5. CTRL + N
Jenna melihat pantulan wajahnya di kaca spion. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Wanita yang mengenakan setelan kotak-kotak itu tersenyum sebaik yang ia bisa. Tangannya bergerak untuk mematikan mobil dan segera mencabut kunci. Jenna turun dari mobil sambil terus mengatakan kalimat 'aku baik-baik aja' dalam hati.
"Selamat pagi, Bu Jenna. Semoga harinya menyenangkan." Satpam kantor menyambut Jenna dengan ramah.
"Selamat pagi, Pak." Jenna tersenyum, ia merasa selama tidak ada yang membahas kejadian sebelumnya, tentu ia akan baik-baik saja.
Jenna mengikat rambutnya sebagian. Ia membiarkan poninya jatuh menutupi dahi untuk menyamarkan mata sembab. Wanita bermata besar itu melihat sekeliling, ia merasa cukup lega karena belum banyak orang di sana. Jenna memasuki ruangannya dan ia cukup terkejut melihat seseorang yang ada di sana.
"Caca?"
Wanita yang juga mengenakan setelan itu langsung bangkit berdiri dan memeluk Jenna. "Maaf. Aku nggak bisa datang ke acara kamu kemarin."
Jenna membeku. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan hal yang terjadi kemarin. Ia juga tidak sanggup kalau harus mendengar gosip yang beredar nantinya.
"Lo nggak marah, 'kan?" Caca melepaskan pelukannya.
Jenna menjawab pertanyaan itu dengan senyuman canggung.
"Sebagai permintaan maaf, gue beliin lo kado. Jangan lupa, nanti siang tim lo sama tim gue ada rapat untuk bahas proyek selanjutnya." Wanita ber-name tag Team Leader itu tersenyum dan berlalu dari sana. Caca adalah salah satu teman Jenna yang ia kenal dari Gia. Wanita itu adalah teman Gia semasa SMA.
Tidak lama setelah Caca pergi, pintu Jenna diketuk. Setelah mempersilakan masuk, Jenna berusaha tersenyum.
"Selamat pagi, Bu." Pegawai yang mengenakan seragam hitam putih itu masuk dengan senyum yang semringah.
"Selamat pagi. Untuk hari ini, kopi pakai setengah sendok gula."
Pegawai tersebut tersenyum penuh arti. "Ibu sudah kebanyakan yang manis-manis, ya, kemarin?"
Jenna tersenyum kaku.
"Selamat, ya, Bu. Saya nggak sabar mau kondangan tempat Ibu."
"Iya. Kamu nggak mau buat kopi saya?" Jenna bertanya cepat karena kalau dibiarkan lebih lama, pegawai itu bisa menggodanya sampai puas.
Pegawai tersebut buru-buru mengeluarkan buku kecil dari sakunya dan mencatat pesanan Jenna. Setelah mencatat, ia langsung melakukan hormat ala militer. "Siap, Bu. Laksanakan."
Jenna bersyukur karena tidak ada rekan kerjanya yang mengetahui kejadian memalukan itu. Acara pertunangannya memang cukup besar, tetapi masing-masing keluarga hanya mengundang kerabat dan teman dekat. Jadi, Jenna hanya mengundang Caca yang merupakan teman dekatnya di kantor.
"Jenna." Caca menjentikkan jari di depan wajah Jenna yang tengah melamun. "Menurut lo gimana?"
Jenna langsung mengerjap dan mendapati kalau semua mata kini tertuju padanya. "Maaf. Bisa diulangi?"
Caca yang tengah berdiri menjelaskan rencana pengemasan produk baru, hanya bisa menggeleng. Ia kembali menjelaskan dengan singkat dan Jenna segera menerima ide itu. Rapat selesai dengan cepat karena Jenna langsung menyetujui ide Caca dan timnya. Biasanya mereka bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk membahas warna dasar pengemasan, tetapi kali ini Jenna langsung menyetujui semuanya dalam sekali lihat.
"Lo yakin sama design kemasannya? Nggak ada yang kurang?" Caca berjalan beriringan dengan Jenna.
"Kita bisa lanjut diskusinya di rapat minggu depan. Kita lihat dulu hasil packing yang sudah jadi, baru nanti evaluasi bersama. Gue agak pusing, duluan, ya." Jenna berjalan cepat, meninggalkan Caca yang masih keheranan.
Caca penasaran. Akhirnya, ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menghubungi Gia. Begitu panggilannya diangkat, Caca langsung bertanya tanpa basa-basi. "Jenna kenapa?"
Terdengar helaan napas berat dari seberang.
"Gue tanya, Jenna kenapa?" Caca jadi kesal.
"Gue bakal cerita kalau kita ketemu." Gia menjawab dengan suara lemas.
***
Gia berjalan masuk ke rumah sambil memegang tas tangan. Kini ia kelihatan aneh karena mengenakan baju tidur dan membawa tas tangan mewah. Senyum Gia langsung mengembang ketika melihat Papi tengah duduk di ruang tengah sambil fokus menatap laptop. Wanita berusia 29 tahun itu berlari kecil dan mengecup pipi Papi dengan cepat.
"Hai, Anak Papi. Gimana kabarnya?" Papi meletakkan laptopnya dan memeluk Gia singkat.
Gia menghela napas. "Nggak baik-baik aja."
Papi melepaskan kacamatanya dan mendengarkan Gia yang bercerita mengenai kejadian kemarin. "Kalau mereka bukan hasil dari perjodohan, Papi berani jamin kalau laki-lakinya memang nggak bertanggung jawab."
"Iya, 'kan? Aku nggak terima temanku disakiti gitu."
Papi tersenyum. "Papi bangga sama kamu. Kata Mami, kamu habis menginap buat nemenin teman kamu itu?"
Gia mengangguk seperti anak kecil manja.
Papi berdeham, sebelum melontarkan pertanyaan. "Yujin, gimana?"
Gia langsung cemberut. "Papi sama Mami, sama aja. Yujin terus yang diperhatiin. Memangnya Papi belom ketemu?"
"Papi baru sampai tadi pagi. Dia pergi ke rumah temannya. Papi heran, dia pulang selalu buat main-main."
"Nah, panjang umur. Yujin, sini. Lo dicariin sama Papi." Gia melambai pada pria ber-hoodie yang baru memasuki rumah.
Papi menatap Yujin dengan intens.
Yujin yang kelewat kaget tidak bisa menghindar ke mana-mana. Ia membeku di tempat, tetapi matanya berusaha melihat ke arah lain.
Akhirnya, Gia menyeret Yujin untuk duduk di depan Papi. Dengan berat hati, Yujin duduk dengan kaku.
"Tuh, Pi. Anak kesayangannya udah menghadap." Gia tersenyum meledek.
Papi berdeham dua kali dan menatap Yujin yang terus melihat ke bawah. "Yang kali ini mau berapa lama?"
Kaki Yujin sibuk mengetuk lantai. Ia sempat melihat Gia untuk meminta bantuan, tetapi wanita itu malah tersenyum mengejek.
"Mami bilang, kamu mau coba kerja di sini? Apa benar?" Papi kembali bertanya dengan nada penuh wibawa.
"Iya." Yujin menjawab pelan.
"Buat surat lamaran ke kantor. Ada posisi staff yang kosong. Kalau memenuhi kualifikasi, kamu kerja. Kalau tidak, kamu boleh pulang ke Jepang."
"Iya."
Papi membuka dompetnya dan mengeluarkan satu kartu dari sana. "Kelihatannya kamu akan tinggal lama. Kartu ini boleh dipakai untuk membeli kendaraan. Kasihan Mami mau ke mana-mana repot kalau mobilnya kamu pakai."
Gia langsung berseru heboh. "Kok Yujin doang? Akunya?"
Papi bangkit berdiri. "Kamu sudah kerja, beli sendiri."
"Pi." Gia merengek semakin keras ketika Papi bergerak menjauh. Namun, setelah Papi tidak terlihat, ia langsung menyambar kartu tersebut dan menyeringai.
"Itu buat gue." Yujin merebut kartu tersebut dari tangan Gia.
Gia tidak mendebat. Ia malah menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Gue kadang heran, yang anaknya Mami sama Papi itu, gue atau lo?"
Yujin tersenyum. "Gue, sih, kayaknya."
"Papi kangen tahu, sama lo."
"Gue juga." Yujin berbicara sangat pelan. Gia hampir tidak bisa mendengarnya.
"Makanya, baikan sana. Kalian itu perang dingin, tapi saling sayang."
Yujin diam. Ia tidak menolak atau menerima saran dari Gia. Pertengkaran hebat mereka hari itu membuat Yujin memilih untuk pergi ke Jepang dan meninggalkan semuanya, termasuk Mama.
Aloha!
Kenapa, nih, sama Yujin dan Papi?
Terima kasih buat yang mau baca dan berkenan vote.
Jennaya lagi galau.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro