44. Yang Merupakan Pelukan Terakhir
Thalia.
"Tha? Are you okay?" Nada suara Fadli sarat akan ke khawatiran, kalau aku tidak salah hitung, ini udah ke enam kalinya Fadli menanyakan hal yang sama sejak sejak kemarin malam.
Kemarin ketika Fadli sedang membelikanku minuman kaleng, Dhanu meneleponku, tapi entah bagaimana dan datang dari mana tiba-tiba cowok itu sudah berdiri di hadapanku.
Dia mengatakan banyak hal tidak masuk akal yang sudah pernah kami bahas sebelumnya, tapi anehnya, aku tidak bisa langsung marah seperti pertama kali Dhanu menyatakannya secara gamblang, tadi malam justru ada sesuatu yang aneh berdesir dalam dadaku, ada sesuatu yang entah kenapa terasa sesak, ketika Dhanu memaksa ku untuk mengatakan, bahwa perasaan di antara kami adalah hal yang mustahil.
Entah berapa kali aku mencoba, tapi sorot mata Dhanu yang terluka, pelukannya yang terasa berbeda, tidak pernah lenyap dari benak ku. Pelukan Dhanu tadi malam, rasanya seperti terakhir kali Papa memeluk ku, sebelum beliau pergi jauh ke surga sana.
Diantara pelukan dan sorot matanya yang terluka, ada satu yang paling melekat dalam ingatan ku, mengganggu ku sepanjang malam sampai detik ini; kalimat selirih angin yang Dhanu bisikan tepat sebelum Dhanu menguraikan pelukannya.
"Nggak apa-apa, yang penting lo udah tau. Selama lo bahagia, gue juga bahagia, sesederhana itu."
Setelah Dhanu melepaskan rangkuman lengannya, ia menatapku lekat, sesaat tapi terasa seperti dalam jangka waktu yang amat panjang. Aku menatap gelap matanya, berusaha menelaah satu-persatu kata yang sebenarnya ingin ia sampaikan, namun Dhanu tidak memberiku kesempatan lebih, ia hanya tersenyum sebelum berbalik dan tidak pernah menoleh lagi, hingga tubuhnya lenyap di telan kerumunan.
Selepas kepergian Dhanu aku hanya menatap punggungnya yang perlahan hilang. Entah bagaimana, dada ku bergejolak, tenggorokan ku tercekat, rasanya seperti aku tidak mampu meraih punggung itu lagi. Selamanya.
Aku menggelengkan kepala, berusaha melupakan kejadian kemarin sore.
"Kesambet apaan sih itu anak, aneh banget," aku bergumam pada diriku sendiri, tidak sadar bahwa sambungan telepon ku dengan Fadli masih tersambung.
"Tha, siapa yang kesambet?" suara Fadli yang terdengar, menarik ku ke dalam dasar kesadaran.
"Eh, nggak, itu lagi musim kesurupan di kompleks aku, Nu."
"Nu?"
Mampus, ketauan ngibul deh gue, batinku mengutuk diri sendiri.
"Eh itu, nggak, sori, Dli maksudku," aku berkilah tapi tampaknya Fadli tau siapa yang sedang ada di pikiran ku saat ini.
"Kamu lagi mikirin Dhanu ya?" nada suara Fadli yang lembut tanpa penghakiman, membuatku akhirnya mengaku.
"Iya, dia aneh banget habisnya." Aku dapat mendengar Fadli menghela napas di ujung sana. Aku menggigit bibir, merasa bersalah.
"Kamu siap-siap sekarang ya, lima belas menit lagi aku jemput," ujar Fadli dengan nada tidak terbantah.
"Keman..." aku tidak melanjutkan kalimatku, karena telepon sudah terputus. Aku mengontak balik Fadli, namun tidak kunjung mendapat jawaban.
"Ini anak juga kenapa lagi?!" sungut ku kesal.
Kenapa cowok-cowok bersikap membingungkan akhir-akhir ini, sih?!
Aku berdecak, tapi tak pelak menuruti juga keinginan Fadli. Tidak sampai lima menit setelah aku berganti pakaian dan mengoleskan make up tipis, mobil Fadli berhenti tepat di depan gerbang rumahku.
Tidak seperti biasanya, Fadli tidak menyempatkan diri untuk turun. Melalui telepon dia memintaku keluar dan menitip pamit untuk Mama ku.
Aku tidak sempat bertanya apapun ketika menemukan wajahnya, dari balik kemudi Fadli menutup pintu di sampingku, lalu memakaikan ku seatbelt. Dia bahkan tidak membuka kan ku pintu atau menyelipkan rambut di sebelah telingaku seperti biasanya.
Fadli tampak terburu-buru.
"Dli, kita mau kemana, sih?" tanya ku akhirnya tepat setelah kami melewati gerbang tol.
"Bandara."
"Hah? Bandara?" Mataku sontak melebar, tapi Fadli tampak tidak perduli, matanya fokus pada jalanan di depannya.
Gila kali ya, mau nyulik aku kemana dia sampai naik pesawat segala?
"Fadli, kita mau kemana ke Bandara? Aku nggak bawa apa-apa."
"Kita nggak naik pesawat, Tha, kita mau nyusul Dhanu." Mendengar jawaban Fadli, aku mengerutkan dahi.
Fadli menghela napas berat sebelum melanjutkan penjelasannya, "Dhanu berangkat ke Jerman, hari ini, pesawat jam sebelas."
Beberapa detik terlewati, sampai sebuah kesadaran menghantam ku keras-keras.
Pelukan kemarin adalah pelukan perpisahan.
Dadaku bergemuruh hebat, mengguncangku sampai ke tulang. Tanpa aku sadari, danau terbentuk di pelupuk mata ku, lalu mengalir begitu saja tanpa mampu aku cegah.
Penuh pengertian, Fadli mengusap kepala ku lembut.
"Kali ini ikutin apa kata hati kamu, bukan kata otak kamu."
"Najla... udah tau?" tanya ku dengan suara bergetar. Fadli menggeleng lemah.
"Nggak ada yang tau, sekarang kamu telepon Najla, semoga kita masih sempat nyusul Dhanu."
Gemetar, aku menekan speed dial nomor Najla. Hingga tidak lama, terdengar suara Najla dari ujung sana.
"Jla, ke Bandara sekarang."
"Ngap--" aku memutus kalimat Najla, membuatnya terdiam di detik kemudian.
"Dhanu ke Jerman, sekarang."
----
A/n: Hi, sori telat update, semester 4 baru mulai tapi tugasnya sudah tidak manusiawi.
Besok inshaAllah update If Only, baca yayayaya :3
Crush tinggal berapa part lagi, ending udah hampir selesai, berharap ending seperti apa kalian, geez?
Cupscups,
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro