Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6

Mulai malam itu Takao memutuskan untuk menginap di tempat Yuza setelah Yuza menawarkannya.

Apartemen milik Yuza memang hanya memiliki satu kamar tidur, dapur kecil yang langsung terhubung dengan living room, dan satu kamar mandi.

Untuk itu, Takao harus bersabar dengan tidur di sofa yang terdapat di living room—setidaknya itu masih lebih baik dari pada harus tidur di jalanan.

Mereka mulai masuk ke dalam gedung apartemen yang memiliki 3 lantai itu, dan langsung disambut oleh meja resepsionis yang saat itu kosong, sofa-sofa yang biasa dipakai oleh penyewa apartemen untuk menerima tamu dan sebuah pintu yang menghubungkan langsung ke anak tangga di apartemen itu.

Tangga yang mereka lewati tampak remang-remang karena hanya ada sedikit pencahayaan di sepanjang anak tangga. Mereka menaiki tangga dengan keadaan hening, tanpa berbicara sedikit pun.

Ketika mereka membuka pintu di lantai 3, mereka langsung disambut oleh pemandangan koridor apartemen yang tampak sepi dengan pencahayaannya yang hampir tidak ada. Mereka terus berjalan sampai di bilik apartemen yang terletak paling ujung.

Yuza pun langsung membuka pintu berwarna cream itu. Tentu saja pintunya tidak terkunci karena Yuza tadi buru-buru pergi ke tempat Takao.

Bahkan seharusnya pintu itu tidak tertutup, tapi karena keseharian Yuza yang selalu dipenuhi hal-hal yang tidak masuk akal jadi ia sama sekali tidak merasa curiga.

"Masuklah, anggap saja rumah sendiri." Ucap Yuza sambil mempersilahkan Takao masuk.

Takao masuk sambil memperhatikan seisi ruangan dengan seksama.

Ketika Yuza mempersilahkannya untuk duduk, dia pun duduk di sofa yang berada di depan TV. Perhatian Takao seketika teralihkan pada sepirang nasi kari yang terletak di atas meja di depannya.

Itu adalah masakan neneknya. Masakan yang belum lama ini ia makan, tapi entah kenapa malah membuatnya sangat rindu sampai membuat dadanya terasa sesak.

Yuza yang datang dari arah dapur lalu memberikan segelas air putih kepada Takao. Ia menyadari saat itu Takao terus memperhatikan nasi kari yang tadi ia tinggalkan di meja.

"Karinya sangat enak, itu kari terbaik yang pernah aku makan." Ucap Yuza sembari mengambil tempat duduk di sebelah Takao.

Takao tersenyum ke arah Yuza. "Tentu saja, nenekku kan koki terbaik yang aku tahu sampai saat ini." Balas Takao yang tahu bahwa Yuza memang bersungguh-sungguh memuji masakan itu.

"Aku masih menyimpan yang lain, kau mau makan juga?" tawar Yuza.

"Tidak perlu, tenang saja aku tadi sudah makan karinya sampai kenyang. Lagi pula kari itu sengaja dimasak nenekku khusus untukmu." Jawab Takao sembari mulai meneguk air yang tadi diberikan Yuza.

"Kalau begitu, aku lanjut makan dulu ya."

Setelah dibalas anggukan oleh Takao, Yuza mulai melanjutkan makanannya yang tadi sempat terhenti.

Keadaan kembali hening dan sedikit canggung. Hanya ada suara pelan dari Yuza yang sedang memakan nasi karinya dengan perlahan, dan TV yang sejak tadi tidak menyala semakin menambah suasana canggung yang ada di ruangan itu.

Setelah Yuza selesai makan dan membersihkan piringnya, ia pun kembali duduk di samping Takao. Tetap saja keadaan hening itu tidak berubah, sampai akhirnya Yuza mulai membuka pembicaraan.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Yuza tanpa menatap langsung ke arah Takao.

"Hmm.. mungkin tentang pemakaman nenekku dulu. Aku rasa agak sulit untuk saat ini." Jawab Takao sambil menghembuskan napas berat.

"Sulit? Maksudmu karena kau hanya tinggal berdua dengan nenekmu?"

"Jujur saja, tadi saat di TKP aku terus mendengar bisik-bisik dari para tetangga yang sedang mengamati kebakarannya. Entah bagiamana mereka memutuskannya, tapi sepertinya mereka tidak mau melaksanakan pemakaman nenekku di sini. Kau juga lihat sendiri kan tadi tidak ada yang mau berbicara denganku." Jelas Takao kepada Yuza.

Yuza yang mulai menyadari arah pembicaraan Takao perlahan mulai tertunduk lemas. Ia kembali menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Takao. Namun, Takao dengan segera menegurnya.

"Sudah kubilang jangan menyalahkan dirimu, 'kan? Tenang saja aku punya jalan keluar untuk ini. Hanya saja aku perlu menghubungi seseorang, tapi ponselku sepertinya sudah ikut hangus tadi."

"Pakai punyaku aja."

"Kamu punya ponsel? Seorang Yuza punya benda modern seperti itu?"

Yuza memutar bola matanya kesal karena pertanyaan Takao yang seakan terkejut oleh suatu hal yang langkah.

"Punyalah, aku juga manusia yang hidup di jaman ini. Walaupun jarang kupakai, tapi aku tetap memilikinya untuk menelpon pamanku. Yasudah, biar ku ambilkan dulu ponselnya." Yuza pun pergi ke arah kamar untuk mengambil ponselnya yang ia ingat masih tersimpan di dalam tas sekolah.

Cukup lama Yuza di dalam sana sampai ia keluar lagi tanpa membawa apa-apa dan wajahnya terlihat panik.

"Ada apa?" tanya Takao yang ikut panik melihat Yuza.

"Ponsel aku hilang."

"Tadi ada dimana?"

"Harusnya masih ada di dalam tas sekolah." Yuza mulai membuka satu-persatu laci di bawah TV-nya.

Takao yang juga ikut panik pun berdiri untuk membantu mencari ponsel Yuza, tapi ia sedikit lega ketika mendapati benda itu ternyata sejak tadi terselip di sofa tempat ia duduk.

"Ini ponselmu Yuza, dari tadi terselip di sofa." Ucap Takao sambil menunjuk benda yang dimaksud.

"Hah? Kenapa bisa ada di sana?"

"Mungkin kamu lupa tadi ditaruh di sini."

"Tidak mungkin..." gumam Yuza sambil mengingat penyebab kenapa ponselnya sampai ada di sofa itu.

"Yuza?" Takao mencoba membuyarkan lamunan Yuza. "Aku boleh pinjam ponselnya sekarang?" dan hanya dibalas anggukan dari Yuza.

Setelah mendapat izin Takao segera mengetikkan sebuah nomor dan kemudian menghubunginya. Setelah tersambung, dari ujung telepon itu terdengar suara seorang wanita yang tampak serak, seperti baru menangis.

"Halo, Bunda?" suara Takao seketika membuat wanita ia itu langsung menghembuskan napas lega.

'Taka, kamu dimana, 'nak? Kenapa dari tadi Bunda telpon tidak nyambung? Bunda tadi dapat berita kalau rumah di sana kebakaran? Itu benar? Kamu sekarang keadaannya bagaimana, nenek juga keadaannya bagaimana? Halo? Taka ada dimana sekarang? Bunda sekarang di bandara mau langsung naik pesawat ke sana. Halo, Taka?'

"Bunda tenangin diri dulu, aku baik-baik saja kok." Takao mencoba menenangkan Bundanya yang tampak sangat khawatir dari ujung telepon.

'Syukurlah'wanita itu kembali bernapas lega—'terus nenek gimana, Taka? Nenek baik-baik aja, 'kan?'

"Bunda, aku akan menjelaskan semuanya, tapi tolong bunda tetap tenang." Takao mengatur napasnya dulu sebelum melanjutkan perkataannya

"Bunda, maaf Taka tidak bisa menjaga Nenek. Nenek terjebak di dalam kebakaran tadi, dan tidak sempat diselamatkan."

Seketika penjelasan Takao membuat bundanya menangis terisak. Takao masih ingin menenangkan Bundanya yang ia tahu saat ini sedang terpukul dengan berbagai masalah yang wanita itu alami. Namun, keadaannya tidak memungkinkan bagi Takao.

Bukan hanya tentang keselamatannya, Takao sekarang juga harus memikirkan keselamatan bundanya, jadi sebisa mungkin ia tidak ingin membuat Bundanya masuk ke dalam masalah yang saat ini ia hadapi.

"Bunda, tolong dengar baik-baik ya permintaan Taka ini. Untuk pemakaman nenek tolong dilakukan di Tokyo saja, dan maaf Taka belum bisa bertemu Bunda buat beberapa hari kedepan. Taka masih harus memenuhi permintaan terakhir nenek. Bunda tidak perlu tanya kenapa, yang penting Bunda tetap tenang ya, Taka pasti akan baik-baik aja."

'Tapi, Taka, apa maksudmu, 'nak?"

"Bunda percaya Taka, 'kan?"

'Tentu saja, 'nak!'

"Kalau begitu Taka mohon, bunda harus mengikuti permintaan Taka tadi." Takao meminta tanpa nada tekanan, tapi tetap terdengar tegas dan bersungguh-sungguh.

Hal itu membuat bundanya luluh dan mengiyakan perkataan Takao, dia tahu anaknya akan selalu menepati janjinya.

"Ibumu?" tanya Yuza tepat setelah Takao mematikan panggilan, pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Takao.

"Kenapa kau tidak mau menemaninya? Ibumu pasti butuh hiburan, lagi pula pergi bersamanya ke Tokyo pasti lebih aman dibanding tetap di sini bersamaku."

"Dia memang butuh hiburan, terlebih saat ini dia sedang mengurus perceraiannya dengan Ayahku. Itulah kenapa aku disuruh pindah ke sini sampai urusan mereka selesai, tapi untuk saat ini aku belum bisa menemuinya. Aku memang tidak percaya soal kutukan, tapi jika kutukan itu memang benar adanya berarti datang menemuinya sama saja aku mengirim kematian kepadanya."—Takao melihat Yuza yang kembali tertunduk menyalahkan dirinya sendiri.

"Lagi pula, bukankah sudah kubilang kalau ini permintaan nenekku? Dan lagi... ayolah Yuza, aku sudah terlanjur mendorong diriku lebih jauh ke dalam kehidupanmu, bukankah terlalu jahat bila kau mengusirku begitu saja?" Takao tertawa kecil sembari menyerahkan handphone Yuza.

Yuza membalasnya dengan ikut tertawa kecil. "Sudah kuduga kau memang keras kepala."

"Oh iya Yuza, soal ponselmu tadi, sudah tahu kenapa ada di sofa?" Tanya Takao mengalihkan pembicaraan.

Yuza kembali terlihat bingung dan mencoba menerka hal-hal aneh yang terjadi kepadanya sebelum itu.

"Aku masih tidak ingat kalau aku mengeluarkannya dari tas sekolah. Namun, ada beberapa hal aneh yang aku pikirkan."

"Apa itu?" tanya Takao penasaran.

"Pintu apartemenku harusnya terbuka tapi saat kita sampai tadi tertutup, dan juga TV seharusnya menyala tapi saat aku sampai sudah dimatikan. Awalnya aku pikir itu ulah Kei, tapi dia terus menggeleng dari tadi."

"Kei? Siapa itu?" tanya Takao bingung ketika melihat Yuza yang mulai berjongkok di depannya—lebih tepatnya berjongkok menghadap dinding.

"Kei sahabat aku."—jawab Yuza tanpa menatap langsung kepada Takao—"Kei, kamu jujur saja kalau kamu yang lakuin itu."

"Tidak Yuza, itu bukan aku." Jawab Kei yang tentu saja tidak dapat didengar Takao-bahkan melihat Kei saja dia tidak bisa. Tentu saja tingkah Yuza membuat Takao sangat kebingungan.

"Yuza kamu sedang bicara dengan siapa?" kali ini Takao mulai takut.

"Aku sedang bicara dengan Kei. Tunggu sebentar ya Takao, aku harus menanyakan ke Kei dulu, dia pasti tahu sesuatu."

Kali ini Tako benar-benar ketakutan melihat Yuza yang tingkahnya mulai aneh-setidaknya bagi Takao.

"Kei, kamu tahu sesuatu, 'kan? Ayo jawab aku!" Yuza mulai mendesak pelan.

"Maaf Yuza, tapi aku yang sudah mati tidak punya urusannya dengan bendamu yang barusan hilang."

"Apa itu berarti ada orang yang masuk ke sini?"

Kei hanya diam menanggapi pertanyaan Yuza, dan sedetik kemudian dia menghilang.

Yuza mendengus kesal, inilah alasannya dia tidak bisa berharap banyak kepada para hantu, mereka hanya menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan dan sama sekali tidak ingin ikut campur dengan urusan manusia yang tidak ada hubungannya dengan mereka.

Yuza pun berdiri dan menghampiri Takao yang entah sejak kapan sudah berada tiga meter di belakang Yuza.

"Takao, menurutmu untuk apa seseorang masuk ke dalam rumah orang lain tanpa mencuri apa-apa dan hanya melihat isi ponsel pemilik rumah?"

"Stalker, mungkin?"

"Stalker? Tapi, untuk apa melakukan itu kepadaku?"

"Entahlah Yuza." Takao mulai berpikir atas pertanyaan Yuza, tapi kemudian ia terdiam ketika memahami sesuatu.

"Yuza. Aku tidak tahu alasannya kenapa, tapi satu hal yang aku yakin, orang itu masih ada di dalam rumahmu."

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro