6. Thalia Kangen Papa
Thalia.
Tau ah gondok aku sama Najla. Sejak kapan coba diantara kami bertiga ada cerita murahan begitu?
Teman ya teman, gebetan ya gebetan, pacar ya pacar, musuh ya musuh. Nggak lucu abis si Najla.
Tau yang lebih nggak lucu lagi apa? Walaupun aku tau nggak akan ada cerita picisan begitu antara kita bertiga, tapi tetap aja sejak tadi aku pulang, sampai sekarang jam dua belas malam, aku nggak bisa tidur.
Yang aku lakukan sejak tadi cuma guling-guling bodoh di tempat tidur, mikirin kata-kata Najla tadi sore. Enak banget memang tuh anak kalo ngomong, suka minta ditabok.
Kalau Najla minta ditabok, berarti si Dhanu minta dibunuh. Tau nggak apa yang aku temukan di path waktu iseng iseng on tadi? Dia sama si Nada update path. Dua kali! Catat ya, dua kali.
Pertama, watching, oke yang ini aku terima mereka emang nonton dan itu di update sebelum aku nelfonin dia. Tapi yang kedua? Mereka makan di salah satu kafe es krim gitu, yang jauh tempatnya jauh banget, yang udah nggak tau berapa lama aku idam-idamkan. Tega memang si Dhanu, itu di update setelah aku sampai rumah.
Oh kalian nanya dia langsung telfon apa enggak setelah aktifin hp? Big no! Dia baru telfon jam 9 malam tadi, jadi rasain aja sepuluh panggilan dari dia aku kacangin.
"Tha belom tidur?" kak Tio masuk ke dalam kamarku, agak-agaknya aku terlalu berisik guling-guling, sampai abangku ini bisa tertarik buat ngecek kesini.
"Enggak kak, nggak bisa tidur." Aku bangkit dari posisiku, agar dapat menemukan wajah kak Tio.
"Tidur kamu, udah malem." Kak Tio baru ingin menutup pintu, ketika kalimatku menahan gerakannya.
"Kakak belom tidur juga?" Kak Tio menggeleng sekilas sebelum memberikan alasannya.
"Masih ada tugas." Gila memang abangku ini, jam segini masih ngerjain tugas, lah aku sih ogah ya begadang buat ngerjain tugas. Buat nonton aku masih rela, ini ngerjain tugas.
Beda banget memang aku ama abangku ini, sekarang dia lagi sibuk ngejar S2nya sambil kerja di firma arsitektur punya papa.
Dia juga sudah tunangan, tunangannya tetangga depan rumah kami dulu, sekarang lagi sibuk kerja jadi pengacara publik.
Rencananya mereka mau nikah begitu rumah yang abangku bangun jadi. Mungkin sekitar pertengahan tahun depan.
Hidup abangku benar-benar rapih dan terencana, hampir semuanya berjalan sesuai planning.
Apa yang dia lakukan saat ini udah dia rencanakan baik-baik dari jauh-jauh hari, dari zaman dia masih kecil. SMP favorite, SMA favorite, universitas favorite, semua dia lakuin dengan total.
Lah aku? Boro-boro yang favorite, dapat negeri aja syukur. Aku sampai sekarang bahkan belom tau mau lanjut kuliah atau kerja aja.
"Kak?" Panggil ku lagi, membuat kak Tio akhirnya beranjak dari pintu.
"Hmmm?" Kak Tio bergumam satu suku kata, sedangkan aku memikirkan pilihan kata yang tepat untuk mengajukan pertanyaan
"Kakak ama kak Fira kok bisa jadian?" aku menautkan jari-jari ku sambil menatap kak Tio, menunggu jawaban darinya.
"Karena kita saling suka, kamu kenapa nanyain itu?" kak Tio menaikkan sebelah alisnya, lalu beringsut duduk di atas kasurku.
"Kok bisa? Kan kalian temen dari kecil?"
"Loh, emang kenapa kalo temen dari kecil?" mendengar jawaban kak Tio yang selalu berputar-putar, membuat ku menatap kak Tio gemas.
"Ya, 'kan nggak enak aja gitu kak," ujar ku kaku, sedangkan kak Tio menatapku semakin bingung.
"Loh, kenapa nggak enak?" Aku menghembuskan napas keras-keras mendengar pertanyaan kak Tio, demi apapun aku butuh jawaban bukan pertanyaan.
"Ih kakak! masa nggak ngerti maksud Thalia, sih." Aku menatap kak Tio gemas, sedangkan kak Tio sendiri terkekeh.
Kak Tio tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia malah berbaring di kasurku, membuatku ikut tengkurap di sebelahnya, memperhatikan kakakku yang sekarang sedang menatap langit-langit kamarku, sambil tersenyum. Matanya menerawang seakan membuka memori lampau.
"Gimana ya Tha, ceritanya? Kakak juga nggak tau kenapa akhirnya kita pacaran sampe mau nikah malah." Aku diam di sampingnya, menikmati cerita yang mungkin akan bergulir dan moment abang-adik yang sudah lama tidak berlangsung.
"Cinta itu ajaib lagi, Tha, jangankan sahabat, musuh aja bisa jadi cinta, sodara aja bisa jadi cinta. Sayang nggak semua cinta itu halal," gumamnya ringan, sedangkan matanya masih tak lepas dari langit-langit kamar ku.
"Jangan sedih gitu dong ka, jangan-jangan kakak jatuh cinta ya sama Thalia?" Mendengar kalimatku, kak Tio sontak menoleh dan menatapku horor.
"Ngaco kamu, Tha." Kak Tio tertawa ringan, membuatku ikut berbaring di sampingnya.
Setelah itu, tidak ada lagi yang terdengar kecuali detik yang berdetak pada jam di sisi dinding. Tapi rasanya aku ingin waktu ini dibekukan.
Sudah lama kami nggak ngobrol berdua seperti ini. Aku bahkan hampir lupa, kapan terakhir kali kami bisa mengobrol bebas sebelum hari ini.
Kami sudah terlalu sibuk masing-masing, sampai akhirnya kami sadar, mungkin sudah nggak akan banyak waktu lagi sampai akhirnya dia menikah dan nggak bisa setiap hari ada di rumah.
"Hhh, aku sebel ah sama kak Fira." Mendengar decakan ku, kak Tio sontak menoleh.
"Loh, kenapa?" dahi kak Tio berlipat menatapku.
"Iya, kak Fira ngambil kakak aku sih, jadi tambah kesepian deh aku begitu kakak merit nanti." Aku menghela napas berat, mengingat kak Tio yang akan meninggalkan ku selalu membuatku merasa jengah.
Kak Tio terkekeh sebentar sebelum ikut mencebikan bibirnya. "Kalo gitu, kakak juga sebel ah sama Dhanu."
"Loh, kok Dhanu sih kak?" mendengar kalimat kak Tio, aku sontak bangkit dari tidur lalu menatapnya galak.
"Iya, abis dia ngambil adek kakak, sih." Aku mencubit lengan kak Tio membuatnya meringis sesaat.
"Ih, kakak apaan sih? Dhanu 'kan cuma temen." Aku menatap kak Tio kesal. Ini ada apa pula, kenapa bahkan orang-orang terdekatku, memikirkan kemungkinan tolol seperti ini.
"Ah, masa sih? Kakak kok liatnya beda ya?" tatapan ku berubah datar ketika melihat eksperesi kak Tio.
"Kakak sibuk mulu, sih. Nggak tau 'kan, aku sekarang lagi naksir siapa?"
"Siapa?" Mendengar ketertarikan dalam nada suara kak Tio, membuat aku buru-buru ngambil handphone, dengan gerakan cepat, aku mencari foto Fadli di gallery.
"Nih, ganteng 'kan?" kak Tio mengambil ponsel dari tanganku, lalu menatap layarnya sekilas sebelum melemparkannya kembali ke arah ku.
"Gantengan kakak, ah." Mendengar jawabannya aku sontak melotot, membuatnya terkekeh.
"Yeee, enak aja, gantengan dia tau," ujarku berapi-api.
"Udah, belajar dulu yang bener, nggak usah mikirin cowok mulu." Aku mencebikkan bibir, tapi tak pelak mengangguk juga.
"Iya iya." Setelah itu hening menyelimuti kami, tapi ini bukan jenis keheningan yang memuakan, dan aku menikmatinya.
"Kak?" mendengar suara ku kak Tio menoleh sesaat sebelum kembali menatap langit-langit kamar.
"Kenapa lagi?"
"Gimana caranya kok kakak bisa tau kakak sayang sama kak Fira bukan sebagai sahabat, kakak deg degan gitu? Apa gimana?" Kak Tio tersenyum sebentar, matanya tampak menerawang tapi sama sekali tidak menoleh.
"Nggak tau deh ya, kakak nggak deg degan kok, intinya yang kakak tau, cuma sama dia kakak bisa merasa lengkap." Aku terpekur mendengar jawaban kak Tio. Merasa lengkap. Merasa lengkap. Suara itu terngiang di kepala ku sampai kak Tio bangkit dari tidurnya, membuat ku refleks berbaring.
Dan, apa yang kak Tio akan lakukan selanjutnya telah ku hapal di luar kepala. Ia akan menaikkan selimutku sebatas leher, sebelum mengelus anak rambutku lalu mematikan lampu dan berakhir pada ditutupnya pintu kamar bersamaan dia yang menghilang dari balik pintu.
Setelah yakin kak Tio sudah bernar-benar pergi, aku menghela napas berat lalu menatap langit-langit kamar.
Sejak papa meninggal kak Tiolah yang paling sering melakukan hal ini.
Detik terus berlalu dan aku masih terus terjaga, pada saat-saat seperti ini, maka satu-satunya hal yang aku bisa lakukan adalah mengenang, mengenang papa.
Papaku meninggal lima tahun yang lalu, saat itu kak Tio belum lulus S1, seingatku masih semester 7 atau 8 dan aku masih kelas 1 smp baru mau naik kelas 2.
Itu zamannya aku masih belum mengenal Najla dan Dhanu.
Papa meninggal karena sakit, sebatas itu yang aku tau. Sampai detik ini mama nggak ngasih tau aku, apa penyakit papa, sudah berapa lama dan seberapa parah penyakit itu bersarang di tubuh papa sampai akhirnya papa meninggal. Aku benar-benar buta akan penyakit papa.
Segala adegan sebelum Papa pergi meninggalkan kami terputar jelas di benak ku, layaknya film favorite yang aku ingat setiap adegannya.
Siang itu, tepat ketika aku pulang sekolah rumah kosong, mama nggak ada, tapi rumahku nggak digembok, pintu dalam keadaan terbuka. Aku baru saja ganti seragam ketika kak Tio pulang untuk menjemputku, kami berdua ke rumah sakit.
Papa masih dalam kondisi sadar saat itu. Aku yang sama sekali polos dan buta akan penyakit papa cuma mengira kalau papa sakit biasa.
Dan ketika itu, ada satu kalimat papa yabg sama sekli tidak aku anggap sebagai pesan perpisahan, pesan yang terakhir papa utarakan pada ku.
"Thalia, kalau jadi perempuan harus kayak mama ya, perempuan mandiri, walaupun Thalia perempuan, Thalia harus bisa jaga diri Thalia, bantuin kak Tio juga untuk jagain mama, oke?" aku tersenyum, lalu mengangguk, mengabulkan permintaan papa.
"Oke pa, Thalia nggak akan manja kok, yang penting papa sembuh ya?" Papa tersenyum, mengacungkan jempolnya, mengisyaratkan kebohongan papa yang paling menyakitkan dalam ingatanku.
Sejurus kemudian papa meraih tubuhku, memintaku memeluk dan menciumnya, dengan senng hati aku mengabulkannya.
Sedetik sebelum pelukan itu terlepas, papa membisikan sesuatu di telingaku, yang bahkan aku ingat setiap katanya sampai detik ini.
"Thalia memang anak papa paling hebat, papa sayang banget sama Thalia." Kalimat yang sejujurnya sangat biasa dikatakan oleh orang tua kepada anaknya, kalimat yang juga sudah jutaan kali aku dengar, tapi entah kenapa memberikan efek yang luar biasa dasyat pada ku hari itu.
"Ah papa, bisa aja." Aku tersipu mendengar kalimat papa, sedangkan papa justru tertawa. Terakhir, sebelum pulang aku mencium tangan papa, dengan jelas aku ingat bagaimana sorot teduh itu menatapku penuh belas kasih.
Dan ternyata itulah cium tangan terakhirku sebelum papa akhirnya pergi menghadap Sang Pemilik Hidup.
Rentang waktu antara cium tanganku di rumah sakit dengan napas terakhir papa, hanya berjarak tiga puluh menit.
Tiga puluh menit yang terasa selamanya, tiga puluh menit yang meremukan segalanya, tiga puluh menit yang Tuhan izinkan untuk menjadi pemisah dimensi diantara kami, tiga puluh menit yang aku sia-siakan.
Kalau saja aku tau itu adalah tiga puluh menit terakhir yang mungkin bisa aku nikmati bersama papa, aku nggak akan pulang, aku akan tetap di sana bersama mama dan papa, aku akan berceloteh panjang tentang memori keluarga kecil kami, aku akan mengutarakan sepanjang mungkin, tentang seberapa besar sayangku kepada pria itu, pria yang terlalu menyayangiku.
Seperti diterjang badai, kematian papa mengguncang keluarga kami, mama nggak keluar kamar selama hampir tiga hari.
Setiap aku mengantar makanan ke kamarnya, makan itu selalu kembali dengan utuh. Biasanya, hanya air putih lah yang sedikit berkurang.
Mama terpuruk terlalu jauh, itulah yang aku dan kak Tio pahami, kami berusaha saling menguatkan satu sama lain, tapi tanpa sadar justru akulah yang bergantung pada kak Tio.
Ekonomi keluarga kami pun ikut goyang, saat itu firma arsitektur papa masih kecil belum sebesar dan semaju sekarang.
Kak Tio hampir putus kuliah demi melanjutkan perusahaan papa. Tapi bersyukurlah kami, papa terlalu menyayangi kami, papa bahkan sempat menitipkan perusahaanya pada seorang temannya.
Perlahan, masalah ekonomi kami selesai, Kak Tio menyelesaikan S1 nya secepat mungkin, dan menunda kuliah S2nya, demi meneruskan perusahaan papa.
Mama akhirnya kembali bekerja seperti biasa. Semua tampak baik-baik saja, tapi aku sadar, sebenarnya kami tidak baik-baik saja. Banyak yang berubah dalam keluarga kami, karena hilangnya sebuah pondasi.
Hampir setiap malam, diam-diam aku mengintip kamar mama, melihat beliau menegak pil-pil obat tidur. Kadang kala aku menemukan mama melamun, seperti kosong tanpa jiwa.
Pada waktu lainya, mama akan berangkat kerja sebelum aku bangun, dan pulang ketika aku sudah terlelap. Dan aku sadar, sementara mama sibuk mengobati dirinya sendiri, mka tidak ada tempat aku berlari selain kak Tio. Dialah yang mengambil semua peran keluarga dalam hidup ku.
Walaupun terlihat paling stabil diantara kami,terlihat nggak keberatan dengan tanggung jawab yang dia pikul atas aku dan mama, kelihatan sangat baik-baik saja. Tapi di punggungnya ada beban yang bikin dia mau nggak mau harus berkorban, kenapa dia menunda pernikahannya sama kak Fira, aku sangat paham.
Kak Tio mungkin harusnya sudah menikah dua tahun yang lalu, tapi karena aku masih SMA kak Tio menundanya, alasannya belum punya rumah padahal sebenarnya dia bisa tinggal disini dulu.
Kak Tio takut. Takut kalau dia menikah duluan sementara aku belum lulus, aku akan kembali kehilangan pegangan, takut kalau aku dewasa tanpa bimbingan.
Aku ingat beberapa minggu lalu, saat aku nggak sengaja mendengar percakapan kak Fira dan kak Tio waktu kak Fira lagi main ke rumah.
"Aku yang ngomong sama ayah nanti ya, cuma sampe Thalia lulus SMA Fir, kamu yang sabar ya." Dari celah pintu aku melihat kak Tio mengusap tangan kak Fira.
"Iya aku ngerti kok, cuma ayah khawatir Yo, umur aku 'kan juga udah 27." Aku yang tadinya mau ke luar, akhirnya memutuskan untuk tetap di kamar, menyusup di balik selimut.
Ingatanku tentang hari itu membuatku berpikir tentang banyak hal malam ini. Tentang papa, tentang mama, tentang kak Tio, tentang Dhanu, dan untuk pertama kalinya tentang masa depanku.
Ah papa, Thalia kangen papa.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro