Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Nada atau Thalia?

Dhanu.

Gue baru balik dari rumah Najla, setelah hampir selusin telfon gue ke Thalia dia abaikan.

Kalo kata Najla, Thalia ngambek karena gue matiin hp. Padahal, gue tadi beliin dia es krim yang entah udah berapa lama bikin cacing-cacing di perut dia ngiler, jadi lah es krim jatah Thalia diabisin juga sama Najla.

Sekarang sudah jam sebelas malam, tapi gue sama sekali belum ngantuk, padahal capek banget ya naik motor Jakarta-Tangerang cuma demi es krim yang rasanya sama sekali tidak sebanding dengan jaraknya.

Sejak pulang tadi, entah berapa banyak bbm dari Nada yang gue abaikan. Mungkin dia agak khawatir karena setelah mengantar dia pulang tadi, gue sama sekali belum ngabarin dia. Jangan sebut gue brengsek, tapi salah kan Najla, si sakars, yang mulutnya harus disilet-silet karena semua kalimat pedas selalu keluar dari sana, yang sialnya juga, kalimat itu selalu benar juga.

Beberapa jam yang lalu, setelah hampir setengah jam menunggu si kesayangan gue, Thalia, di depan rumahnya, gue akhirnya memutuskan untuk beranjak ke rumah Najla, karena selama setengah jam itu, jangan kan nongol batang hidungnya, angkat telfon gue aja enggak.

Dan ketika gue sampai di rumah Najla, dengan segala sikap sopan santunnya, dia langsung mengambil dua kotak es krim yang ada di kantong plastik.

"Yah, lumer deh." Gue cuma bisa tersenyum kecut, melihat tampang Najla yang sedih banget waktu liat wujud tuh es krim. Dia aja yang tinggal nadah aja sedih, apalagi gue.

"Yaiyalah, Tangerang bro! Tangerang!" Gue berujar berapi-api agar si Najla tau, betapa sulit perjuangan gue untuk mendapatkan seonggok es krim tersebut.

Tapi memang dasar Najla, mungkin dia memang titisan setan, karena tanpa mengucapkan terima kasih, ataupun menghibur gue atas ngambeknya Thalia, dia malah nyeletuk.

"Tadi dong, gue sama Thalia abis ngejalanin misi." Gue menelan ludah ketika mendengar celetukan Najla, sedangkan setan kecil itu dengan pintarnya mengambil kesempatan di dalam kesempitan, karena gue sedang bodoh mode on, gue hanya mengangguk ketika dia mengambil es krim dan bilang,

"Thalia lagi ngambek 'kan ama lo? Ini buat gue aja ya?" tanoa menunggu anggukan gue yang kedua, dengan santainya dia berjalan ke kulkas, lalu memasukkan kontak es krim itu ke freezer.

Tapi okay, peluh keringat gue memperjuangkan es krim itu tidak lebih penting dari pada si 'misi'.

Gue tau banget apa itu misi menurut mereka. Stalking.

Sebagai teman dan--mudah-mudahan--calon pacar yang baik, gue nggak pernah mendukung kegiatan tercela mereka yang satu itu.

Jujur aja, dengan segala yang mereka miliki, mereka bisa aja tinggal kibas rambut biar para lucky bastard itu berubah menjadi cowok-cowok tolol pemuja dua wanita ular itu. Oke, gue pun salah satunya, jangan ketawain gue deh, lo ya.

Gue pernah protes yang langsung dijawab dengan jambakan sama Thalia.

Dengan sadisnya dia berteriak di telinga gue. "Jadi, lo ngatain kita murahan gitu?"

Gue ingat, yang gue lakuin adaah meneguk ludah, lalu menggeleng, "Maksud gue, ngapain sih kalian begitu?"

Mendengar kalimat gue, Thalia mendengus kesal, namun sejurus kemudian matanya berbinar.

"Nu, lo nggak tau sih seninya, lagian tenang aja lagi, gue sama Najla nggak bodoh bodoh banget. Lagian, malu itu kalo ketauan, lah kita nggak pernah ketauan ini." Dan pada akhirnya, gue hanya bisa membiarkan kelakuan mereka terus berlanjut.

Setidaknya, gue bersyukur karena gengsi mereka di depan orang luar, bener-bener tinggi.
Susah buat ngedeketin mereka, kecuali tuh cowok ngedeketinnya nggak ketauan modusnya.

Tapi, kalau pada tau kelakuan brutal mereka, rusak sudah pencitraan mereka selama ini. Selain stalking, mereka juga suka ngerjain cowok cowok rese.

Entah itu cowok yang nyakitin mereka atau ganjen ke mereka.

Kalau tuh cowok ganjennya masih dalam tahap wajar, ya palingan kempes bannya pulang sekolah, atau joknya lengket lengket kena power glue.

Tapi, kalau udah kurang ajar, ya kalau nggak tuh ban motornya bolong kena paku, paling disilet pake cutter.

Gue inget banget beberapa minggu lalu, waktu tuh anak dua nungguin gue latihan, si Radith pulang dorong motor, karena katanya bannya bocor disilet, dan jok motornya bau amis telor busuk.

Yap, betul sekali saudara-saudara, nggak usah ditanya, karena sudah jelas iblis mana yang melakukannya. Si Najla, siapa lagi.

Thalia?

Jangan bikin gue cerita bagaimana ban motornya Bara--mantannya Najla--bolong-bolong ditusuk paku, bensinnya disedot sampe abis, dan joknya bau kotoran ayam.

Entah gimana caranya Thalia menyedot habis bensin bajingan satu itu. Sampai sekarang, hanya Thalia dan Tuhan yang tau.

Gue tersadar dari lamunan, ketika Najla dengan santainya berselonjor di atas sofa, sambil menyendok es krim ke mulutnya.

"Terus gimana? Berhasil?" Gue bertanya ringan sambil ikut berselonjor di sisi lainnya.

"Emang gue sama Thalia pernah gagal? Seenggaknya adalah 3-4 rumah yang mungkin rumahnya Fadli." Obrolan tentang Fadli itu pun berlanjut sampai beberapa lama.

Tapi bukan itu yang bikin gue nggak bisa tidur. Tapi omongan Najla waktu kami mulai membahas Nada.

"Jangan serakah Nu, kasihan si Nada." Najla berujar setelah menjilati sendok es krimnya, sedangkan gue menatapnya nggak ngerti.

"Hah? Maksudnya?"

"Lo mulai bikin si Thalia bingung tuh." Gue masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini, sampai Najla mengubah posisi duduknya, lalu mengintimidasi gue dengan gesturenya

"Thalia wajar ngejar Fadli, 'kan dia nggak sadar perasaan dia ke elo, kalo elo tau perasaan lo ke dia gimana, kasian si Nada kalo lo jadiin tempat lari lari mulu." Najla mengatakannya dalam satu tarikan napas, membuat gue menghempaskan punggung ke sandarn sofa yang empuk.

"Jadi, menurut lo gue harus nyatain ke Thalia perasaan gue terus ninggalin Nada gitu?" Najla mengangkat sebelah alisnya, alu bertanya santai,

"Lo berani kehilangan dua duanya?"

"Enggak." Kalimat gue diikuti dengan efek penegasan, tapi nyatanya hal itu malah membuat Najla menatap gue gemas.

"Ya lo pilih lah salah satu dodol, kalo emang lo suka Thalia, yaudah lo lepasin Nada kejar Thalia, perjuangin, tapi ati-ati bukan jadian malah bisa musuhan, kalo emang lo nggak mau keluar dari zona nyaman lo ama Thalia, ya lupain Thalia belajar tulus ke Nada."

"Kalo lo jadi gue lo pilih Thalia atau Nada?"

"Thalia, tapi artinya lo harus siap nunggu lama bahkan mungkin selamanya." Jawaban Najla terdengar begitu tegas dan mantap, tapi gue merasa belum puas dengan jawaban itu.

"Kenapa bukan Nada?" cecar gue lagi, Najla menatap gue sekilas, sebelum kembali menjawab.

"Karena dari awal niat lo ke Nada udah jelek, cuma buat main-main." Mendengar jawaban Najla, gue memicingkan mata, Najla membuat gue terdengar seperti bajingan, dan sayangnya gue nggak bisa mengelak.

"Kalo gue nyatain ke Thalia dia kira-kira bakal gimana, Jla?"

"Ngejauhin lo." Najla menjawab gue dengan sekalu tarikan napas, membuat gue sedikit menyesal bertanya pada ratu ular yang satu ini. Mulutnya, pait banget.

"Kok gitu?" Najla akhirnya mengalihkan pandangannya ke gue, lalu merubah gesture tubuhnya, dia melipat tangan di depan dada lalu memicingkan mata, membuat gue sedikit terintimidasi, sialan.

"Thalia, lo sama. Sama-sama nggak mau keluar dari zona nyaman." Demi kerang ajaib, betapa gue membenci teman yang suka terlalu jujur ini.

Gue akhirnya menghempaskan punggung ke sandaran kursi, merasakan kepala yang mulai berdenyut.

"Kalo lo gimana, Jla?" Najla terdiam cukup lama sampe akhirnya dia jawab.

"Gue udah pernah kok, Nu. Gue nggak nyesel pernah keluar dari zona nyaman itu, tapi gue nggak akan pernah lagi mau keluar dari zona nyaman itu. Waktu lo jadian sama sahabat lo ,itu artinya lo juga harus siap kehilangan keduanya, cinta sama sahabat lo. Contohnya ya lo liat sendiri gue sama Bara." Oke, selain sakars ratu ular ini pintar juga membuat gue merasa bersalah, gue pasti ngingetin dia ke Bara.

Dulu Bara dan Najla sahabatan, sebelum jadian sama Bara, Najla udah deket sama Bagas, tapi karena si tolol itu cabut gitu aja, yaudahlah Bara ini yang selalu ada buat Najla. Akhirnya mereka jadian, tapi yang paling nyakitin adalah waktu Najla tau ternyata Bara ada main sama adik kelas, padahal tuh adik kelas deket juga ama Najla. Sampai akhirnya mereka putus.

Entah sudah berapa lama mereka putus, yang jelas sampai detik ini, Najla masih belom bisa move on, masih nggak percaya sama komitmen.

Bukan, bukan karena si Bara itu ganteng, tapi karena ternyata dua orang dari segelintir orang yang dia percaya udah nyakitin dia.

Gue nggak tau seberapa banyak efek dari patah hati yang harusnya dialamin anak SMA, yang notebenenya masih cinta monyet. Tapi gue jadi paham, seberapa besar efeknya kalo kepercayaan kita ternyata di salah gunain.

Waktu itu malem-malem Thalia nelfon gue, cerita kalau Najla baru putus, dan malam berikutnya Najla sendiri yang cerita kalau si Bara itu jadian sama itu adik kelas. Najla nangis? Enggak, dia nggak nangis waktu putus, tapi waktu dia lihat adik kelas itu, gue bisa lihat, bagaimana akhirnya tuh air bening keluar dari ujung matanya.

Adik kelas yang jadian sama Bara adalah adik kelas yang deket sama Najla, tuh anak Najla tolongin waktu ospek jadi mereka sering curhat, tapi ternyata temen makan temen emang nyata ya, gue kira cuma di tv doang.

Setelah tau Najla single lagi si Bagas ngedektin Najla lagi. Tapi sampai sekarang, tuh anak masih jadi jemuran.

"Lo nggak mau keluar dari zona nyaman lo, makanya si Bagas lo jemur ampe karatan ya?" Gue berusaha mencairkan suasana, atau mungkin menebus rasa bersalah, apalagi tampang Najla yang udah mulai mendung.

"Enak aja lo, itu sih salah dia sendiri, siapa suruh dulu mainin gue, sekarang gue main-mainin emang enak." Najla balik lagi dengan gayanya yang tengil, tapi masih kelihatan jelas tengilnya dia masih nggak ikhlas.

Gue menghela napas berat, sebelum memberanikan diri bertanya.

"Lo nggak nerima Bagas karena masih takut ya, Jla? Masih belum bisa move on dari Bara?" Najla diam, tapi nggak lama dia senyum. Senyum pahit.

"Mungkin selamanya gue nggak akan bisa move on dari Bara, Nu. Tapi bukan berarti gue bakal stay on. Gue bakal punya cowok baru, gue bakal pacaran lagi, jatuh cinta lagi, menikah juga sama cowok yang pastinya nggak brengsek kayak dia. Tapi Bara selalu punya tempat sendiri di hati gue."

"Ini elo, Jla? Wow puitis apa picisan ya?" Gue menatap Najla takjub, membuat Najla langsung memukul lengan gue sambil tertawa.

"Sialan lo emang ya, udah bikin gue flashback pake nyela lagi."

"Tapi serius nih ya, Jla, kalo si Bara ngajak balikan, lo mau nggak?" gue pikir jawaban yang akan dia lontarkan adalah anggukan, atau jawaban 'pikir dua kali' tapi ternyata, jawaban yang gue dapatkan benar-benar berbeda dari dugaan gue.

"Enggak." Gue menatap Najla bingung, mendengar jawabannya yang tegas.

"Loh, kok gimana sih lo? Katanya masih sayang ama dia?" protes gue yang langsung dihadiahi Najla tatapan ganas.

"Lo pikir gue segitu ngenesnya ya, Nu? Kurang ajar juga lo! Belom move on belom tentu masih sayang kali. Dia itu cuma pelajaran doang buat gue, biar nggak terlalu percaya lagi sama seseorang, lagian kehilangan dan disakitin sama dia udah cukup sekali, ngapain lagi dua kali."

Tiba-tiba gue tersadar sesuatu, senyum gue merekah mengingat kalimat Najla tadi. Sekarang, gue tau apa yang harus gue lakuin.

Treatment yang dia lakuin buat ngejaga hatinya dari si Bara bakal gue lakuin buat ngejaga hubungan gue sama Thalia.

Gue menyambar handphone gue, lalu mengetikan sebuah pesan untuk si ratu ular.

Thanks Jla, lo emang bestfriend paling okelah.

Sent.

Setelah pesan itu terkirim, gue langsung membalas bbm Nada. Dengan siapa pun itu, selain Thalia, gue akan belajar tulus sama orang itu, belajar jatuh cinta lagi tanpa pernah berhenti jatuh cinta sama Thalia.

Walaupun artinya selamanya gue dan Thalia cuma teman. Its okay.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro