Extra Chapter; Para Superhero Cilik
Cericit burung gereja terdengar samar diantara damainya pagi. Melalui celah tirai, matahari menembus jendela kamarnya, membuat matanya yang baru terbuka, perlahan kembali terpejam. Dengan mata masih terpejam, Dhanu meraba kasur kosong di sampingnya. Ketiadaan Nada di sisinya membuat Dhanu membuka kelopak matanya dengan paksa.
Senyum Dhanu terkembang ketika membayangkan keberadaan Nada saat ini. Istrinya saat ini mungkin sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur atau menyuapi anak-anak mereka di ruang makan.
Yeah, akhirnya Dhanu berhasil menikahi Nada setahun setelah pernikahan Najla.
Bukan sesuatu yang mudah memang, Nada berkali-kali menolaknya, belum lagi jarak Bandung-Jakarta yang membuat Dhanu harus sabar-sabar menahan rindu. Dhanu nyaris saja menyerah kalau tidak ingat janjinya di Bandara dan perjuangannya untuk setia selama bertahun-tahun di Jerman.
Senyum Dhanu semakin melebar saat mendengar suara tangisan anak perempuan. Itu pasti tuan putri kecilnya, Hanny. Anak kedua dia dan Nada.
Dhanu baru akan kembali menutup mata ketika tersadar sesuatu. Suara tangisan Hanny tidak seperti itu. Suara tangisan Hanny harusnya masih berupa rengekan bayi.
Kan umurnya baru delapan bulan!
Dhanu membuka matanya lagi, lalu menajamkan indra pendengarannya. Bukan hanya suara anak perempuan itu yang bukan milik anaknya, namun juga ada teriakan anak laki-laki yang memekakan telinga.
“Aku Farelman menumpas kejahatan! Kamu Gamora akan ku bunuh ciaaat!” mendengar kata Farelman perasaannya semakin tidak enak.
Dengan cepat disingkapnya selimut, lalu langsung berlari keluar.
Betapa mata Dhanu langsung melotot melihat pemandangan di hadapannya. Ruang tamunya sudah tidak terselamatkan. Mobil dan robot betebaran dimana-mana, begitupun dengan remahan kue dan cokelat yang mengundang semut-semut kecil. Televisi berlayar datar dengan volume maksimal menayangkan film super hero jadul, Ultraman.
Sementara itu, seorang anak lelaki berumur 8 tahun berdiri dengan gagah perkasa di atas adik ipanya, Jerry—suaminya Diandra. Farel yang tengah berperan sebagai super hero tersebut mengacungkan pedangnya, belagak seperti hendak membunuh dua anak lainnya.
Salah satu dari dua anak tersebut menyelipkan sapu di antara kedua pahanya, seolah ia siap terbang melawan Farel yang berkuasa. Itu Faris, anak kedua Thalia yang baru berumur 5 tahun. Satu-satunya yang tampak naif dan tidak berdaya hanyalah Haikal, anak lelaki berumur 4 tahun itu hanya menggenggam pistol di tangannya, tanpa tunggangan apapun.
“Farel, Faris, Haikal!” Dhanu berteriak. “Ini kenapa rumahnya kayak kapal pecah?!”
Mendengar teriakkan Dhanu, ketiga super hero salah gaul itu berhenti sejenak. Dhanu memijat keningnya, tak habis pikir dengan ulah mereka. Namun hanya sesaat, sebelum gempita kembali meramaikan kembali ruangan tersebut.
“Ayah!” Haikal berhambur ke arah Dhanu, lalu menyuruhnya untuk menunduk menyerupai kuda. “Jadi kuda Ikal dong, masa kakak Ais punya sapu terbang, kakak Ael naik kuda Om Jely, Ikal nggak punya?”
Haikal, anak pertamanya menarik-narik celana Dhanu membuatnya kewalahan.
Dhanu menggelengkan kepalanya makin pening. Sejak kapan super hero naik sapu terbang dan kuda-kudaan? Dan satu lagi, sejak kapan juga Gamora jadi musuhnya Superman?!
“Ih, Haikal!” Farel berseru. “Kan udah aku bilang, Om Jerry bukannya kuda tapi dinosaurus, masa Superman naik kuda?! Nggak seru, tau!”
Mata Dhanu beralih pada Jerry yang memohon untuk diselamatkan. Namun, belum sempat memberikan pertolongan, Faris sudah terlanjur berseru.
“Ada Ayah Dhanu, main kuda-kudaan aja yuk Kak Ael!” katanya bersemangat. “Ais sama Ikal naik kuda Ayah, Kakak sama Om Jerrry aja deh!” Faris mengucapkan huruf r dengan penekanan. Mendengar ide yang terlontar dari mulut anak itu, Dhanu semakin melotot.
Dhanu masih belum mampu mengendalikan situasi ketika ia mendengar suara mesin samar yang berasal dari arah halaman belakang. Radja, anak pertama Najla dengan pedenya mengendarai mobil-mobilan plastik berbahan bakar aki, yang Dhanu ketahui merupakan mainan milik Farel. Anak itu bahkan terus menginjakan pedalnya, walau ban mobil tersebut sudah melindas karpet.
Malihat rumahnya semakin tidak tertolong Dhanu pun langsung bertanya pada Jerry. “Jer, istri gue mana?”
“Bunda Nada di dapur, masakin kue bolu.” Bukan Jerry yang menyahut, tapi Farel, karena Jerry pun sepertinya sudah tidak bisa mendengar suara Dhanu karena kebisingan yang terjadi. Tanpa menyelamatkan Jerry terlebih dahulu, Dhanu berderap menuju dapur.
Walau tidak sekacau ruang tamunya, namun tetap saja dapurnya jauh dari kata tentram. Diandra tampak kewalahan menggendong Ratu, anak kedua Najla, smentara istrinya sibuk memasukan adonan ke dalam loyang. Anaknya, Hanny, duduk di kursi tinggi kekaisarannya, sudah mengacak-acak bubur bayi miliknya.
“Lo gimana sih kak?” hardik Diandra kesal. “Yang nitip anak kan temen-temen lo, eh lo-nya malah tidur, kan kasihan Kak Nada, untung gue sama Jerry datang,” Diandra menyerahkan Ratu ke dalam gendongan Dhanu. “Pegangin dulu, gue mau bikin susu.”
“Lo ngapain ke sini, Di?” tanya gue tanpa membalas cercaannya barusan.
“Di suruh Mama nganter makanan,” lewat ekor mata Diandra menuding pada rantang yang tergeletak manis di atas meja. “Tapi gue mau buru-buru cabut nih, mau ke rumah mertua.”
“Bawa deh itu anak-anak sekalian,” mendengar usul Dhanu, mata Thalia kontan melotot.
“Ogah!”
Pandangan Dhanu akhirnya beralih pada Nada yang sudah memasukan loyang-loyang tadi ke dalam oven. “Ini sebenarnya ada apa sih, Bun?”
“Nggak tau, tadi pagi kak Najla sama kak Thalia ke sini, nganter anak-anak, katanya mereka lagi ada urusan.” Dhanu mengangguk-angguk mengerti, namun kemudian ia merasa ada yang janggal.
Ia menoleh ke arah ruang tamu, menghitung jumlah anak-anak yang ada di sana. Total semua anak yang ada di rumah ini hanya enam anak, padahal seharusnya ada tujuh. Mata Dhanu terhenti pada Faris, menyadari siapa yang hilang, lantas teringat alasannya keluar dari kamar tadi pagi.
“Farah nggak dititipin juga, Bun?” Farah adalah anak ketiga Thalia, kembaran Faris yang umurnya hanya terpaut dua menit.
“Dititipin juga kok, tadi lagi main juga sama abang-abangnya.” Kepala Dhanu sontak bergerak cepat ke arah Nada, membuat Nada yang kini tengan menggendong Hanny mengerti, bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Diandra yang baru selesai membuat susu hanya menatap kedua kakaknya yang sekarang sedang saling tatap. Dalam sekejap Dhanu, Nada, Diandra langsung berhambur ke arah ruang tamu.
“Jerry! Farah kemana?!” tanya Dhanu setengah menjerit.
“Nggak… tau…, ta… di… ma… in… bo…ne…ka… di… so… fa.” Napas Jerry sudah terengah-engah akibat kesadisan tiga keponakannya yang duduk di atas punggungnya. Sadar bahwa Jerry tidak mampu membantu, Dhanu pun beralih pada ketiga anak di atas punggung Jerry.
“Farel, Faris, Haikal!” serunya gusar. “Farah dimana?”
Ketiganya hanya menggeleng lugu.
Dhanu berlari ke halaman belakang, namun di sana hanya ada Radja yang masih melindas-lindas rumput gajah dengan mobilnya. Sekarang, mobil itu sudah kembali menuju ke dalam rumah.
Dhanu baru hendak mencari gadis kecil itu di lantai dua, ketika matanya menangkap kardus mesin cuci yang ada di dekat sofa. Seingatnya, kardus itu seharusnya ada di gudang. Ia tidak bisa tidak menghembuskan napas frustrasi, saat menemukan Farah meringkuk di dalamnya, dengan wajah menahan tangis.
Dhanu menggendong keponakannya seraya mengelus rambut gadis itu seperti seorang Ayah. Sedangkan Nada, Diandra dan Jerry—yang akhirnya bisa bebas dari penyiksaan tiga super hero salah kaprah itu hanya bisa menggelengkan kepala.
***
Rumahnya masih jauh dari kata bersih dan rapih, namun sekarang sudah jauh lebih tenang. Diandra dan Jerry baru saja pamit untuk pergi ke rumah orang tua Jerry. Jadi yang tersisa hanyalah Dhanu, Nada dan tujuh anak-anak di ruangan tersebut.
Nada sudah mematikan kompor, agar bolu hangus tidak menambahkan masalah apapun lagi.
Setelah yakin tidak akan ada lagi hal yang dapat membuat Dhanu marah, Nada duduk di samping suaminya. Di pangkuannya, Hanny duduk sambil meminum susu dari botolnya, sedangkan Ratu sudah tidur duluan setelah menghabiskan sebotol susu sebelumnya.
Dhanu duduk di atas sofa lalu menatap marah kepada lima anak di hadapannya, bukan sebenarnya bukan lima. Tapi empat, karena yang satu berperan sebagai korban.
“Jadi Farah, siapa yang masukin kamu ke dalam kardus?” tanya Dhanu lembut.
“Kaka Laja” Farah memonyongkan bibirnya kearah Radja.
“Abisnya Farah berisik, aku sebel!” seru Radja membela diri.
“Aku kan cuma mau naik mobil juga,” sungut Farah tidak terima.
“Kamu kan cewek mainnya boneka aja, ngapain main mobil?” ujar Radja sama sekali tidak merasa bersalah. “Aw!” Radja mengerang kesakitan ketika punggungnya dipukul Farel.
“Kamu nakal ya, nggak aku pinjemin lagi nih,” mata Farel melotot besar-besar. Membuat Radja mencebikkan bibirnya.
“Yaudah deh, aku minta maaf Farah,” kata Radja akhirnya. Ia tentu tidak mau, izin pinjam mobil-mobilan tersebut dicabut.
“Nggak mau!” Farah menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang tidak teratur.
“Aku temenin main rumah-rumahan deh,” bujuk Radja, membuat Farah meliriknya sekilas. Sebelum akhirnya, anak gadis itu mengajukan sebuah nego.
“Kamu jadi papanya ya tapi? Aku bosen papanya kakak Ais sama kakak Ael telus,” ujar Farah sontak membuat Radja menggelengkan kepala.
“Nggak mau!” Radja langsung menolak. “Kalau aku jadi papanya, berarti aku nikah sama kamu dong? Kamu kan mamanya? Aku nggak mau nikah sama cewek cengeng kayak kamu!”
Farah menekuk bibirnya ke bawah mendengar penolakan Radja, sedangkan Dhanu hanya bisa melotot mendengar perdebatan anak-anak kecil di hadapannya. Seharusnya, ia memarahi anak-anak ini, bukannya takjub melihat mereka yang saling memarahi satu sama lain. Terlebih mainan rumah-rumahan itu. Papa Mamahan? Astaga, mereka bisa dewasa sebelum waktunya!
“Farrah, udah sih, maafin aja kakak Radja.” Faris berusaha membujuk. “Aku mau nonton Tamen lagi nih.”
Farah menggelengkan kepala tegas, menolak bujukkan dari kakaknya.
“Kalau kakak Laja nggak mau jadi Papanya, Ikal aja yang jadi Papanya,” pengajuan diri secara suka rela dari anaknya membuat Dhanu makin melotot. Haikal sendiri mengerjapkan matanya lugu di tempatnya.
“Nggak mau, Ikal masih kecil! Papa itu lebih tua dari Mama, tau!” Farah yang tengah berlagak dengan mode sok tuanya membuat Dhanu geli sendiri.
“Radja, kamu harus mau jadi Papanya, atau aku nggak mau pinjemin kamu mobil sama PS lagi,” ancaman yang Farel layangkan, akhirnya menjadi kesepakatan final. Radja mau tak mau harus menyerah.
“Iya iya! Aku jadi Papanya!” seru Radja dengan wajah cemberut, sedangkan Farah sudah tersenyum penuh kemenangan.
“Nah, gitu dong udah baikan, Ayah nggak mau dengar lagi ya ada yang berantem, atau nanti Ayah bilangin Papa Fadli sama Papa Rendi, biar mainan kalian di sita semua,” seloroh Dhanu setengah mengancam. Tentu saja, peringatan itu cukup ampuh, anak-anak itu mengangguk kompak, sebelum tiba-tiba berhambur ke arahnya. Mereka semua memeluk Dhanu dari segala sisi.
Ada udang di balik batu. Dhanu tahu, sikap manja mereka bukan pertanda yang baik. Apalagi mengingat, darah yang mereka wariskan. Daun jatuh tak jauh dari pohonnya, ingat?
Pikiran negatif Dhanu, langsung di realisasikan Farel dengan kata-kata, sebagai kepala suku, ia mewakilkan apa yang ada di dalam otak anak-anak tersebut.
“Ayah Dhanu, jadi dinosaurus dong, Om Jerry kan udah pulang,” katanya setengah merajuk. Dhanu otomatis langsung melotot. Kalau sama Jerry saja bisa sebegitu menjajahnya, Dhanu tidak mampu membayangkan hal sadis apa yang bisa ia terima dari anak-anak tersebut.
“Memangnya Mama Papa kalian pada kemana, sih?” berusaha mengalihkan perhatian, Dhanu akhirnya bertanya, sekalipun ia tidak berharap mendapat jawaban.
Radja mengernyitkan dahinya, seperti tengah berpikir keras. “Hm, kan waktu itu aku lagi bobo, aku dengar Mama sama Mama Thalia bilang mau apa ya namanya?”
Radja berusaha menggali ingatannya beberapa hari yang lalu, ketika ia tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Mamanya. Dhanu dan Nada pun menunggu Radja melanjutkan.
“Mau apa?” tanya Farel tidak kalah penasarannya.
“Apa ya itu namanya? Ha... Ha...” Radja masih berusaha mengingat-ingat.
“Ha.. Ha.. Hantu” kata Farel benar-benar tidak sabar.
“Bukan kakak Ael. Itulooh Ha... ha... Halimun! Iya Halimun!” seru Radja dengan mata berbinar, berhasil memecahkan teka-teki dalam kepalanya.
Mendengar kata-kata polos Radja, Dhanu dan Nada refleks menutupi telinga Farah, Faris dan Haikal sebisa mungkin.
“Ih Radja bukan Halimun tau! Tapi Hanimun. Ha-ni-mun,” Farel mengejakan setiap suku katanya. Faris dan Haikal yang telingnya masing-masing hanya tertutup sebelah, langsung menoleh ke arah Dhanu.
“Hanimun itu apaan si ayah? Namanya dede Hanny kan Hanny Puteli Ishal, bukan hanimun?” Haikal bertanya dengan polos, membuat Dhanu dan Nada saling tatap serba salah.
Tapi Farel malah kembali menyahutinya.
“Kata Caca temen aku, hanimun itu kalo hmp…” Farel tidak dapat melanjutkan kalimatnya, karena Dhanu langsung membekap mulut keponakannya yang sudah dewasa sebelum waktunya ini.
“Halimun itu nama hantu, nggak boleh diomongin nanti datang,” Dhanu berceloteh ngaco, untungnya anak-anak itu percaya, dan melupakannya begitu saja.
“Yaudah sana main lagi,” Dhanu melepaskan bekapannya. Ia hanya menggelengkan kepala, saat melihat anak-anak itu sudah kembali mengumpulkan mainannya. Matanya berkeliling melihat rumahnya yang seperti baru saja dilanda angin topan.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di otaknya. Senyum licik terkembang di bibinya.
Biar saja emak emak itu pada ngomel nanti, memang mereka doang apa yang mau senang-senang?
Bodo amat deh sekalipun dia harus nombokin perjalanan ini.
“Nad, ambil cuti sampe hari selasa atau rabu ya, atau seminggu aja sekalian!” seru Dhanu membuat Nada mengernyit. Dhanu berkacak pinggang, menatap anak-anak nakal itu dengan senyum lebar. “Anak-anak ayo kita liburan!”
Mendengar kalimat Dhanu dengan kompak anak-anak itu langsung bersorak.
“Yaaay!”
***
Thalia dan Najla mungkin sudah memaki-maki Dhanu lewat telepon, kalau tidak ingat handphone anak itu mungkin sekarang sudah dimatikan, karena sahabatnya itu sudah berada di dalam pesawat menuju Bali sekarang.
“Gila kali ya tuh anak!” Thalia berseru kesal di passanger seat samping Fadli.
“Udah sayang, kan kita bisa nyusul” Fadli berusaha menenangkan.
Najla, Thalia, Fadli dan Rendi baru sampai di Bandung ketika Nada mengirimkan sebuah pesan yang berisi pemberitahuan bahwa mereka semua sudah berada di bandara sekarang, akibat ajakan Dhanu yang memaksa liburan dadakan ke Bali, ke villa milik orang tuanya Nada.
Jadilah mereka berempat langsung putar balik kearah bandara untuk menyusul anak-anaknya.
“Sumpah ya kalo ketemu, aku bunuh itu anak!” di mobilnya Najla tidak kalah menyeramkannya, membuat suaminya tidak berani berkutik. Rendi sangat tau, walaupun tidak pernah marah padanya, istrinya ini benar-benar menyeramkan kalau sudah marah.
Rendi terlalu mengenal istrinya, sehingga dia tidak heran kalau setiap orang yang ditemuinya—mulai dari porter, pramugari sampai supir taksi yang tak sengaja mereka temui—kena amuk Najla.
Thalia saja yang sudah siap meledak sampai bungkam melihat Najla mengomel panjang pendek selama di Bandara. Bukannya dia tidak kenal sahabatnya ini, namun sikap meledak-meledak Najla yang tersembunyi di balik sikap dinginnya, memang selalu berhasil bikin Thalia ciut ditempat.
Villa milik orang tua Nada berada tidak jauh dari sebuah pantai, hanya tinggal berjalan kaki sejauh dua ratus meter mereka akan sampai disebuah pantai berpasir putih, bahkan dari lantai dua villa, pantai itu sudah bisa terlihat. Jauh dari pusat kota. Jauh dari Sanur maupun Kuta, pantai ini belum terjamah oleh jutaan manusia, ibarat katanya masih perawan.
Tapi Thalia dan Najla sama sekali tidak sempat menikmati keindahan pantai itu. Dengan suara menggelegar Najla dan Thalia langsung mencari Dhanu.
“Mama!” Suara Radja membuat Najla menoleh, seketika kemarahannya mereda. Ledakan-ledakan yang tadi siap membumi hanguskan Dhanu, kini berubah menjadi suara lembut ketika menyapa jagoannya.
“Sayang, Ayah Dhanu mana?”
“Tuuuh!” Radja menunjuk kearah Dhanu yang sekarang sedang menggendong Faris dan Farah untuk berenang di laut.
“Yuk Tha!” Najla langsung menarik Thalia, sedangkan Rendi dan Fadli yang melihat dua perempuan itu melangkah menuju laut hanya bisa pasrah.
“Mending evakuasi anak-anak yuk,” Rendi membawa Radja dan Farel pulang ke villa, sedangkan Fadli mengikutinya setelah Farah dan Faris sampai dipinggir pantai—tentunya setelah melempar tatapan minta maaf ke Dhanu yang hanya dijawab Dhanu dengan cengengesan.
***
Anak-anak sudah tidur sekarang, Najla dan Thalia juga sudah puas memaki-maki Dhanu, Nada harus sangat bersyukur karena suaminya masih aman sampai sekarang, tidak dihanyutkan di laut oleh dua sahabat suaminya itu.
Mereka berlima duduk di balkon, menunggu Nada yang sedang memeriksa keadaan Hanny.
“Nggak bakal lagi gue titipin anak gue ke elo Nu! Nggak bakal!” seloroh Najla masih kesal dengan kelakuan Dhanu yang menculik anaknya tanpa izin.
“Yaudah si Jla, kalau nggak gini kita nggak akan liburan juga. Memang nggak bosen setiap hari yang di lihat cuma macet sama gedung?”
“Liburan-liburan! Farel besok sekolah tau!” kali ini Thalia yang bersuara.
“Udahlah say, kita kan udah sampai di sini, nikmatin aja,” Fadli menarik Thalia dalam rangkulannya. Membujuk Thalia yang wajahnya masih badmood.
Tidak lama Nada datang dengan pisang goreng di piring.
“Thank you, Nada,” Rendi mencomot satu pisang Nada, lalu mulai memetik gitarnya. Sedangkan yang lainnya hanya mendengarkan sambil bernyanyi, sesekali mereka tertawa ketika mengingat kegilaan mereka dulu.
Nada, Rendi dan Fadli yang notebenenya orang baru, berkali-kali harus menahan geli ketika mendengar kekonyolan-kekonyolan masa SMA pasangannya masing-masing. Terlebih cerita tentang insiden kabur ke Bali yang mereka pernah lakukan dulu.
Setelah sama-sama lelah mereka akhirnya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing seraya menatap langit yang sudah gelap sempurna.
Diam-diam Rendi menatap Najla yang kini merasakan angin. Wanita itu memejamkan mata seraya bersandar dilengannya. Dan setiap hal ini terjadi, maka tanpa aba-aba, Rendi akan kembali mengingat bagaimana ia jatuh cinta kepada Najla.
Siang itu di Perpustakaan Fakultas, Rendi melihat Najla yang sibuk dengan buku-buku tebalnya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai begitu saja, dari balik kaca matanya, alis Najla sesekali berkerut membaca buku yang terbuka di hadapannya. Najla hari itu, begitu cantik dan sederhana. Riasan tipisnya seolah tidak dapat menutupi daya tarik yang melekat pada dirinya. Itu adalah kali pertama, Rendi menemukan Najla.
Setelah pertemuan tersebut, mereka lebih sering bertemu, meskipun tidak pernah berkenalan secara langsung.
Diam-diam Rendi mengagumi Najla, terlebih ketika ada kuliah umum dan gadis itu berdiri bertanya dengan kritis tentang kepemilikan media oleh para politisi. Pertanyaannya lugas dan cermat, setiap jawaban yang di berikan oleh speaker, mengundang sanggahan dan pertanyaan lainnya. Potret Najla hari itulah yang membuatnya menyimpan Najla dalam ruangan di hatinya.
Terselip sebuah harapan, bahwa mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti. Karena jika Tuhan mengabulkan doanya yang satu itu, ia akan benar-benar percaya bahwa gadis itu adalah jodohnya.
Najla sendiri sambil menutup matanya, memikirkan tentang segala hal yang telah ia lewati hingga sampai pada titik ini. Kelelahan tanpa ujung yang dulu ia pikul, membuatnya masih tidak menyangka bahwa ia mampu survive sampai detik ini.
Namun sekarang, ia sudah tidak harus lagi bersikap waspada dan pura-pura baik-baik saja. Laki-laki yang pada lengannya ia bersandar telah membuktikan, bahwa bahkan jika tidak ada satupun cinta yang ia yakini di dunia ini, ia hanya harus menjalaninya, membiarkan hati yang menuntunnya. Kini, di depan Rendi, ia tidak pernah perlu berpura-pura baik-baik saja. Ia telah menjadi pohon terkuat yang di lindungi oleh seorang penjaga.
Untuk Fadli, tidak banyak yang ia pikirkan, hanya berjuta juta ucapan terima kasih kepada Tuhan karena mengizinkan ia untuk memiliki Thalia beserta anak-anaknya. Sekilas ingatannya terlempar pada masa-masa awal kepergian Dhanu, bagaimana sakitnya melihat Thalia menolaknya berkali-kali. Ketika ia hampir selalu nyaris menyerah. Namun ia bersyukur, karena Tuhan memberinya hati sekeras baja, sehingga ia bisa terus berkeras kepala mencintai Thalia sebanyak yang ia sanggup. Kini, ia bisa merasa bahagia hanya dengan melihat wajah istri dan anak-anaknya.
Thalia memeluk Fadli di sampingnya, membiarkan pria itu mengecup puncak kepalanya dengan gerakan lembut. Senyumnya mengembang, menyadari, bahwa banyak hal telah berubah dalam hidupnya. Ia bukan lagi gadis egois yang menolak perasaannya sendiri. Ia telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang memiliki pencapaian paling sempurna dalam hidupnya. Keluarganya yang hangat dan penuh cinta, sahabat yang berada di sampingnya tak kenal batas usia, hingga peran seorang Ibu dan istri yang sepenuhnya ia nikmati. Ia bahagia saat ini. Lewat sebuah penyesalan di masa lalu, Tuhan telah mengajarkannya untuk tidak pernah lagi menyia-menyiakan.
Thalia menatap langit pekat di atasnya. Dalam hati ia berkata.
“Pa, Thalia bahagia sekarang. Thalia jadi wanita kuat, Thalia jagain Mama, dan Thalia udah dewasa. Papa banggakan? Thalia kangen papa.”
Nada memejamkan matanya dalam rengkuhan Dhanu, mendengar detak jantung suaminya yang tenang dan teratur. Dengan jelas, Nada masih mengingat, bagaimana proses yang ia lalui demi mencintai laki-laki di sampingnya ini.
Kadang begitu lucu jika ia mengingat, bagaimana ia begitu berlebihan dalam mencintai seseorang, di umurnya tengah berada di masa cinta monyet. Ia ingat cintanya yang tidak berbalas. Ia ingat bagaimana ia harus merelakan. Ia ingat pertemuan terakhir mereka di Bandara, serta banyak hal lainnya yang membuat masa SMA Nada seperti roller coaster. Ia terguncang, ia menangis, ia tertawa, ia frustrasi. Segalanya telah ia lewati.
Namun seberapa kali pun ia berusaha menolak dan melupakan, pada akhirnya Tuhan selalu membawanya kembali untuk mencintai seorang Dhanu Ishal.
There’s that one person you’ll never get over, no matter how long it’s been.
Itu adalah sepenggal nasihat yang Najla katakan pada Nada, setelah ia menolak Dhanu berkali-kali. Lalu, kalimat meyakinkan dari Thalia lah, yang membuatnya akhirnya berlari untuk memeluk Dhanu kembali.
Kalau di pikir pakai logika, gue nggak akan menyarankan lo untuk balik ke Dhanu. Tapi di sini kenyataannya, Nad, you still love him, semua orang tau itu. Gue pernah menyesal melepas Dhanu, walaupun sekarang, sesal itu sudah menjadi sebuah rasa syukur. Percaya sama gue Nad, Dhanu itu memang seorang yang pantas untuk di tunggu. Berdamai sama ego lo sendiri, terima aja kenyataan kalau memang lo nggak akan sanggup ngelupain dia, karena cinta memang kadang nggak pake otak.
Nada tersenyum, lantas menyentuh kalung dari Dhanu yang sampai saat ini masih menggantung di lehernya. Dan ia bersyukur sebanyak-banyaknya, atas segala skenario yang Tuhan tuliskan untuknya.
Di samping Nada, Dhanu merasakan angin menggelitiknya. Sejak dia kecil sampai saat ini, ia bertemu banyak orang yang membuatnya belajar, membuatnya bersyukur bahwa ia dilahirkan sebagai Dhanu Ishal. Di keluarga lengkap yang tidak kekurangan kasih sayang maupun materi sedikitpun. Tuhan memang tidak mengizinkannya untuk menjadikan Thalia sebagai pendamping hidupnya, tapi Tuhan mengganti doanya dengan cara yang berjuta kali lebih indah. Nada sebagai istrinya dan Thalia dan Najla tetap sebagai sahabatnya.
Dadanya tidak bisa menghangat ketika ia melihat Thalia dan Najla yang tersenyum dalam pelukan pasangannya masing-masing. Kini, kebahagiaan mereka telah lengkap. Mereka telah bahagia dengan cara masing-masing.
Dhanu belajar mengenai sebuah kepergian. Ketika dia merasa sakit dan kehilangan, itu bukan cara Tuhan untuk mengujinya, namun cara Tuhan untuk menunjukannya jalan yang lain.
Dulu, Dhanu bersalah ketika mengira kepergiannya ke Jerman bisa membuatnya memulai awal yang baru. Ia bukan berusaha untuk mencari bahagia, yang dulu Dhanu lakukan hanya pergi melarikan diri.
Pada kenyatannya, pedihnya perpisahan yang mereka rasakan bukanlah sebuah akhir. Dhanu hanya menghentikan ceritanya di tengah jalan, lalu ketika Rendi memaksanya kembali, Dhanu sadar masih banyak yang harus ia perbaiki, akan ada banyak jalan yang masih harus ia tempuh untuk sampai pada sebuah ujung cerita.
Ia tidak akan lari lagi, ia akan menyelesaikan cerita ini sampai titik terakhir, sampai kata terakhir.
Happily ever after mungkin memang hanya milik dunia dongeng. Milik Cinderella dengan pangerannya. Namun semua orang bisa percaya bahwa happy ending tidak melulu milik seorang tokoh dalam otak pengarang.
Mereka mungkin tidak selamanya bahagia, mereka mungkin akan berulang kali terjatuh, tapi jika mereka berani mencoba untuk kembali berdiri setidaknya mereka akan memiliki harapan dan tidak akan diam di tempat.
Tak peduli berapa kalipun mereka hancur, tak peduli berapa kali pun mereka kecewa, tidak peduli berapa kalipun mereka kacau berantakan, mereka hanya harus bangkit, bangkit, dan bangkit lagi.
Mereka harus terus bergerak. Bangun tiap kali terjatuh, percaya walau berulang kali kecewa dan utuh kembali setelah sekian kali remuk.
Malam ini, bersama sahabat-sahabat dan wanita paling ia cintai, Dhanu tau bahwa Tuhan telah mengabulkan permintaannya yang dulu sekali pernah ia ucapkan ketika meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Jerman.
Kini mereka telah bahagia, bukan sekedar baik-baik saja.
----
A/n: Yay! Extra Part lagi xoxo. Well, telat banget sih sebenernya baru main cast sekarang, tapi intip aja, di bagian Meet The Cast. Kalian bisa membayangkan Dhanu x Thalia x Najla sebagai siapapun, tapi aku suka aja sama kalian. Masih ada yang baca nggak sih? Mudah-mudahan masih ada ya.
Nggak tau kenapa, kangen banget sama tiga sahabat ini.
Kasihan ya Dhanu, udah punya anak tetap aja jadi korban penganiayaan batin Thalia x Najla wkwk
Tiati ya kalian bertiga, nanti anaknya kena friendzone juga lagi, kayak bapak x ibunya wkwk
Yaudahlaya, semoga mereka bahagia terus :p
Salam sayang,
Kesayangannya Juna dan Elang, muehehe.
P.s: di mulmed ada foto mas Rendi! Bodo amat yang bilang tua, kan Rendi memang udah tua, dan sumpah ya, Chicco tuh emang ganteng dan maskulin abis. Persis Rendi.
Fyi, Rendi di dunia nyata ga seganteng Chicco tapi machonya 11 12 lah wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro