Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Sisa Kenangan

Najla.

Aku duduk bersila di atas lantai kayu, menatap kosong ke arah setiap sudut kamar yang sudah nyaris kosong. Tenggorokan ku tercekat, mataku mulai memanas. Ternyata benar apa yang Thalia bilang, Dhanu sudah pergi.

Sekitar satu jam yang lalu, Thalia menelepon ku, mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju Bandara. Penjelasan Thalia tentang Dhanu yang pindah ke Jerman tentu saja tidak masuk akal.

Belum genap 24 jam sejak Dhanu meninggalkan rumahku. Bagaimana mungkin saat ini dia sudah di dalam pesawat menuju negara di benua Eropa sana?

Tapi, saat aku tiba di rumahnya, sekedar untuk memastikan, yang aku temui adalah orang-orang yang sedang mengangkut barang. Ketika aku bertanya pada seorang pria paruh baya, beliau membenarkan berita kepindahan keluarga Dhanu, bahkan sebuah plang bertuliskan 'Rumah Dijual' telah siap di depan sana.

Dan baru lima menit yang lalu Thalia menghubungiku, mengabarkan kami terlambat. Pesawat Dhanu baru saja lepas landas.

Ingatanku berlari pada kedatangannya tadi malam.

Ia memang tampak tidak baik-baik saja, tapi aku tidak membombardir Dhanu dengan pertanyaan seperti biasanya, karena aku tau sorot matanya berharap agar aku menganggap bahwa ia sedang baik-baik saja.

Aku ingat dia masih tengil, ketika aku bertanya maksud kedatangannya, dia cuma mengacak rambutku, lalu nyeletuk, "cuma mau lihat sahabat gue tersayang, takut-takut lo kangen sama gue."

Tentu saja aku menyambutnya dengan decihan.

Dhanu meminta maaf karena tidak bisa menemaniku di persidangan perceraian orang tua ku yang akan di gelar minggu depan, lalu ketika hendak pamit, Dhanu tiba-tiba memeluk ku. Erat.

Selepas ia menguraikan pelukannya, Dhanu mengacak-acak rambutku, lalu mengucapkan kalimat yang aku baru sadari sebagai nasihat terakhirnya.

"Tau nggak? Lo itu perempuan paling kuat, paling tegar, paling keras kepala yang pernah gue kenal, tapi tolong Jla, mulai sekarang sayangin diri lo sendiri kayak lo sayang sama orang lain, kayak lo sayang sama gue, Thalia dan orang tua lo," Dhanu memberikan jeda sejenak, mengusap dahi ku lembut sebelum kembali melanjutkan, "inget, lelah itu hak setiap orang, Jla."

Aku menutup mata ku, merasakan setetes air bening meluncur bebas di pipiku. Dhanu mungkin tidak mengerti, bahwa aku tidak setegar yang ia duga. Aku mampu bertahan, terjatuh lalu kembali bangkit karena aku memiliki Dhanu dan Thalia untuk tempat bersandar ketika sedang kelelahan.

Kehilangan Dhanu sama saja kehilangan salah satu sandaran ku.

Dasar orang jahat!

Gemetar, aku berusaha menghubungi ponsel Dhanu. Sekalipun, hal itu telah aku lakukan berulang kali dan seperti panggilan-panggilan sebelumnya, telepon ku kali ini tetap berakhir pada suara operator.

Aku melakukannya juga pada nomor Om Yusuf, Tante Anya dan Diandra, namun sama seperti nomor Dhanu, nomor itu tidak dapat di hubungi.

Aku membuka seluruh aplikasi sosial media, namun semua akunnya telah dalam keadaan deactive. Akhirnya, aku membuka aplikasi email, bergantung pada harapan bahwa pesan itu akan di baca oleh Dhanu suatu hari nanti.

To : [email protected]
Subject: -

Kata Thalia masa lo pindah, bohong kan dia?

To : [email protected]
Subject: -

Tapi kok rumah lo kosong?

Tidak ada jawaban sampai beberapa waktu, akhirnya aku menghela napas berat, lalu menggelengkan kepala. Dhanu memang brengsek, tapi sebagai sahabatnya aku hanya bisa mendukungnya.

Jika dengan pergi mampu membuatnya merasa lebih baik, aku tidak akan menahannya. Seperti yang ia minta, aku akan tetap tegar, namun tidak lagi keras kepala. Aku, akan belajar menyayangi diri ku sendiri, karena aku tau orang-orang yang aku sayang berharap aku pun menemukan kebahagiaan ku sendiri.

Aku kembali mengetikan kalimat pada ponselku, kali ini isinya lebih mirip makian.

To : [email protected]
Subject: -

Manusia kurang ajar, pergi nggak pamit! Jangan pulang lagi ke sini, kalau nggak mau gue acak-acak hidup lo.

Tiba-tiba sesosok laki-laki menyembul dari balik pintu.

"Mbak, kami sudah mau selesai, tinggal angkat tempat tidur," katanya yang langsung aku balas dengan anggukan.

Bapak tadi menatap ku iba, tapi aku hanya tersenyum. Sebenarnya, aku tidak diizinkan masuk sebelumnya, namun setelah memohon dan menunjukan foto ku bersama keluarga Dhanu, bapak tadi pun mengizinkan ku untuk masuk.

Aku berdiri, lalu menepi pada dinding, membiarkan beberapa petugas dari agen pindahan mengangkat tempat tidur. Mata ku tertumbuk pada benda yang melayang jatuh dari selipan tempat tidur. Aku memungutnya, dan menemukan potret kami bertiga yang di ambil pada masa graduation.

Aku memotret foto itu menggunakan ponsel ku, lalu mengirimkannya lagi pada Dhanu.

To : [email protected]
Subject: -

Udah nggak pamit, nggak bawa kenang-kenangan juga, mau ngelupain gue sama Thalia lo ya?!

Di bawah pesan tersebut terlampir file foto yang baru saja aku ambil.

Aku menghirup bau kamar ini dalam-dalam, berusaha menyimpan aroma khas Dhanu yang kelak akan aku rindukan. Sebelum menutup pintu, aku tatap setiap jengkal kamarnya, seakan itu mampu menghidupkan Dhanu dalam benak ku.

Ketika menuruni tangga, tanpa sadar mata ku bergerak melambat. Bagiku, rumah Dhanu lebih terasa seperti 'rumah' dibanding rumah ku sendiri, di sinilah aku bertemu dengan Tante Anya, Om Yusuf dan Diandra, menghabiskan banyak waktu bersama keluarga Dhanu hingga membuatku kadang lupa bahwa kami bahkan tidak memiliki hubungan darah.

Sesampainya di depan rumah Dhanu, aku langsung menghentikan taksi. Aku tidak ingin menangis dan membuat petugas agen pindahan ini kebingungan.

Aku menempelkan earphone dari Bagas di telingaku, menyetelnya dengan mode suffle hingga kini lagu Bintang Kejora terdengar.

Aku menatap foto kami bertiga sekali lagi, lalu kembali mengetikan sebuah pesan untuk Dhanu.

To : [email protected]
Subject: -

Nggak usah khawatir sama gue, di sini gue ada Thalia. Yang penting jangan sakit!

Tepat setelah pesan itu terkirim, aku menangkap sebuah pesawat dari ekor mata ku. Desingannya memang tidak terdengar, dan nyaris mustahil Dhanu berada di dalam pesawat itu.

Namun tetap saja, mata ku tak lepas dari burung besi tersebut. Aku bergumam, pada Dhanu sekalipun tidak akan pernah mampu ia dengar.

"Awas kalau sampai lo kenapa-napa!"

----
A/n: Yah, pendek lagi muehehe
Nggak papa deh ya, gue pengen menggambarkan kehilangan Dhanu satu-persatu, lagi-lagi gue bilang, bahwa dibandingkan hubungan friendzone gak jelasnya mereka gue mau menggambarkan juga bagaimana persahabatan yang ada di antara Thalia-Dhanu-Najla.

Yasudah ya, besok kita ketemu sama Kiana-Dimas-Arjuna. Jangan lupa baca wkwk

Bhay mwa!

Regards,

Naya

p.s: makasih Ikaades buat covernya maaf baru dipake bcs gue lupaan mulu yaAllah :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro