39. Pengakuan Bagas
Dhanu.
Gue hanya mengantar Nada sampai depan rumah sakit. Dia bersikeras menolak untuk gue antar sampai rumah
Selepas kepergian Nada, tadinya gue berniat untuk berkeliling rumah sakit, atau kemana pun, yang jelas bukan kembali ke kamar Najla.
Karena seperti yang gue bilang, seruangan dengan Fadli dan Thalia sama saja bunuh diri, tapi ketika tidak sengaja gue melihat Fadli berlalu dengan motor hitamnya, gue memutuskan untuk kembali ke kamar Najla.
Sesampainya gue pada lorong kamar Najla, ada seseorang yang berdiri di depan kamar Najla, orang itu mengintip lewat kaca kecil yang terdapat pada pintu, di tangannya sebuket mawar putih tergenggam.
Nggak sopan banget itu orang, stalking di rumah sakit.
Gue baru ingin menegur orang tersebut, tapi ia justru berbalik lalu melangkah menjauh. Bunga yang tadi ia genggam, kini tergeletak begitu saja di atas tempat sampah.
Gue memicingkan mata ketika merasa mengenali orang tersebut. Bahu itu, milik Bagas.
"Bagas!" panggil gue setelah mengambil buket bunga tadi. Bagas menoleh, gue pun mengangkat bunganya.
"Masuk aja dulu, mungkin Najla mau ketemu lo," gue melirik kamar Najla. Lewat jendela kecil tadi, gue bisa melihat Najla yang sedang disuapi pizza oleh Thalia.
"Gue udah janji nggak akan ketemu dia, Nu." Pandangan mata Bagas meredup, membuat gue berdecak.
Diantara semua pasangan di dunia, gue paling nggak mengerti sama pasangan yang satu ini. Kalau saling sayang, kenapa harus pisah, sih?
"Kalau gitu, kita ngobrol di bawah aja gimana?"
Bagas menyanggupi ajakan gue, dan di sini lah kami sekarang. Kafetaria rumah sakit.
Kami memilih meja samping jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Langit sedang mendung saat ini, benar-benar mendukung suasana suram di sekitar Bagas.
Gue meletakan bunga Bagas di atas meja, sebelum menghempaskan punggung pada sandaran kursi. Berbeda dengan Thalia dan Najla, selama ini gue belum pernah terlibat langsung dalam hubungan Thalia ataupun Najla--Oke, kasus Fadli kemarin adalah pengecualian--tapi kali ini, sepertinya gue perlu mengobrol dengan Bagas, setidaknya, gue harus mengingatkan cowok ini untuk tidak lagi datang dan pergi seenaknya.
"Kalau mau ngasih, kenapa harus dibuang? Kalau mau ketemu, kenapa harus cabut?" gue lah yang pertama kali memecah keheningan, karena melihat gelagat Bagas, ia mungkin tidak akan memulai pembicaraan sampai Indonesia turun salju.
"Gue nggak akan nemuin dia lagi." Bagas melempar pandangannya ke luar jendela, lalu menghela napas berat. Gue merapatkan rahang. Kenapa manusia satu ini, egonya terlalu tinggi?
"Kalau gitu, seharusnya lo nggak perlu datang." Gue tau, nada suara gue terdengar ketus sekarang. Tapi sekali-kali, perlu gue batasi teritorial cowok-cowok ini, untuk tidak menyakiti Najla lebih jauh lagi.
"Gue udah janji nggak akan nemuin dia lagi, tapi begitu dengar dia di opname, gue langsung cabut dari Malang, goblok ya?" suara Bagas terdengar jauh, ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Lo tau dari mana?" tanya gue sambil memicingkan mata.
"Ada lah, pokoknya."
"Lo tau penyebabnya?" selama beberapa detik, Bagas bergeming, sampai kemudian suara beratnya kembali keluar.
"Gue harap gue nggak tau." Gue mengusap wajah frustrasi, sedangkan Bagas menghembuskan napas berat.
Sebisa mungkin, gue dan Thalia menutupi keadaan Najla, tapi entah bagaimana, Bagas yang ada di Malang bisa mendengar kejadian ini. Bahkan, teman sekelas gue pun belum ada yang tau Najla dirawat.
"Jangan sampai ada yang tau, kalau ada yang tau, cukup bilang magh dia kambuh." Gue mengatakan kalimat itu penuh penekanan, cukup kami yang tau soal kejatuhan Najla.
"Tenang aja, gue juga tau nggak dari sembarang orang, gue tau dari nyokapnya," katanya, membuat gue mengangkat sebelas alis.
Loh, masih berhubungan sama orang tuanya Najla?
"Nyokapanya Najla?" gue bertanya tidak yakin, karena setahu gue, nyokap Najla bukan orang yang seterbuka itu.
"Calon nyokap tiri gue."
Deg.
Walaupun hanya sepotong kalimat, tapi Bagas mengatakannya dengan lugas, membuat gue merasa jantung gue berhenti berdetak, untuk sesaat.
"Calon nyokap tiri lo?" gue tau, ketika mengajukan pertanyaan ini, suara gue bergetar, dan sungguh, gue sama sekali tidak mengharapkan anggukan dari kepala Bagas.
"Demi apa?" tanya gue lagi, penuh penekanan, benar-benar berharap, Bagas hanya berbohong.
Tapi dari sorot matanya, gue tau, dia pun berharap kalau dia hanya berbohong.
"Bangsat!" umpat gue, entah ditujukan untuk siapa. Gue mengusap wajah frustrasi, lalu mengusap napas berat.
"Gimana kalau Najla..." gue tercekat, kenyataan bahwa hal ini dapat kembali mengguncang Najla membuat gue bahkan tidak mampu mengatakan apapun.
"Najla nggak boleh tau!" seru Bagas cepat. "Ini sebabnya gue berusaha ngontrol perasaan gue untuk nggak nemuin dia, Najla nggak boleh tau!"
Gue memicingkan mata.
"Sejak kapan lo tau?"
"Setahun yang la--"
"Dan lo ngebiarin gitu aja?!" seru gue tidak terima.
Ini gila! Bagas gila, orang tuanya Najla gila! Bahkan, setelah tau hal ini, Bagas masih bisa berkeliaran di sekitar Najla? Setelah ada hal seperti ini, bisa-bisanya orang tua Najla pura-pura rujuk?!
"Gue udah menentang ini habis-habisan, beberapa bulan lalu, bokap gue dan nyokap Najla udah menjauh, tapi entah gimana dua minggu yang lalu mereka bisa jalan lagi."
"Terus kenapa lo masih jalan sama Najla, goblok?!" gue mengepalkan tangan, merapatkan rahang, lalu tanpa sadar menonjok rahang Bagas, hingga cowok itu tersungkur ke lantai.
Gue mendengar pekikan tertahan dari orang-orang di sekeliling kami, tapi gue nggak perduli, cowok ini pantas mendapatkannya.
Bisa-bisanya dia masih datang ke rumah sakit ini, walaupun tau, kalau dia mungkin lebih menghancurkan?!
Bagas mengelap ujung bibirnya yang berdarah, sebelum bangkit dari tempatnya.
"Lo jangan khawatir, gue akan melakukan apapun, agar nyokap Najla nggak jadi nyokap gue, dan gue juga nggak akan nemuin Najla lagi." Bagas meletakan iPod berserta earphonenya di atas meja.
"Gue laki-laki, gue akan jaga janji gue, lo sendiri tau, kalau gue nggak megang janji, saat ini gue pasti udah di kamar Najla, jadi lo tenang aja," kata Bagas, sebelum akhirnya dia keluar dari kafetaria.
Gue menghempaskan tubuh ke kursi lalu menghela napas frustrasi. Tidak tau, harus menjelaskan apa pada Najla.
Seandainya ini hanya ada di novel atau sinetron, mungkin gue bisa percaya, tapi ini kenyataan dan mirisnya dialami oleh Najla.
Gue menatap iPod dan bunga tadi. Harus gue apakan mereka?
***
Ketika gue masuk ke kamar Najla, hal yang pertama yang gue saksikan adalah Thalia yang sedang heboh memamerkan boneka dari Fadli yang ternyata bisa bunyi dan untuk pertama kalinya gue sama sekali tidak tertarik dengan sesuatu yang berhubungan dengan Thalia.
Gue meletakan bunga Najla di sebelah pot bunga, menyadarkan Thalia kehadiran gue di kamar ini. Thalia akhirnya menghentikan tingkahnya, lalu duduk di sofa, tampak canggung.
"Dari siapa, Nu?" tanya Najla menuding ke arah buket yang baru saja gue letakan.
"Lo nggak tidur?" tanya gue tidak berniat menjawab pertanyaan Najla.
"Mau sih," Najla merapihkan bantalnya, kemudian menyipitkan mata, "lo kenapa?"
Pertanyaan Najla membuat gerakan gue terhenti, gue hampir lupa, kalau Najla punya bakat cenayang.
Gue merogoh saku celana tempat iPod itu berada, tapi melihat wajah Najla, seketika gue ragu.
Apapun yang ada di iPod ini, haruskah gue memberikannya?
Akhirnya gue menggeleng, lalu merapihkan selimut Najla. "Nggak, gue nggak apa-apa, lo istirahat deh."
"Nu?" tanya Najla lagi, tidak yakin.
"Oh iya, bunga itu dari fans lo mungkin, gue mungut di depan pintu."
Najla mengernyitkan dahi, lalu mengedikan bahu tidak acuh.
"Seingat gue, selain kalian, nggak ada deh yang tau gue di rawat," gumam Najla sebelum menenggelamkan dirinya di balik selimut.
Saat Najla menutup matanya, gue menatapnya lama. Selama ini, dia punya gue dan Thalia, tapi kenapa dia masih harus memendam segalanya sendirian?
Ponsel di dalam kantong gue tiba-tiba saja menjerit, gue mengambil benda pipih itu, kemudian menjauh ke dekat jendela, ketika nama 'Ibu Negara' tertera di sana.
"Wallaikumsalam Ma," jawab gue tepat setelah ponsel itu menempel pada kuping. Setelah nyokap menanyakan keadaan Najla dan Thalia, akhirnya beliau masuk ke tujuan awal menelfon gue.
"Kamu gimana, Nu? Tetap berangkat sesuai jadwal, atau justru mau batal?" mendengar pertanyaan nyokap, gue melirik Thalia dan Najla sekilas.
Thalia masih duduk di sofa, tampak menunggu sampai gue selesai menelepon.
"Dhanu belum tau, Ma, nanti Dhanu kabarin lagi ya," ujar gue akhirnya, berusaha menjaga nada bicara agar Thalia tidak curiga.
Setelah berpesan untuk menjaga Najla dan Thalia, nyokap gue memutuskan sambungan, seperti yang gue duga, begitu gue memasukan ponsel ke dalam saku, Thalia menghampiri gue.
"Nu?" gue tersenyum, lalu menepuk-nepuk kursi kosong di samping gue, menyuruh Thalia duduk.
"What happen?" tanyanya kemudian, terselip nada khawatir di sana.
Gue melempar pandangan gue pada Najla, dia sudah terlelap.
"Tadi Bagas ke sini." Mata Thalia membulat mendengar penuturan gue, dia melirik bunga yang terletak di atas meja.
"Jadi, bunga itu dari Bagas?" gue mengangguk mengiyakan, lalu mengeluarkan iPod dari saku.
"Bunga itu dan ini." Thalia mengambil iPod tersebut dari tangan gue, hendak meneliti isinya, tapi membatalkan niatnya, saat sadar bahwa kami perlu mejaga privasi antara Bagas dan Najla.
"Dia ngapain? Nggak masuk?"
"Dia nggak akan nemuin Najla lagi," ujar gue membuat Thalia berdecak kesal.
"Yaelah! Pasti gara-gara perjanjian tolol itu deh! Bingung gue sama dua orang itu, bego banget sih! Gengsinya bikin bego! Gue kesel banget liat--"
"Memang lebih baik mereka nggak usah ketemu lagi, Tha." Gue memotong omelan Thalia.
"Eh?" Thalia menatap gue bingung, kalimat barusan mungkin terdengar absurd di telinga Thalia, mengingat secara tidak langsung, gue dan Thalia memang lebih mendukung keberadaan Bagas dari pada Bara untuk berada di sisi Najla.
"Mereka nggak akan bisa sama-sama," tukas gue tanpa berani menatap ke arah Thalia maupun Najla.
"Iya, gara-gara gengsinya!" seru Thalia kesal. Gue menggeleng pelan, membuat Thalia mengangkat sebelah alisnya bingung.
"Nyokapnya Najla, calon nyokap tirinya Bagas." Setelah gue mengatakan hal itu, tidak ada yang bersuara kecuali detak jam.
"Nggak lucu," kata Thalia akhirnya.
"Takdir memang nggak pernah lucu, Tha."
Thalia melempar pandangannya ke arah Najla, sedangkan gue memijit kening, lelah.
Sama seperti gue, hal ini mungkin membuat Thalia sama kagetnya, kami tidak mampu mengatakan apa-apa. Kami hanya tau, kalau Najla akan kembali terpuruk dan kami tidak memiliki daya untuk melakukan apapun.
"Najla udah tau?" tanya Thalia parau, deru napasnya terdengar tapi gue hanya bisa menggeleng.
"Kayaknya belum, entah mana yang lebih baik, dia udah tau atau belum." Selepas gue melisankan jawaban, kami terdiam untuk waktu yang lama, memikirkan satu hal yang sama, fokus pada satu nama yang selama ini berdiri menjadi bagian dari diri kami.
Akhirnya gue tersenyum, lalu mengacak rambut Thalia.
"Tidur, gih, lo pasti capek. Satu-satunya hal yang bisa kita lakuin cuma berdiri di samping Najla, jadi jangan sampai kita tumbang."
Thalia tidak beranjak, masih menunduk menatap lantai rumah sakit.
"Nu?"
"Hmm?"
"Kalau, kalau seandainya keadaan Najla terus begini, sebentar lagi kan lo kuliah ke Jogja, gue takut, Nu, takut ngeliat Najla kayak gini sendirian." Thalia menolak untuk mengangkat kepalanya, tapi gue tau, dia menangis saat ini.
Setetes air mata yang baru saja jatuh dan pecah di lantai adalah buktinya.
"Jangan takut, Najla lebih kuat dari pada yang kita kenal." Thalia masih menunduk.
"Gue juga mungkin nggak kuliah tahun ini," ujar gue membuat Thalia akhirnya mengangkat kepala.
"Eh?"
"Gue ngerasa jahat aja, selama ini, gue tau kalau Najla punya beban, tapi gue lebih sering mikirin diri sendiri. Dia selalu ada buat gue, jadi gue nggak mungkin ninggalin dia saat dia jatuh." Thalia otomatis melotot mendengar kalimat gue, dan seperti yang gue duga dia menentang rencana gue habis-habisan.
"Jangan gila ya! Lebay lo, gue bisa kok nemenin Najla, jangan yang aneh-aneh!"
"Tadi lo bilang lo takut?" Thalia langsung terdiam.
"Ya... iya sih, tapi gue nggak setuju kalau sampai lo ngorbanin mimpi lo, Najla pun pasti begitu, sejatuh apapun Najla, dia nggak akan mau melihat sahabatnya ikut jatuh."
Gue tersenyum mendengar penuturan Thalia.
"Gue nggak jatuh, gue cuma menunda, lagian gue emang lagi pengen rehat setahun kok, capek belajar."
"Tapi tetap aja, Nu!"
"Udah, sekarang lo tidur! Istirahat!" Gue memilih mengabaikan Thalia, lalu memaksanya untuk beristirahat.
Thalia pun akhirnya menurut, dia bangkit dan merebahkan dirinya di sofa, menarik selimut sampai sebatas leher sebelum menutup matanya.
Handphone gue bergetar, layarnya menandakan bahwa sebuah pesan baru saja masuk dari 'Ibu Negara'.
Isinya berupa pemberitahuan bahwa ada beberapa dokumen yang harus gue tanda tangani kalau gue memang jadi ikut ke Jerman.
Setelah menutup fitur pesan tanpa membalasnya, gue melempar handphone gue asal ke atas meja.
Gue menghembuskan napas berat, gue butuh waktu untuk menentukan apa yang akan gue lakukan, kejadian yang menimpa Najla sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak gue.
Sayangnya, selain takdir, waktu juga adalah perihal yang kejam. Tidak perduli apapun yang terjadi, mereka terus berlari, mengabaikan apa-apa yang berusaha menyamai langkahnya. Kami, manusia lagi-lagi hanya bisa tersaruk di belakangnya.
Gue memejamkan mata, berusaha menelaah kembali alasan gue memutuskan untuk ikut pergi ke Jerman.
Gue memang bisa saja tetap tinggal di Indonesia, atau di Jakarta sekalian. Tapi artinya, kesempatan gue untuk melangkah dan memulai segalanya dari awal akan hilang.
Karena gue menyadari satu hal, bagaimana pun gue berusaha, gue akan selalu ragu selama ada Thalia di sekitar gue. Dia layaknya titik kelemahan yang bisa membuat keyakinan yang gue bangun sekian tahun goyah dalam satu kerjapan mata.
She's my achilles heels.
Anjas, kenapa jadi lebay begini sih gue?!
Gue menggelengkan kepala lalu bangkit, melangkah ke arah meja dimana Thalia meletakan iPod milik Bagas sebelum terlelap tadi.
Benda ini harus diamankan.
Ketika gue memasukan iPod itu ke dalam saku, tidak sengaja mata gue menangkap boneka teddy bear yang terletak di samping Thalia.
Gue mengambilnya, lalu menekan telinga beruang kuning tersebut.
"I love you, Tha."
Gue berjenggit mendengar suara itu.
"Bentuknya doang beruang, ocehannya kayak buaya," gue mencibir sebal.
"Sampai gue udah segininya, lo ternyata nyakitin Thalia? Mati lo!" seru gue sebelum melempar boneka itu ke lantai.
Tapi baru saja mau melangkah, gue memungut boneka itu dan meletakannya kembali di samping Thalia.
Nyatanya, gue harus belajar ikhlas bahkan dari hal terkecil.
----
A/n: gue baru kemarin update, tapi pengen update lagi aja, soalnya lagi seneng, Elang sama Cessa udah siap di sebar wkwk
Nanti, sekitar minggu ini bakal ada pembelian khusus, jangan lupa beli ya! :p (promosi mah tetep)
Udah ah cee u Babay!
With love,
Naya❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro