41. Serupa Bintang
Dhanu.
Satu bulan kemudian...
Dua hari lagi gue akan berada di pesawat, mengucapkan selamat tinggal pada Jakarta dan segala kenangannya. Dan di sinilah gue hari ini, duduk di pinggir lapangan futsal, memandangi gedung yang telah menjadi rumah kedua gue, selama tiga tahun lamanya.
Gue memandang koridor-koridor kelas, dalam bayangan gue, ada Thalia dan Najla yang tertawa dengan rok abu-abu mereka di sana, mengobrol tentang apa saja, sekali waktu, Thalia berhenti, ia memandang ke arah lapangan lalu tersenyum senang.
Sudah tidak sakit lagi, mungkin tepatnya sudah tidak sesakit seperti diawal. Pelan-pelan, gue mulai menerima, bahwa gue memang bukan bahagia yang Thalia ingin.
Omong-omong soal perpindahan, bokap dan nyokap gue sudah terbang sejak dua hari yang lalu, sedangkan gue dan Diandra masih di sini untuk mengurus beberapa berkas kepindahan.
Sampai saat ini, belum banyak orang yang tau kecuali guru-guru dan staff tata usaha yang gue mintai surat rekomendasi beasiswa. Thalia dan Najla pun belum tau, gue memang tidak berniat memberi tahu mereka.
Hanya dua orang yang berniat gue beri tahu, Fadli dan Nada. Ada alasan-alasan tertentu kenapa mereka berhak untuk tau.
Thalia dan Najla masih mengira gue akan kuliah di UGM karena gue mengikuti ujian SBMPTN bareng mereka beberapa waktu yang lalu, walaupun sebenarnya, ujian itu sama sekali tidak berguna, tidak ada satu butir soalpun yang gue kerjakan.
Pandangan gue tertumbuk pada Fadli yang sedang berjalan ke arah gue, kebetulan banget, gue memang berniat bertemu dengan Fadli sepulang dari sini.
"Itu muka kusut banget," ujar Fadli sambil mengangkat telapak tangannya, yang langsung gue sambut dengan tepukan.
"Thalia mana?" tanya gue ketika ia menghempaskan bokongnya di samping gue.
"Pulang bareng Najla, lo nggak balik?" gue menggeleng sebagai jawaban.
"Kebetulan banget, main yuk!" seru gue seraya bangkit, Fadli menaikan sebelah alisnya bingung.
"Kayak waktu itu, waktu gue bilang Thalia suka sama lo," jelas gue membuat mulut Fadli membentuk huruf O.
"Ayo deh!" Fadli melepaskan tasnya kemudian menjawab tantangan gue.
Kami tidak bermain lama, hanya lima belas menit sampai Fadli meminta berhenti. Kali ini, Fadli menyerah sebelum gue kebobolan untuk yang ketiga kali, jadi gue pemenangnya.
"Makin bagus aja lo, Nu!" pujinya sambil menerima botol air mineral yang gue lemparkan.
"Thanks," jawab gue singkat. Setelah menegak air mineral gue sendiri, gue melemparkan tiket penerbangan gue besok ke hadapan Fadli, membuat cowok itu mengernyit bingung.
"Lusa gue berangkat," ujar gue, sebenarnya gue tidak perlu menjelaskan hal itu, jadwal keberangkatan telah tertera jelas di sana.
"Liburan?" tanyanya sembari mengembalikan tiket itu ke tangan gue.
Gue menatap tiket itu nanar, sebelum menggeleng pelan, "gue stay di sana."
Fadli yang tadi sedang menyiramkan air ke wajahnya, menghentikan pergerakannya, lalu menatap gue bingung.
"Bukannya lo mau kuliah di UGM?" Fadli mengernyitkan dahinya, dan lagi-lagi gue hanya menggeleng. Gue memasukan kembali tiket tadi ke dalam tas, sebelum fokus kepada Fadli. Sudah cukup basa-basinya, gue langsung berbicara ke point utama.
"Gue punya beberapa permintaan di sini," ujar gue.
"Thalia sama Najla udah tau?" tanya Fadli tanpa mengindahkan kalimat gue sebelumnya.
"Itu dia yang pertama, Thalia sama Najla nggak tau, jadi tolong keep ini, seenggaknya sampai gue udah bener-bener cabut."
"Kenapa lo nggak--" gue mengangkat tangan, menyela kalimat Fadli.
"Kedua, tolong jagain mereka, nggak cuma Thalia, tapi juga Najla, awalnya lo mungkin bakal risih dengan keberadaan mereka, tapi cuma butuh waktu sedikit sampai lo terbiasa."
"Nu..."
"Gue belum selesai," sela gue lagi, "yang terakhir, tolong kasih tau gue kalau sesuatu terjadi ke mereka, lo bisa email gue, walau gue nggak balas, tolong tetap kabarin gue keadaan mereka."
Fadli menatap gue tidak mengerti, gue mengeluarkan memo yang sebelumnya sudah gue isi alamat email, lalu meletakannya pada tangan Fadli, "sebagai gantinya, lo bisa minta apapun ke gue."
"Kalau gitu kasih tau gue, kenapa Thalia sama Najla nggak di kasih tau?" tanya Fadli kemudian.
"Gue nggak mau ada acara menye-menye di Bandara kayak sinetron," sahut gue asal.
"Lo udah janji, apapun yang gue minta, jadi kasih tau gue alasan yang sebenarnya." Fadli memicingkan matanya, tapi gue hanya mengangkat bahu.
"Apapun selain ini, telepon gue kalau butuh sesuatu," gue menyampirkan tas di bahu sebelum berdiri, dan menepuk-nepuk bahunya, "ini perjanjian antar cowok, gue duluan, masih banyak yang harus gue urus."
Fadli tidak lagi menahan gue, gue rasa dia pun sudah mengerti alasan kepergian gue. Fadli sudah, tinggal satu orang lagi.
Gue mencari nama Nada pada kontak, sebelum menyambungkan teleponnya.
"Hallo, Nad, iya jadi, gue jemput jam tiga, awas kalau belum siap!" kata gue sebelum memutuskan sambungan.
Gue melirik jam yang tertera pada layar handphone, masih jam 11:30 masih ada waktu beberapa jam sampai janji dengan Nada.
Gue menekan angka 5 untuk menyambungkan speed dial ke nomor Najla, tidak lama, telepon itu terangkat.
"Dimana? Di rumah Thalia? Yaudah gue otw ya!"
Setidaknya, sekalipun tidak ada ucapan selamat tinggal, gue masih bersama mereka sampai di hari terakhir.
•••
Keadaan Najla sudah jauh lebih baik, dia sudah bisa tertawa seperti biasanya, kadang juga Najla menangis kalau membahas sesuatu tentang mamanya, tapi, justru air mata itulah yang membuat gue yakin, bahwa ia sudah jauh lebih baik. Najla tidak lagi bersembunyi di balik senyum, dia hanya mengekspresikan emosinya seperti seharusnya.
Dan Thalia, nyokapnya sudah lebih perhatian. Perlahan-lahan, gue dapat melihat wanita itu kembali hidup, kakaknya Thalia juga sedang menyiapkan pernikahan yang akan digelar beberapa bulan lagi.
Melihat semua ini, gue sangat bersyukur. Setidaknya, gue meninggalkan mereka dengan keadaan yang baik-baik saja.
"Lo mau kemana sih, Nu?" tanya Najla akhirnya.
"Mau ketemu Nada," sahut gue sambil melihat pantulan diri pada cermin kamar Thalia. Kaos belel yang tadi gue pakai, sudah berganti jadi kemeja denim yang lengannya gue lipat sampai siku.
"Gue ganteng nggak?" tanya gue tanpa berbalik.
"Nggak!" sahut Thalia judes sebelum menutup wajahnya lagi dengan buku dongeng berjudul The Little Mermaid.
"Oh iya, satu lagi," gue mengambil parfum dari dalam tas, lalu menyemprotkannya ke seluruh badan, membuat Thalia dan Najla langsung mengernyitkan hidung.
"Lo mau jalan kemana sih emang? Sampe nebeng mandi di rumah gue, udah gitu make parfum udah kayak petugas foging lagi," seloroh Thalia kesal, ia membanting buku dongengnya, lalu mencebikan bibir.
Gue terkekeh, lalu menyelip diantara keduanya, Thalia membuang muka, tidak sudi menatap gue. Gue merangkul bahu keduanya.
"Gue lagi mikir-mikir, kalian berdua jadi istri gue aja gimana?" celetukan gue langsung dijawab dengan sadis oleh keduanya.
"Najis!" seru mereka kompak, membuat gue tertawa geli.
"Lagian, protektif banget, lo pada jeles ya, gue sama Nada?"
"You wish!" seru Thalia sambil melepaskan rangkulan gue. Najla menatap gue, tapi gue hanya mengulum senyum lalu acak-acak rambut mereka.
Sesampainya di bawah, Mamanya Thalia baru keluar dari kamarnya, jadi gue menyempatkan diri untuk mengecup punggung tangan wanita itu dulu sebelum pergi.
Tiga tahun jatuh cinta sama anaknya, rasanya nggak benar kalau gue pindah tanpa meninggalkan kesan apapun pada wanita ini.
"Tante, Dhanu pulang dulu, sehat-sehat ya tante." Mamanya Thalia mengangguk, lalu tersenyum.
"Hati-hati ya, nak Dhanu."
Yah, setidaknya beliau ingat nama gue lah. Sebenarnya, gue mau mengenal perempuan ini lebih banyak, tapi sayang kami tidak memiliki kesempatan. Yang jelas, walaupun wajahnya mirip, tapi kelembutan Thalia dan Mamanya berada dalam dimensi yang berbeda, seperti dua sisi koin, berlawanan. Ya, simpulkan sendirilah, mana yang lembut seperti bidadari dan mana yang merupakan ratu cantik jelmaan setan.
•••
Gue tiba di rumah Nada jam tiga lewat lima menit. Nada sudah berdiri di teras, tapi tidak seperti biasanya, tunggunya kali ini ditemani oleh Mamanya.
"Assalamuallaikum Tante," sapa gue seraya mengecup punggung tangan Mamanya Nada.
"Wallaikumsalam, oh ini yang namanya Dhanu?" Mamanya Nada tersenyum sambil menaikan sebelah alisnya jail.
"Iya Tante, saya Dhanu, maaf selama ini ngajak Nada main nggak pernah izin dulu," ucap gue sopan.
"Wah, iya nih, marah deh Tante," walaupun gue tau beliau cuma bercanda, tapi tetap saja gue jadi merasa bersalah.
"Mama apaan sih?" Nada memanyunkan bibirnya protes, membuat gue mau tidak mau tertawa. Nada yang gue kenal nggak pernah merajuk kayak gini.
"Ah, bercanda kok Dhanu, nggak kamu izin juga Nada pasti cerita kalau jalannya sama kamu, wong kalau mau jalan sama kamu aja dandannya lama banget." Mendengar pernyataan Mamanya Nada, otomatis mata gue melirik ke cewek itu.
"Mamaaa!" protes Nada, pipinya sudah semerah tomat sekarang.
"Iyaudah Tante, kalau begitu, Nada sama Dhanu jalan dulu ya," gue berpamitan pada Mama Nada, mengecup punggung tangannya sebelum mengucap salam.
Sesampainya di mobil, gue menyenggol tangan Nada.
"Mama apaan, sih?" gue menirukan gaya Nada tadi, membuat cewek itu tergelak.
"Udah ah, kak Dhanu, gue malu tau!"
"Lo kayak gitu dong Nad sama gue," gue mangabaikan protes Nada, kemudian meniru gaya Nada dengan kata yang berbeda, "kak Dhanu apaan, sih?"
Mendengar nada bicara gue, Nada tertawa lebih geli.
"Udahan ah, serius deh, geli," katanya, lalu, "by the way, kita mau kemana sih sore-sore gini?"
"Maunya sih ngajak lo ke pantai yang waktu itu, tapi kayaknya kita udah kesorean ya?" gue mengetuk-ngetukan jari pada stir mobil, mencari tempat yang kira-kira bagus dan berkesan, tiba-tiba sebuah ide terbit di kepala gue, "ke Puncak aja gimana, Nad?"
"Hah? Serius?"
"Iya, hari ini kita ke puncak pass aja, nanti malam pulang, besok baru deh ke Pantai."
"Besok?"
"Iya besok, free kan?"
"Iya udah, terserah, asal ngajak gue makannya jangan telat kayak waktu itu," tukas Nada sambil memasang seatbelt.
Dan mobil ini pun melaju, membawa kami menuju dataran tinggi di kota Bogor.
•••
"Yuhuuuu," Nada berteriak girang, kakinya menuruni kebun teh dengan setengah berlari.
"Nad, sebentar apa! Tungguin gue, woy!" gue mengejar Nada, ketinggalan karena membeli kupluk dan sarung tangan tadi.
"Nggak mau ah kak! Capek nungguin lo mulu!" serunya membuat gue meringis.
Ini 'menunggu' dalam artian apa ya? Denotasi atau konotasi?
"Ish, sini dulu," gue meraih tangan Nada ketika kami sudah sampai di dataran, "kalau nggak mau nungguin gue, seenggaknya pake ini, lo nggak dingin apa?"
Gue hendak memakaikan Nada sarung tangan, tapi cewek itu menolaknya, "biar gue pake sendiri aja."
Nada memakai sarung tangan, syal serta kupluknya. Udara Puncak memang sudah tidak sedingin dulu, tapi tetap saja membuat gue dan Nada mengeluarkan asap ketika berbicara.
"Lo pake bajunya juga, kenapa tipis gini sih?" protes gue sambil merapihkan letak syal Nada. Hari ini, Nada mengenakan kaus lengan panjang dan rok selutut, tentu saja baju selapis itu tidak bisa diandalkan di udara sedingin ini.
"Lo kan nggak bilang, mau kesini," kata Nada sebelum kembali asyik memindai pemandangan sekitarnya.
"Gila, udaranyaaa!" Nada menghirup oksigen dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara khas Puncak.
"Udah mau sunset," gumam gue pelan, membuat Nada menoleh.
"Sunset mah bagusnya liat di pantai kak, bukan di gunung."
"Bukan sunsetnya, tapi pemandangan setelahnya," mendengar kalimat gue Nada menoleh, mengangkat sebelah alisnya.
Gue milirik ke arah mobil yang berlalu lalang di bawah sana, sekilas ingatan gue terlempar ke beberapa masa yang lalu. Terakhir kali gue bersama Thalia di sini, pengakuan gue berakhir dengan penolakan konyol. Hari ini, apa akan jadi penolakan juga?
Langit sudah mulai berwarna ungu keemasan, gue menggandeng tangan Nada untuk naik ke atas, meninggalkan kebun teh ini.
Selepas maghrib, kami menyender pada pagar pembatas Puncak pass, langit telah gelap sempurna, dan sebentar lagi, gue akan menunjukan pada Nada, betapa indahnya refleksi lagit.
Sama, seperti yang Thalia tunjukan ke gue.
"Bintangnya sedikit," desah Nada sambil menatap langit malam, memang hanya ada beberapa titik bintang dan bulan separuh di atas sana.
Gue menakup kepala Nada, lalu mengarahkannya ke bawah bukit, "jangan cuma liat apa yang orang lain lihat, tapi liat dari sisi yang berbeda."
Di bawah sana, lampu-lampu menyala, kerlap-kerlip dan bergerak di antara gelapnya malam. Warna cemerlangnya serupa kunang-kunang yang berkerumun.
"Kok gue baru sadar ya?" gumamnya setengah terperangah, ada kekaguman dalam suaranya. Lampu-lampu itu sederhana, tidak semegah bintang di langit, tapi, setiap malam mereka selalu hadir, tidak perduli langit sedang cerah atau mendung, tidak banyak yang memuja cahayanya layaknya mengagumi cahaya bintang, tapi mereka tidak pernah lelah untuk muncul sekalipun sebenarnya, mereka kerap hanya di jadikan pelarian oleh orang-orang yang merindukan bintang, meskipun mereka seringkali hanya pelengkap bayang, tidak kasat mata.
Dan mereka layaknya Nada bagi gue. Hadir tanpa gue minta, tergapai dan tidak lantas menjauh, muncul tanpa pernah tenggelam, bertahan, sekali pun kerap kali ia hanya jadi bayang dari Thalia.
"Nad?"
"Hmm?" sahut Nada, pandangannya masih tidak lepas dari mobil-mobil di bawah sana.
"Lusa gue berangkat ke Jerman," gue mengambil napas sejenak, sebelum malanjutkan, "tinggal di sana."
"Jerman?" tanyanya tanpa berbalik, tapi gue tau, lampu-lampu itu sudah tidak menjadi fokusnya.
"Iya, bokap pindah kerja ke sana, jadi ya, gue ikut."
"Berapa lama?" suara Nada bergetar sekarang, inilah bagian yang paling gue benci dari sebuah perpisahan, mengucapkan selamat tinggal.
"Entah, lima tahun, tujuh tahun, sepuluh tahun, yang jelas gue kuliah di sana." Nada tidak lagi bertanya apapun tapi bahu itu bergetar sekarang.
Gue menarik Nada ke dalam rengkuhan.
"Terima kasih ya, udah sabar sama gue, selalu ada setiap gue butuh, hadir di saat-saat terburuk, nggak pernah pergi sekalipun gue sering nyakitin."
Gue menguraikan pelukan, lalu berusaha menemukan wajah Nada karena ia menunduk.
"Jangan nangis dong," ujar gue, Nada menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan sebelum mengangkat wajah.
Mata Nada masih di lapisi selaput bening, ia pun masih menghindari kontak mata, akhirnya gue mengangkat dagunya, menatapnya tepat di manik mata.
"Egois nggak kalau gue minta lo LDR?"
"Hah?" Nada menatap gue tidak mengerti, gue tersenyum, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Kita udah dekat dua tahun terakhir, dan ya, tanpa perlu gue jelasin, lo pasti paham hubungan macam apa yang kita jalanin, maaf karena menggantung lo sampai selama ini, maaf karena gue nggak konsisten selama ini," gue megambil jeda sejenak, berusaha membaca keadaan, tapi tidak ada respon yang terbaca di mata Nada selain respon kebingungan.
"Udah terlambat belum, kalau gue minta lo jadi cewek gue sekarang?" gue merogoh saku gue, lalu mengeluarkan seuntai kalung berbandul bintang.
Beberapa detik terlewat begitu saja, tidak ada jawaban dari Nada, sampai akhirnya senyum itu merekah, tanpa ragu Nada mengangguk.
"Sini, gue pakein," ujar gue sembari berdiri di belakang Nada, Nada mengusap liontin yang kini menggantung di tengkuknya.
"Thanks," binar mata Nada membuat dada gue menghangat.
Setelah itu, kami melakukan banyak hal, makan roti bakar, minum susu murni hangat, jalan-jalan sampai mampir ke toko oleh-oleh untuk menyogok mama Nada karena gue baru mengembalikan anak itu jam 12 malam.
Apa-apa yang kami lakukan adalah hal yang sederhana, tapi entah kenapa, sesuatu yang hangat menjalar dalam tubuh gue, hanya dengan genggaman tangan Nada. Mungkin ini, yang orang nama kan kenyamanan.
Nyaman, karena gue tau, gue memiliki Nada, bukan untuk kembali kehilangan.
•••
Ketika gue sampai di rumah, Diandra belum tidur, dia memasang lagu galau keras-keras membuat gue berjenggit sebal.
"Di, kira-kira! Jam satu malem ini!" seru gue seraya membuka pintunya. Kamar Diandra gelap, gue meraba dinding untuk menyalakan sakelar.
Seketika kamar itu terang benderang.
Diandra bergelung di bawah selimutnya, membungkus diri dengan kain tebal bergambar floral.
Gue melangkah menuju speaker, lalu mencabut kabel yang tersambung pada stop kontak, membuat kamar itu sunyi dalam sekejap.
"Kak Dhanu, rusuh amat sih!" seru Dianda muncul dari balik selimutnya.
"Liat, jam berapa ini! Kalau ada mama papa udah abis lu di botakin."
"Rese!" Diandra kembali bersembunyi di balik selimutnya. Gue menghela napas, lalu menarik selimut yang menutupi wajahnya.
"Kenapa sih, Di?"
"Kak Dhanu juga tau, Di kenapa!" sungutnya sebal. Diandra masih menolak habis-habisan rencana perpindahan kami, tapi apa daya, sekali mama dan papa memberi titah, maka satu-satunya pilihan bagi Diandra hanya menuruti.
"Kenapa, lo belum bilang sama cowok itu?" mendengar kata 'cowok itu' Diandra menurunkan selimutnya, memperlihatkan matanya yang sembab.
"Angga marah sama Diandra," katanya sambil bangkit. Diandra memeluk boneka teddy bear miliknya.
"Yaelah, biarin aja sih, baru SMP juga, di Jerman sana ganteng-ganteng ntar," Diandra mendelik ke arah gue, mendengar kalimat gue barusan.
"Mau ganteng kek, mau jelek kek, kalo Di sayangnya sama Angga mau ngomong apa?!"
"Yaelah, masih kecil udah ngomong sayang, Di, trust me, nanti kalau ada yang cakepan dikit di sana, lo juga bakal lupa sama si Angga-Angga itu."
"Nggak mau, Diandra maunya sama Angga," gue menggeleng-gelengkan kepala sebal. Keras kepala.
"Lo ngomongnya di sini nggak mau, tapi mana tau kalo lo nggak mau nyoba?"
"Memangnya Diandra kak Dhanu apa, yang nggak dapet kak Thalia, nyoba-nyoba sama kak Nada."
Jleb.
Anak kampret!
"Kok lu jadi bawa-bawa gue sama Thalia-Nada, sih?!" melihat gue yang mengambil ancang-ancang Diandra langsung menutup hidungnya.
"Lagian rese! Memang bener kok, percuma aja kak, pacaran juga kalau hatinya nggak di sana, ngebohongin diri sendiri tau!"
"Ish, lo tuh ya!" Gue mendorong dahi Diandra sampai anak itu terjengkal ke belakang.
"Ih, kak Dhanu!" teriaknya sebal.
"Udah sana lo tidur!" gue melangkah, membiarkan Diandra menendang apapun yang ada di atas tempat tidurnya.
"Dasar orang jahat!"
"Bodo amat!" teriak gue bersamaan dengan suara pintu yang terjerembab.
Sesampainya di kamar, handphone gue bergetar, menandakan ada chat yang masuk, dari Nada rupanya.
Denada Khairunnisa: Besok jam 7, jgn telat ya!
Gue tersenyum membaca pesan Nada, lalu membalasnya dengan gerakan cepat.
Dhanu Ishal: Siap! Tidur yang nyenyak, mimpiin gue nya jangan yang aneh-aneh ya!
Gue melempar benda pipih itu ke atas tempat tidur, sebelum membanting tubuh ke tempat yang sama.
Mata gue menatap langit-langit kamar, sedangkan tangan dan kaki gue membentuk bintang di atas tempat tidur.
Gue menghela napas, kata-kata Diandra berputar-putar dalam otak gue. Apa yang gue lakukan malam ini, sudah benar, 'kan?
Tepat setelah pertanyaan itu tercetus dalam benak gue, ponsel gue kembali bergetar. Gue mengambil benda itu malas, lalu menggeser layarnya.
Thalia Maharani: Nggak mau tau, besok temenin gue lari pagi abis itu nyari kado, Fadli sama Najla nggak bisa, jam 6 udah di rumah gue ya! See you!
Detik pertama setelah gue selesai membaca pesan itu, handphone gue terlepas dari genggaman, jatuh menimpa wajah gue.
Sial! Kenapa harus selalu di saat yang nggak tepat, sih?!
----
A/n: kalau sampai Dhanu ngebatalin janji sama Nada buat jalan ama Thalia, gue persilahkan kalian untuk ngegebukin Dhanu. Sekian.
Wkwk
Salam sayang,
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro