EPILOG
Alia terduduk dikursi ruangan khusus untuknya.
"Gue suaminya."
Kata-kata Marcello terus berputar-putar didalam otak dan pikirannya. Aira dan Marcello benar-benar telah menikah dan dirinya? Jangan tanyakan nasib hati Alia. Sudah pasti hancur lebur. Tanpa sadar air mata Alia terjatuh dengan sendirinya, entah karena respon refleks dari kondisi hatinya atau dari otaknya yang mengharuskannya menangis. Alia tidak tau.
Tok...tok...tok...
Alia segera menghapus air matanya dan berjalan membuka pintu yang sengaja ia kunci dari dalam.
"Ada apa?" tanya Alia pada perawat yang berdiri didepan pintu ruangannya.
"Dr. Arthur memanggil anda dok, ada pasien yang terlibat perkelahian dengan pengunjung dan mengalami parah pada tulangnya. Dr. Arthur membutuhkan anda untuk membantunya." ucap Perawat dengan nametag Mawar.
"Baik, ayo tunjukkan ruangannya."
Mawar dan Alia berlari menuju ruangan dimana pasien tersebut berada. Saat sampai ditujuan, Mawar mempersilahkan Alia masuk karena ditunggu oleh Dr. Arthur didalam ruang operasi. Alia melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan dan disana tampak Dr. Arthur sedang menggaruk keningnya pelan.
"Ada apa dengan pasien dok?" tanya Alia membuat Dr. Arthur menghadap kearahnya.
"Dia mengalami cedera parah pada tumitnya yang sepertinya diakibatkan oleh tendangan yang cukup kuat."
"Bukankah dokter bisa mengatasinya sendiri? Itu masalah yang tidak cukup serius."
"Masalahnya, dia terus memanggil namamu."
Alia membulatkan matanya kaget dan segera mengalihkan pandangannya kearah pasien yang terbaring sambil menutup mata, mungkin efek dari obat pereda nyeri. Alia kaget setengah mati. Bagaimana bisa orang yang kini berbaring diatas ranjang rumah sakit adalah orang yang sangat ia kenal.
Barra.
"Kau mengenalnya?" tanya Dr. Arthur ketika melihat ekspresi wajah Alia yang menunjukkan bahwa ia mengenal orang tersebut
"Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya."
***
"Alia?" Barra menetralkan penglihatannya ketika baru sadar dari pingsannya.
Alia yang memeriksa keadaan Barra tiba-tiba menoleh kearah lawan bicaranya. Ia tersenyum simpul lalu duduk dikursi dekat ranjang Barra.
"Hai, lama gak ketemu. Apa kabar?"
Barra memaksakan senyumnya kemudian menjawab dengan lirih pertanyaan mantan kekasihnya itu.
"Hai. Dan lo bisa liat sendiri keadaan gue bagaimana."
Alia hanya tersenyum kemudian beranjak dari duduknya. Ia berdiri dan menatap Barra tanpa melepas senyum yang bertengger dibibirnya. Ia menarik nafasnya pelan kemudian menghembuskannya dengan pelan juga.
"Kenapa lo bisa ada disini dan kenapa lo bisa begini!!"
Barra tersenyum kemudian menggenggam tangan Alia yang menggantung.
"Maaf. Gue disini karena mau check up. Sepulang dari check up gue liat lo dan Marcello didepan ruangan bersalin dan gak sengaja dengar pembicaraan kalian. Gue emosi dan perkelahian itu terjadi. Gue gak bisa liat lo nangisin suami orang, gue gak bisa liat lo menderita karena kenyataan yang membuat lo sakit. Gue gak bisa nahan buat kasi dia pembelajaran karena udah nyakitin lo. Baik itu dulu ataupun sekarang."
Alia menangis. Perasaannya diliputi rasa bersalah. Lelaki dihadapannya yang kini terbaring dengan tumit yang rusak karena dirinya. Karena membela dirinya. Alia tak bisa menahan isakan yang keluar dari bibirnya. Ia menangis tersedu-sedu.
4 hari Barra dirawat di rumah sakit dan Alia yang bertugas untuk merawatnya.
"Lo dijemput sama siapa?"
"Sama Nisa."
Nisa. Sahabat sekaligus cewek beruntung yang bisa dapetin hati Barra yang udah gue lukai. Akhirnya Barra bisa menemukan orang yang ia cintai dan mencintainya. Kabar baiknya lagi, mereka akan segera melangsungkan pernikahannya. 3 hari yang lalu, Barra memberitahukan Alia. Jujur, Alia kaget karena dirinya sempat mengira jika Barra masih menyukainya dan Alhamdulillah sudah tidak.
"Kalau gitu gue tinggal dulu. Ada pasien yang harus gue check. Salam buat Nisa."
Nisa dan Alia memang masih terus berhubungan. Namun, Alia baru tau jika pengantin pria sahabatnya itu adalah mantanya sendiri. Alia tidak marah, dia bahkan bahagia karena sahabat dan mantannya bisa bahagia.
***
"
Selamat yah Nis, Bar."
"Makasih Al. Kapan nyusul?"
Alia menghadiai pukulan pada bahu Barra. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu didepan orang banyak. Alia malu. Diumurnya yang memang telah matang untuk menikah kini belum menemukan pria yang dapat menjadi imamnya.
Alia sekarang berada di gedung tempat berlangsungnya acara pernikahan Nisa dan Barra. Setelah menyalimi pengantin dan sedikit berfoto serta selfie, Alia turun dan menghampiri para sahabatnya yang mengombrol asik. Tiara dan Iin.
"Hai!!!" Alia berhambur memeluk mereka.
"Gila, Bu dokter darimana aja?" goda Iin.
"Gak dari mana-mana Bu guru." Alia membalas perkataan Iin.
"Udah-udah. Mending kita makan-makan dulu. Mumpung gratis." Tiara menengahi.
"Bu bidan masih doyan yang gratisan!!"
Iin dan Tiara. Keduanya telah sukses seperti Alia. Iin yang kini telah menjadi guru Kimia di salah satu sekolah terkenal. Tiara yang telah menjadi Bidan yang terkenal dengan keahlian dan ke-profesiaonalnya. Mereka bertiga sibuk mencoba kue-kue basah yang dihidangkan.
"Lo kesini sama siapa In?" tanya Alia.
"Sama calon suami. Dia tadi pamit ke-toilet bentar." Iin masih mencemot tangannya yang terbalut selai kue yang dicicipinya. Bagaimana bisa bu guru jorok dan bantet ini sebentar lagi menikah.
"Kalau lo Tir?" Alia beralih ke Tiara yang asik mencoba minuman berwarna-warni."
"Sendiri."
Jangan berpikiran bahwa Tiara itu Jomblo. Nyatanya dia telah menikah. Pengantin baru. Suaminya seorang tentara. Dan mungkin sekarang sedang bertugas melindungi negara. Itu sebabnya ia datang sendiri.
"Kalau lo sama siapa Al?" tanya Iin yang masih mencemot tangannya.
Sebelum menjawab pertanyaan Iin, Alia justru membulatkan matanya karena teringat sesuatu yang daritadi ia lupakan. Pasangannya. Bagaimana bisa Alia melupakan pasangannya itu.
"Tamat riwayat gue!!" Alia meletakkan minumannya dan langsung berbalik. Bukannya berlari untuk mencari pasanganhya, Alia justru kaget karena melihat pasangannya kini didepan matanya tengah menatapnya dengan tajam.
"Siapa Al?" tanya Tiara mencairkan suasana.
Alia berjalan menuju pasangannya dan menggandeng tangan pasangannya itu.
"Arthur George. Pacarku."
***
Its really really end. So? What do you feel? Aku udah buat Alia bahagia. Maaf jika Alur CRUSH berbelit-belit, gak jelas, absurd dan keriting kayak indomie.
Aku udah putusin untuk sampai disini. Its the real end.
Sampai jumpa di ceritaku yang selanjutnya. Jangan lupa vomment CRUSH and ZdJ.
Good bye and see you in my new works
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro