28. Promnite
Najla.
Tiga bulan kemudian...
Hasil Ujian Nasional sudah keluar. Setelah beberapa bulan mendapat tekanan lahir batin, luar dalam, depan belakang, atas bawah, akhirnya kami bisa bernapas lega.
Hasilnya? Not too bad untuk aku dan Thalia yang lebih sering keluyuran di mall, daripada diam di kelas.
Sedangkan berkat patah hatinya, Dhanu berhasil mendapatkan peringkat sepuluh besar NEM tertinggi di sekolahku, lengkap dengan tiket masuk jalur SNMPTN UNY, tapi Dhanu tetaplah Dhanu, yang belagunya nggak pernah insyaf, dengan pedenya dia akan melepaskan SNM yang ribuan anak impi-impikan itu demi SBMPTN UGM.
Orang gila memang, emangnya dia pikir gampang kali SBM?!
Soal aku dan Thalia, jangan ditanya, kami sepakat akan mengambil les intensif untuk SBM mulai minggu depan.
Keadaan hubungan kami bertiga, masih seperti tiga bulan yang lalu. Thalia yang cuek ke Dhanu, Dhanu yang jadi pendiam di depan Thalia, dan aku yang tetap menjadi teman yang independen.
Walaupun saking bahagianya Thalia waktu pengumuman dia sempat nggak sadar ikut memeluk Dhanu, sekalipun waktu corat-coret dan graduation siang kemarin aku berhasil mengajak mereka foto bertiga, tapi tetap saja hubungan kami jauh dari kata nyaman.
Thalia dan Fadli juga semakin dekat, belum jadian, tapi aku bisa memastikan Fadli juga suka sama Thalia, lebih daripada rasa suka Thalia ke Fadli, dan aku bersyukur untuk yang satu itu.
Berkat Fadli, NEM Thalia berhasil mencapai angka aman, karena kalau biasanya belajar bareng aku pikirannya ke mana-mana, belajar bareng Fadli, pikirannya sudah di depan mata.
Kalau Dhanu dan Nada, mereka juga semakin lengket. Mereka belum jadian, Dhanu juga belum bisa benar-benar jatuh cinta sama Nada, dia hanya mencoba lari ke Nada dan belajar untuk tulus sama Nada, aku tau itu. Mungkin kedengaran nggak adil untuk Nada, tapi mengingat penuturan Nada beberapa bulan yang lalu--ketika Nada menginap di rumahku-- aku pikir, Nada menikmati saat-saat ini.
Saat-saat dimana Dhanu seolah miliknya, sekalipun ia sadar, ia tidak pernah sedetikpun memiliki Dhanu.
Nada mungkin memang begitu, belum berani menghadapi kenyataan dan menerimanya dengan lapang dada; bahwa ia belum menjadi bahagia yang Dhanu cari.
Jika Thalia dan Dhanu sedang bahagia--atau setidaknya berusaha untuk bahagia--bersama satu orang yang mereka pilih. Aku pun begitu, aku masih sama, bermain-main dengan Bagas. Menikmati setiap pertengkaran kami, karena satu lain hal yang sebenarnya nggak penting, tau saling sayang, saling suka, tapi tidak ingin memiliki.
Aku melirik handphone ku yang bergetar, lalu mengabaikannya ketika membaca nama Dhanu yang tertera. Aku sudah tau, isinya pasti sama dengan enam belas chat sebelumnya, merengek minta aku temani nanti malam.
Nanti malam, akan ada acara promnite. Setelah acara graduation resmi yang mengundang para orang tua, panitia perpisahanku terlalu kreatif untuk membuat promnite yang tentunya tidak dihadiri orang tua dan guru.
Karena ini acara perpisahan, tentu saja Nada bukan orang yang diharapkan ada di acara itu, jadi sejak seminggu yang lalu Dhanu sibuk membujuk ku, walaupun tentu saja tidak berpengaruh apapun.
Aku sudah janji untuk berangkat dan berpisah dengan Bagas.
Handphone ku berdering kali ini, membuatku akhirnya mengangkat telfon tersebut.
"Jla, lo beneran tega?" tanya Dhanu tanpa mengucap salam pembuka.
"Iya, gue tega, udah sana ajak aja gebetan lo yang mana kek!"
"Jla, Surya sama Wahyu aja bawa gandengan, masa gue sendirian? Udah jomblo nggak punya temen lagi," Dhanu semakin memelas.
"Udah ya, Nu, gue masih sibuk, bye," sebelum menutup telfon aku mendengar Dhanu mengumpat. Aku nggak bohong kok, aku memang lagi sibuk di salon, luluran, dan perawatan bersama Thalia, untuk acara nanti malam.
Aku menoleh ke arah Thalia, yang sudah memakai kimono.
"Dhanu nggak punya gandengan," kata ku membuat Thalia memutar bola matanya.
"Nggak usah laporan setiap kali lo abis telfonan sama Dhanu, Jla." Aku mengangkat bahu tak acuh.
"By the way, nanti malam beneran jalan sama Bagas?"
"Yap, anggap aja perpisahan, kan habis ini dia ke Malang."
"Yakin bisa nggak ketemu lagi?" tanya Thalia ragu.
Aku menoleh sesaat lalu terkekeh, "Iyalah, seribu persen! Bentar lagi kuliah, rugi gue kalo masih sama dia."
"Tengil banget lo, nyet!" Thalia tertawa geli, dan aku hanya tersenyum bandel.
"Fadli gimana? Jadi ngambil perminyakan?" tanyaku membuat air muka Thalia berubah, mengingat kemungkin hubungan jarak jauh yang akan mereka jalani.
"Belum tau, kalo nggak perminyakan, dia ambil SBM, tapi gue sih ngarepnya dia ngambil swasta aja biar nggak jauh-jauh ke Bandung segala, lagian malu banget nggak sih gue, cowok gue kuliah di jurusan famous gitu, guenya ngambil jurusan apa aja nggak tau."
"Memang udah jadi cowok?" Thalia menatap ku tajam ketika aku melemparkan pertanyaan itu.
"Mulut lo itu memang sialan banget, ya! Lagian Fadli juga bilang masih mau bahagiain nyokapnya dulu kali," kata Thalia dengan nada bangga di kalimat terakhirnya.
"Ugh, so sweet," aku mengatakannya dengan nada manja, dan kedipan mata sok imut membuat Thalia tertawa geli.
"Lo itu ular, ratu setan, jangan sok puppy eyes deh!"
Aku pun ikut tertawa, belakangan ini tertawa terasa lebih mudah bagi kami, walaupun sebenarnya menyedihkan mengingat bagaimana hubungan kami bertiga sekarang.
Setelah menghabiskan berjam-jam di salon, kami pulang ke rumah masing-masing dan berjanji untuk bertemu di tempat acara di gelar nanti malam.
•••
Jam 7 malam aku sudah siap di depan cermin, tubuhku dibalut gaun berwarna maroon yang nyaris menyentuh lantai.
Setelah menelfon Thalia--mengabari bahwa Bagas sudah menungguku di bawah dan kami sudah siap untuk berangkat-- aku menuruni tangga.
Papa, mama dan Bagas duduk di ruang tamu, saling berhadapan, aku langsung dapat menangkap sejak tadi atmosfer tegang tercipta di sana. Wajah papa yang kaku, mama dan Bagas yang menunduk.
Mungkin begini suasana yang tercipta di rumah lain, kalau ada cowok yang menjemput anak perempuan di rumah itu.
"Hm?" dehaman ku mengalihkan perhatian tiga orang di sana, otomatis senyum terukir di wajah kedua orang tua ku.
Ketiganya bangkit, dan Bagas menatap ku dengan sorot yang tidak dapat aku definisikan.
"How?" tanyaku ketika beberapa detik berlalu tapi tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Anak mama cantik banget," Mama menghampiri ku lalu memeluk ku dari samping.
"Bagas nggak mau bilang apa-apa?" tanya ku setengah menggoda Bagas, membuyarkan lamunannya.
"No words can describe, Jla." Wajahku memerah mendengar kalimat Bagas, seingat ku selama kami saling mengenal, Bagas belum pernah memujiku seperti ini.
Papa dan mama ikut mengantar kami ke mobil Bagas, tepat sebelum aku masuk ke dalam mobil, papa memeluk ku lama, sangat lama. Dalam pelukan itu aku merasakan gemuruh yang luar biasa, berbagai perasaan tercampur di sana, rasa haru, bahagia, perasaan nyaris tidak percaya bahwa pada akhirnya laki-laki ini bisa kembali memeluk ku seperti dulu, namun diantara semua perasaan itu, ada satu yang paling nyata, mendominasi, dan mengaburkan perasaan lainnya. Takut. Perasaan takut kalau-kalau ini hanya mimpi, ini tidak nyata, dan takut kalau rengkuhan ini dilepaskan maka aku kembali kehilangan.
"Najla bukan cuma cantik, kamu juga kuat dan mandiri, bagi Papa, kamu sempurna," bisik Papa lirih, membuat setetes air mata ku akhirnya melebur, Papa mengecup puncak kepala ku sebelum akhirnya mengizinkan ku masuk ke dalam mobil.
Sampai kami meninggalkan gerbang, aku masih dapat melihat bahwa Papa masih berdiri di tempatnya, menatap mobil Bagas yang pada akhirnya lenyap tertutup gerbang.
Dada ku menghangat mengingat kalimat papa tadi, jika Tuhan mau mengambil seluruh kebahagiaan dalam hidup ku, aku berharap setidaknya Tuhan tidak mengambil kebahagiaan ku yang ini; keutuhan sebuah keluarga.
Aku mengalihkan pandangan ku ke arah Bagas, harus aku akui, hari ini dia luar biasa tampan. Rambutnya yang biasanya dibiarkan berantakan, kini di potong dan di gel rapih. Dia memakai tuksedo hitam lengkap dengan kemeja berwarna maroon yang senada dengan gaunku, dan sebagai pemanis, sebuah dasi kupu-kupu hitam menghiasi kerahnya. Sialnya, aku baru menyadari betapa bagus postur tubuhnya dan aku... terpesona.
"Jla?" panggilnya membuatku tersadar.
"Iya?"
"Lo luar biasa glowing malam ini, dan ini bukan gombal," lagi-lagi aku blushing, mendengar kalimatnya.
"Bokis mulu," kataku setengah tertawa, berusaha menutupi bahwa line sampis dari dia berhasil menyentuh titik lemah ku.
"Seriously, sampai rasanya gue pengen waktu berhenti, biar lo tetap di sini, kita tetap begini," nada kalimat terakhir Bagas merendah, membuat aku ikut terdiam, suasana mobil jadi semakin sendu.
"Tonight, i'm yours," Bagas tersenyum pahit, sadar bahwa setelah banyak waktu yang sudah kami lalui, kami sia-siakan, malam ini mungkin jadi malam pertama dan terakhir bagi kami, untuk bersama dan menekan ego masing-masing. Untuk pertama dan terakhir kalinya, kami mementingkan perasaan di atas logika dan harga diri.
Karena setelah malam ini kami sepakat untuk tidak bertemu satu sama lain dalam waktu yang lama, saling melupakan dan memulai hidup yang baru.
Awalnya Bagas tidak setuju, tapi pada akhirnya harga dirinya kembali menang, dia setuju untuk saling melepaskan, dan menyimpan satu sama lain sebagai kenangan yang tidak akan di sentuh dengan sengaja dan jika takdir membawa kami pada sebuah kebetulan untuk bertemu kembali, maka kami akan memulai semuanya dari awal, tanpa menyangkut pautkan masa kini.
Seandainya, seandainya dulu Bagas tidak pergi, aku juga tidak akan melepaskannya seperti ini, atau kalau saja aku tidak sepenakut ini, maka aku masih ingin berdiri di sampingnya, tapi sayang Bagas pernah pergi dan aku lebih memilih untuk tidak memiliki sama sekali dari pada kehilangan dua kali.
Sekitar empat puluh lima menit kemudian, kami sampai di tempat tujuan.
Promnite sekolah ku di gelar di kolam renang sebuah hotel yang tidak terlalu terkenal namun cukup luas.
Aku harus mengacungi jempol untul Event Organizer yang menggarap acara ini, dekorasinya sederhana namun tetap memberikan kesan romantis dan elegan.
Di atas kolam berbentuk persegi empat itu, di apungkan lilin-lilin dengan alas berbentuk teratai, tanaman sulur yang ditempeli lampu-lampu menghiasi dinding-dinding yang menjadi batas antara kolam ini dengan dunia luar, pada salah satu sisi kolam terdapat panggung kecil berbentuk lingkaran, lengkap dengan alat musik dan sound systemnya, tempat dimana kebanyakan teman ku berkumpul.
Orang yang pertama kali ingin aku temui ketika sampai di pesta adalah Dhanu atau Thalia, namun siapa sangka bahwa Bara lah yang pertama kali memanggil nama ku.
Bara terlihat tampan seperti biasanya, namun yang membuatku cukup terkejut adalah warna setelannya yang senada dengan gaun ku dan setelan yang Bagas kenakan.
"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Bara ketika kami sudah berhadapan, aku agak ragu, namun setelah melihat Bagas yang mengangguk, aku pun mengiyakan, ini mungkin terakhir kalinya juga bagi aku dan Bara, karena yang aku dengar dia akan melanjutkan ke sekolah penerbangan.
Setelah pamit dari Bagas, aku dan Bara pun, menjauh dari keramaian, sebisa mungkin menjaga privasi dari orang-orang yang sedang menikmati kue dan musik.
"Jadi?" tanyaku, karena Bara tidak langsung mengatakan apapun.
"Lo cantik banget malam ini," katanya.
"Thanks, tapi bukan itu pointnya, 'kan?"
"Iya, ini mungkin terakhir kalinya kita ketemu," ujarnya sambil melempar pandangan ke arah lain.
"So?" tanyaku tidak sabar. Kalau dia bahkan tidak berani menatap ku, kenapa dia mengajak ku berbicara.
"Gue mau minta maaf."
"For? Untuk pergi saat gue lagi butuh-butuhnya? Atau untuk 'perempuan' itu?" aku menekankan kalimatku pada kata perempuan, sejujurnya pembicaraan ini membuat sakit itu hadir lagi.
Luka yang belum benar-benar sembuh memang bisa kembali menganga hanya karena sebuah sentuhan sederhana. Lebih dari setahun aku berusaha mengubur apa-apa yang pernah kami miliki, dan dengan mudahnya dia mengungkitnya kembali.
Maaf atau apapun itu, tidak akan pernah menyembuhkan luka, sebaliknya hanya akan seperti semakin melukai karena kembali diingatkan.
"Everything, maaf karena gue menyakiti, mengecewakan, dan apapun yang gue lakukan."
Aku nyaris mendengus mendengar kata-katanya. Lebih dari kecewa dan rasa sakit, apa yang dia lakukan kepada ku adalah menghancurkan kepercayaan, membuatku berhenti percaya pada apapun yang berbau janji atau laki-laki, memandang pesimis kepada apa-apa yang orang agung-agungkan sebagai cinta.
Ketika aku meletakan seluruh kepercayaan ku kepadanya, aku memberinya kekuatan untuk menyakiti ku, dengan harapan bahwa ia tidak ingin melakukan, tapi pada akhirnya, he did.
"Jangan minta maaf, kalau cuma untuk membuat lo merasa nyaman, lupain aja semuanya, karena itu yang gue lakuin, mungkin gue nggak dewasa, tapi gue juga nggak mau munafik, karena mungkin selamanya gue nggak mau maafin lo." Terdengar jahat, tapi bagiku, kepura-puraan memang tidak pernah menyamankan.
Bara menghela napas berat, lalu menatap ku, dari matanya aku menemukan setumpuk penyesalan yang mungkin membebaninya.
Mungkin, bukan hanya aku yang berhenti percaya tapi Bagas juga berhenti jatuh cinta dan terus mengekangnya dengan rasa bersalah bukan hal yang ingin aku lakukan.
Karena aku tau, betapa sulitnya tertahan di tempat yang sama.
Aku memejamkan mata sebelum menghela napas.
"Apa yang pernah kita lewatin, lupain aja, gue memang belum bisa maafin lo, karena jujur aja, lo menghancurkan banyak hal dalam hidup gue, tapi sekarang gue udah jauh lebih baik dari pada malam itu, gue sudah mulai bangkit dan sedang berusaha maju, jadi ayo kita saling melupakan dan nggak pernah ketemu lagi, sampai saatnya kita udah sama-sama ketemu orang lain dan nggak ngerasa sakit lagi kalau ingat satu sama lain." Aku berusaha tersenyum, walaupun aku yakin, senyum lelah lah yang tampak di permukaan.
Bagas mengeluarkan setangkai mawar dari balik tuksedonya, aku menerimanya ragu-ragu.
"Untuk yang terakhir kali, Jla." Bara menarikku ke dalam pelukannya, membuat aku terkesiap.
Aku tidak sempat berontak dan marah, aku juga terlalu terkejut untuk melepaskan pelukannya, atau sebenarnya itu hanya alasan, karena kenyataannya aku juga merindukan dada bidang ini, karena kenyataannya rengkuhan ini masih terasa senyaman dulu?
"Terima kasih, Jla, untuk segalanya, gue nggak bisa janji, tapi gue harap gue bisa mengingat lo selamanya, mengingat semua hal yang pernah kita lewati tiap detiknya. Goodbye Jla, I hope you gotta your happines." Kalimat itu dibisikkan Bara tepat sebelum melepaskan pelukannya.
Setelah rengkuhan itu terurai, Bara menatapku, entah apa yang ingin ia sampaikan dari tatapan itu, namun hal terakhir yang ia lakukan adalah menyelipkan sedikit sisa rambutku ke belakang telinga sebelum akhirnya pergi tanpa berbalik lagi.
Aku hanya diam di tempat, melihat punggungnya perlahan lenyap diantara kerumunan. Aku baru tersadar ketika Bagas sudah berdiri di sampingku.
"Susah memang ya Jla, kalau jatuh cinta sama lo," katanya sambil tersenyum kecil.
"Gas, lo udah janji sama gue," aku mengingatkan, membuat ia memutar bola matanya.
"Iya, ingat kok! Gue akan ketemu cewek Malang, jatuh cinta lagi, and happily ever after," katanya meniru kalimat ku dengan nada sakars, membuatku tertawa lalu menggandeng tangannya.
"Yaudah yuk cari Thalia sama Dhanu, malam ini 'kan lo masih punya gue." Bagas mengeratkan genggaman kami lalu menggiringku kembali ke tengah kerumunan.
Setidaknya, malam ini, satu orang telah benar-benar aku lepaskan.
---
A/n: Hallo, maaf yang ngarepin scene Dhanu-Thalia-Fadli, di part ini kita kenal Najla lebih dalam lagi, walaupun Najla bukan tokoh utama, dan kisah dia antara Bagas dan Bara cuma pelengkap, entah kenapa gue suka banget sama dia, nulis kisah Najla itu selalu enjoy, apalagi cerita percintaan dia, Bagas dan Bara, kayak apa ya, menggambarkan gimana tentang kehilangan kepercayaan lah *eaaa, semoga kalian juga suka ya!
Regards,
Naya❤
P.s: walaupun bukan tokoh utama, tapi Najla penting loh, gengs! Perannya di cerita ini besar, jadi semoga aja part kayak gini nggak bikin kalian bete ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro