G o o d · b y e
Helios memegangi kepalanya yang telah dibalut oleh Ariadne, dia dapat mendengar gelombang suara Ariadne di atas sana. Hal itu juga yang menyelamatkan mereka saat panah melayang, begitu juga dengan kemampuannya untuk merasakan bahaya. Tetapi, saat itu, Helios tidak yakin apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukannya seandainya hal itu benar.
Kekasihnya ataukah dunianya?
Dunia mereka kini sudah separuh hancur sejak Irishviel meninggalkan mereka dan pergi ke dunia manusia. Ketika sang raja-- ayah mereka, akhirnya kehabisan cara untuk keluar dari situasi itu pilihannya hanyalah mengambil alih dunia milik Ariadne. Pada awalnya, dia yakin jika sang ayah tidak akan melakukan hal sehina itu sampai kesebelas kakaknya mati berlumuran darah akibat racun.
Kematian paling menyedihkan bagi makhluk berusia ribuan tahun seperti mereka. Helios menggeleng, pilihannya kini sudah bulat setelah menyaksikan semua itu. Dia akan menyelamatkan Ariadne dan dunianya, apa yang sudah hancur tidak dapat diperbaiki tetapi sesuatu yang rusak masih dapat diperbaiki.
Helios mengeluarkan pedang yang tersampir di pinggangnya begitu mendengar gelombang suara Ariadne yang bergetar, giginya bergemelutuk. Dia tidak yakin makhluk jenis apakah pria yang berada di depan kekasihnya, suara pria itu hampir tidak dapat ia kenali. Bukan manusia, bukan juga peri. Telah tercampur dengan sihir.
Dia kemudian menerjang ke depan dan menebas pedangnya begitu jarak mereka tidak lagi jauh, tetapi Dean dengan gesit menghindar ke samping. Tertawa ringan, "kau sudah datang?"
"Dean?"
"Lama tidak bertemu."
Helios mengatupkan mulutnya, tidak menyangka dapat bertemu dengan sepupunya. Pria itu tampak berbeda dengan saat kali terakhir mereka bertemu. Sebelum kedua orang tuanya meregang nyawa dalam salah satu peristiwa yang menyumbang seperempat kehancuran Yverdale.
"Bukankah seharusnya kau tidak perlu terkejut, mengingat ayahmu yang memerintahkanku dan menggunakan nyawa sebagian rakyat untuk membuka gerbang." Dean menyeringai, sambil terus menghindari tebasan pedang dari Helios.
Benar. Bagaimana mungkin hal itu tidak terpikirkan oleh Helios sejak awal, bukankah terlalu janggal apabila hukuman untuk Irishviel menyebabkan kematian seperempat rakyat? Jadi, ayahnya sudah merencanakan ini jauh lebih lama?
Genggaman pada pedangnya mengencang, inikah yang terjadi jika mereka melakukan pelanggaran dan mengagungkan kekuatan? Kali ini, Dean tidak lagi menghindar dan balas menyerang, membuat keuntungan Helios semakin menipis. Dengan keadaan kepala terluka, kecepatan serta kekuatannya berkurang cukup banyak.
Tidak mungkin dia bisa memenangkan pertarungan ini. Helios melirik Ariadne sekilas yang tengah menggigit bibirnya dengan frustasi, dia berteriak dengan kencang. "Ini bukan saatnya untuk berduka! Tunjukkanlah kekuatanmu Ariadne."
"Dia yang menyebabkan saudaramu mati Helios."
Mendengar itu, Helios kehilangan fokusnya sesaat. Sebelum dia mampu melayangkan serangan lain atau menghindar, Dean mengambil kesempatan yang telah dinantinya untuk menyerang dan menghunuskan pedang, membuat darah mengaliri pedang dan jatuh ke atas tanah.
"Ariadne!"
Ariadne tersentak, pikirannya dipenuhi oleh kabut. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya saat ini, mustahil untuk kembali dengan pendarahan sebanyak ini berserta kedua kaki dan satu tangan terluka. Jika dia dapat bertahan lebih dari setengah jam saja sudah merupakan keajaiban.
Keajaiban.
Itulah yang dibutuhkannya sekarang.
Tetapi, bagaimana caranya? Dengan apa dia harus melakukannya? Ariadne menarik napas gusar, satu pemikiran konyol terlintas di benaknya. Meski begitu, tidak ada banyak pilihan yan tersedia. Dia harus mengakhiri ini semua di sini dan saat ini. Mengakhiri kutukan yang mengikuti mereka karena satu dosa ibu dan ayahnya.
Ariadne memandangi pertarungan Helios dengan Dean yang tidak lagi seimbang lalu memejamkan mata. Berusaha mengais ingatannya tentang sihir dan memanggil sihir itu sendiri. Mencari dawai yang pernah terikat dengannya saat dia membuka gerbang.
Setelah meraba-raba dawai itu untuk beberapa waktu, Ariadne mendapatkannya. Dan begitu dia menggenggam dawai tersebut, kesadarannya ditarik oleh kekuatan yang besar beriringan dengan runtuhnya dunia yang ia pijaki, digantikan dengan ruangan hitam tanpa akhir.
Kau ingin kekuatan?
Ariadne memandangi seorang gadis dengan pakaian putih yang compang-camping dan berlumuran darah-- cerminan dari dirinya sendiri.
Ini seperti lingkaran tanpa akhir ya, dirinya di seberang sana tersenyum lebar, membuat Ariadne merinding. Aku dapat memberikannya padamu.
"Apa kau akan meminta harga untuk itu?"
Terdengar tawa yang serak, aku tidak suka memberikan sesuatu secara gratis. Pikirkanlah, aku dapat membantumu membalas dendam, menyelamatkan nyawa kekasihmu, dan menjamin keamanan duniamu.
"Dengan kau yang mengendalikannya?"
Aku menyukai keberanian dan tekadmu. Jika kau menginginkanku kemarilah. Dia merentangkan tangan lebar-lebar.
Ariadne mengepalkan tangan. Kembali teringat dengan janji yang dibuatnya bersama Caravelle, jika dia kembali menggunakan sihir, semua ini tidak akan pernah berhenti. Kembali mengorbankan banyak nyawa seperti yang dilakukan oleh Caravelle, ibunya, Dean, dan raja Yverdale.
Tidak. Semua ini harus berakhir di sini. Dia mengangkat wajahnya, menatap dirinya sendiri dengan yakin. "Aku tidak membutuhkanmu." Dengan itu, kesadarannya ditarik dan dia kembali pada kenyataan.
Melihat tubuh Helios yang penuh dengan luka dan Dean yang hendak menusuknya tepat di atas jantung, sebelum pria itu dapat membunuhnya, Ariadne merangsek ke depan, meraih pedang Helios yang terjatuh tidak jauh dari sana dan memaksa kakinya untuk bangkit berdiri.
Diayunkannya pedang itu untuk memotong kepala Dean, membuat darah menyembuar keluar dan membasahi Helios di bawah sana. Dean langsung berdecak dan terbatuk, berusaha menghapus darah dari wajahnya dengan tangan. Dia tersenyum melihat Ariadne yang tengah mengatur napasnya, kemudian terjatuh di sisinya.
"Bagaimana pengalaman pertamamu menggunakan pedang?"
Ariadne menggeleng, "buruk. Ijinkan aku beristirahat untuk sesaat sebelum membunuh ayahku."
Helios tertawa pelan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro