II. Mereka
Elvaretta sibuk. Dia mengemasi barang-barangnya. Sesekali, dia melongokkan kepalanya ke bawah kursi sekadar mencari alat tulisnya yang jatuh menggelinding dari meja. Elvaretta menjulurkan tangannya-meraba-raba di antara tumpukan bukunya. Tangannya terangkat menggenggam sesuatu, kotak bekal biru muda dimasukkannya ke dalam tas. Elvaretta tahu, isinya tidak akan tumpah keluar karena semua habis bersih dimakannya tadi. Setumpuk buku keperluan matkul hari itu juga dijejalkannya masuk dalam tasnya. Elvaretta meneguk perbekalan air minumnya sebelum merapikan posisi kursinya. Tas putih bergambar sepasang kelinci pink pucat bermain ayuman dicangklongkan di pundak. Kasihan, tas itu nampaknya menggembung lebih besar dibanding sebelumnya karena barang bawaan Elvaretta menggunung di dalamnya.
Menjamin tidak ada barang yang tertinggal, dia melangkah keluar kelas. Kaki jenjangnya membawanya menyusuri koridor lantai dua yang sepi. Miss Hewra, selaku dosen mata kuliah jadwal akhir meninggalkan kelas Elvaretta setengah jam lalu. Teman-teman kelasnya pulang mendahului dirinya, sebab semua tahu kebiasaan Elvaretta memakan waktu cukup lama dilakukan. Elvaretta tidak masalah, buktinya mendata dan menyicil sedikit tugas yang diberikan para dosen mengurangi beban pekerjaannya di rumah panti, dengan begitu, dia bisa membantu Forte menyirami tanaman di sore hari ataupun memasak hidangan makan malam bersama Shevi. Suasana sunyi senyap kampus tak dihiraukannya selama tenaga bantu untuk panti asuhan bisa dikerahkan.
Menuruni lantai lewat tangga, Elvaretta tidak menyukai fasilitas lift yang buatnya berdesak-desakan bersama mahasiswa lain. Ada tangga, kenapa tidak dimanfaatkan? Turun dengan lift padahal cuma berjarak satu lantai itu konyol, walaupun opininya tidak pernah diutarakan, Elvaretta pasti mendumel dalam hati ketika antrian lift dari jauh tertangkap ekor matanya. Ketukan flat shoes abu-abu miliknya menimbulkan gema bunyi. Setidaknya bunyinya membantu Elvaretta sadar akan keberadaannya dan tidak membiarkannya sendiri.
.
.
.
Azrathea Villanuevara presents
Cursed Fate of Future
.
I own all the story plot, gain nothing from writing this story, and just write for my own sake.
.
.
Thriller | R | For mocchafrappe mini event
Warn : typo(s), plot hole(s), not as expectation, trash
.
Don't like don't read.
Happy reading! ♡
.
.
.
Lantai satu Kampus Athordox ternyata cukup ramai. Beberapa mahasiswa bercengkrama di bangku taman, dua orang laki-laki membawa alat musik, mungkin mereka berlatih secara kelompok untuk pengambilan nilai Sastra Mr. Yhern minggu depan. Sepasang kekasih (atau itulah perkiraan sementara Elvaretta) mengobrol santai di dekat parkiran motor, sesekali si pemuda melancarkan aksi modus kemudian disikapi malu-malu pasangannya. Elvaretta tersenyum geli dapati teman sekelasnya, Rave, dilempar buku cetak tebal Teknologi Informasi karena berani menggoda perempuan lain kala pacarnya yang menunggu sabar di dekat mobil memergokinya.
Elvaretta berpindah tempat, dia harus mengambil sepeda hitamnya di parkiran belakang. Parkiran belakang sepi dan tidak seluas parkiran depan. Belakang khusus disediakan bagi para mahasiswa dan mahasiswi yang membawa motor. Tempat parkiran sepedanya pun agak terpencil. Hanya sepetak persegi di bagian pojok kanan. Di malam hari, lampu-lampu bundar di perempatan dihidupkan. Meski cahayanya redup, mereka membantu lebih baik daripada aplikasi senter ponsel.
Taman parkiran belakang tidak terawat. Rumput-rumput liar mendominasi tanaman lainnya. Ada beberapa semak belukar terdiri dari jalinan evergreen yang menutupi barisan lili kuning. Di depannya, ada kolam ikan kecil, anakan koi banyak ditemukan berenang bersama kecebong di dalamnya. Mereka tidak diberi makan teratur, sesekali sehari penjaga taman baru menebarkan pelet, jika tidak ikan-ikan itu dibiarkan kelaparan seharian atau terkadang mahasiswa yang lewat melemparkan remahan makanan mereka sebagai tambahan pakan.
Di tengah terdapat pohon raksasa. Elvaretta kesusahan mengingat nama pohonnya yang belibet. Sepertinya semacam Stigo, Stifurgo, ah, Stifurdigo. Orang mengatakan, nama pohonnya mengikuti nama sang penemu. Elvaretta jadi tidak terbayang ada orang yang bernama aneh, dia pasti menyulitkan orang lain saat memanggil namanya atau bahkan menuliskan namanya di buku tahunan.
Sang gadis celingukan. Sepedanya yang terparkir tidak ada di tempatnya. Seseorang pasti memindahkannya! Sengaja ataupun tidak, dia membuat Elvaretta kebingungan. Baris demi baris jajaran sepeda ditelusuri. Bentuk parkiran persengi ternyata mengesalkan. Elvaretta merutuk dengan gumaman tanpa suara. Matanya dibuka lebar-lebar karena beberapa sepeda mirip miliknya. Dengan merek dan warna sama, Elvaretta hanya mengenali sepedanya dengan bantuan stiker bunga laba-laba yang ditempelnya di perbatasan stang sepeda, sedikit terpencil jika mata terlewat teliti mencarinya. Elvaretta sengaja menempelnya tersembunyi supaya cuma dirinya yang sanggup membedakan sepeda antiknya.
Bagus. Berkali-kali Elvaretta memutari petak persegi dan dia menyerah. Sepedanya tak ditemukan dimanapun. Elvaretta tidak keberatan berjalan kaki, tapi sepedanya sangat membantu penghematan energi. Gadis itu berjalan gontai. Niat Elvaretta melaporkan kasus sepeda hilangnya ke seksi keamanan pupus ketika bersenggolan dengan seorang pemuda. Elvaretta yang merasa dirinya tidak fokus segera membungkukkan badan dan meminta maaf.
"Ah, maafkan aku."
"Hei, va, aku baru saja ingin mengembalikan sepedamu."
Elvaretta menengadah tepat setelah kata sepeda meresap masuk ke pendengarannya. Dia menyambar sepeda hitan dari tangan sang pemuda lalu mengecek penanda rahasia cekatan. Ada! Stiker bunga laba-laba seukuran tiga sentimeter tertempel di tempatnya. Elvaretta ingin memekik senang, namun senyumnya pudar mengingat ada orang yang meminjam sepeda tanpa izin darinya.
"Ini memang sepedaku. Kenapa kau tidak izin pinjam dulu padaku, Karv?"
Karvion Anderson, salah satu anak panti Orbidch yang juga kuliah di kampus Athordox. Dia mengambil jurusan Arsitektur ketahui bakatnya tinggi. Otaknya juga lumayan encer sehingga memudahkannya lolos seleksi beasiswa. Sampai tahun keempat, kuliahnya bebas biaya, jika belum lulus, semua beralih tergantung padanya. Karvion menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Irisnya tidak berani memandang pemilik sepeda pinjamannya.
"Maaf, aku pikir kau tidak masalah sepedamu kupinjam sebentar dan tanpa izin."
"Sebentar? Aku hampir menghabiskan tiga puluh menit mengabsen satu persatu sepeda di parkiran untuk menemukan sepedaku!" Elvaretta menaikkan nada suaranya di akhir, tangannya mencubit lengan Karvion gemas.
Karvion mengaduh, bibirnya terbuka lagi, "Aku sudah mencarimu dari lantai ke lantai, tapi batang hidungmu bahkan tidak terlihat," Karvion membela dirinya.
Elvaretta mengerucutkan bibirnya, "Kau seperti menyamakanku dengan hantu," cibirnya.
Karvion tidak menyangka balasan yang diterimanya akan seimut ini, dia tertawa menanggapi wajah lucu Elvaretta, "Oke, oke, maaf, lagi," ujarnya diiringi cengiran tanpa rasa bersalah.
Elvaretta bersidekap, dia hendak mengayuh sepedanya tetapi tertahan beban berat dari bagian belakang. Berpaling, Elvaretta dapati sesuatu yang sudah diduga olehnya.
"Karv!"
Karvion dengan santainya duduk di bagian belakang, membonceng seenaknya dan menempatkan tangannya melingkar di pinggang Elvaretta.
"Apa?"
"Turun, kauberat!" hardik Elvaretta.
"Kalau begitu, biarkan aku yang di depan."
"Tidak!"
Siapapun, tolong tahan Elvaretta agar tidak meluapkan emosinya dan menghajar Karvion sekarang juga. Perempatan siku-siku merah imajiner muncul di pelipisnya. Lima menit ditunggu, tetap tidak ada perubahan posisi dari Karvion. Elvaretta mengeratkan pegangannya pada stang, menggenggam erat-erat selongsong aluminium terselubung karet.
"Demi apa, turun Karv! Kau kan bisa berjalan seperti biasa."
"Eh, aku sedang malas berjalan, Va."
"Turun atau jatah makan malammu tidak ada," ancam Elvaretta halus.
Sesuai jadwal giliran memasak, malam ini memang tanggung jawab Elvaretta karena Karvion masih menyayangi kesehatan tubuhnya, maka turun adalah pilihan terbaik yang dimilikinya. Elvretta juga tidak setega itu membiarkan Karvion berjalan sendiri, dia menyejajarkan diri di sebelah sang pemuda-berusaha sepelan mungkin menjalankan sepedanya. Karvion sadari kebaikan hati Elvaretta, kesempatan pulang berdua dimanfaatkan untuk mengobrol banyak.
Terbuai waktu, keduanya sampai di panti asuhan dengan wajah berseri. Karvion langsung masuk lewat pintu depan, mengganti bajunya sigap dan bersiap membantu pekerjaan apapun. Elvaretta memarkirkan sepedanya. Selepas menggembok sepeda kesayangannya, Elvaretta menjalankan aktifitas yang persis seperti Karvion sebab berbagai pekerjaan menunggu diselesaikannya.
Rambut panjangnya dikepang rapi menjadi satu, sarung tangan karet melekat di kedua tangannya. Elvaretta mematikan lampu kamar dan bergegas keluar, Forte menunggunya di halaman untuk menyirami tanaman. Elvaretta harus melewati koridor panjang kemudian berbelok beberapa kali sebelum mencapai halaman. Pucuk hitam ikal menonjol dari antara susunan rak tanaman begonia. Elvaretta mengendap-endap, mencoba tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Dia mendekati Forte diam-diam, sekaligus ekstra hati-hati supaya tidak menginjak bunga lonceng biru yang menyebar berkelompok bersama rumput sateria yang menutupi tanah lembab milik halaman. Sedikit saja Elvaretta merusak bunga favorit Forte, tamatlah sudah riwayatnya.
Pendaratan Elvaretta di sebelah Forte berjalan mulus. Senyum jahil Elvaretta terbentuk, kedua tangannya terangkat mau melancarkan rencana jahatnya. Belum sempat Elvaretta menepuk pundak Forte dan mengagetkannya, suara datar Forte lebih dahulu menyapa gendang telinganya.
"Kak Eva, daripada menghabiskan waktu menjahiliku, mendingan kakak membantuku memberi pupuk bagian sana."
Forte tidak berpaling. Telunjuknya merujuk ke arah kanan, menuding pohon apel yang dikelilingi bunga asoka putih. Elvaretta menyipit, bagaimana Forte mengetahui keberadaannya tanpa mendengar suara? Merengut sesaat lantaran rencananya digagalkan, Elvaretta beranjak memungut sekarung pupuk organik yang disiapkan Forte di pinggir halaman. Dia menggunting ujung plastik pembungkus dengan rapi, menakar jumlah pupuk, baru menyebarkannya merata di tanah dimana pohon apel itu tumbuh.
Menyebar pupuk tidak memerlukan waktu lama, sepuluh menit cukup bagi Elvaretta menyelesaikan pekerjaannya. Si gadis menepuk pundak Forte berkali-kali demi peroleh atensinya. Forte jelas saja terganggu, dia menoleh setengah tersenyum pada Elvaretta.
"Apa sih?"
"Ada pekerjaan lain yang bisa kubantu?"
"Sirami tanaman."
Elvaretta mengangguk paham. Tatapannya beredar mencari selang air. Seruan mengudara tatkala temukan benda tersebut menggulung melingkar rapi dekat pot anggrek. Elvaretta menarik salah satu ujungnya ke keran air. Setelah menyambungkannya dengan moncong keran, dia memutar keran agar menyala. Awalnya Elvaretta kesulitan menemukan ujung satunya di tumpukan selang biru sepanjang dua meter, tetapi kemudia dia tahu ujung selangnya tidak berada di situ. Elvaretta menelusuri selang yang mengarah ke luar lingkaran-berharap ujungnya ada di akhir selang yang diikutinya. Dan dia tidak menyangka ujung selang itu bernasib jauh berbeda dari bayangannya.
Forte berdiri menginjak perpotongan selang, mengakibatkan ujung selangnya menahan tekanan air yang sempat terhentikan dan mencuat naik melampiaskan rasa tersumbatnya dan menghadiahinya semburan sekuat tenaga-kini rambut hitam Forte menuruni dahinya dengan kondisi kusut, meneteskan air tak henti-henti menuruni wajahnya. Elvaretta syok. Dia melongo tidak percaya buah kecerobohannya sangat fatal untuk orang lain. Dengan ucapan terbata-bata, Elvaretta mengumpulkan segenap keberanian meminta maaf pada Forte.
"M-Ma-Maafkan aku, Forte!"
Alis Forte berkedut. Amarahnya bertambah penuh sampai-sampai gembor air yang digenggamnya dijatuhkan secara kasar. Ini sudah keterlaluan menurutnya. Forte membuka mulutnya lebar-lebar, bermaksud mengekspresikan kekesalannya namun tertunda ketukan kasar berasal dari pintu utama, tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mereka tak bergeming. Ketukan itu semakin kasar, Elvaretta buru-buru membukakan pintu bagi tamu mereka yang tidak sabaran.
"Ya-"
"Heh, bocah, panggilkan Ibu pengurus. Dia masih hidup kan? Atau jangan-jangan ajal sudah menjemputnya?"
Elvaretta membenarkan perasaan
buruknya-membuka pintu harusnya jadi pilihan terburuk untuk diambil sebab dirinya hapal siapa dibalik pintu.
Tawa mencelos dari rombongan pria. Elvaretta memasang tampang judesnya kala kenali tamu tak bertata krama yang kunjungi panti asuhan mereka. Tawa mengejek, gurauan berlebihan, asal suruh, tidak punya sopan santun, siapa lagi kalau bukan utusan sialan perusahaan Orveton. CEO lama mereka baru saja digantikan anaknya. Dengar-dengar pergantian dilakukan mendadak karena si tua bangka terkena serangan jantung mendadak. Elvaretta dan seluruh pengguni panti berpesta ria merayakan kematian kakek tua tersebut, berarti panti terselamatkan dari teror penggusuran yang menghantui mereka sejak dua tahun terakhir.
Namun ternyata kenyataan tidak seindah ekspektasi. Pikiran CEO baru sepertinya tertular kebusukan sifat sang ayah. Mathew Sein, pemuda duapuluh tujuh tahun, menitahkan sesuatu yang lebih kejam dibanding Ayahnya.
"Lakukan apapun, yang penting tanahnya kita dapatkan."
Kalimat yang termuat dalam surat kabar terbaru menjadi mimpi buruk penghuni panti asuhan Orbidch. Dukungan tidak bertambah, justru permintaan menyerah secara damai berdatangan penuhi kotak surat mereka. Orveton, perusahaan terbesar di ibukota mengincar tanah strategis pemasaran yang dimiliki panti asuhan Orbidch. Dekat berbagai fasilitas hiburan kota Lavnyx, panti asuhan Orbidch punya bermacam-macam keuntungan tersendiri. Dan letaknya itu mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Jika per harinya dihitung, total yang diperoleh cukup memuaskan hati, maka Orveton kerahkan semua sekuat tenaga tuk dapatkan investasi berlimpah lebihi modal utama.
Elvaretta muak. Memangnya siapa mereka seenaknya mengusik kediaman rumah keduanya? Cukup rumah pertamanya yang remuk, panti asuhan Orbidch tidak akan dibiarkannya direbut. Elvaretta menyayangi Forte, Silvia, Zelle, Vrye, Dyvo, Karvion, anak-anak lain, juga ibu pengurus-mereka adalah keluarga, perpisahan bukanlah akhir yang dia inginkan.
Menolak berkali-kali dilakukan, namun Perusahaan Orveton tidak menyerah jua. Elvaretta lelah. Bukannya mereka sudah terlalu berlimpah harta kekayaan? Lantas apalagi yang diincar? Dasar orang-orang gila uang, semoga pintu neraka terbuka lebar untuk mereka.
Elvaretta menggigit bibir, tatapan tajam diarahkan pada pria gendut berdiri paling depan, "Ibu pengurus tidak punya waktu untuk orang-orang seperti kalian, silahkan pergi," ujarnya dingin.
Si gendut melotot, tawa lagi-lagi meloloskan diri. Elvaretta mendelik, apa yang lucu dari tingkahnya? Dia mendorong pintu, menutupnya sebelum terima balasan, tapi sebuah tangan menyelip masuk, menampar pipinya keras-Elvaretta terjatuh, lebam kemerahan muncul sebagai bekas.
"Kak Eva!"
Forte mengampiri, bantu Elvaretta berdiri. Gadis itu memegangi sebelah pipinya, rasa panasnya mulai menjalar. Pria gendut tersenyum, puas berhasil tutup mulut gadis tak sopan didikan panti asuhan bobrok.
"Aku tidak apa-apa, For."
"Hah, jangan sok kuat. Ditampar sedikit saja jatuh, panti asuhan ini tidak bisa mendidik dengan baik, ya? Memang baiknya dihancurkan saja."
Elvaretta diam, emosi tidak akan mempengaruhi perbuatannya. Forte sendiri geram, mengapa Kak Eva mau diperlakukan seperti itu? Mentang-mentang perempuan lebih lemah, mereka tidak dihargai. Perempuan ada untuk dilindungi bukan untuk disakiti, Forte selalu menerapkan ucapan ibunya. Menyakiti perempuan sama dengan menyakiti ibu, dosa. Oleh karenanya, bagaimana mungkin Forte berdiam diri pada situasi di depan matanya?
"Brengsek."
Umpatan kasar luput dicerna, naik melewati tenggorokan, dan keluar dari bibirnya. Sang pria melotot, bersumpah akan menghajar Forte jikalau telinganya tidak berbohong.
"Apa katamu, bocah?!"
Kepalan tangan melayang maju, secepat itu-Forte memejamkan matanya, memilih menerima sakitnya daripada harus menghindar cuma-cuma. Sedetik, dua detik, kenapa lama sekali?
"Maaf paman, di sini kami tidak menerima kekerasan."
Suara itu!
Netra kuning keemasan Forte mengintip sedikit dari balik kelopak mata, menghadiahinya sebuah pandangan melegakan. Karvion mencengkram kuat lengan si bapak gendut, mencegah tinjunya yang nyaris mengenai wajah Forte. Masa bodoh darimana datangnya sang pemuda, Forte berterimakasih dia dapatkan bantuan di saat mendesak.
Pemuda itu berkali-kali raih prestasi dan cukup kuat dalam hal bela diri. Seingatnya, walau Karvion sudah berhenti mengikuti ekstrakulikulernya, dia terus melatih kemampuannya diam-diam di kamar. Kenapa Forte tahu? Karena dia sempat memergoki Karvion menendang-nendang bantalnya sebagai lawan berlatih dan suara
berdebum jatuhnya bantal tentu mengganggu tidur cantik ala Forte-akibatnya esoknya Karvion pun diceramahi panjang lebar oleh Forte.
Intinya, sekarang keadaannya lebih baik. Setidaknya kedatangan Karvion sedikit membantu menahan utusan-utusan Orveton. Forte menarik tangan Elvaretta, membantunya berdiri pelan-pelan. Elvaretta masih memegangi sebelah pipinya, pandangan sinisnya bertambah tajam seiring Forte membawanya menjauh dari pintu.
"Kami menolak digusur, pergi kalian selagi aku berbaik hati."
Karvion terdengar marah, kemudian menyusul suara bantingan pintu cukup keras dari arah yang sama. Kaevion berhasil mengusir mereka dengan mudah. Dia mengekor kedua temannya, berjalan di sebelah Elvaretta yang mendumel sebal.
"Kau tidak apa-apa, Va?"
Elvaretta memasang tatapan apa-kau-bercanda pada Karvion, "Maaf ya, aku tidak sepertimu yang kuat, tamparannya tadi lumayan sakit."
"Perlu diolesi obat? Memerahnya lumayan parah," tawar Karvion.
"Tidak, nanti juga sembuh kok."
Forte memberi isyarat turuti-saja-keinginannya. Karvion menaikkan kedua bahunya, "Terserah kau saja, Va."
Di tengah perjalanan, aroma harus masakan tercium. Elvaretta menjentikkan jarinya setengah kaget, "Astaga, aku kan harus membantu Shevi!" Gadis itu melesat pergi, tinggalkan Forte dan Karvion bengong, menghilang di belokan dapur. Mereka saling pandang lalu pergi mengurusi urusan masing-masing.
Elvaretta membuka pintu dapur, dilihatnya Shevi sibuk mengurusi menu makan malam sendirian. Dia menggapai apron biru yang menggantung di rak, memakainya asal-asalan. Elvaretta mengambil sayur-sayuran lalu dicucinya agar bersih. Shevi nyengir, "Kak Eva, gausah buru-buru, santai aja gapapa."
"Duh dek, maaf aku lupa, tadi di depan berantem dulu sama utusannya Orveton."
"Oh, mereka belom nyerah juga ya, udah diusir kan?"
"Udah kok, sama Karvion."
Shevi reflek menoleh, "Kak Karv? Gimana gimana?"
Mulai lagi. Elvaretta mendengus-Shevi selalu tergila-gila pada Karvion. Elvaretta tidah habis pikir, memangnya apa yang membuatnya spesial? Sifatnya saja menyebalkan.
"Apanya? Biasa aja kok."
Dan obrolan mereka berlanjut mengenai Karvion. Rata-rata Shevi lebih cerewet kalau sudah menyangkut tentang Karvion. Di lain sisi, Elvaretta hanya menanggapi sedikit omongan Shevi yang melebih-lebihkan segala tindakan Karvion, seolah-olah dia merupakan lelaki terhebat di muka bumi. Ha, omong kosong. Menurut Elvaretta, Karvion hanya tebar pesona mentang-mentang ganteng. Menyebalkan sekali bagaimana sifatnya yang playboy bisa disukai banyak gadis, untung Elvareyta terlalu pintar untuk jatuh dalam pesonanya.
Makan malam di ruang makan ricuh. Penghuni panti saling berebut makanan pasalnya kedua koki yang bertugas terkenal enak masakannya. Shevi bertugas membagikan alat makan, sedangkan Elvaretta menyendokkan porsi ke tiap-tiap piring. Meski sudah ada bagian, anak-anak tetap meminta tambah. Mereka saling mendorong demi dapatkan porsi ekstra, Elvaretta sampai berulang kali memarahi beberapa anak dan menyuruh mereka tenang.
(Porsi makanan mereka harus ditakar, sebab tidak akan cukup untuk semua jika tidak disamaratakan, makanya Elvaretta memarahi mereka yang berebut memintah tambahan makanan.)
Makan malam usai pukul sepuluh malam. Shevi dan Elvaretta kembali mengangkuti piring dan gelas-gelas kotor. Bertugas memasak berarti juga bertanggung jawab mencuci peralatan makan dan dapur yang mereka pakai. Beruntungnya, makanan masakan mereka habis tak bersisa hingga tidak perlu untuk membuang makanan, cukup dicuci saja.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas ketika Elvaretta masuk ke kamarnya. Teman sekamarnya, Ashvana ditemukan tergeletak di kasur-tidur pulas dengan posisi tangan dan kaki yang berantakan. Elvaretta menggosok gigi dan mencuci mukanya, itu kebiasaannya setiap malam. Mematikan lampu, gadis itu naik ke ranjangnya di bagian atas lalu bersiap tidur karena besok hari yang baru dimulai baginya.
***
part 2 : 2810 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro