43. Goodbye at La Bridge
Dhanu.
Aroma strawberry segar menguar dari tubuh Nada ketika cewek itu meletakan kepalanya di bahu gue, dengan gerakan perlahan, gue melingkarkan lengan gue pada lehernya.
Berada di dekat Nada selalu membuat gue merasa lebih baik, bahkan untuk beberapa saat gue sempat benar-benar lupa dengan keberadaan Thalia.
Sampai Thalia menelepon gue, dengan santai dan riangnya, dia bilang kalau dia lagi liat laut, sama Fadli, di Ancol.
Entah kutukan macam apa yang menempel pada diri gue, sampai-sampai gue seakan nggak dikasih kesempatan untuk lepas dari Thalia.
Di hadapan gue dan Nada saat ini terbentang salah satu pemandangan favorite gue, sunset. Warna langitnya yang jingga keemasan, serta pantulan matahari yang perlahan turun ke batas cakrawala, tapi pikiran gue tidak terfokus kesana, melanglang kemana-mana.
Tanpa sadar, mata gue bergerak-gerak, memantau sekitar kami. Entah sudah berapa kali gue menahan napas ketika melihat cewek berambut panjang. Gue menggelengkan kepala, berusaha mengembalikan fokus. Di sebelah gue ada Nada, pacar gue, cewek yang sudah dua tahun ini sabar berdiri di samping gue, sekalipun ia tahu, ada perempuan lain di hati gue. Betapa tidak tahu malunya, kalau gue masih memikirkan Thalia setelah peran Nada yang begitu besar.
Nada melingkarkan lengannya pada pinggang gue, lalu meletakan kepalanya di dada gue. Pelan, gue usap bahunya.
Iya, Nada sudah lebih dari cukup.
Langit sudah menggelap, perlahan Nada melepaskan rengkuhannya, lalu mengangkat wajahnya. Gue tersenyum melihat pantulan diri gue dalam mata teduh gadis itu, dalam beberapa saat kami mengunci sosok masing-masing, terpelosok dalam mata satu sama lain, berusaha menemukan kehangatan di sana, tapi mata teduh Nada adalah mata yang tidak pernah mampu gue baca.
“Kak, kita putus ya?” kalimat itu mematahkan keheningan di antara kami. Dalam sekejap, mata gue membulat.
“Kenapa, Nad? Gue salah apa?” Gue tidak bisa untuk tidak bingung. Sama sekali clueless, tidak tau alasan Nada minta putus.
Gila kali ya, belum 24 jam kami jadian. Se-player-player nya gue, gue belum pernah di putusin dalam waktu kurang dari satu hari. Sejujurnya, gue justru lupa pernah di putusin atau nggak, seingat gue, biasanya gue yang mutusin. Gue pun sudah tobat jadi player, gue nggak selingkuh, dan sudah sangat jelas, gue juga nggak ‘terlalu baik’. Jadi, seharusnya nggak ada alasan kan kenapa Nada mutusin gue, ‘kan?
Nada menggeleng pelan, lalu tersenyum, “nggak, lo nggak salah apa-apa.”
Kalau gue nggak salah apa-apa, terus kenapa gue di putusin? Gue memutar otak, berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan gue sendiri. Seketika, satu-satunya kemungkinan terbit dalam benak gue.
“Lo nggak bisa LDR ya?” tanya gue. Kalau itu alasan Nada, mau tidak mau gue memang harus rela melepasnya. Nggak semua orang sanggup LDR, apalagi mengingat background brengsek gue di masa lalu, pasti Nada ragu.
Tapi ternyata Nada justru menggeleng, lalu mengalihkan wajahnya menatap laut, selanjutnya suaranya terdengar, pelan dan terasa jauh. “Bukan karena itu juga, dua tahun kita dekat, kita akhirnya bisa jadian, gue nggak mungkin melepas lo hanya karena jarak.”
“Terus apa?” tanya gue tak sabar, beberapa waktu terlewati, sebelum Nada kembali mengalihkan wajahnya, menatap wajah gue.
“Gue nggak mau egois, gue tau, bukan gue yang ada di sini,” dia menyentuh dada gue. Dan entah bagaimana, gue langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Lo marah karena gue telat tadi ya?”
Nada menggeleng pelan, mendengar pertanyaan gue. “Nggak, memang sedih sih, tapi serius bukan itu point-nya.”
Gue terdiam, menunggu Nada melanjutkan.
“Lo udah berjuang sejauh itu buat kak Thalia, gue nggak mau perjuangan lo sia-sia, karena gue tau bagaimana rasanya.”
“Bukan gitu Nad, gue cuma...” Gue berusaha berkilah, tapi sejujurnya, gue tidak tau kenapa gue tidak dapat menemukan alasan yang tepat. Kenyatannya, gue berpacaran sama Nada karena menyerah dari Thalia. Tidak ada alasan lain.
“Cuma apa hayo? Udah, gue nggak mau lo pacaran sama gue cuma karena rasa bersalah, ayo berhenti ngebohongin perasaan sendiri,” ujarnya seraya tersenyum.
“Nad...”
“Kak, gue tau apa rasanya, jadi ayo kejar kak Thalia, sebelum terlambat, dia belum tau kan lo mau pindah?” Gue tidak menjawab pertanyaan Nada, hanya menatapnya dalam-dalam, berusaha menemukan kejujuran dalam matanya.
Tapi lagi-lagi sorot mata itu tidak terdefinisikan.
Gue tau, gue egois, gue brengsek, tapi saat ini pertanyaan lain justru terbit dalam benak gue.
Apa masih ada kesempatan bagi gue, untuk perjuangin Thalia sekali lagi?
Tapi apa iya, Nada benar-benar baik-baik saja?
Nada tersenyum, seperti mengerti apa kekhawatiran gue. “Jangan khawatir sama gue, trust me, i'm okay.”
Dia mendorong tubuh gue pelan, “udah sana, cari kak Thalia, pokoknya lo harus berjuang sampai akhir, okay?”
Selama beberapa detik, gue menatap Nada, tapi senyum itu tak lepas dari bibirnya. Dan begitu saja, setelah susah payah gue menyerah, akhirnya keinginan itu kembali. Gue ingin memperjuangkan Thalia sekali lagi, hanya untuk sekali lagi.
“Lo jangan kemana-mana, nanti gue yang antar lo pulang? Okay?” Gue menyerahkan layangan yang sejak tadi gue pegang ke Nada, ia mengangguk yakin.
Maaf Nad, sekali lagi aja hanya untuk sekali lagi.
Gue berlari tak tentu arah, menyeruak di antara kerumunan, beberapa orang yang terdorong tubuh gue menatap gue kesal, tapi gue tidak perduli.
Sekali saja, jika memang Tuhan terus mempertemukan kami, kalau memang semesta terus mengatur kebetulan-kebetulan di antara gue dan Thalia, kalau gue memang tidak diizinkan saja untuk menyerah, kenapa tidak persatukan saja kami saat ini? Kenapa takdir suka sekali bercanda?
Gue berhenti sejenak, mengatur napas, sekalipun sudah berlari tanpa berhenti, sekalipun sudah gue telusuri jembatan ini, tidak juga gue temukan Thalia.
Kedua tangan gue bertumpu pada lutut, nyaris merasa frustrasi.
Setelah napas gue sedikit lebih teratur, gue putuskan untuk mengkontak Thalia. Tepat pada saat nada sambung itu berubah jadi suara Thalia, mata gue menangkap sesosok gadis dengan dress selutut, bersandar pada kayu pembatas, seraya menempelkan handphone ke telinga.
Gadis itu membelakangi gue, menghadap laut yang sudah berwarna gelap, di atasnya langit dengan sedikit bintang memayunginya. Tanpa berbicara atau memutuskan sambungan, gue menyeret kaki gue, menuju gadis itu.
Ringkih, gue sentuh bahunya, hingga ia berbalik lalu menatap gue dengan sorot terkejut.
“Dhanu? Lo ngapain?” tanyanya bingung.
“Gue say…” gue memutus kalimat gue, lalu meralat kata yang gue gunakan, agar ia mengerti, maknanya secara harfiah. “Gue cinta sama lo, Tha.”
Suara gue serak, kalimat itu pun gue ucapkan dengan seluruh kekuatan dan keberanian yang tersisa. Kalimat yang sungguh ingin gue katakan sejak pertemuan pertama kami di lapangan SMA.
Mata Thalia kontan melebar, menatap gue tidak percaya.
“Dhanu… lo bilang apa?”
“Gue sayang lo Tha, gue cinta sama lo,” ulang gue. Thalia tidak bergerak dari tempatnya, tubuhnya seperti membatu.
“Nu…”
“Gue... sayang sama lo, Tha.” Berbeda dengan kalimat tadi, perasaan lelah menyeruak bersama dengan kalimat ini. Gue sudah siap di tampar seperti waktu itu, tapi yang Thalia lakukan justru mundur teratur, melepaskan pegangan tangan gue dari bahunya.
Dan hal itu rasanya justru lebih menyakitkan.
Gue menggeleng pelan, lalu melangkah mendekatinya, Thalia terus mudur, memperluas jarak. Sampai akhirnya, tubuh Thalia sampai pada pagar pembatas, ia tidak dapat lagi mundur, jadi yang ia lakukan hanya menunduk, menghindari tatapan mata gue.
Perlahan, gue mengangkat dagu Thalia, membuat dia mau tak mau menatap mata gue, tepat di manik mata. Gue terpekur, melihat mata cokelat jernih yang kini memantulkan bayangan gue. Mata inilah yang membuat gue jatuh-bangun mencintai si pemilik mata.
“Coba bilang Tha, kalau lo nggak pernah sedetik pun, menganggap gue sebagai laki-laki yang mungkin lo cintai.” Gue ingin percaya, ketika menemukan keraguan dalam mata Thalia.
“Gue punya Fadli, Nu.” Kalimat Thalia bukanlah jawaban dari permintaan gue, tapi tak pelak, gue tersentak. Seperti kesadaran yang di tarik, gue di paksa menyadari, bahwa telah lama gue serahkan cewek ini ke orang lain.
Lagi-lagi gue menggeleng lemah, gue hanya butuh berjuang sekali lagi, gue hanya ingin memastikan bahwa sekalipun gue melepaskan Thalia, gue melepaskan setelah berjuang habis-habisan. Bahwa gue melepaskannya, bukan karena gue mudah menyerah, tapi karena cinta memang bukan sesuatu yang bisa di paksakan.
“Gue nggak perduli, gue cuma perlu dengar jawaban lo, apa benar lo sama sekali nggak punya perasaan apapun ke gue?” Thalia masih terdiam.
“Tha, please,” pinta gue, nyaris seperti memohon.
Kalimat selanjutnya yang gue dengar, seolah mematahkan setiap bentuk asa yang tersisa, meremukan seluruh serpihan perasaan, melumpuhkan setiap inchi syaraf sampai ke pusat.
“Gue nggak punya perasaan apapun buat lo, Nu.”
Dia mengatakannya dengan gamblang, tanpa perduli bahwa kalimatnya baru saja memutus harapan seseorang. Gue cukup sekali mendengarnya, namun Thalia kembali mengulanginya, dengan penekanan pada setiap kata yang ia gunakan.
“Gue. Nggak. Pernah. Punya. Perasaan. Apapun. Sama lo. Dhanu.”
Pengulangan itu memberikan efek yang sama seperti pertama kali gue mendengarnya. Sakit yang tidak terdefinisikan.
Dengan gerakan lambat, seperti di luar kesadaran, gue lepaskan tangan gue dari dagu Thalia, lalu melangkah mundur perlahan. Tidak ada yang berbicara diantara kami selain gemercik air dan suara orang yang terbunuh oleh keheningan yang kami ciptakan.
Keheningan ini menyesakkan, memuakan, beradu dengan gemuruh yang sejak tadi gue tahan mati-matian.
Musnah, sudah hancur seluruhnya, tidak ada lagi kesempatan atau harapan dan beginilah akhir kisah gue dan Thalia.
Bukan akhir yang bahagia.
Thalia menunduk di tempatnya, gue tau ini pertemuan terakhir kami, dan gue tidak bisa lagi mengucapkan selamat tinggal sebagai laki-laki yang mencintai dia. Maka, gue ucapkan selamat tinggal pada Thalia, sebagai sahabatnya, juga sebagai laki-laki yang pernah mencintainya.
Gue kembali mendekat, tapi Thalia sudah tidak bisa lagi mundur. Gue raih tangannya dan dalam sekali gerak, gue menarik Thalia, hingga tubuhnya membentur tubuh gue, kepala Thalia tenggelam dalam dada gue, gue merangkumnya dalam pelukan. Tidak menolak, tidak juga membalas, hanya bungkam seribu bahasa.
Setelah beberapa waktu berlalu, gue membisikan sebuah kalimat di telinganya, kalimat terakhir sebelum kami berpisah.
Dia tidak menjawab apapun, dan gue pun tidak mengharapakan apapun lagi. Perlahan, gue uraikan pelukan kami, lalu menatap wajah itu lekat-lekat, menelusuri setiap lekuk wajahnya, merekam seluruh sinar matanya, lalu tersenyum.
Setidaknya, hanya wajah inilah yang perlu ia ingat. Wajah Dhanu yang tersenyum, sebagai sahabatnya.
Gue berbalik lalu melangkah, terus melangkah, tanpa pernah menoleh sedikitpun.
Hari ini, di jembatan ini, pada akhirnya, gue melepaskan Thalia secara utuh dan penuh. Sehingga selanjutnya, hanya akan ada kenangan yang tersimpan di dalam hati, bukan lagi luka, atau keputus asaan.
Ketika gue kembali ke tempat dimana tadi gue meninggalkan Nada, cewek itu sudah tidak di sana, yang ada hanya layangan kami yang tergeletak manis di atas pagar jembatan dengan tabung benang sebagai penahannya.
Gue berusaha menemukan Nada, tapi gue tidak menemukannya di manapun, setelah panggilan ketiga gue terputus oleh suara operator, sebuah pesan membuat handphone gue bergetar.
Denada Khairunnisa: Gimana? Sukses kan? Maaf ya balik duluan nggak sengaja ketemu temen tadi.
Denada Khairunnisa: Gue lagi nggak bisa angkat telfon, nanti aja ya ngobrolnya.
Denada Khairunnisa: Btw sorry ya besok gue gak bisa nganter ke bandara, soalnya ada urusan mendadak. Take care ya, salam sama nyokap dan yang lain. Bye.
Gue menatap langit yang semakin menggelap, mungkin memang ini yang terbaik, perpisahan tanpa selamat tinggal. Gue memejamkan mata, lalu menghela napas.
Ada satu nama lagi yang ingin gue temui untuk terakhir kali.
Gue menelepon Najla, tapi langsung mematikannya. Gue nggak mau Najla tau, kalau gue lagi kacau, sedangkan hanya dengan dengar suara gue saat ini dia pasti tau kalau gue tidak baik-baik aja. Jadi gue memutuskan untuk mengirimkan pesan.
Jla, di rumahkan? Otw ya.
Gue hanya perlu menetralisir perasaan dan muka kusut gue selama di perjalanan ke rumah Najla dan setelah itu semua akan aman.
---
A/n: sukurin Dhanu nggak dapet Nada, nggak dapet Thalia juga haha
Bdw, yang mau beli Are You? Really? Edisi khusus udah bisa di pesen ya hanya di bit.ly/youreally, info lainnya bisa hubungin gue di ig; innayahp, Line: @hrh0498r.
Thanku gengs!
Satu lagi; jangan lupa baca If Only! Wkwk iya maap gue memang suka promosi muehehe love u!
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro