Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A c t -003


· · ────── ·𖥸· ────── · ·

"Tidak bisakah untuk hari ini kita tetap berada di sini?"

Pertanyaan Ariadne memancing cemoohan dari beberapa kakaknya, mereka menatap Ariadne dengan masam. "Bukankah sudah kita sepakati hal ini sejak awal?" geram Kaira sambil menyatukan rambut hijau gelapnya dalam satu ikatan, dia menatap Ariadne yang tengah duduk di atas sofa dengan kedua alis tertekuk. "Apa lagi alasanmu kali ini? Mimpi tentang ibu? Pembunuhan? Atau dikejar sihir?"

Ariadne mengeraskan rahang, "aku hanya tidak ingin kalian mengalami sesuatu yang buruk hanya karena ini."

Kaira mendecih dan beranjak dari depan meja rias, dia mulai muak dengan ketakutan adiknya yang paling kecil. Mereka sudah sepakat sejak awal untuk melakukan ini, mengesampingkan segala risiko yang mungkin akan dihadapi.

Gallene melemparkan tatapan meyakinkan pada beberapa orang yang berada di sana untuk pergi dan menyiapkan ritual terlebih dahulu. Dia kemudian duduk di sisi Ariadne, mengenggam tangan milik adiknya yang dingin. "Aku bukan tidak ingin mengikuti saranmu Adne," gumamnya, dia memastikan Ariadne menatap kedua mata biru kelabu miliknya. Ariadne tersenyum kecut melihat itu, Gallene, Arne, dan Caravelle adalah yang paling banyak membayar atas sihir atau kutukan ini, mengakibatkan warna rambut Arne memudar, mata bagi Gallene, dan keduanya bagi Caravelle.

"Kau tahu, perjanjiannya adalah kita tetap melakukan ini, setidaknya sampai perjanjiannya cukup."

Ariadne mengepalkan tangan, tidak ada pilihan lain. Dia juga tidak mampu memutuskan untuk tetap di sini hanya karena firasat dan perkataan Helios, apa yang mereka hadapi saat ini jauh lebih nyata. Ariadne mengangguk pasrah. "Biarkan aku yang memberinya racun." Tidak ada nada goyah seperti beberapa waktu lalu di sana, membuat Gallene terpaku sesaat dan melebarkan senyum.

"Baiklah. Jangan terlalu lama, kurasa Kaira baru saja mengalami hari yang buruk."

Setelah mengambil botol dengan ukiran bunga yang berbeda, Ariadne bergegas menuju pintu. Mendapati Dean duduk di sana dengan jubah hitam menutupi seragamnya. Dia melambai dengan antusias, membuat Dean terkekeh dan tersenyum. "Kau sangat bersemangat. Apa terjadi sesuatu?"

Ariadne mengendikkan bahu, "entahlah. Kau haus atau lelah? Kali ini aku memberikan sesuatu yang berbeda untukmu." Ariadne menyerahkan secangkir gelas yang diterima oleh Dean dengan tangan kirinya sebelum dia menyadari sesuatu dan berdeham, "apa yang kau bawa kali ini?"

"Minuman khusus yang kubuat untukmu. Kupikir kau tidak terlalu menyukai anggur."

Dean mengangkat alisnya, "benarkah?" senyuman ramah itu masih terplester di wajahnya, dia kemudian mencicipinya dan tersenyum lebar. "Ini enak. Sangat sesuai dengan seleraku."

Ariadne membalas senyum itu dengan lega, "semoga kau menikmati malammu." Dia kemudian berjalan kembali, ke tempat di mana saudarinya yang lain telah menunggu.

Setelah berjalan melalui hutan selama kurang lebih sepuluh menit, Ariadne dapat melihat kedua belas pangeran telah menunggu di atas sana. Berbanding terbalik dengan ekspresi bahagia kakak-kakaknya, Helios melemparkan tatapan lega, meski hal itu kontras dengan tangannya yang dikatupkan di samping dan rahangnya yang mengeras.

"Aku berjanji akan melindungimu," bisik Helios sambil memandu Ariadne naik ke atas perahu yang diangguki oleh Ariadne. Kali ini hanya keheningan yang menyertai mereka dan desau angin yang lebih kencang daripada hari-hari sebelumnya.

Begitu mereka sampai di reruntuhan yang lainnya telah lebih dahulu menari secara bebas, tersenyum bahagia di bawah cahaya bulan dan kunang-kunang serta iringan suara angin dan binatang. 

Perasaan gelisah Ariadne menguap untuk sesaat melihat pemandangan di hadapannya, melihat saudarinya tertawa bahagia dan terlihat begitu bebas. Seolah segala beban dan penderitaan tanpa makna itu tidak pernah ada. 

"Kau mau menari?" Tanya Helios, Ariadne memandangi uluran tangan itu selama beberapa detik sebelum meraih dan menariknya untuk duduk bersisian. "Setelah babak pertama, saat ini yang ingin kulakukan hanyalah menikmati kebahagaiaan mereka." Karena setelah kematian sang ibu dan dilarang untuk menari, yang dilakukan oleh mereka sehari-hari hanyalah bergelut di dalam kasur. Menyisakan Ariadne dan Caravelle yang tetap bertahan, lantaran dirinya sendiri tidak terlalu dekat dengan sang ibu sementara Caravelle harus tetap kuat untuk adik-adiknya yang lain. 

Suara dentingan gelas dengan retakan marmer membuat Ariadne menoleh, tetapi suara Thomas yang cukup kencang membuatnya kembali. "Wuah, harusnya kalian ikut menari." Dia meraih satu gelas dan menuang cairan berwarna ungu pekat, "Myve, kau mau?" 

Gadis itu mengangguk dan menghabiskannya dalam satu tegukan diikuti yang lainnya, berusaha menghilangkan dahaga dengan anggur. 

"Bukankah lebih baik mengambil air?" celetukan Ariadne sukses memancing tawa Helios. 

"Kalian habiskan saja dulu, aku akan menari dengan Helios." Dia menarik tangan Helios dan menjauh dari sana menuju lingkaran yang bersinar dengan macam-macam warna, sesuai bunga yang terukir di sana. "Kau ingin memulainya dengan apa?" 

"Fifth position?

Ariadne tersenyum dan mengambil beberapa langkah ke belakang. 

"Ariadne!" seruan dari salah satu kakaknya, membuat dia dan Helios menoleh. Di sana, tujuh saudara Helios terbujur kaku di atas tanah. Sementara, empat di antaranya berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin agar tetap bernapas. Wajah mereka perlahan memucat dengan darah segar mengalir keluar dari hidung. 

Thomas adalah yang tumbang berikutnya setelah terbatuk dan memuntahkan darah segar ke atas tanah selama beberapa kali. Membuat Myve langsung bersimpuh di hadapannya, menangkap tubuh Thomas yang jatuh sambil berusaha melakukan sesuatu yang tampaknya mustahil. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain melihat Thomas mati perlahan dengan wajah yang semakin pucat. Senyum terukir di wajahnya. 

"Kenapa hanya mereka?" tanya Caravelle pada Ariadne, berusaha tidak terpengaruh, "apa minuman itu adalah kebalikan dari yang dimiliki oleh kita?" 

Ariadne menegak salivanya, Caravelle tidak tahu jika racun yang sama ada di dalam kamar mereka selama ini. Sesuatu yang ia coba gunakan untuk membunuh Dean seandainya dia adalah seorang dari Yrvandale. 

"Menunduk!" Helios melompat ke depan di tengah kekacauan itu, membuat dirinya dan Ariadne terjungkal ke bawah tanpa persiapan dan menghantam pohon di sana. Ariadne meringis begitu merasakan pakaiannya robek oleh salah satu batang pohon dan mengiris kulitnya, "Helios kau baik-baik saja?" Ariadne memegangi kepalanya yang terasa pusing akibat kejadian tadi. 

Terdengar erangan kecil dari Helios sebelum pria itu akhirnya dengan susah payah duduk.

"Aku akan kembali, kau duduklah di sini untuk beberapa waktu." Ariadne merobek pakaiannya dan menutupi luka di kepala Helios dengan terburu lalu beranjak dari sana, dia menoleh begitu tangan Helios menarik lengannya. Helios menggeleng, "jangan. Siapapun dia, kau akan mati kalau kembali. Dia telah merencanakan semua ini."

Ariadne mengigit bibirnya, dia benci momen ketika harus memilih. Sama seperti saat dimana dia harus memutuskan untuk mengikuti aturang sang ayah atau kakak-kakaknya. Kali ini adalah nyawanya sendiri atau-- 

"Apa rencananya?" 

"Kerajaanmu, duniamu," lirih Helios. "Maaf tidak memberitahumu lebih awal, aku hanya," ucapannya terputus dengan langkah lebar Ariadne yang berlari untuk kembali. Mengabaikan teriakan Helios di belakang sana, jika harus memilih lagi, dia ingin mengambil pilihan yang tidak membuatnya menyesal. 

"Caravelle," lirihnya sambil berlari mendekati kakaknya yang bersimbah darah, dia langsung merobek pakaiannya dan berusaha menghentikan pendarahan di perut Caravelle yang tertusuk panah. Tubuhnya bergetar melihat pemandangan yang terpampang di sekitar, begitu banyak tubuh yang bersimbah darah dan mereka adalah saudaranya. Keluarganya. 

"Hei." Satu tangan Caravelle yang dipenuhi oleh darah meraih pipi Ariadne, memaksa gadis itu untuk menatap matanya yang berkaca-kaca dan semakin sayu, "kau adalah yang paling kuat di antara kami meski aku jelas lebih kuat," kekehnya. Caravelle terdiam untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "jangan terlibat dengan sihir. Mereka akan berbalik mengutukmu Adne, apa pun yang terjadi, jangan gunakan sihir." 

"Ti-"

Caravelle menutup mulut Ariadne, melirik ke samping dengan waspada, "pergilah, Gallene sedang mengulur waktu. Tetapi pemburu itu akan segera datang," ucapnya dengan terbata. Berusaha mempertahankan kesadarannya yang semakin menipis. 

Ariadne menggigit bibir dan mengangguk, mengusap air mata dengan kasar lalu bangkit berdiri dan berlari. Sebelum benar-benar keluar dari sana, Ariadne menyempatkan diri untuk melihat tempat Helios yang telah kosong. Hanya menyisakan jejak darah, bukti kalau mereka pernah berada di sana. 

Kakinya mengambil langkah lebar-lebar, mengabaikan sepatunya yang mulai rusak dan melukai kakinya. Dalam tiap langkah yang ia ambil, Ariadne dapat merasakan kulitnya yang robek akibat menginjak beberapa duri, tetapi adrenalin yang terpacu dan fokusnya pada kembali membuat rasa sakit itu terabaikan. 

Lari dan selamat.
Lari dan selamat.

Ariadne terus mengulangi kata-kata yang sama, dia harus tetap hidup untuk memberitahukan kekacauan ini pada sang ayah. 

Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan, apa alasan dari semua penderitaan ini? Mengapa mereka harus menanggung semua ini? Padahal sejak awal, keinginan mereka hanyalah menari. Dadanya mulai sesak dan napasnya memburu tetapi dia tidak boleh menangis saat ini. Tidak ketika nasib mereka berada di tangannya.

Kedua tangan Ariadne terkepal dan langkahnya semakin cepat, dia bisa mendengar suara danau di depan sana. Senyumnya mengembang, ia masih memiliki kesempatan untuk menolong mereka. Tunggulah, aku akan menyelamatkanmu Cara.

"Kau berniat meninggalkan mereka di belakang?" 

Suara yang familier di telinga itu membuatnya menoleh, tetapi tidak menghentikan langkah. Di sana, di belakang, berdirilah Dean dengan busur serta anak panah diarahkan padanya. Pria itu tersenyum lebar melihat kekacauan yang dialami Ariadne, "kau tampak lebih cantik dengan pakaian putih bernoda darah. Sesuai dengan kisah tragis yang sering kubaca." 

Ariadne berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar atau menerjang maju dengan bodoh, dia kembali fokus untuk mendekati danau.

"Kau gigih sekali," decak Dean sambil melepaskan satu anak panah yang menembus kaki Ariadne, membuatnya ambruk seketika. Satu pekikan tertahan lolos dari mulutnya, tidak membiarkan rasa sakit mengambil alih, Ariadne merangkak untuk mendekati perahu. 

Dean merotasikan matanya dan melepaskan satu panah lagi, kali ini menembus lengannya.

"Kau peri?" tanya Ariadne disela rasa sakit, semua bangsa Yverdale adalah seorang peri dengan kemampuan sihir yang luarbiasa. Berbanding terbalik dengan bangsanya yang tidak memiliki kemampuan sama sekali, kecuali mereka mengajukan perjanjian atau pertukaran yang setara. Tidak adil memang. 

Dean menarik satu sudut bibirnya, membentuk seringai. "Benar."

Kening Ariadne berkerut, seharusnya pria itu sudah mati. Dia bahkan melebihi racun dalam minuman itu, tidak mungkin Dean masih dapat bergerak dengan sangat lincah di hadapannya.

"Botol ini maksudmu?" Dean menggoyangkan satu botol dengan ukiran yang sama dengan yang dia gunakan, "bunga eve? Eksperimen menggunakan bunga ambrosia kalau aku tidak salah. Akibat dari perbuatanmu, para pangeran itu mati." Dean berdiri di depan Ariadne dengan senyum pongah, "dan sayangnya kau tidak bisa membunuhku dengan racun." 

"Keparat," geram Ariadne, kedua wajahnya memerah. Perasaannya kini bercampur aduk menjadi satu, dia tidak tahu harus merasa marah karena dipermainkan atau hancur. Racun yang dibuatnya menjadi pedang bermata dua yang menusuknya, dia adalah sumber kehancuran mereka. Jika para pangeran masih hidup, kesebelas kakaknya tidak akan mati, dan Danelah yang akan berada di sana. 

Menderita dan memohon atas nyawanya.

"Tidakkah kau tahu kalau mataku yang ini sudah rusak?" Dean terkekeh, mengangkat poni yang menutupi dan menunjuk mata kanannya. "Sebuah pertukaran untuk kekebalan tubuh."

Ariadne mengeraskan rahang dan kedua tangannya. Benar. Dia tidak fokus pada detail kecil seperti itu, pantas saja Dean selalu berusaha untuk mengarahkan sesuatu pada bagian kiri. Jika saja dia lebih cepat sadar, lantas apa?

Apa yang bisa dia lakukan untuk mencegah semua ini terjadi? Dia tidak memiliki sihir dan satu-satunya kesuksesan yang ia perbuat berbalik menghantuinya. Rasa bersalah itu menggerogoti hati, terlebih ketika dia mengingat Myve yang memohon atas nyawa Thomas.

"Apa tidak ada jalan lain?" lirihnya, satu tetes air jatuh ke tanah selagi Ariadne bersimpuh, darah mengalir semakin banyak. 

"Itulah kutukannya," ucap Dean, tatapan pongahnya perlahan luntur tergantikan dengan padangan tajam yang menusuk. Dingin, tanpa perasaan, seolah telah melihat banyak kematian dan penderitaan di hadapannya. "Hadiah atas dosa yang diperbuat oleh ayah dan ibumu." 

Ariadne mengangkat kepalanya, menatap Dean dengan bertanya-tanya. 

"Kurasa kau belum mengetahui apa pun." Dia mengeraskan rahang, "raja pengecut itu bahkan tidak mau mengakui dosanya," ucapnya diakhiri oleh senyum lebar, Dean lantas tertawa terbahak, memegangi wajahnya dan menggeleng tidak percaya. Menganggap apa yang terjadi saat ini adalah lelucon. 

"Katakan, apa yang kau ketahui," desak Ariadne, menghentikan tingkah Dean yang menggila. Dia tidak peduli dengan keadaan jiwa Dean yang sepertinya tidak stabil, serupa dengan apa yang dialami oleh Caravelle dahulu. "Katakan sebelum aku mematahkan tulangmu." 

Dean menatap Ariadne dan tertawa, "ibumu melanggar peraturan dengan membuka gerbang yang menjadi jembatan antara duniaku dengan milikmu." Jari telunjuknya mengarah pada lokasi reruntuhan yang mereka gunakan, "di sanalah letaknya. Tarian itu menjadi kuncinya. Merusak keseimbangan di antara dua dunia. Dan ayahmu memperburuk situasi itu dengan jatuh cinta, memaksakan pelanggaran dan menghancurkan gerbang." 

Pria itu sengaja menghentikan kisahnya, menikmati bagaiman raut Ariadne yang berubah disetiap kata yang ia ucapkan. "Para penjaga lalu memutuskan untuk memasang kutukan jika mereka tetap bersama, mematahkan kedua kaki ibumu dan membiarkan wanita itu hancur dengan obsesinya." Dia menelengkan kepala, berlutut di hadapan Ariadne, "lalu kalian kembali meneruskan larangan itu, benar-benar bodoh. Kurasa kutukannya tidak berhenti di sana, ketika kalian memulai ritual dan menggunakan sihir semuanya kembali berlanjut."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro