Bos Menyebalkan
Pagi ini berbeda dengan hari sebelumnya. Delia dengan penampilan sederhananya tengah mematut diri di depan cermin. Gadis itu terlihat lebih muda dari usia seharusnya. Mungkin jika orang yang melihatnya akan mengira Delia masih SMA.
“Delia semangat,” ujarnya untuk menyemangati diri sendiri.
Aninda yang berdiri di depan pintu sambil meminum susunya perlahan mendekati Delia dan memeluk kakinya. “Selamat pagi Aninda sayang,” ujar Delia dengan suara yang dibuat seperti anak kecil. Aninda tersenyum kemudian berjalan mencari mainannya. Delia melihat gerak-gerik adik kecilnya yang berusia 2 tahun itu dengan tatapan sendu.
“Kamu harus kuat Delia, ini demi masa depan Aninda,” gumamnya. Delia segera mengemas keperluan Aninda selama dititipkan di tempat Mbak Yu. Pampers, susu, pakaian pengganti, topi hingga cemilan balita pun sudah dimasukkannya kedalam tas mungil berwarna biru. Delia menggendong Aninda untuk segera berangkat ke tempat penitipan anak.
***
Rangga tersenyum kecil melihat Dharma lagi-lagi tidak menyentuh sarapannya. Rangga menarik kursi dan duduk berseberangan dengan ayahnya. Kali ini Rangga tidak akan membujuk Dharma untuk makan.
“Ayah tidak mau sarapan?”
Dharma menatap Rangga sebentar sebelum membuang wajah ke arah lain. Rangga dengan cepat menghabiskan sarapannya.
“Saya masih lapar. Sandwich ini sangat lezat. Ayah benar tidak mau makan?” tanya Rangga sekali lagi. Dharma tidak menjawab ia sibuk dengan koran paginya.
“Kalau ayah tidak mau makan biar saya yang menghabiskan sarapan ayah. Tidak baik membuang makanan.”
Rangga mengambil sarapan Dharma namun dengan cepat ayahnya menahan tangan Rangga. Keduanya terlibat aksi saling tarik menarik.
“Tidak baik mengambil sesuatu yang bukan milikmu,” ucap Dharma membuat Rangga mengalah.
“Tapi ayah tidak memakannya. Tidak baik membuang makanan,” sahut Rangga.
“Ini makanan saya, milik saya, terserah saya mau makan atau tidak.”
Rangga menghabiskan jus jeruk yang tersisa di gelasnya. Ia berdiri dari tempat duduk. Setelah berpamitan pada Dharma ia pun beranjak pergi. Dharma yang melihat Rangga sudah pergi dengan semangat menyantap sarapannya. Perut pria itu sudah keroncongan sejak tadi.
“Saya senang melihat ayah mau makan,” teriak Rangga dari ambang pintu.
Dharma terdiam kaku. Gagal sudah rencananya.
***
“Saya titip Aninda ya, Mbak,” ujar Delia pada Mbak Yu. Delia memberikan tas Aninda pada pengasuh itu, tidak lupa ia mencium pipi sang adiknya.
“Dia pasti senang bermain dengan teman-temannya. Kamu bekerjalah dengan baik, ya.”
“Sip. Aku akan bekerja maksimal.” Delia beralih menatap Aninda yang ada dalam gendongan Mbak Yu. “Kakak pergi dulu, ya.”
Delia melambaikan tangannya dan dibalas oleh Aninda disertai kecupan jarak jauh. Rasanya Delia tidak ingin meninggalkan Aninda. Dia ingin bersama balita itu seharian. Namun mengingat ia tidak memiliki cukup uang untuk biaya pengobatan ibu dan biaya bulanan adiknya membuat Delia harus berusaha keras.
Delia berdiri di depan gedung pencakar langit. Ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Akhirnya ia bisa menginjakkan kakinya di perusahaan mewah. Walau menjadi petugas kebersihan itu sudah lebih dari cukup untuk membantu menopang biaya hidupnya. Dengan langkah lebar gadis itu berjalan ke arah lift. Namun saat ia ingin memencet tombolnya seorang karyawan melarang.
“Kenapa?” tanya Delia penasaran.
“Itu lift khusus untuk pimpinan. Di sebelah sana khusus karyawan,” ujar pria itu. Delia mengangguk paham, beruntung pria itu memberitahunya jika tidak mungkin dirinya akan dipecat sebelum bekerja. Delia segera berjalan menuju lift karyawan yang dikatakan pria itu, namun sial terlalu banyak karyawan yang mengantri untuk masuk ke dalam benda itu.
Delia yang tidak sabaran pun memutuskan naik mengunakan tangga. Lantai 6 terasa sangat jauh, napasnya sudah ngos-ngosan. Delia kembali menyemangati dirinya untuk terus menaiki setiap anak tangga. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Lagi-lagi Delia mendesah panjang saat tahu ruangan bosnya berada di pojok.
Dengan sisa tenanganya Delia akhirnya sampai di depan ruang pimpinan tepat waktu. Delia memperbaiki penampilannya sebelum mengetuk pintu. Suara tegas dari dalam mengintrusi Delia untuk masuk. Perlahan Delia berjalan mendekati bosnya.
“Saya suka kamu tepat waktu,” ujar Rangga menatap lekat wanita di depannya. Mata hitam itu tidak pernah absen menelisik apa pun yang melekat di tubuh Delia. Wanita sederhana, begitulah penilaian Rangga terhadap Delia.
“Terima kasih, Pak. Sebelumnya saya boleh izin untuk minum? Tadi lift sangat penuh jadi saya naik tangga,” kata Delia. Sesekali wanita itu mengatur napasnya yang masih tersenggal.
“Boleh, silakan,” ujar Rangga. Tanpa banyak biacara Delia segera meneguk air yang ada di atas meja Rangga. Pria itu mendelik melihat kelakuan tidak sopan gadis itu.
“Maaf saya minum air bapak. Nanti saya ganti,” kata Delia dengan senyum kaku, takut jika pimpinannya marah. Rangga berdehem, menenangkan emosinya yang mulai tersulut gara-gara gadis di depannya. Jujur saja Rangga ingin sekali memecatnya detik ini juga. Tapi Rangga harus sabar, dia akan membuat Delia pergi sendiri tanpa harus menggunakan cara kasar.
“Duduklah. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu.” Rangga memperbaiki posisi duduknya agar lebih santai. Delia pun menurut dan duduk di depan pria itu.
“Ini daftar pekerjaanmu. Saya anggap kamu adalah karyawan khusus untuk membersihakn ruangan ini dan ruangan lain yang saya perintahkan. Jadi kamu bekerja sesuai perintah saya,” jelas Rangga.
Delia menganga saat membaca daftar pekerjaan itu. Jadi dia bukan menjadi petugas kebersihan biasa? Tapi cleaning service khusus? Delia menatap Rangga dengan gelisah. Tidak mungkin jika ia melakukan semua pekerjaan ini, apalagi kalau Rangga lembur maka Delia harus ikut lembur juga. Terus bagaimana dengan Aninda? pikir Delia.
Rangga tersenyum lebar melihat raut wajah Delia berubah pucat. Wanita itu bahkan terdiam beberapa saat. Ini akan semakin mudah, batin Rangga. Pria itu yakin hari ini Delia akan angkat kaki dari kantor ini.
Delia meletakkan kertas itu di atas meja. Kedua tangannya meremas kuat. Uang yang ditawarkan juga lumayan lebih tinggi dari yang tercantun di iklan lowongan tapi jika harus lembur mungkin Delia perlu memikirkannya lagi. Ada Aninda yang butuh ditemani, lagi pula apakah Mbak Yu mau menjaga Aninda sampai malam?
“Jika kamu keberatan saya tidak akan memaksa. Silakan keluar dari perusahaan ini,” ujar Rangga. Delia mengangkat kepalanya. Ini keputusan sulit yang harus ia ambil. Sangat sulit untuk mencari pekerjaan di kota sebesar Jakarta. Banyak orang di luar sana berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan, lagi pula Delia sudah berusaha keras agar diterima di perusahaan ini. Aku tidak boleh mundur, batinya.
“Boleh saya bertanya sesuatu?” tanya Delia. Rangga mengangguk mengizinkan gadis itu menanyakan isi dari kontrak pekerjaannya. “Apakah kontrak ini berlaku selama saya bekerja di sini atau berlaku selama training?”
“Itu hanya berlaku selama kamu training. Hanya 3 bulan saja,” ujar Rangga membuat Delia bernapas lega. Dengan penuh percaya diri Delia pun menyetujui. Rangga tersenyum lebar, ini saatnya dia memberi pelajaran pada wanita itu. Delia harus tahu dengan siapa dia berurusan.
“Pekerjaanmu hari ini adalah mengganti gelas minum saya, kemudian membersihkan ruangan ini. Siang nanti saya ada meeting dari jam 11.30 sampai jam 13.00 jadi kamu harus menyiapkan makan siang saya setelah saya selesai meeting dan makanan itu harus tersaji dengan hangat tidak boleh dingin. Karena di gedung ini tidak ada swalayan jadi kamu harus membeli bahan makanan ke luar. Beli yang fresh, jangan beli di pasar, kamu paham?”
Delia hanya bisa terdiam kemudian mengangguk lemah. Wanita itu merasa dirinya sudah menjadi pembantu rumah tangga. Apa bosnya sudah gila ingin dia memasak di kantor? Delia pikir bosnya akan meminta ia untuk memesankan makanan bukan memasak.
“Hmm… untuk makan siangnya, bapak mau menu yang seperti apa?” tanya Delia.
“Terserah kamu yang penting enak dan tidak membelinya. Saya lebih suka makanan rumah jadi buat makanan rumah yang menurutmu enak dan layak di makan,” ujar Rangga.
“Satu lagi saya tidak suka nasi yang terlalu lembek atau terlau keras. Kamu harus memastikan air yang digunakan pas sesuai takaran. Untuk sayur saya lebih suka yang ditumis dengan sedikit minyak. Sayuran yang saya suka adalah wortel, brokoli, pokcoy. Kamu bisa mengkombinasi ketiganya atau memasak salah satu.”
“Baik, Pak.” Delia beranjak dari hadapan Rangga sambil membawa gelas kaca.
“Tunggu dulu!”
Delia berbalik menatap Rangga. Apa lagi sekarang? Delia berusaha tersenyum meski terpaksa.
“Saya tidak suka sayur yang over cook. Pastikan kamu memasaknya dengan waktu dan cara yang tepat. Mengerti?”
Delia mengangguk pelan. Dari sekian penjelasan Rangga tak satu pun yang bisa ia ingat dengan baik. Delia membuka pintu dan disambut oleh seorang pria berjas serba hitam. Pria itu menuntun Delia menuju sebuah ruangan tempat penyimpanan tasnya. Ruangan itu adalah loker tempatnya untuk istirahat. Setelah mengganti pakaian dengan seragam yang telah diberikan, Delia pun segera pergi ke dapur yang ada di lantai dua untuk mengisi gelas kaca yang ia bawa. Beruntung kali ini lift sedang sepi jadi Delia tidak perlu capek-capek naik turun tangga.
“Kamu karyawan baru?” tanya seorang pria berpakaian yang sama dengannya. Delia menoleh dan tersenyum manis pada pria itu.
“Iya, aku baru bekerja hari ini,” ujar Delia.
“Oh, kamu wanita yang kemarin kesurupan itu, kan?”
Dua orang pria masuk ke dalam ruangan. Delia mendelik berani-beraninya pria itu mengatakan dirinya kesurupan. Delia kembali menghembuskan napasnya dalam-dalam, kalau bukan hari pertama sudah pasti dia akan menjambak mulut pria itu sampai kriting.
“Aku permisi dulu. Mari,” kata Delia kemudian pergi begitu saja tanpa menghiraukan ketiga pria yang tengah menatapnya dari belakang. Delia mengetuk pelan pintu ruang bosnya. Perlahan satu tangan Delia membuka pintu ruangan bosnya dan meletakkan air minum itu di atas meja. Rangga tidak sedikit pun menoleh pada Delia, pria itu asik menatap kertas yang ada di tangannya.
Delia segera membersihkan ruangan bosnya dengan cekat. Yang mengherankan menurut Delia adalah kenapa buku-buku ini berserakan? Padahal saat pertama kali ia masuk buku-buku itu masih tertata rapi di dalam rak. Bukan hanya buku, kertas-kertas pun berserakan deka tong sampah. Mata Delia tertarik untuk menatap bosnya yang sibuk bekerja. Delia yakin ini ulah bosnya, ia tahu Rangga tidak menyukainya dari awal.
Kita lihat saja siapa yang akan menang, batin Delia.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro