Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. CTRL + H

Selama dua bulan membina rumah tangga, baru kali ini Jenna merasa sangat kesal hingga ia mengalami sakit kepala. Kini, kepala wanita itu terasa berat disertai denyut yang menyakitkan. Jenna menghala napas panjang. Wanita berambut panjang itu mengacak rambutnya dengan kasar. Ia tahu, kalau Yujin memang menyebalkan, tetapi ia tidak bisa mengerti mengapa pria menyebalkan itu mengenalkan kekasihnya pada Jenna yang notabenenya adalah istrinya.

Jenna masih memijit pelipis ketika pintu ruangannya diketuk. Ia menjawab ketukan tersebut dengan suara keras.

"Selamat pagi, Bu." Seorang karyawan yang mengenakan seragam hitam putih dengan buku kecil di tangan muncul dengan senyum semringah. Namun, langkahnya agak ragu.

Jenna tidak mengangkat kepalanya. Jangankan senyuman, kini separuh wajahnya sudah tertutup oleh rambut.

Melihat penampilan bosnya yang berantakan, karyawan tersebut mengerutkan dahi. "Bu Jenna, mau saya belikan sesuatu? Atau lagi butuh cokelat?"

Pramukantor tersebut memang sudah dekat dengan Jenna bahkan sejak hari pertama kedatangan Jenna di kantor itu.

"Terima kasih, tapi saya nggak butuh cokelat. Saya butuh kopi. Nggak usah pakai gula." Jenna kembali mengacak rambut.

Karyawan tersebut maju selangkah, lalu berbisik. "Bu, kalau lagi bad mood itu, mending makan yang manis. Jangan makan yang pahit-pahit. Lagian, Ibu, kan, nggak suka minum kopi pahit."

Jika dalam kondisi biasa, Jenna akan menyambut saran tersebut dengan senyuman lebar, tetapi kini darah wanita itu tengah mendidih karena mengingat kelakuan suaminya. “Saya bilang, kopi nggak pakai gula. Satu.”

Selama tiga tahun Jenna bekerja di sana,  sebuah bentakan tidak pernah keluar dari mulut wanita itu.

"Baik, Bu." Karyawan tersebut menjawab dengan suara pelan dan tidak diikuti gerakan hormat ala militer.

"Bu Jenna, kenapa?" Tyas menghampiri pramukantor yang kelihatan lesu setelah keluar dari ruangan Jenna.

"Kayaknya lagi nggak mood, Mbak. Kayak kerasukan reog." Karyawan tersebut menunjuk tangannya. "Tuh, saya sampe merinding."

"Oh, nanti kopinya saya aja yang anter ke dalam. Daripada Mas Dani kena amuk."

Wajah pramukantor itu langsung berseri-seri. "Terima kasih, Mbak. Saya buatkan dulu kopinya, sebentar."

Kurang dari lima menit, pintu Jenna sudah kembali diketuk. Wanita berambut berantakan itu langsung menyibak rambutnya, begitu menyadari kalau Tyas yang mengantarkan kopinya.

"Maaf, Bu. Apa saya boleh tanya masalah pribadi?" Tyas bertanya dengan senyuman di wajahnya.

Jenna terdiam. Kalimat itu adalah kalimat yang selalu ia ucapkan ketika ingin membahas hal di luar pekerjaan dengan Tyas.

"Ibu, berantem sama suami? Suara bentakan Ibu kedengeran sampai keluar, lho. Mas Dani yang dekat banget sama Ibu aja sampai takut mau masuk ke ruangan ini lagi."

Jenna menegakkan tubuhnya. Ia sadar kalau sudah melakukan hal bodoh. Ia sudah melampiaskan emosinya pada orang yang tidak bersalah.

"Bu, ada telepon, tuh." Tyas menunjuk ponsel Jenna yang berdering dan menunjukkan nama Yujin bukan Jin.

Wanita bermata besar itu melihat ponselnya dan langsung membalik layar begitu melihat nama Yujin.

"Ini artinya, Ibu beneran berantem sama suami. Kalau saya boleh tahu, kenapa, Bu?"

Jenna merasa kalau Tyas cukup bisa dipercaya. Akhirnya, ia menceritakan apa yang sudah terjadi pada dirinya. Namun, respons gadis itu membuat Jenna bengong.

"Sebenarnya, Bang Joel udah bilang tentang kontrak kalian. Jadi, saya nggak kaget kalau Bang Yujin ngenalin pacarnya ke Ibu. Yang saya kaget, Ibu kelihatan cemburu banget. Kalau memang pernikahan kalian hanya didasarkan pada kontrak, harusnya Ibu nggak se-cemburu ini."

"Saya nggak cemburu!" Jenna menukas cepat.

Tyas tersenyum hingga gigi depannya terekspos. “Ibu mungkin bisa bohongin yang lain, tapi Ibu nggak bisa bohongin saya." Tyas mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Jenna. "Ada seseorang yang pernah bilang ke saya, lebih baik jadi orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan daripada jadi orang yang enggak tahu sama perasaannya sendiri.”

Jenna menunduk. Dalam. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa benar ini rasa cemburu?

"Silakan diminum kopinya, Bu." Tyas mengeluarkan satu saset gula dari sakunya. "Kata Mas Dani, Ibu nggak suka kopi pahit. Jadi, ini gulanya."

***

Yujin mengirim pesan pada Jenna sambil berjalan di koridor kantornya. Tidak lupa, ia juga mengirimkan foto dompet tersebut. Biasanya wanita itu akan membalas pesan Yujin beberapa jam kemudian, tetapi kali ini, Jenna langsung membalas pesannya dengan cepat. Tidak seperti biasa, wanita itu membalas hanya dengan tulisan siap.

“Tumben banget, balesnya nggak pakai stiker?” Yujin berbicara cukup keras.

“Siapa yang nggak balas pakai stiker?”

Yujin berniat menjawab, tetapi kalimatnya tersangkut di tenggorokan begitu menyadari kalau ia mengenali suara itu.

"Saya tunggu kamu di ruangan."

Jantung Yujin rasanya ingin resign saja. Bisa-bisanya Papi berdiri di sampingnya, ketika pria berkemeja hitam itu berbicara pada dirinya sendiri. Mau tidak mau, Yujin langsung menuju ruangan Papi. Mereka menaiki lift yang terpisah. Papi dengan lift khusus dan Yujin dengan lift karyawan biasa.

Yujin menelan salivanya sebelum mengetuk pintu ruang direktur.

Tanpa terduga, Papi sudah berdiri di dekat pintu. Pria baya itu berdeham. Kemudian membentangkan tangan.

Yujin masih berdiri di tempatnya. Hatinya ingin langsung menghambur ke pelukan Papi, tetapi otaknya memerintahkan tubuhnya untuk tetap diam di tempat.

"Oke, mungkin pelukan terlalu berlebihan." Papi mengulurkan tangan.

Yujin menjabat tangan Papi. Matanya terkunci pada tangan yang sudah dipenuhi keriput. Hangat yang ia rasakan, masih sama seperti dulu. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak terakhir kali Yujin menjabat tangan Papi.

"Bagaimana kabar istrimu? Papi masih belum sempat main ke rumah kalian." Papi bertanya setelah duduk di sofa. Ia sempat melirik jamnya untuk memastikan kalau saat itu belum masuk jam kerja.

"Jenna baik."

"Papi tahu, pasti cukup berat untuk kalian beradaptasi. Gia dan Mami banyak cerita tentang kalian."

Yujin hanya mengangguk.

"Mami sama Papi, dulunya dijodohkan."

Untuk informasi yang satu ini, Yujin baru tahu. Ia diam, tetapi matanya memancarkan kilat penasaran.

"Kami bersahabat sejak kecil, lalu terjebak perjodohan konyol. Awalnya kami menolak, bahkan Mami kamu pernah kabur dari rumah, tapi buktinya kami bahagia sampai sekarang." Papi tersenyum bangga.

Tanpa sadar, Yujin ikut tersenyum.

"Menikah itu bukan cuma soal cinta, tetapi pengertian dan saling percaya. Papi cuma mau menyampaikan ini. Jangan sampai kamu menyakiti wanita sebaik Jenna. Papi memang nggak kenal Jenna, tapi Papi kenal baik dengan keluarganya. Jenna berasal dari keluarga baik-baik. Papi harap kamu nggak buat Papi kecewa lagi."

Dalam hati, Yujin mengutarakan permohonan maaf. Ia tahu, kalau ia pasti akan mengecewakan Papi.

Aloha!

Jenna cemburu? Masa, iya? Emosi sesaat aja kali, ya?

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Ekspresi Yujin pas dengerin Papi cerita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro