Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. Worst Mistake

Thalia.

If you don't fight for what you love, don't cry for what you lost.

Aku telah berkali-kali merasa kehilangan. Kehilangan Papa ketika aku masih sangat muda, kehilangan sosok Mama karena keterpurukan, kehilangan kepercayaan pada orang lain karena merasa dikhianati, bahkan aku pernah merasa kehilangan diri sendiri ketika aku terlalu mencintai orang lain.

Tapi aku tidak pernah menyangka, kehilangan selanjutnya yang aku hadapi adalah kehilangan seorang Dhanu Ishal. Cowok tengil yang telah bertahun-tahun menjadi sandaran ku. Dhanu bukan yang aku mau, tapi dia adalah sesuatu yang aku butuhkan.

Menyedihkannya, aku baru menyadarinya setelah ia pergi.

Kemana saja aku selama ini?

Aku di sini, dia pun di sini, hal itu yang membuatku tidak pernah menyadari rasanya kehilangan.

Dhanu bukan sekedar sahabat, lebih dari itu ia adalah obat. Aku pernah terpuruk karena kehilangan Papa, lalu terlalu enggan untuk bergantung pada kak Tio, hingga akhirnya Dhanu lah yang selama ini aku jadi kan rumah; tempat ku selalu kembali.

Tidak perduli Radith atau siapapun laki-laki yang ada di hidupku, satu-satunya yang aku tuju setiap aku merasa jatuh dan tidak berdaya adalah Dhanu. Sayangnya, aku tidak pernah menyadarinya.

Ketika tau bahwa pesawat Dhanu telah lepas landas, satu-satunya yang aku rasakan adalah kekosongan. Kaki ku kebas, pikiran ku menerawang, sampai akhirnya aku merasa sesuatu yang pahit terjebak di tenggorokan ku, aku merasa seperti kehilangan oksigen di sekitarku. Aku tercekat.

Aku jatuh, duduk di lantai, bertopang pada tiang. Fadli hanya menatapku, begitu pun pengunjung bandara yang lain, tapi aku tidak perduli.

Sesuatu menghantam-hantam dadaku, memukulinya berkali-kali, hingga aku merasa sesak dan tidak mampu bernapas.

Setelahnya, di luar kesadaran aku berlari menuju terminal keberangkatan, pada pintu kaca yang tertutup aku berusaha menemukan Dhanu di sana. Napasku tersengal, dadaku tercekat, aku terisak memohon agar ada keajaiban yang membuat Dhanu masih bisa berada di sana. Namun nihil, pada akhirnya, aku dan Fadli harus di giring security keluar dari Bandara.

Aku tidak mampu berdiri, hanya membekap mulutku berusaha meredam isakan.

Tiga jam telah berlalu sejak aku meninggalkan Bandara, dan di sinilah aku sekarang, di kamar Najla, berusaha mengatur napas setelah menangis nyaris satu jam lamanya.

Jutaan kali aku mendengar, bahwa seseorang baru berarti setelah kita kehilangan. Begini kah rasanya? Sesak ini tidak terdefinisikan.

Dadaku berdenyut ngilu kala mengingat kalimatnya di La Bridge kemarin malam. Seperti ingatan hitam putih, mereka bergerak cepat, menghantarkan ku pada satu kesadaran; Dhanu telah melakukan banyak hal untuk menyadarkan ku, namun aku terlalu pengecut, hingga akhirnya penyesalanlah yang aku temui.

"Gue bodoh banget, Jla..." suara parau terdengar di sela isakan ku, namun Najla hanya mengelus bahuku lembut.

Di banding aku, keadaan Najla jauh lebih baik.

"Tha, selama ini, Dhanu udah banyak berjuang buat lo, dia selau ngalah sama kita, Dhanu selalu menjadikan kita prioritas di atas dirinya sendiri, mungkin ini saatnya buat kita ngelepas dia, asal dia baik-baik aja, kita juga baik-baik aja, right?"

Aku menggeleng pelan, aku tidak ingin lagi berbohong atau berpura-pura. Aku butuh Dhanu, dan aku tidak baik-baik saja tanpa dia di sisi ku.

***

Satu minggu berlalu sejak Dhanu meninggalkan Jakarta juga kami.

Aku tau, aku tidak akan mampu melupakannya, jadi aku justru menelusuri jejak yang pernah ia tinggalkan, hanya untuk menyadari bahwa Dhanu bukan sekedar imajinasi.

Seperti sore ini, aku berdiri pada salah satu sisi jembatan, laut tampak biru dan tenang, kebisingan di belakang ku sama sekali tidak terdengar.

Aku terkurung hening, bersama kenangan terakhir yang Dhanu tinggalkan di sini.

Aku menghela napas lelah.

Tidak ada orang yang bisa melawan sakitnya kehilangan dan tidak ada orang yang menang atas rasa sesal.

Inilah yang akhirnya aku pahami.

Ketika perasaan kehilangan dan sesal itu hadir, satu-satunya yang dapat di lakukan adalah menerimanya. Layaknya sebuah hukuman, aku membiarkan kehilangan dan sesal itu berjalan bersama ku, sampai ada masanya perih itu perlahan terkikis dengan sendirinya, karena tidak ada penyembuh luka yang lebih baik dari pada waktu.

"Tha?" aku menoleh dan menemukan Fadli di sisiku. Ia menyerahkan sekaleng minuman soda seraya tersenyum.

Seminggu ini, aku mengabaikan Fadli, berusaha menelaah hati ku sendiri. Pesan dari Fadli tetap setia sampai di ponselku, sekalipun selalu tanpa balasan.

Dan hari ini, aku memutuskan untuk berhenti menjadi perempuan brengsek.

Sekalipun harus kehilangan Fadli, aku harus tetap jujur pada diriku sendiri, aku tidak boleh menahannya sementara aku tau, Fadli bukan lagi yang aku harapkan.

"Dli?" aku memanggil namanya tanpa menoleh.

"Hm?"

"Aku mau ngomong," aku dapat mendengar helaan napas Fadli, ia kini menatapku hangat.

"I know, aku tau apa yang mau kamu omongin. Maafin aku, aku udah tau kamu suka sama Dhanu sejak lama, tapi aku egois, Tha, aku nggak berusaha menyadarkan kamu." Fadli menggantung kalimatnya sesaat sebelum melanjutkan, "aku nggak mau kehilangan kamu."

Tatapan Fadli lembut, namun tidak dapat menyembunyikan luka di dalamnya.

"Kita bisa berhenti sekarang, kamu pantas untuk ketemu perempuan yang jauh lebih baik dari aku, karena aku tau... kamu ternyata bukan yang aku butuh, maaf." Bersamaan dengan kalimat itu, rasa bersalah menyeruak dalam dada ku.

Namun Fadli menggeleng lalu tersenyum lembut.

"Nggak apa-apa, aku pernah bilang, kalau aku mau kamu saat ini itu artinya aku mau kamu selamanya, kamu bisa mengejar Dhanu dan aku akan tetap mengejar kamu." Kalimat Fadli begitu tulus, sarat akan pemahaman.

Hampir terbuai, aku menggelengkan kepala, aku tidak mau lagi menjadi perempuan egois.

"Nggak, jangan begitu Fadli, aku nggak--" kalimat ku terputus karena Fadli kini menatapku dengan sorot hangat, tangannya meraih bahuku untuk menghentikan kalimatku.

"Kalau selamanya kamu nggak bisa lupain Dhanu, atau kalau suatu hari nanti Dhanu kembali ke kamu, it's okay, itu memang resiko aku sebagai laki-laki, tapi sementara waktu biarin aku berjuang untuk kamu seperti yang dulu Dhanu pernah lakuin." Fadli tersenyum, mengacak rambutku sebelum kembali berujar.

"Aku akan berusaha sebaik mungkin biar kamu jatuh cinta sama aku, ini usaha aku, bukan urusan kamu, jadi jangan terbebani, just do what you want, I'll always be there."

"Kenapa?" hanya satu kata tanya, yang dijawab Fadli tanpa perlu berpikir panjang.

"Karena aku mau kamu bahagia, dengan atau tanpa aku, tapi mulai saat ini aku akan berusaha membuat kamu bahagia cuma dengan bersama aku."

***

Aku melangkahkan kaki ku, di sepanjang jembatan La Bridge. Entah kenapa, setelah Fadli mengatakan kalimat tadi, aku justru meninggalkannya sendiri. Fadli tidak mengejarku, hanya diam di tempatnya.

Aku memutuskan untuk naik ke salah satu sisi jembatan, seraya memeluk lengan, aku menatap laut. Suara musik mengalun lembut dari kafe di sampingku.

Aku menyentuh cincin Fadli, yang kini tergantung di leherku.

Harus aku apakan kamu Fadli?

"Ternyata lo di sini? Pas." Suara seseorang memutus lamunan ku tentang Fadli. Aku menoleh dan menemukan Nada di sisiku, ia menatap ke arah yang sama dengan ku, seakan Dhanu mampu kami temukan di batas cakrawala sana.

"Lo ngapain di sini?"

"Kata kak Najla lo ada di Ancol, jadi gue ke sini nyusul lo," ujar Nada tanpa menoleh ke arahku. Senyum terlukis di bibirnya, ia tampak jauh lebih baik dari pada aku, mungkin karena ia melepas Dhanu tanpa penyesalan.

Nada menoleh ke arahku lalu tersenyum, aku membalas senyumannya singkat.

Sejujurnya, aku tidak membenci Nada. Ia hanya tidak menyukainya karena, dia dekat dengan Dhanu. Lagi pula, harusnya Nada lah yang membenci ku.

Aku selalu berdiri menjadi dinding bagi mereka, tapi dia tetap diam di tempatnya, menunggu agar Dhanu menemukannya.

"Gimana? Udah bisa ngehubungin kak Dhanu?"

Aku menggeleng lemah.

"Gue bahkan berusaha ngehubungin bokap, nyokapnya dan Diandra, tapi percuma mereka menghilang tanpa jejak."

Nada menghela napas lalu tersenyum getir.

"Kak Dhanu sayang banget sama lo kak." Kalimat Nada otomatis membuatku menoleh, mata nya kini menerawang seperti sedang mengenang.

"Malam terakhir sebelum kak Dhanu berangkat ke Jerman, gue melepaskan dia di sini, karena gue tau, bagaimanapun gue berusaha, gue nggak akan bisa ngegantiin posisi lo."

Seperti di tarik kedalam ke sadaran, sebuah pertanyaan menamparku.

Jadi, hari dimana Dhanu menemui ku, Dhanu lagi sama Nada? Berarti Dhanu ninggalin Nada untuk menemui aku?

Aku tercekat, merasa bersalah pada Nada, tapi ia masih tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Dan ternyata, pilihan gue tepat karena kak Dhanu langsung pergi nyariin lo, gue nggak bisa ngejelasin apa yang gue rasain waktu itu, sakit memang, tapi gue nggak menyesal, setidaknya kak Dhanu pergi tanpa penyesalan."

"Nad... gue minta maaf," terbata, aku berusaha menyelesaikan kalimat itu, Nada mengibaskan tangannya, tapi senyum tetap tidak lepas dari bibirnya.

"Nggak masalah, bukan salah lo kok, perasaan orang siapa yang bisa ngatur?"

"Kenapa lo ngelepas Dhanu buat gue? Sedangkan perasaan lo sendiri..." aku tidak melanjutkan kalimatku, helaan napas berat milik terdengar di telingaku.

"Ingat hari dimana gue dan kak Radith mergokin Dhanu nyatain perasaannya ke elo?" aku mengangguk samar, aku ingat, hari itu aku menampar Dhanu dan terbentang lah jarak di antara kami setelahnya.

"Hari itu, kak Dhanu ngajak gue ke pantai, di sana gue lihat dia nangis, dia hancur dan kacau. Sejak saat itu gue sadar, jauh lebih mudah melihat orang yang kita sayang bahagia dengan orang lain dari pada melihat dia hancur karena orang lain." Aku kembali tersentak.

Gemuruh itu hadir lagi, kembali membuka luka yang belum sempat aku sembuhkan.

"Lo mungkin nggak akan percaya gue bilang ini, tapi gue sudah menerima kenyataan kalau lo yang ada di hati kak Dhanu, dan selamanya gue cuma bayangan." Aku berusaha menelan bulat-bulat segala sakit yang menghantam dadaku.

Selama ini, aku tidak sadar, di banding Dhanu dan Fadli ada orang yang jauh lebih terluka karena keegoisanku.

Senyum Nada kembali mengembang, tampak getir dan menahan sesak.

"Tapi nggak apa-apa, setidaknya gue ada ketika dia butuhkan, seenggaknya, gue pernah merasa dia butuhkan, begitu aja udah cukup, gue udah bahagia."

"Nad... maaf," tangis yang sejak tadi aku tahan, tidak mampu lagi aku bendung.

Berbagai perasaan bergulat dalam dadaku, tapi yang paling nyata dan mencekat adalah rasa sesal dan bersalah.

"Gue minta maaf," aku mengatakannya berulang-ulang, dan tanpa aku sangka Nada memeluk ku, melindungi ku dari tatapan orang-orang.

Aku tau bahwa ia juga sedang berusaha menguatkan dirinya sendiri. Aku juga perempuan, dan aku paham menerima kenyataan bahwa laki-laki yang kita cintai, mencintai orang lain adalah bagian tersulit, di banding bagian mengikhlaskan itu sendiri.

***

Banyak kisah yang bercerita tentang anak manusia.

Kadang tampak begitu sederhana, namun kenapa terasa memilukan?

Berlari dan mengejar, jatuh hingga terduduk, lantas menyerah dan tidak mampu lagi menggapai.

Bukan cinta yang salah, namun terkadang semesta memang suka bercanda.

Di buatnya kau dan aku jatuh cinta, di buatnya kita terjebak dalam angan-angan, dibuatnya penyesalan datang begitu terlambat.

Hujan punya cerita tentang kita, begitupun senja dan hamparan gemintang yang serupa kunang-kunang.

Mereka lantas tertawa, mendengar semua 'semoga' anak manusia.

Karena kita begitu angkuh, berusaha mengejar waktu, sementara waktu selalu menjadi perihal yang culas;

Membiarkan orang tergerus karena masa lalu, namun tidak pernah mengizinkannya untuk menghampiri masa depan lebih dahulu.

Malam itu masing-masing dari mereka sedang di tertawa kan oleh hujan, air dan senja.

Di atasnya masih terbentang langit malam, Nada telah pergi tepat setelah matahari tenggelam. Tidak Thalia hiraukan air yang jatuh di puncak kepalanya, satu-persatu hingga basah menyeluruh.

Ponselnya baru saja berdering, namun Thalia memilih mengabaikannya.

Ada sesak yang bergemuruh, dan sesal yang menderu.

Ia dan Dhanu, masih berdiri di atas bumi yang sama, dan di bawah langit yang sama pula. Namun kenapa rasanya ia telah kehilangan Dhanu selama-lamanya?

Dulu, ia tau perasaan Dhanu namun memilih mengabaikannya, dan sekarang adalah gilirannya untuk terluka.

Karena mungkin selamanya, Dhanu tidak akan tau bagaimana perasaannya.

***

Sementara itu, Thalia tidak menyadari seseorang menunggunya sejak tetes pertama air mata gadis itu pecah dan melebur bersama ombak.

Di bawah naungan atap kafe, Fadli menatap Thalia nanar, akhirnya di raihnya ponsel, lalu di ketikannya beberapa baris kata, berharap jaringan internet mampu menghubungkannya dengan seseorang dalam hati gadis itu.

Setelah yakin pesan itu terkirim, ia bangkit, melepas kemejanya lantas melangkah menuju gadis itu.

Kaus hitam yang ia kenakan kini melekat pada tubuhnya berkat hujan. Dengan kemejanya, di naunginya kepala Thalia.

Gadis itu hanya diam, tidak menoleh padanya, tatapannya seolah tenggelam pada laut di hadapannya.

Fadli menghela napas berat, menyadari satu kemungkinan pahit; bahwa mungkin, kisahnya dan Thalia tidak memiliki akhir yang bahagia.

***

Musim panas di Hamburg masih lebih sejuk dari pada sore hari di Jakarta. Perlahan namun pasti, Dhanu mulai terbiasa dengan ruang barunya.

Bukannya ini mudah, namun perpindahan adalah suatu hal yang pasti, dan ia tidak mungkin selamanya homesick seraya merindukan kabut polusi di kota asalnya.

B

au petrichor bekas hujan pagi tadi masih dapat terhirup, angin sore berhembus di antara helai rambut Dhanu.

Seperti sore-sore sebelumnya, jalan setapak di tepi sungai Alster di sesaki orang-orang yang belum dapat Dhanu pahami percakapannya.

Ia sendiri hanya berdiri, mematung menatap permukaan danau yang tenang, tanpa riak, seolah keramaian di sekitarnya juga terhisap ketenangan air di sana.

Pikirannya melayang pada email yang ia terima beberapa jam yang lalu, selalu ada keraguan kerap kali nama itu terlintas dalam benaknya. Dan kini gadis itu justru terasa nyata, bahkan saat gadis itu tidak dapat ia tangkap melalui indera penglihatannya.

Mengapa semesta terkadang begitu lucu, kenapa harus langkahnya harus kembali di tahan hanya demi sebaris kalimat?

Dhanu menggelengkan kepalanya perlahan. Ia ingat, pertemuan terakhirnya dengan Nada, dan janji yang ia utarakan pada gadis itu, kali ini bagiannya untuk mengejar Nada, ia tidak ingin menjadi brengsek yang mengecewakan gadis itu sekali lagi.

Dhanu menatap layar ponselnya, lalu memasukannya ke dalam saku celana. Dan selesailah, pesan itu terbuka tanpa pernah terbalas, bahkan di hari-hari selanjutnya.

From: [email protected]
Subject: Comeback.

Thalia berantakan, tolong pulang, karena cuma lo yang dia ingin.

***

Hujan sempat berhenti sejenak, sebelum kembali menderas dan membangunkan Nada karena beradunya suara air dengan kaca jendela.

Perlahan, gadis itu berbalik, menatap jendelanya yang hanya terlapisi gorden berwarna bening.

Ia mengerjapkan matanya lalu menghembuskan napas perlahan, pertemuannya dengan Thalia tadi membuatnya semakin yakin untuk berhenti mengejar matahari.

Malam adalah temannya, selamanya ia tidak akan di sambut pagi.

Dalam hati, setulus hatinya di bisikan sepenggal harapan, bukan lagi untuk mataharinya namun untuk dirinya sendiri pula.

***

Di balik meja belajarnya, Najla mendengar sayup-sayup anak kecil melalui earphone di telinga, matanya tak lepas dari sebuah potret yang terkurung dalam bingkai.

Ia mengingkari janjinya, tidak semua tentang Bagas mampu ia lenyapkan. Masih ada anggrek berwarna ungu di bawah bingkai jendela kamarnya, dan masih ada selembar foto yang ia temukan di salah satu kotak di lemarinya.

Bukan wajah Bagas yang tervisualisasi di sana, namun tangan laki-laki itu yang merangkum utuh telapaknya.

Ia tersenyum sekilas, sebelum membariskan foto tersebut di sebelah potret berbingkai yang lain.

Potretnya bersama Thalia dan Dhanu yang ia temukan di kamar kosong cowok itu seminggu yang lalu.

Ada rindu yang menyapanya, berbagai fragmen masa lalu timbul tenggelam dalam tempurung kepalanya.

***

Lima orang di sana, membiarkan rindu dan kesepian memeluk mereka erat, pelan-pelan berharap agar langit mampu mendengar selirih 'semoga' yang mereka bisikan dalam nurani masing-masing.

Semoga, mereka yang di cintai mampu bahagia, bukan sekedar baik-baik saja.

Selesai.


-

-----
A/n: Alig, ngedit cerita ini rasanya kayak nulis ulang, gue nggak pintar membuat puisi, dan gue belum pernah ke Hamburg, jadi maaf ya kalau kalian kurang puas muehehe

Sejujurnya pada awalnya cerita ini masih panjang, tapi gue memutuskan untuk berhenti di sini.
Hahaha

Pada akhirnya ngelepas semua deh, biar adil :))) wkwkwk

Terima kasih untuk yang sudah menunggu Dhanu dkk, aku nggak ngerti lg, ku syg bgt kalian! Besok gue update If Only baca yaaaa...

Mau tanya dooong;
1. Ada nggak sih amanat dan kesan yang kalian dapat dari cerita ini?

2.Sebutin doang 2 tokoh favorit kalian, cowok dan cewek, serta alasannya?

3.Bagian mana yang kalian paling suka?

Ada yang masih mau ketemu Dhanu?Jangan delete library dulu ya, syiapa tau ada extrapart yang lainnya.

Yaudahlah ya, aku syg kalian.

Babay my luv,

Naya❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro