42. Selamat Tinggal, Matahari
Nada.
Aku menghela napas ketika membaca chat yang kak Dhanu kirimkan beberapa detik yang lalu.
Dhanu Ishal: Maaf ya Nad, gue telat, jam 9 gue ke rumah lo.
Biasanya, pesan seperti ini bukan berarti penundaan melainkan pembatalan. Terlebih ketika aku melihat update path milik kak Thalia. Setengah jam yang lalu, mereka sedang lari pagi di jogging track dekat rumah kak Thalia dan itu artinya saat ini mereka masih bersama, melakukan entah apa itu.
Aku tersenyum miris melihat pantulan diriku pada cermin, menatap pada satu fokus, kalung berbandul bintang yang kemarin kak Dhanu pakaikan.
Aku menyentuhnya ringkih, "apa ini benar buat gue, kak?"
•••
Jarum jam sudah menunjukan angka 12 ketika kak Dhanu muncul di depan rumahku. Aku hanya menyambutnya dengan kaus kebesaran dan celana pendek, karena yakin rencana kami akan batal.
"Sori, Nad." Itu kalimat pertama yang kak Dhanu ucapkan ketika aku membuka kan pintu.
"Nggak masalah," ujar ku seraya tersenyum, "gue ganti baju dulu ya?"
Kak Dhanu mengangguk.
Karena ini sudah lewat tengah hari, kami setuju hanya akan jalan-jalan di kawasan Ancol.
Bukan ke pantai, kak Dhanu mengajakku ke Dufan terlebih dahulu dan tornado lah yang menjadi pilihan pertama kami. Untungnya ini bukan weekend jadi antriannya nggak sampai bikin kami lumutan. Setelah main di tornado, kora-kora, rumah cermin, istana boneka, kami naik histeria.
"Kak, tornado lagi, yuk!" kata ku setengah berteriak, karena kami sedang berada di dekat wahana histeria.
"Gila, nggak mabok, Nad? Kita kan abis naik histeria!" Aku menggeleng bersemangat, setiap kali ke dufan setidaknya aku memang naik tornado dua kali.
"Atau lo ya yang mabok?" tanyaku yang langsung di jawab gelengan oleh kak Dhanu.
"Enggaklah!" serunya keki.
Ketika sedang memasang sabuk pengaman, aku mendengar kak Dhanu bergumam, meski di tujukan padaku, tapi suara itu seperti terdengar seperti berjuta-juta meter jauhnya.
"Untung elo Nad, kalo si Thalia gue ajak naik ginian dua kali bisa dirajam gue." Kak Dhanu terkekeh, sedangkan aku hanya tersenyum kecil, tidak ingin merusak moment.
Biar bagaimana, kak Dhanu milikku sekarang. Atau aku hanya membohongi diri sendiri?
Puas dengan berbagai wahana, kami pun melanjutkan date kami hari ini sesuai rencana awal kak Dhanu, mengajak ku ke pantai, melihat sunset. Walaupun tidak seindah pantai waktu itu, tapi melihat laut tetap saja membuat ku merasa bebas.
Tanpa sengaja mataku melihat anak kecil yang sedang bermain layangan, sebuah ide langsung terbersit dalam benakku.
"Di sini ada yang jual layangan nggak ya?" tanyaku pada kak Dhanu, ia mengangkat bahunya tak acuh.
"Nggak tau deh, kalau di Monas tuh banyak, kenapa memangnya, Nad?" aku menatap sekeliling, dan benar saja, tidak ada penjual layang-layang di sekitar kami.
"Pinjem aja, yuk! seru ku membuat alis kak Dhanu berkerut.
"Nad, jangan bercanda deh," aku tidak memperdulikan kalimat kak Dhanu dan langsung berlari kecil menghampiri anak kecil tadi.
Awalnya, anak itu menolak untuk meminjamkan atau menjual layangannya padaku, tapi setelah nego yang cukup panjang, akhirnya layangan itu resmi jadi milikku dengan harga dua puluh ribu!
Saat aku protes karena harganya yang kemahalan, anak itu berkilah, "itu layangan timpel tau! Susah dapetnya, kalau nggak dua puluh ribu aku nggak mau jual!"
Dan ya seperti itulah teman-teman, aku membeli layangan timpel ini dengan harga dua puluh kali lipat dari harga aslinya. Setelah menerima selembaran dua puluh ribuan itu, anak tadi melambaikan tangannya senang, sebelum berlari meninggalkan pantai.
"Nyewa?" aku menoleh dan menemukan kak Dhanu di sampingku.
"Nggak, beli, mahal banget dua puluh ribu, padahal dulu gue beli layangan cuma gopek," gerutu ku sambil mengulur benang.
"Lo di kibulin anak kecil, Nada." aku mencebikan bibir mendengar ledekan kak Dhanu, tapi tak pelak tersenyum juga ketika melihat ia tertawa geli. Sebentar lagi aku akan merindukan tawa ini.
"Dari pada nyela gue mending lo terbangin deh ini layangan, kalau udah di atas nanti kasih gue ya," kalimatku menghentikan tawa kak Dhanu, rautnya tampak bingung, tapi di raih juga benang yang aku berikan.
Aku mengambil alih layangannya, lalu berlari kecil menjauhi kak Dhanu.
"Kak Dhanu, ayo tarik!" seruku. Kak Dhanu menatap ke arah benang, lalu beralih lagi menatapku, membuatku gemas sendiri.
"Gue itung, lo tarik ya, satu... dua... tiga!" teriakku, tapi tetap saja kak Dhanu tidak bergeming.
"Kak Dhanu! Ngapain diem aja? Tarik!" teriakan ku membuat kak Dhanu menarik benangnya, tapi aku hanya melongo ketika melihat layangan itu terseret di pasir. Karena kak Dhanu nariknya sambil diam di tempat, nggak lari!
Tiba-tiba aku tersadar sesuatu.
"Jangan bilang lo nggak bisa main layangan?" tuduhku sambil menghampirinya, kuping kak Dhanu memerah sekarang.
"Sebenarnya... gue nggak bisa main layangan," tawaku pecah saat mendengar pengakuannya, baru kali ini aku lihat kak Dhanu yang biasanya narsis jadi malu-malu.
"Lo kecil dimana deh kak, nggak pernah main layangan?" kak Dhanu mendelik sebal, tapi tawa ku semakin geli.
"Udah dong, Nad, malu nih gue," ujarnya sambil memanyunkan bibir. Lucu!
"Iya iya, sori, abis lo ada-ada aja sih," aku mengambil alih benangnya, lalu memberikan kak Dhanu layangan yang tadi sudah terseret-seret di pasir, "gue ajarin ya, nanti lo praktekin."
Setelah memberikan instruksi dan aba-aba untuk melepaskan, aku pun menarik layangannya, hingga benda itu melayang di udara. Lima menit mengudara, aku menariknya turun kembali, lalu memberikannya pada kak Dhanu, "nih, lo coba, masa gitu aja nggak bisa?"
Kak Dhanu berdecak, lalu memutar bola matanya, "yaelah, gitu aja mah, gampil!"
Gampil bagi kak Dhanu ternyata adalah sepuluh kali mencoba tanpa keberhasilan sekalipun, walaupun kak Dhanu sudah menyeretnya sampai ke ujung pantai, tetap saja layangan itu berakhir di pasir. Akhirnya, usaha kak Dhanu putus karena layangannya rusak tersiram ombak.
"Gampil ya, gampil?" sindirku setengah tertawa, kak Dhanu hanya meringis melihat layangan malang itu.
"Yaelah, layangannya aja udah jelek, liat aja nanti di Jerman gue belajar main layangan tiap sore!"
"Kak, jangan malu-maluin sumpah," aku tertawa mendengar joke garing dari kak Dhanu, lalu mengambil alih layangannya, "siniin, buat kenang-kenangan, kalau pertama kali lo main layangan itu sama gue."
Kak Dhanu tersenyum lalu mengacak-acak rambutku, saat itu, aku merasa seperti jutaan kupu-kupu memenuhi perutku.
Ia merangkul ku, menggiring langkah ku menuju La Bridge.
Lengannya terasa kokoh dan hangat, aku berharap, selamanya mampu direngkuh oleh lengan ini. Kami belum keluar dari kawasan pasir ketika ponsel kak Dhanu menjerit. Ia melepaskan rangkulannya, lalu menjauh untuk mengangkat telepon.
Untuk sesaat, raut wajahnya tampak cemerlang, tapi berubah pias di detik kemudian, dari sana aku sudah dapat menyimpulkan siapa yang menelepon, terlebih lagi ketika ia menghampiriku seusai mematikan teleponnya, itu kak Thalia.
"Kenapa kak? Ada yang penting?" diam-diam, aku tidak siap mendengar jawabannya, takut ia langsung mengajak ku pulang, seperti yang sudah-sudah.
"Nggak, Thalia lagi di sini juga sama Fadli," ia tersenyum, tapi tidak dapat menutupi awan muram di sekelilingnya.
"Yuk!" tangan kak Dhanu menggandeng ku menuju La Bridge, aku menyambut genggaman itu lebih erat, seakan takut kalau memang harus melepaskannya.
Aku tersenyum miris, merasa tenggorokan ku tercekat, lagi-lagi aku membohongi diri ku sendiri. Tangannya memang berada dalam genggaman ku, tapi ia tetap tidak teraih. Saat itulah, genggaman ku merenggang, menyadari bahwa percuma aku menggenggamnya erat, itu hanya akan menyakitiku, sedangkan ia tidak pernah sadar, apakah tanganku masih berada dalam rangkuman telapak tangannya, atau justru telah terlepas begitu lama, hingga jauh tertinggal di belakang, menatap punggungnya.
Kami menyusuri jembatan, selama itu pula, dapat ku rasakan laki-laki di sampingku hanya berupa fisiknya, sedangkan hatinya tidak pernah pergi dari orang lain. Kak Dhanu kerap kali menatap sekeliling dengan tatapan awas, mencari sosok yang ia kenali. Entah, ia berharap bertemu atau tidak.
Kami terhenti pada salah satu sisi jembatan, menatap laut dan kapal-kapal yang berlayar, iringan musik terdengar dari kafe yang jaraknya hanya beberapa meter dari kami. Aku memberanikan diri meletakan kepalaku pada bahu kak Dhanu, yang ia sambut dengan rangkulan pada leherku.
Aku tidak tau apa yang sebenarnya kami lakukan. Kami baru sehari resmi berpacaran, setelah dekat dua tahun lamanya, aku berada dalam rengkuhannya, dan di hadapan kami langit tengah berwarna berada dalam warna sempurnanya, jingga keemasan, kami berada pada masa paling romantis, sunset.
Tapi kenapa yang terdengar justru lagu tentang perpisahan?
So why don't we, just play pretend, like we're not scared what's coming next, or scared of having nothing left.
Dadaku bergemuruh kencang, tenggorokan ku tercekat, tapi aku tau, aku telah lelah berpura-pura.
Look, don't get me wrong, I know, there is no tommorow.
Matahari bergerak perlahan, menuju peristirahatannya. Hari akan segera berganti, begitu pula aku, akan melepaskannya pergi, seperti matahari yang pulang, akan ku biarkan dia pergi kepada orang yang ia anggap sebagai rumah.
All I ask is, if this is my last night with you, hold me like I'm more than just a friend...
Aku melingkarkan lenganku pada pinggangnya, membalas rangkulannya, lalu meletakan kepalaku di dadanya. Ia mengusap bahuku lembut, tapi tidak sadar bahwa aku menahan tangis.
Give me a memory I can use, take me by the hand while we do, what lovers do...
Matahari telah sampai pada garis batas cakrawala, sedangkan langit di atasnya perlahan menggelap, keunguan. Aku memejamkan mata, meneguhkan tekad.
It matters how this end, cause what if I never love again?
Aku membuka mata ku, dan menyaksikan langit telah menggelap sempurna. Dengan gerakan tidak terbaca, aku hapus air mata yang entah kapan luruhnya.
Aku melepaskan rengkuhanku, begitu pula dengan lengan kak Dhanu yang merangkul ku. Aku mengadahkan kepala agar dapat menemukan wajahnya, senyum lembut terlukis pada wajah sempurna itu.
"Kak, kita putus ya?" mata kak Dhanu membulat, mendengar permintaan ku.
"Kenapa, Nad? Gue salah apa?" tanyanya bingung.
Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum, "nggak, lo nggak salah apa-apa."
"Lo nggak bisa LDR ya?" tanyanya, aku menggeleng cepat, lalu mengalihkan wajah, menatap laut.
"Bukan karena itu juga, dua tahun kita dekat, kita akhirnya bisa jadian, gue nggak mungkin melepas lo hanya karena jarak."
"Terus apa?" tuntutnya tak sabar, aku menghela napas panjang, memberikan jeda, sebelum kembali menatap wajahnya.
"Gue nggak mau egois, gue tau, bukan gue yang ada di sini," aku menyentuh dadanya. Seketika, raut bersalah muncul kepermukaan.
"Lo marah karena gue telat tadi ya?" aku menggeleng pelan.
"Nggak, memang sedih sih, tapi serius bukan itu point-nya." Kak Dhanu tidak menuntut lagi, dengan sabar, ia menunggu penjelasanku.
"Lo udah berjuang sejauh itu buat kak Thalia, gue nggak mau perjuangan lo sia-sia, karena gue tau bagaimana rasanya."
"Bukan gitu Nad, gue cuma..." kak Dhanu tidak melanjutkan kata-katanya, aku tersenyum.
"Cuma apa hayo? Udah, gue nggak mau lo pacaran sama gue cuma karena rasa bersalah, ayo berhenti ngebohongin perasaan sendiri."
"Nad..."
"Kak, gue tau apa rasanya, jadi ayo kejar kak Thalia, sebelum terlambat, dia belum tau kan lo mau pindah?" kak Dhanu mengabaikan pertanyaanku, hanya menatapku dengan sorot yang tidak ingin aku definisikan.
Aku tersenyum, setulus yang aku mampu, berusaha mengerahkan apa yang tersisa, agar ia yakin, aku baik-baik saja.
"Jangan khawatir sama gue, trust me, i'm okay." Aku mendorong tubuhnya pelan, "udah sana, cari kak Thalia, pokoknya lo harus berjuang sampai akhir, okay?"
Selama beberapa detik, ia hanya menatapku, tapi aku tau, bahwa tekad itu telah kembali muncul. Kak Dhanu, telah memilih untuk kembali berjuang.
"Lo jangan kemana-mana, nanti gue yang antar lo pulang? Okay?" kak Dhanu menyerahkan layangannya pada ku, sedangkan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Tepat setelah tubuh itu berbalik, air mata yang sejak tadi aku tahan, akhirnya meluncur dengan bebas. Tanganku berpegangan pada pagar pembatas, demi menopang beban tubuhku, tapi aku tetap terjatuh. Aku luruh, ambruk dan remuk.
Aku membekap mulutku kuat-kuat, berusaha meredam isakan yang terus keluar, tapi percuma, isakan itu terus terdengar, menarik perhatian orang sekelilingku, kecuali satu orang, orang yang sejak ia berbalik, tidak sekalipun menoleh pada ku.
Si pemilik punggung, yang perlahan lenyap di telan kerumunan. Orang yang pada akhirnya harus aku lepaskan.
Kali ini, aku menyerah sepenuhnya atas dia.
Setelah beberapa waktu terlewati, aku berusaha bangkit, tanpa menghapus jejak air mata yang tersisa. Sekali saja, aku biarkan sakit ini terwakilkan. Debur ombak terdengar, beradu dengan karang. Selama ini, mungkin aku seperti ombak, mencintai karang yang tidak tergerak, tapi pada akhirnya aku menyerah, karena jika aku memaksa, kami hanya akan berakhir seperti karang dan ombak, hancur.
Aku menatap laut, yang warnanya telah serupa dengan langit di atasnya. Di tengah sana, ada setitik cahaya berkat perahu yang tidak tampak bentuknya. Ingatanku berlari pada kemarin malam, hingga tanpa sadar aku menyentuh liontin yang sejak kemarin malam tergantung di tengkuk ku.
Aku baginya, mungkin seperti lampu yang kemarin ia tunjukan, pengganti bintang, ia tidak sadar bahwa selamanya, lampu-lampu tidak akan pernah menjadi bintang.
Sementara ia menganggapku seperti itu, maka selalu aku analogikan ia layaknya matahari, pusat pergerakan, dan bahkan aku tidak menginginkan pengganti matahari, aku selalu diam di tempat, menuggu matahari di waktu malam, sekalipun aku tau pagi tidak akan datang.
Selamat tinggal, Matahari.
---
Credit; Adele - All I Ask
---
A/n: First for Nada's POV, wdyt?
Anyway, she's too good to be Dhanu's, right?
Dhanu itu harusnya sama Thalia yang sama-sama kampret, atau sekalian sama ubur-ubur temennya SpongeBob. Oke, w jahat ama Dhanu wkwk, tapi serius w pengen ceburin aja cowok yang labilnya kayak kupret satu itu.
Sebentar lagi, Crush selesai, setelah itu baru w update If Only ya! Bacaaa yayayaya? Mwa.
Tanda sayang,
Naya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro