban. Pasti ini efek samping dari quirk kegelapan. Kita harus segera menyadarkannya sebelum Yukina semakin tidak terkendali!"
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?!" tanya Todoroki di tengah-tengah penyerangan.
"C-Cahaya! Kegelapan akan melemah jika ada cahaya. Buatlah api besar, Todoroki-kun!" seru Midoriya.
"Aku belum terbiasa dengan sisi kiriku. Bagaimana jika nanti Yukina terluka?" balas Todoroki ragu. Tiba-tiba Yukina muncul di belakangnya. Iida yang berdiri di dekat Todoroki langsung menendang pedang yang terayun ke arah mereka.
Namun pedang Yukina jauh lebih kuat. Kegelapan menyebar keluar dari bilah pedang layaknya badai. Todoroki dan Iida terhempas bersamaan. Yukina kembali menyerbu mereka yang kesulitan bangkit akibat terkena serangan telak.
Di waktu yang bersamaan, Midoriya yang melihat hal tersebut berpikir keras. 'Berpikirlah! Sesuatu yang mengalihkan perhatian Yukina. Sesuatu yang dia sukai...'
Yukina mengayunkan pedangnya kepada Iida yang terluka parah. "Shine-"
"A-A-ADA COWOK SUPER IMUT TERBANG DI ATASMU, YUKINA!" teriak Midoriya sepenuh jiwa raga, ketularan Bakugo. Itulah akibatnya kalau sejak kecil berteman dengan toa masjid.
Hening.
Bahkan jangkrik enggan bersuara.
Todoroki yang berekspresi datar langsung suram. Iida menganga syok, 'Bicara apa kau di saat-saat seperti ini, Midoriya-kun?! Mana mungkin itu mempan pada monster macam Yukina-kun!'
"Huh?" Yukina mendongak dengan polosnya. Sekalipun telah kerasukan iblis, dia masih lemah pada sesuatu yang imut.
'TERNYATA MEMPAN, YA?!' batin Iida syok jilid dua. Dia semakin tak paham dengan isi otak Yukina.
"Sekarang, Todoroki-kun!" seru Midoriya.
Todoroki tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung memeluk Yukina, membawa gadis itu ke dalam dekapannya. "Maaf, Yukina..." bisiknya pelan.
Todoroki menciptakan api besar yang membakar kegelapan Yukina. Tidak kuat berontak, Yukina menjerit kesakitan dalam pelukan Todoroki.
"Tenanglah, Yukina! Ini bukan dirimu yang kukenal. Kumohon, kembalilah..." pinta Todoroki tulus. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Yukina. Tangannya mengeratkan pelukan sementara apinya semakin berkobar.
Midoriya dan Iida yang melihat itu terdiam. Mereka sadar bahwa hanya Todoroki yang mampu mengatasi kegelapan Yukina. Mereka juga maklum kalau Todoroki memeluk Yukina karena gadis tukang tidur itu sangat lasak alias pecicilan ketika bertarung.
"Yukina... Jika orang sekuat kau sampai hilang kendali seperti ini, kau pasti menanggung beban yang berat dalam hidupmu. Tapi, kau tidak sendiri! Kami ada di sini untukmu!" tegas Todoroki. "Jadi, kembalilah, Yukina... Jangan tertelan oleh keputus-asaan!"
'Itu beneran Todoroki-kun, 'kan?!' Iida dan Midoriya kompak terkejut. Ternyata Todoroki punya kepedulian pada orang lain di balik sifat dinginnya.
Yukina berhenti berontak. Armor kegelapannya retak, pecah menjadi serpihan debu yang terbang dibawa angin. Sedetik kemudian, Yukina jatuh ke dalam pelukan Todoroki. Kesadaran dirinya menipis, tubuhnya panas.
"Yukina?" Todoroki memanggil lembut seraya memadamkan apinya.
"Maaf..." lirih Yukina. Setitik air mata mengalir jatuh melewati pipinya namun tidak ada seorang pun yang melihat. Matanya perlahan menutup. Entah karena nyaman dipeluk penuh kehangatan dari dispenser-kun atau karena memang sudah lelah hidup. Yang jelas, Yukina tidak punya tenaga lagi sekarang.
Todoroki semakin menenggelamkan kepalanya di pundak Yukina. "Syukurlah kau kembali," gumamnya bahagia.
Setelah Yukina jinak, Todoroki segera menggendongnya ala bridal-style. Sementara Midoriya dan Iida segera melucuti senjata Stain lalu mengikatnya dengan tali yang ditemukan di tempat sampah.
[A/N: Sebagai informasi, di Jepang tersedia beberapa tempat sampah khusus di seluruh kota. Biasanya tali tersimpan di dalamnya untuk memudahkan mengikat benda-benda, seperti koran tua misalnya.]
"Midoriya-kun, biar aku saja yang menariknya," kata Iida.
"Tidak apa-apa, aku saja. Lenganmu terluka parah, 'kan?" sahut Midoriya seraya menarik Stain.
"Ngomong-ngomong, Midoriya... Kenapa kau bisa memikirkan tipuan seperti tadi?" tanya Todoroki penasaran. Dia melirik gadis dalam gendongannya, "Dan bagaimana mungkin itu bekerja pada Yukina?"
"E-Eh? Kulihat Yukina sering memakai benda imut seperti gantungan kunci di tasnya, headphone bertelinga kucing saat di pantai, dan bahkan wallpapernya saja kawaii. Jadi, kupikir dia suka sesuatu yang imut," jelas Midoriya.
Tidak bisa dipercaya. Ekspresi wajah Iida dan Todoroki seakan berkata demikian.
"Ternyata Yukina punya sifat yang kawaii juga," celetuk Todoroki sedikit blushing.
"Meski begitu, dia mampu mengalahkan Pembunuh Pahlawan sendirian sampai kehilangan kendali dan terluka. Ini semua salahku," kata Iida menyesal.
"Jika Yukina mendengar kau bilang begitu, dia pasti sudah memukulmu, Iida-kun," balas Midoriya yakin.
"Maa, soal penyesalan dan maaf bisa kau sampaikan nanti. Untuk sekarang, kita harus kembali dan mengamankan Pembunuh Pahlawan," kata Todoroki.
Iida mengangguk lemah. Mereka segera pergi dari gang Ekou dan kembali ke tempat Native tadi. Di sana sudah ada pahlawan pro dan ambulans yang datang hendak memberi bantuan. Namun sayangnya, pertarungan yang dramatis sudah berakhir.
-Atau mungkin... Belum berakhir sepenuhnya.
#31
Everyone has story and every story has a hero. But not everyone can get a hero in their story.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro