Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. CTRL + O

Cerita Yujin terus berlanjut. Ia menceritakan banyak hal yang membuat Jenna tertawa heboh. Pria itu memang selalu aneh di mata Jenna. Hal itu yang sering membuat mereka bertengkar dulu. Namun, Jenna tetap nyaman di sekitarnya. Jenna tidak mengerti, mengapa mendengarkan cerita Yujin menyenangkan?

Ponsel Jenna bergetar. Ia mengambil ponselnya dan hal itu membuat Yujin menghentikan ceritanya. 

"Angkat aja." Yujin berbicara santai.

"Iya, Yah." Jenna menjawab telepon itu dengan lembut. 

"Anaknya teman Ayah terlambat lebih lama. Macet katanya. Kamu nggak apa-apa nunggu di sana?" 

Pesan yang Jenna abaikan sebelumnya adalah pesan dari Ayah yang mengatakan bahwa anak temannya akan terlambat sekitar lima belas menit, tetapi hingga hampir satu jam, pria itu tak kunjung datang juga. Kalau boleh jujur, Jenna sudah tidak menyukainya meski belum bertemu.

Jenna menghela napas. "Nggak apa-apa, Yah." 

Sambungan telepon itu terputus setelah Jenna menjawab 'iya' sebanyak dua kali. 

Dahi Yujin berkerut. Ia mengamati perubahan ekspresi Jenna. 

Sadar kalau sedang diperhatikan, Jenna malah melotot. "Apa? Kalo mau tanya, tanya aja?"

"Galak amat." Yujin mengambil jaket yang ternyata tergantung di balik kursi dan mengibas jaketnya kasar, seolah tidak ada orang di depannya.

"Lo emang ngga punya sopan santun, ya! Heh! Jin." Jenna hampir lupa kalau tadi ia tertawa bersama pria ini. Kini rasanya, wanita itu ingin menceburkan Yujin ke kolam ikan.

"Nama gue Yujin, jangan dipotong. Kalo yang menyahut Jin beneran, bisa semaput lo!" Yujin bangkit dan mengenakan jaketnya.

"Lo mau balik?" Jenna bertanya dengan ragu.

"Takut banget gue pergi? Kayaknya lo mau ketemu orang, makanya gue pakai jaket biar beradab sedikit." Yujin cengar-cengir.

Jenna memutar bola matanya malas. "Pakai atau nggak pakai jaket, lo emang udah nggak beradab."

"Ngomong-ngomong, lo mau ketemu siapa?" 

Jenna sempat diam sejenak. Namun, akhirnya ia menjawab. "Ada, anak temen Ayah gue."

Yujin mengangguk. "Cewek atau cowok?" 

Yujin tahu kalau tidak seharusnya ia bertanya seperti itu pada kekasih orang lain. Acara pertunangan yang dibatalkan belum tentu membuat mereka putus, 'kan? Yujin sibuk berbicara dengan dirinya sendiri.

"Pengen tahu banget?" Jenna tertawa.

"Enggak, sih. Cuma kalau lo ke sini buat kencan buta, bakal gue ketawain, sih." Yujin menyeringai.

Jenna mengepalkan tangan. Ia melotot dan siap menyemburkan makian pada pria di hadapannya. 

"Oh, jadi bener." Melihat ekspresi Jenna saja bisa membuat Yujin menyimpulkan sesuatu. Hubungan Jenna dan calon tunangannya sudah berakhir.

Yujin mengambil ponsel Jenna dan mengetikkan nomornya di sana. Tidak lupa ia melakukan panggilan ke nomornya. Begitu selesai, ia langsung bangkit dan menepuk rambut ekor kuda Jenna. "Itu nomor gue. Siapa tahu lo mau kenalin temen lo yang cakep atau kalo lo butuh bantuan buat cari jodoh, boleh hubungi gue." 

"Heh! Jin!" Jenna berseru.

Yujin berlalu sambil mengangkat tangan di udara. Ia melambai sambil terus berjalan. Jenna hanya bisa melihat punggung laki-laki itu.

"Dasar orang aneh." Jenna bersungut-sungut. 

Dalam perjalanannya keluar dari kafe, Yujin berpapasan dengan pria yang mengenakan pakaian serasi dengan Jenna. Kemeja putih dan jeans biru. Tubuh pria itu tinggi dan berotot. Yujin berbalik dan benar saja laki-laki itu menuju meja Jenna.

Yujin mengetikkan pesan sambil tertawa kecil. "Semoga lancar sama kencan butanya." Tidak lupa ia juga mengirimkan stiker monyet yang tertawa sambil menepuk bokong.

Tawa Yujin langsung lenyap ketika membaca satu nama yang sedang meneleponnya. Ia segera bergegas ke mobil dan mengangkat teleponnya begitu tiba di mobil.

"Halo." 

"Papi tunggu kamu di rumah sekarang!" 

Sambungan telepon langsung terputus begitu saja. Hanya dari suaranya, Yujin tahu kalau Papi sedang marah besar. Laki-laki berambut lebat itu mengacak rambutnya kasar. Ia segera menyalakan mobil dan bergerak menuju rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Yujin terus menelepon Gia. Hanya wanita itu yang bisa menyelamatkannya sekarang.

Yujin tiba di halaman rumah, tetapi ia tidak langsung masuk. Ia masih menunggu jawaban Gia sambil memikirkan kesalahan yang telah ia perbuat. Seingat Yujin, semua pekerjaannya di kantor selesai dengan baik.

"Yujin!" Gia memanggil Yujin dari pintu utama.

Yujin langsung keluar dan berlari menghampiri saudaranya. "Gue buat salah apa, Kak? Kok, Papi semarah itu." 

"Gue nggak tahu, yang jelas Papi telepon gue buat balik sambil marah-marah. Mami juga nggak ngomong apa-apa sama gue."

Yujin kembali mengacak rambutnya kasar. "Lo bakal tetep melindungi gue, 'kan, Kak?"

Gia menepuk pundak Yujin dan mengangguk. "Selalu. Selama lo nggak salah, gue bakal ada di pihak lo."

Akhirnya, sepasang saudara sepupu itu masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Keduanya duduk di hadapan Papi dan Mami yang memasang wajah serius. 

"Bagus kalian sampai. Sekarang, Papi mau tanya sama kamu, Yujin. Apa alasan kamu datang ke sini?"

Yujin mengerjap, ia melihat ekspresi Papi dengan seksama. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia melirik pada Gia yang ada di sampingnya. Namun, wanita itu hanya mengangguk.

"Aku mau pulang. Aku mau pulang ke sini, ke keluarga yang bisa menerima aku."

"Saya nggak bisa menerima kamu, kalau kamu nggak bisa menjaga nama baik keluarga kita!" Suara Papi meninggi. 

Yujin dan Gia masih tidak mengerti duduk masalahnya. Mereka tambah terkejut ketika melihat Mami mulai menangis.

"Papi, bisa tolong jelasin dulu. Masalahnya apa?" Gia berusaha bertanya dengan tenang.

Papi melemparkan sebuah amplop cokelat ke atas meja dengan kasar. Gia mengambil amplop itu dan menutup mulutnya dengan tangan. Melihat ekspresi Gia yang terkejut, Yujin langsung mengambil foto tersebut.

"Papi, aku bisa jelasin." Yujin berbicara sambil menepuk dadanya frustrasi. 

"Kamu juga, Gia! Papi nggak nyangka kalau selama ini kamu berusaha menutupi ini semua!"

Gia kehilangan kemampuan berbicara.

"Kalau kamu pulang ke sini hanya untuk melanjutkan hubungan terlarang itu, lebih baik kamu pulang ke Jepang. Saya nggak sudi punya anak seperti kamu!"

Yujin mengacak rambutnya kasar. Suaranya mulai bergetar. "Papi, ini nggak seperti yang kalian bayangkan. Aku bisa jelasin." 

"Gia! Kamu sebagai kakak seharusnya bisa mengingatkan adik kamu, bukannya malah berusaha bantu dia buat sembunyikan semuanya!" Papi bangkit berdiri. "Papi benar-benar kecewa sama kalian!"

Papi dan Mami berlalu, meninggalkan Yujin dan Gia yang terduduk lemas. 


Aloha!
Ada apa, nih, sama Papi?

Kita tunggu jawabannya di chapter selanjutnya, ya.

Terima kasih buat yang baca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro