35. Memilih Kenangan
Dhanu.
Thalia dan Najla terus menangis hampir satu jam lamanya. Bukan hanya Thalia yang tidak cukup kuat, gue pun ternyata ikut jatuh bersama Najla.
Saat ini, Najla sudah jauh lebih baik, Thalia juga sudah berhasil membujuk Najla untuk makan.
Mengingat kami harus berusaha membangkitkan kenangan indah Najla, maka selama Najla tidur, gue datang ke rumahnya, untuk mengambil beberapa barang yang bisa berguna. Sementara gue memilih kenangan untuk Najla, Thalia tetap menemani Najla di rumah sakit.
Saat gue sampai di rumah Najla, papanya sedang berada di ruang kerja, sedangkan mamanya duduk di ruang keluarga. Raut mama Najla tampak keruh, beliau seperti menua dalam kurun waktu satu malam.
"Kamu di sini, Nu?" tanya mamanya ketika menemukan wajah gue.
"Iya tante, mau izin ambil barang Najla untuk di bawa ke rumah sakit." Mama Najla mengangguk lemah, meluluskan permintaan gue.
"Ambil apapun yang Najla butuhkan," ujarnya tetap sambil menunduk, gue pun mengangguk sopan sebelum menaiki tangga.
Ketika gue membuka pintu kamar Najla, tenggorokan gue tercekat, bayangan mengerikan itu tervisualisasi dalam benak gue. Thalia yang berteriak histeris, mama Najla yang menangis, papanya yang menggendong Najla dalam keadaan basah dan tidak berdaya. Bahkan, di kamar yang sudah bersih ini, gue dapat mencium bau anyir.
Gue menghela napas berat.
Kenapa kejadian mengerikan selalu dapat di bayangkan dengan sempurna?
Gue bahkan tidak yakin dapat menatap wajah Najla tanpa rasa bersalah setelah kejadian ini.
Gue menoleh dan menemukan anggrek ungu di atas meja samping pintu. Ini mungkin yang Thalia bilang, anggrek dari Bagas. Di sebelah anggrek itu terletak bunga mawar yang gue kenali sebagai pemberian dari Bara.
Gue mengambil pot anggrek dari Bagas, tapi tidak mengikut sertakan mawar merah tersebut. Di banding kenangan menyenangkan, Bara mungkin lebih banyak menjadi tokoh dalam kenangan buruk Najla.
Tiba-tiba mata gue tertumbuk pada benda pipih di atas kasur Najla. Handphone milik Thalia.
Pantas saja semalam dia menelfon gue dengan nomor tidak di kenal, untungnya gue tidak sempat berpikir kalau dia sudah mengubah nomor hape.
Ada 26 missed call, dan lebih dari 999 chat.
Gue meringis ketika mendapati wallpaper handphone kesayangan gue itu--iya, terakhir kali gue panggil kesayangan, habis ini nggak lagi-- masih foto Thalia bersama Fadli.
Ketika gue hendak memasukan ponsel tersebut ke dalan kantong celana, benda tipis itu menjerit, membuat gue mau tak mau melihat ke layarnya. Nama Fadli dengan emoticon toples madu yang berjejer dengan namanya membuat gue mengernyit.
Fadli transformasi jadi beruang madu maksudnya?
Gue menggeser tombol merah untuk mereject panggilan, sebelum tersenyum puas.
Rasain lo, siapa suruh nelfon Thalia pas hapenya ada di gue?!
Tapi belum sempat handphone itu mendarat di kantong gue, benda itu kembali berbunyi, membuat gue mendenguskan napas kesal.
Dengan sekali gerakan gue geser tombol hijau, untuk menyambungkan hubungan. Belum sempat gue mendamprat Fadli, bocah satu itu sudah berujar duluan.
"Hallo Tha, kemana aja kamu?" panggilan yang Fadli gunakan otomatis membuat gue membeku.
Kamu? Sejak kapan kata kamu sudah menggantikan kata elo? Sepele sebenarnya, tapi untuk ukuran Thalia dan Fadli yang terkesan cuek, aku-kamu bisa berarti banyak hal.
"Hallo Tha? Are you there?" suara Fadli kembali terdengar. Susah payah gue menelan ludah, menguasai diri sebelum menjawab Fadli.
"Ini gue Dhanu, Dli."
"Oh."
Setelah sepotong suku kata dari Fadli tersebut, ada beberapa detik keheningan, sampai gue memutuskan untuk menjadi orang pertama yang memecahkannya.
"Thalia lagi di rumah sakit, handphonenya ketinggalan di rumah Najla "
"Thalia sakit apa, Nu? Di rumah sakit mana?" tanya Fadli kalem, dalam suaranya terselip kekhawatiran yang pekat.
"Bukan Thalia kok yang sakit, udah dulu ya Dli, gue buru-buru." Gue langsung memutuskan sambungan tanpa menunggu jawaban Fadli.
Nanar, gue tatap benda yang layarnya kini kembali menampilkan foto Thalia dan Fadli.
Gue tau, gue sudah bilang akan mengikhlaskan Thalia. Tapi kalau mengikhlaskan itu mudah, mungkin ratu jahat di serial Narnia tidak akan dibenci karena sudah membunuh Aslan. Kalu mengikhlaskan itu mudah, Sasuke nggak akan punya dendam karena orang tuanya di bunuh.
Oke, analogi gue mulai ngaco sekarang.
Ya, intinya mengikhlaskan memang tidak pernah mudah, terlebih bagi kami, si pengagum rahasia yang sudah melangkah sejauh ini. Menyerah, sama saja dengan membiarkan apa-apa yang kami usahakan selama ini, segala sakit serta emosi yang kami redam berakhir sia-sia.
Dari pada mengikhlaskan, kami memang di paksa untuk menerima kekalahan.
Gue menggelengkan kepala gue, berusaha kembali fokus pada tujuan awal. Ponsel Thalia pun akhirnya bisa masuk ke dalam kantong gue tanpa jeritan apapun lagi.
Gue pun beralih pada laci meja belajar. Gue benda apapun yang memiliki kenangan indah. Buku bank soal matematika tentunya bukan pilihan, tapi akhirnya gue menemukan album foto pada salah satu laci.
Gue menyingkirkan beberapa foto Najla bersama orang tuanya, takut kalau itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan.
Tapi, tanpa sengaja, raut wajah orang tua Najla berkelebat dalam benak gue, membuat gue berhenti sejenak.
Gue menatap foto-foto yang tadi gue keluarkan dari album.
Dalam sekejap rasa bersalah itu hadir.
Tidak kah terlalu kejam membuat seorang anak melupakan orang tuanya?
Orang tua Najla mungkin banyak bersalah, mereka mungkin menghancurkan Najla, tapi bukan kah mereka tetap orang tua Najla? Yang mencintai Najla lebih dari siapapun yang ada di dunia ini?
Bukan kah saat ini mereka justru lebih hancur dari pada Najla?
Gue menghela napas panjang, laku kembali memasukan foto-foto tadi. Gue yakin, dalam nuraninya, Najla pun tidak ingin melupakan orang tuanya, Najla pasti masih mencintai orang tuanya sebagaimana sebelumnya.
***
Sekembalinya gue ke rumah sakit Najla masih tertidur dan Thalia pun sudah ikut terlelap di bangku samping hospital bed, kepalanya terletak di atas kedua tangan yang terlipat. Dia pasti benar-benar lelah.
Gue meletakan pot anggrek di atas meja sebelah ranjang Najla, lalu meletakan sisanya di dalam nakas.
Setelah memastikan bahwa Thalia benar tertidur, gue menggendongnya, memindahkannya ke sofa.
Thalia sempat menggeliat sebentar sebelum kembali nyenyak, gue merapihkan posisi tidurnya. Dan ketika sedang merapihkan bantal tangan gue terhenti.
Tanpa sadar, gue menatap wajah Thalia dalam-dalam. Dalam wajah yang kepadanya gue sudah jatuhi cinta bertahun-tahun, gue menemukan setitik kelegaan diantara kelelahan yang mendominasi.
Dulu gue pernah berpikir, kalau mata cokelat terang Thalia yang membuat gue mengejarnya mati-matian, tapi ternyata gue salah. Dalam keadaan mata tertutup pun perasaan itu masih sama.
Ingatan gue berlari ke tadi malam ketika Thalia bilang untuk melupakan semuanya.
Gue menarik napas panjang lalu mengusap puncak kepala Thalia.
"Apa aja Tha, untuk lo."
---
a/n: yuhu, udahan dulu ya sedih-sedihnya, btw gue balik ke jadwal awal update crush ya, Selasa-Jum'at! Maciw semuaaaaa
Regards,
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro