Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A c t -001


· · ────── ·𖥸· ────── · ·

"Kau tidak mau bersiap?"

Ariadne terlonjak dari tempatnya duduk begitu mendengar suara nyaring kakaknya yang paling tua, Caravelle, bergema di dalam kamar yang cukup luas untuk mereka berdua belas. Membuyarkan lamunannya perihal mimpi buruk semalam. "Sudah waktunya?"

Caravelle mengerutkan kening, menatap saudaranya yang paling kecil dengan heran. Dia lantas mengankat dagu, menunjuk jarum panjang yang berhenti di angka sebelas. "Kau tidak mau ikut?" tanyanya retoris dengan kedua alis terangkat sementara kedua tangan ia silangkan di dada. "Kau tidak mungkin tidak ikut."

Ariadne memasang senyum masam dan menggangguk lemah, beranjak dari tempat tidurnya dan duduk di depan meja rias. Memperhatikan pipinya yang semakin tirus sementara kedua matanya mulai kehilangan cahaya, layaknya bintang yang mati.

Kira-kira berapa lama lagi penderitaan ini akan berakhir? 

Ariadne mulai muak dengan semua yang terjadi. 

Semua ini berawal dari kematian sang ibu dan hukuman(mereka lebih suka menyebutnya seperti itu) bodoh sang ayah, mengantarkan Caravelle pada kehancuran. Lantas ketika perasaannya mengambil kontrol, Caravelle menemukan sesuatu yang tidak seharusnya mereka ketahui. 

Di bagian lain kamar ini tersimpan berbagai buku mengenai sihir atau kutukan- Ariadne merasa sebutan itu lebih cocok karena mereka meminta harga yang setara untuk setiap hal yang diberikan.

Dan dari sanalah mereka menemukan suatu cara untuk tetap menari. Tidak peduli seberapa kejam, seberapa licik, dan seberapa biadapnya sihir itu. Karena, ketika Caravelle mulai mengiris tangannya dan bersumpah setia pada sihir mereka tidak dapat kembali. Tidak banyak yang bisa Ariadne lakukan selain menatap iba Caravelle saat itu, dia adalah sosok yang paling terluka atas kepergian ibu mereka, sosok yang harus tetap tegar sekalipun sedang berduka.

Dia menghela napas, memastikan riasan yang ia pakai sudah menutupi kulit pucatnya lalu kembali termenung. 

Hal ini sukses membuat Gallene yang menunggunya gemas, "ayo," ucap Gallene pelan sambil memasang pointe shoes di kaki kirinya, dia terkekeh begitu melihat sang adik mengigiti bibirnya dan beberapa kali meremas gaunnya yang berwarna pink muda. "Semua akan baik-baik saja, sejauh ini raja tidak bisa menemukan tempat itu." Dia berjalan mendekati Ariadne dan menepuk punggung gadis itu. "Hari ini giliran kita."

Ariadne menatap pantulan dirinya sekali lagi dan Gallene, kakaknya itu tampak bercahaya. Penuh semangat dan kehidupan, seakan tidak ada yang bisa menganggu hidupnya sekalipun berada di tempat ini atau telah membunuh banyak orang. Ariadne menggeleng lalu meraih sebuah botol dengan bunga anemone yang terukir di luar sebelum bangkit dan mengikuti Gallene. 

Seandainya dahulu, jika dia mengetahui mereka harus berjalan sejauh ini, melukai lebih banyak orang atas keinginan itu, ia mulai meragukan sihir dan keinginannya ini. Satu tepukan ringan di pundak membuat dia tersadar, mempercepat langkahnya sebelum tengah malam tiba.

"Kau mau yang memberikannya?" tanya Gallene saat mereka sampai di depan pintu, gadis itu memandangi seorang pria yang kali ini tampak lebih muda ketimbang sebelum-sebelumnya. Gallene melirik Ariadne lalu memberikan tatapan menilai pada pria itu, dia mengulas senyum kaku dan mendorong Ariadne untuk maju ke depan lantas menyerahkan gelas anggur padanya. "Kebetulan kau yang membawa anggur itu," kekehnya.

Ariadne merotasikan mata dan berjalan cepat menghampiri, dia berdeham pelan sambil menyunggingkan senyum semanis mungkin. "Kau jauh lebih muda daripada prajurit yang lainnya."

Pria itu kemudian mengangkat kepalanya, membuat dua obsidian hijau miliknya bertabrakkan dengan milik Ariadne, mengantarkan sengatan dingin yang mematikan di sekujur tubuhnya dan  menghilang seketika saat pria itu tersenyum, "ah," dia menggaruk kepalanya canggung, membuat Ariadne teralihkan pada lesung pipi miliknya -dia tampak sepuluh kali lebih memikat dengan itu. "Aku hanya ingin mencoba peruntungan, membantu meneruskan sesuatu."

"Kau ingin meneruskan usaha orangtuamu?" Dengan menemukan rahasia mereka, prajurit yang berhasil akan bergelimangan harta serta mendapat kesempatan untuk menikahi salah satu dari mereka. Meski sejauh ini belum ada yang berhasil melakukannya.

Pria itu memandangi wajah Ariadne selama beberapa sekon, seolah berusah mencetaknya di dalam ingatan. Kemudian dia kembali tersenyum, mengulurkan tangan sedikit terlalu ke kiri dan bersuara pelan, "Dean Mør."

Sesaat rasa ragu melingkupi hati terlebih ketika netra cokelatnya menangkap tato bunga anemone serupa milik ibunya di tangan Dean. Tetapi segara ditepisnya perasaan asing itu dan bergeser sedikit ke kiri, membalas keramahan pria bernama Dean. "Ariadne."

Tanpa mengulur lebih banyak waktu lagi, dia menuangkan cairan keunguan pekat ke dalam gelas dan menyodorkannya pada pria itu. "Nikmatilah, hadiah untukmu." Ariadne memalingkan muka, berusaha untuk tidak bertatapan dengan Dean yang mulai menyesap anggur lantas beranjak dari sana. Menyusul saudarinya yang sudah berdiri di tengah lingkaran.

Caravelle telah menggenggam pisau di tangan, bersisian dengan Arne -kakak kedua- memegang sebuah mangkuk emas berukiran rumit. Begitu melihat semuanya telah berkumpul dia tersenyum lebar, tidak bisa menahan rasa semangatnya. Tanpa mengulur waktu, Caravelle mengiris tangannya, membuat tetes demi tetes darah mengisi mangkuk yang dipegang oleh Arne. 

Berbanding terbalik dengan ekspresi kakaknya yang begitu bahagia, kekhawatiran melingkupi hati Ariadne. Membuatnya seribu kali lebih gelisah.

Terhitung tiga bulan semenjak mereka melakukan ini, dan mimpinya berjalan semakin buruk.

Mereka kemudian menebalkan dekor lingkaran itu dengan darah Caravelle, lalu membentuk satu lagi dengan ukuran yang lebih kecil masing-masing berjumlah dua belas, setelah itu berdiri di dalamnya dan menggumamkan beberapa mantra(menurut Caravelle cara ini akan membuat sihir lebih ampuh, meski sebenarnya tidak), membuat sinar merah melewati garis demi garis dari darah dan bercabang menjadi empat garis memanjang yang berhenti di tengah. Garis-garis itu kemudian membuat sebuah lingkaran.

"Dimulai darimu," Caravelle menatap Ariadne dan dilanjut dengan Arne yang memberinya anggukan meyakinkan.

Dalam satu tarikan napas, Ariadne melangkah ke depan, keluar dari dalam lingkaran kecil itu dan berjalan turun. Undakan demi undakan tangga perlahan dirambati oleh lumut di sisi-sisinya, membuat Ariadne harus lebih berhati-hati dan memegang batu tinggi di samping agar tidak terjatuh dari tangga yang cukup terjal. Api-api kecil yang berada di atasnya juga tidak memberi banyak pengaruh. 

Setelah beberapa menit dilalui, kedua belas putri itu telah tiba di penghujung hutan di mana dua belas perahu kecil telah menunggu di atas danau, di sana berdirilah dua belas pria yang siap mendayung. 

Jeanne-- kakaknya yang keempat adalah orang pertama yang berlari menghampiri mereka, diikuti oleh Arne, dan terakhir ialah Caravell. Ariadne tersenyum tipis melihat ekspresi kebahagiaan yang jelas itu, sementara dirinya tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Dia meremas gaunnya. 

"Kau baik-baik saja?" Sebuah mantel disampirkan di punggungnya, membuat Ariadne menoleh dengan senyum terukir di bibir merahnya. "Kau sendiri?" Dia mengeratkan mantel, dan mendorong pelan tubuh Helios ke samping, membuat pria itu tertawa. 

"Siap untuk berpetualang?" Helios membungkuk dan mengulurkan tangan ke depan.

Ariadne menggeleng gemas dan meraih tangan Helios yang dingin, mengikuti pria itu menuntunnya naik ke atas kapal, menyusul kesebelas saudarinya yang telah lebih dahulu berangkat. "Kau merasa cuaca hari ini lebih dingin daripada yang seharusnya?" 

Helios yang tengah mendayung menatap Ariadne sesaat sebelum mengangguk, "itu sebabnya aku membawa mantel untukmu," ucapnya, sementara kedua netra hitam itu terpaku pada wajah Ariadne yang bersinar di bawah cahaya bulan. Menikmati momen mereka yang berharga. 

"Helios," gumam Ariadne, kakinya bergerak gelisah, "apa kau suatu saat nanti dapat-" sebelum menyelesaikan kalimatnya Ariadne menggeleng dan mengepalkan tangan, "ah tidak. Apa kau mau menghabiskan waktu lebih lama kali ini?" 

Mulut Helios terbuka sebelum kembali menutup, membiarkan suara hembusan angin di antara pepohonan di sekitar mereka mengisi keheningan selama beberapa waktu sebelum akhirnya dia berbicara dengan nada pelan, "seandainya aku bisa." Binar di matanya meredup dan tangannya bergerak lebih lambat, "tapi mari kita melakukan yang terbaik malam ini. Seolah tidak ada hari esok." 


· · ────── ·𖥸· ────── · ·

pointe shoes
-;pointe shoes ini ada beberapa jenis dan disesuaikan model kaki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro