Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Kehilangan

Najla.

Pesta sudah selesai, tapi Thalia belum juga kembali. Aku baru saja ingin berbalik ketika seseorang menepuk pundak ku.

"Najla, ayo pulang." Aku menoleh dan menemukan Bagas sudah berdiri di sampingku sekarang.

"Kemana aja, pak? Gue kira gue bakal balik naksi," kata ku menyindirnya, karena sejak di pinjam Hana dia menghilang.

"Maaf deh, nggak mungkin Jla gue ninggalin lo, kan malam terakhir," Bagas tersenyum getir, dan aku hanya mengikuti tangannya yang menggiring ku menuju mobil.

Saat Bagas membukakan ku pintu, satu-satunya yang dapat aku lakukan hanyalah menatap isi mobil itu tidak percaya, berbeda dengan waktu kami berangkat tadi, kali ini mobil itu di penuhi oleh kelopak mawar.

Bagas tersenyum, lalu mendorong bahu ku pelan hingga masuk ke dalam mobil, lalu memutari mobil dan duduk di kursi belakang setir.

"Bagas... ini?"

"Gue kan nggak mau kalah sama cowok-cowok yang ngasih lo bunga," katanya sambil tersenyum, sedangkan aku masih tidak mampu mendeskripsikan apapun.

Speechless. Dalam mimpi sekali pun, aku tidak pernah membayangkan Bagas bisa melakukan hal semanis ini.

"Lihat ke belakang, Jla," ujarnya membuatku menoleh ke jok belakang. Di sana, aku menemukan satu pot anggrek berwarna ungu di antara tangkai mawar merah lainnya.

Bagas mengambil anggrek itu lalu meletakannya di atas pangkuanku, aku menatap anggrek itu sebelum mengangkat wajah ku, Bagas menatap ku lekat-lekat, seolah ingin mengunci bayanganku dalam mata hitam pekat itu.

"Bagi gue, lo seperti anggrek ini, cuma satu di antara mawar lainnya, one in million, nggak kayak mawar yang orang gunain untuk menganalogikan cinta karena kecantikannya, lo lebih dari itu, lebih berharga dari mawar, lo punya cara sendiri untuk bersinar," kalimat Bagas membuatku terhanyut, sampai aku bahkan tidak mampu membalas satu pun kalimatnya.

"Gue tau, selama ini gue nggak pernah memperlakukan lo dengan baik, sama gue lo nggak pernah merasa spesial, mungkin gue adalah orang terakhir yang bisa bikin lo bahagia--"

"Gas..." aku memotong ucapannya, dia mengeratkan pegangannya di tanganku, membuatku tidak melanjutkan.

"Iya, gue tau, kita akan pisah, tapi untuk sekali ini aja, just for tonight, gue mau tau bagaimana rasanya punya qtime sama lo, dan memang setelah gue merasakannya, gue jadi maruk, rasanya gue mau waktu berhenti," mata Bagas meredup, begitupun dengan ku. Mungkin sama seperti Bagas, aku ingin waktu terhenti.

"Tapi tenang aja, gue nggak akan minta apa-apa, gue cuma mau menciptakan kenangan terakhir gue sama lo, biar waktu kita pisah nanti lo nggak hanya ingat gue sebagai cowok brengsek, tapi lo bakal inget gue sebagai cowok yang sebenarnya pengen banget bikin lo bahagia, tapi nggak tau caranya." Bagas tersenyum lalu menyelipkan rambutku di belakang telinga.

"Di jaga ya anggreknya, sama kayak lo ngejaga mawar dari Bara." Aku menggigit bibir bawahku, lalu menatap mawar yang juga berada di pangkuanku. Bagas pasti sadar bahwa aku menyingkirkan bunga lain dan hanya menyisakan mawar ini.

"Maafin gue, Gas." Akhirnya hanya itu yang mampu aku katakan, Bagas menggeleng pelan.

"Jangan minta maaf, gue tau alasan lo nggak bisa terima gue karena kesalahan gue sendiri, gue terlalu sibuk sama gengsi gue sendiri sampai lupa kalo lo bisa pergi, akhirnya gue harus ngelihat lo bahagia sama laki-laki lain, dan gue mau nggak mau harus rela ngelepasin lo, walaupun lo nggak pernah benar-benar gue miliki."

"Bagas..." suara ku serak, banyak hal yang rasanya harus aku katakan, tapi tidak ada satupun kata yang terlintas di benakku selain namanya.

"Gengsi itu juga yang bikin gue nggak pernah bisa ngungkapin perasaan gue ke elo, sekalipun sebenarnya gue yakin, tanpa perlu gue utarain lo udah tau, tapi kali ini gue mau lo dengar sendiri dari mulut gue..." selama beberapa detik Bagas menggantung kalimatnya, sebelum kembali melanjutkan, "... gue sayang lo, Jla."

Kalimat terakhir Bagas lirih, tersaru dengan napas ku, tapi kepasrahan terdengar di sana, lebih dari pernyataan Bara dulu , lebih dari ungkapan mana pun yang aku dapatkan malam ini, lebih dari pada seluruh pernyataan yang pernah aku dapatkan seumur hidup ku, kata-kata Bagas terasa lebih tulus dan menyentuh.

Tangan Bagas terulur, ibu jarinya mengusap air mata yang tanpa aku sadari telah meleleh, dia tersenyum sebelum mulai menjalankan kemudi.

Selama di perjalan, Bagas menggenggam tangan ku erat.

Setelah ini, kami benar-benar akan berpisah, akan menemukan kebahagiaan kami masing-masing. Berjanji untuk tidak saling bertemu apapun yang terjadi, menjalani hidup masing-masing tanpa ada satu sama lain di dalamnya.

Bahkan untuk memastikan hal itu begitu sampai di depan rumahku, kami bertukar handphone. Menghapus jejak masing-masing di handphone yang lain. Untuk memastikan betapa pun saling merindukan, seberapa pun ingin bertemu kami benar-benar tidak dapat saling menghubungi.

Tubuhku bergetar ketika menghapus satu persatu pesan dan conversation kami di handphone Bagas.

Ini waktu kami nggak jadi jalan karena berantem.

Ini waktu kami berantem karena Bara.

Ini waktu kami nonton bareng tapi beda studio karena sama-sama keras kepala.

Ini waktu kami berantem karena taruhan bola.

Ini waktu kami berantem karena kucing persia milik mantannya Bagas.

Setelah selesai dengan room chat, tanpa sengaja aku membuka draft pesan milik Bagas. Napas ku tercekat ketika membaca satu-persatu pesan yang tidak pernah sampai ke handphone ku.

Maafin gue jla

Jla, udah makan?

Jla, ada waktu?

Jla, gue minta maaf.

Jla sorry.

Jla marah?

Aku tertawa miris dalam hati, betapa lucu aku dan Bagas, memaksa untuk berpisah walaupun sama-sama tidak ingin melepaskan.

Bagas sedang melakukan hal yang sama dan aku tidak tau apa saja yang dia temukan di handphone ku.

Setelah memblokir semua akun sosial media ku dari akun miliknya, diam diam aku memfoto anggrek ungu itu lalu menguploadnya di instagram Bagas. Sebelumnya, aku mengetikan beberapa kalimat.

Adalah keegoisan yang akhirnya memisahkan, namun jika waktu berlari dan kita kembali bertemu, entah karena takdir atau apapun yang orang katakan, ingatkan aku, bahwa aku pernah sangat bahagia karena mengenalmu.

Bagas sudah selesai dengan handphone ku jadi aku juga menyerahkan miliknya.

"So... finally we have to say goodbye?" aku tersenyum, agar wajah inilah yang akan ia ingat nanti.

"Setiap orang pada akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal, bukannya lebih menyakitkan kalau pergi tanpa mengucapkannya?" Bagas menyentuh wajahku, aku berusaha tetap tersenyum tapi ketika aku menutup mata setetes air mataku kembali jatuh, kenapa berpisah dengannya ternyata berat sekali?

Bagas tidak lagi mengusap air mataku, ia hanya menatap ku lama, aku pun melakukan hal yang sama; menyimpan potretnya dalam memori.

"Perlu aku antar sampai dalam?" tanyanya ketika melepaskan tangannya dari wajahku.

"Jangan, kalau diantar, ntar kamu nggak bisa pulang," jawab ku sambil melepaskan seatbelt.

Percaya atau tidak, ini adalah pertama kalinya kami berbicara selembut ini.

Bagas mengangguk, lalu aku turun tanpa menunggunya membuka kan pintu. Semakin lama kami bersama, kami akan semakin ragu.

Aku tidak langsung masuk ke dalam, aku melambaikan tanganku pada Bagas, sedangkan dari dalam mobil ia hanya tersenyum.

Pelan... pelan... sampai akhirnya mobil Bagas hilang ditelan jarak.

Aku memeluk pot anggrek dari Bagas. Pada akhirnya...

Kesombonganku yang menang.

Aku baru akan masuk rumah ketika handphoneku berdering. Nama Thalia tertera di sana.

Aku tersenyum senang, ketika nada bahagia terdengar dari ujung sana.

"Yaudah deh ya, sana lo have fun dulu, gue ribet nih mau buru-buru masuk, ntar malem nginep aja," kataku sebelum memutuskan sambungan.

Rumah sepi seperti biasanya, namun lampu ruang tamu dan ruang keluarga masih menyala.

"Loh, Bibi belum tidur?" tanya ku ketika melihat Bibi yang berdiri di dekat tangga, gerakannya gelisah, tapi seperti sedang menunggu seseorang.

"Non Najla, ditunggu Bapak sama Ibu di ruang keluarga," ucapnya ragu. Aku melirik jam dinding sekilas, jam satu malam.

"Ngapain Bi, Mama Papa nungguin aku?"

"Nggak tau Non, Non temuin aja, Bibi cuma disuruh nungguin non," sahutnya, tapi seperti tadi Bibi masih tampak enggan.

"Oh, yaudah Bibi tidur aja, udah malam," ujarku sebelum meninggalkan Bibi. Perempuan paruh baya itu mengangguk, lalu meninggalkan ku.

Mama dan Papa masih memakai pakaian yang sama dengan pakaian yang tadi mereka gunakan ketika aku berangkat, keduanya duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi, membelakangi pintu masuk menuju ruang keluarga.

"Ma, Pa, belum tidur?" tanyaku membuat keduanya menoleh.

"Sini sayang," bukannya menjawab, Papa dan Mama malah menciptakan jarak diantara keduanya, memberi tempat untuk aku duduk. Aku duduk di tengah mereka.

"Kata Bibi aku ditunggu, kenapa Ma, Pa?" tanyaku sambil melepaskan heels yang mulai membuat pegal.

"Papa sama Mama mau bicara sama kamu sayang," suara mama melembut, sepertinya ada sesuatu yang penting.

"Ngomong apa, Ma?"

"Kamu capek nggak, Jla? Kalau capek, besok pagi aja," kali ini Papa yang berbicara, aku otomatis menggeleng sembari tersenyum.

Papa dan Mama saling berpandangan, lalu menatapku, jenis tatapan yang menyiratkan rasa bersalah.

"Papa dan Mama minta maaf, kami bukan orang tua yang baik untuk kamu Najla," suara Mama bergetar, dan kalimat selanjutnya yang aku dengar, membuat aku merasa dunia runtuh saat itu juga.

Seperti orang bodoh, aku mendengar segalanya, tapi tidak mengerti arti dari satu kata pun.

Setelah selesai menjelaskan, suara yang terdengar hanya isakan mama dan detik jam yang berdetak. Aku tidak mengatakan apapun, tidak mencerna apapun, tidak merasakan apapun, pada akhirnya aku hanya melepaskan genggaman Mama, tanpa mengatakan apapun, aku naik ke atas.

Aku pikir, aku baik-baik saja, tapi ternyata ketika aku meletakan pot anggrek di atas meja, tanganku bergetar. Aku memegangi tanganku, berusaha mengendalikan tubuhku, tapi yang aku lakukan justru menyenggol frame foto hingga pecah berkeping-keping.

Aku menggigiti bibir bawah ku, berusaha meyakinkan diri sendiri, kalau aku baik-baik saja. Aku berjongkok, berniat memunguti pecahan beling tersebut, tapi ketika aku mengangkat kepala, pertahananku roboh seketika.

Di sana, tepat dinding kamarku, terpajang besar-besar foto kami bertiga. Aku membekap mulutku kuat-kuat, tapi tidak bisa, isakan itu tetap keluar.

Aku merasa ada sesuatu yang menusuk dadaku, menikam tepat di jantung. Tidak berdarah, tapi perih sekali.

Tidak sampai di sana, suara itu kembali tergiang.

Mama dan papa memutuskan untuk bercerai, Jla.

Maafkan kami, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi mama dan papa memang nggak saling mencintai.

Selama ini, kami bukan keluar kota. Kami pulang ke rumah masing-masing. Tapi kami nggak bisa bohongin kamu terus kan, Jla.

Sejak dulu mama dan papa mencintai orang lain Jla, kami nggak pernah mencintai satu sama lain.

Mama dan papa akan sering mengunjungi kamu, mama papa janji kami nggak akan meninggalkan kamu seperti dulu.

Tolong mengerti, Jla. Akan lebih sulit, kalau kami terus bersama.

Seperti di hempaskan begitu saja, jatuh lalu berserakan, hancur melebur tidak berbentuk. Aku remuk.

Aku menutup kedua telingaku, berteriak pada pemilik suara itu, memohon pada yang menggemakan, agar kalimat itu bisa berhenti terdengar.

"Aku nggak mau dengar, tolong!"

"Aku nggak mau dengar apapun!"

"Berhenti! Aku nggak mau dengar!"

Tapi, berapa kali pun aku berteriak, memohon, bahkan nyaris frustrasi, suara itu terus terdengar, bergema pada setiap katanya. Fasih, dalam melukai.

Pada ujungnya, keputus asaan lah yang terdengar. Dengan seluruh sisa harapan, segenap sisa kekuatan, aku kembali memohon, penuh kepasrahan.

"Najla nggak mau dengar, Ma, Pa, tolong..."

Suara itu tetap terdengar, tidak perduli seletih apa aku meratap. Dan aku, tidak perduli seberapa keras berusaha tidak percaya, kehilangan lagi-lagi memaksaku untuk menerima.

---
A/n: Ha, jangan protes karena part ini full Najla-Bagas, dan jangan protes juga karena mereka nggak cute, aku nggak bisa bikin scene romantis :(

Btw, soal orang tuanya Najla, sebenarnya begitulah :(

Semoga nggak datar ya!

Sampai ketemu hari Jum'at!

CupsCups,

Naya❤

P.s: Ad yaang sebel sama gengsiannya Bagas-Najla nggak? W sebel, pake banget, tapi suka gmn dong :( fyi, yang gengsinya kayak gini ada beneran loh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro