27. Rencana Perpindahan
Dhanu.
Najla hanya menghela napas ketika gue menceritakan pertemuan gue dengan Thalia di toko buku tadi.
"Yaudahlah, ikhlasin aja," kata gue lebih pada diri sendiri.
"Lima menit lagi lo bakal bilang, 'Monyet, kenapa juga gue harus ketemu, sih?!'" gue meringis mendengar kalimat Najla, walaupun, ya dia benar.
"Sakars, udah ah, lupain, ngomong-ngomong bokap nyokap lo kemana? Kok jarang kelihatan lagi?" tanya gue mengalihkan pembicaraan.
"Nggak tau deh, sejak tinggal serumah, mereka sering liburan bareng," sekalipun terlihat cuek, gue bisa melihat bagaimana ekspresi Najla setiap kali membicarakan keluarganya yang sekarang.
She's happy right now.
Setidaknya, setelah semua yang terjadi di sekitar gue belakangan ini, gue bersyukur sahabat gue yang satu ini, bisa berbahagia.
Dia nggak lagi merasa kesepian di rumah sendiri, walaupun ya, rumahnya tetap sepi.
"Eh iya, si Bagas kemarin nanyain lo, dia ngira lo balikan sama si Bara," kata gue tiba-tiba teringat pertemuan gue dengan Bagas kemarin.
"Lah, nggak gentle amat anjir dia nanyanya sama lo, bukannya langsung aja deh."
"Gimana mau nanya langsung, kalo chat dia aja lo kacangin, sekalinya bales cuma satu kata, dua kata doang," gue mengambil sebutir kacang, lalu melemparnya di udara sebelum akhirnya masuk ke dalam mulut gue.
"Nggak tau lah, Nu, males gue sama cowok, mereka itu giliran ngejar, heboh banget, tapi ngelepasnya gampang banget. Kurang ajarnya lagi, mereka ngelepas di saat ceweknya udah baper."
"Lo sedang berbicara sama cowok paling setia di muka bumi loh, Jla, tiga tahun coy, nungguin!" protes gue tidak terima, bisa-bisanya dia mengatakan bahwa laki-laki modal bullshit di depan cowok yang baru saja patah hati ditolak.
Ya, gue nggak bilang kalo cowok nggak hobby bullshit sih, tapi kenyataannya, perempuan bukan satu-satunya pihak yang sering di sakitin kok!
"Iya, setia sama Thalia doang, lagian kan setia ama bego bedanya lebih tipis dari cinta sama benci," celetuknya sambil membulak-balik halaman. Dan oke, gue menyerah, sampai kiamat juga gue nggak akan menang adu mulut sama ratu ular satu ini.
"By the way, lo tau dari mana Fadli naksir Thalia?" tanya Najla kemudian.
"Dari Egi."
"Comel juga ya Egi, tapi bagus deh, coba Egi nggak comel, Thalia nggak mungkin tuh bisa jalan sama Fadli." Gue bersumpah ingin menyumpal mulut Najla dengan combro isi cabe rawit!
"Udah elah, ngapain balik bahas dia lagi coba." Gue berdecak kesal, lalu membalik-balikan halaman buku. Dan tidak sampai semenit kemudian, gue kembali menggerutu.
"Ah elah! Ketek kadal! Kenapa juga harus ketemu, sih?!"
Najla mengangkat kepalanya dari buku, lalu menatap gue datar.
"Kan, gue bilang apa, tiga menit lagi lo nyebut kata 'ikhlas' gue masukin lo ke dalem lemari!"
Shit!
•••
Gue pulang ke rumah pukul 4 sore, setelah Thalia ngechat Najla, mau curhat soal first datingnya dia dengan Fadli. Gue bukan superman ya, mana tahan denger dia muja-muja si kambing satu itu.
Ketika gue masuk, ruang keluarga gue sedang ramai, akhirnya gue memutuskan untuk salim ke bokap nyokap terlebih dahulu sebelum naik ke atas.
"Tumben Pa, udah pulang?" tanya gue sambil melirik jam dinding.
"Kamu kali yang lama pulangnya," kata bokap gue sambil mengunyah kacang telur.
Gue mengambil sedikit kacang tersebut, lalu ikut duduk di antara bokap dan nyokap.
"Belajar dulu di rumah Najla," jawab gue santai.
"Nggak sama Thalia juga?" gue melirik nyokap gue sedangkan nyokap gue hanya menampakan wajah tanpa dosa, "Loh, mama nggak salah, 'kan?"
"Udah sana, kamu mandi, terus balik lagi ke sini, ada yang papa mau omongin." Gue mengernyitkan dahi.
"Ngomongin apaan? Serius amat?"
"Serius banget, seserius Papa mau nikah lagi, atau kamu yang mau dijodohin," kata bokap gue sambil memasang wajahnya yang paling serius.
Nyokap gue otomatis mengambil toples kacang telur dan remote dari tangan bokap. "Kalo mau nikah lagi, minta kacangnya sama istri baru aja, gih!"
Bokap gue tertawa, dan wajah seriusnya otomatis lenyap, bersama wibawanya.
Gue akhirnya bangkit, lalu berlalu meninggalkan sofa, hendak menjalankan titah.
"Jangan lupa ajak adik kamu!" seru bokap gue ketika gue sudah hampir sampai di tangga.
"Siap komandan!" kata gue dengan gaya hormat, tanpa berbalik menghadap mereka.
Setelah mandi dan mengganti seragam dengan kaos Iron Man dan celana pendek, gue melangkah menuju kamar Diandra, memanggilnya untuk bergabung di bawah.
"Ah, ngapain sih? Di, lagi sibuk tau!" Diandra mengerucutkan bibirnya karena waktu telfonnya gue ganggu.
Sebelum sampai di tangga paling bawah gue menyentil dahi Diandra, "Jangan pacaran, masih kecil, nanti sakit hati."
Diandra meringis, tapi tidak membalas kata-kata gue.
Kami duduk membentuk lingkaran--mungkin segi empat, lebih tepatnya. Bokap dan nyokap masih di atas sofa, sedangkan gue dan Diandra duduk beralas karpet.
Bokap gue menegakan duduknya, dan wajahnya di buat seserius mungkin sampai-sampai dahinya berlipat. "Jadi, begini Dhanu, Diandra..."
Beliau sengaja menggantung kalimatnya, membuat gue dan Diandra semakin serius mendengarkan.
"Cie, pada nungguin ya?" gue dan Diandra nyaris mendengus ketika bokap mengeluarkan kalimat itu.
Mengingat siapa bokap gue, seharusnya gue dan Diandra sudah tau kalau pertemuan ini pasti berujung kekonyolan.
Sekitar setahun yang lalu, bokap gue pernah mengadakan pertemuan seperti ini hanya untuk membahas pergantian merk pengharum ruangan. Kalau nggak ingat beliau bokap gue, kemungkinan bokap gue sudah gue rajam hari itu. Gila kali ya, gue sampai ngebut gila-gilaan, dimaki-maki orang di jalan cuma untuk mengganti wangi lemon dengan pine!
"Kak, kita itung sampai 3 yuk! Kalo papa nggak serius juga, kita cabut!" ajak Diandra kesal, gue pun menuruti kemauannya, tapi belum sampai hitungan ketiga, bokap kembali mengeluarkan suaranya.
"Setelah kalian lulus, kita pindah ke Jerman." Bokap gue mengatakannya dengan satu tarikan napas, lalu posisi duduknya kembali santai, sedangkan gue dan Diandra hanya melongo.
Jerman? Ngawur kali, ya!
"Pa, bercanda mulu, udah ah, Diandra naik," kata Diandra setelah tersadar, tapi dari nada bicaranya sangat jelas terdengar bahwa kalimat bokap memang memberikan efek tertentu.
Diandra hendak bangkit, tapi sorot mata bokap yang menatapnya membuat Diandra mengurungkan niatnya dan bahunya merosot, sadar, bahwa mungkin papa kami sedang benar-benar serius.
"Papa dipindah ke sana, dan kebetulan Om Hendra ngajak papa untuk bisnis restoran makanan Indonesia di sana, ini juga kesempatan bagus buat kalian, bisa belajar di luar."
"Pa, Diandra kan mau sekolah di sekolahan kak Dhanu," Diandra memelas.
"Dhanu juga udah ngurus SNM di UGM, pa," gue menambahkan, bukannya gue nggak mau sekolah di sana. Hey dude! We talking about German! Negara tempat BJ Habibie--presiden Indonesia yang genius, yang IQnya melebihi Einstein-- menuntut ilmu! Kita juga ngomongin Jerman yang ceweknya bermata hijau dan berambut pirang, siapa coba yang mau nolak?! Tapi masalahnya, perpindahan ini terasa terlalu tiba-tiba, dan kami sama sekali tidak siap.
"Di sana, sekolahnya lebih keren Diandra sayang," ujar bokap gue membuat wajah Diandra semakin murung.
"Kita juga nggak bisa bahasa Jerman, Pa," Diandra menambahkan alasan yang menurut gue sangat bodoh.
"Kan bisa belajar, kalian pilih aja, mau mulai kursus bahasa Jerman minggu depan atau setelah UN?"
"Setelah UN lah!" seru gue dan Diandra bersamaan.
Walaupun gue pinter--maaf terdengar sombong, tapi gue jujur-- tapi tetap saja, semua rumus kimia sinting itu, membuat gue ikutan sinting.
"Yaudah, setelah UN kan kalian bisa, kamu juga nggak usah ngurus berkas SNM atau SBM lah, Nu, kan mau kuliah di sana," seloroh bokap sambil mengunyah kacang.
"Di kira gampang kali ya, kuliah di Jerman," kata gue setengah mendengus, gue ngedaftar di UGM aja setengah mampus takut nggak diterima, gimana di Jerman sana, yang bahasanya aja gue belum tau sama sekali.
"Temen Om Hendra ada dosen di sana, untuk sekolah kalian gampanglah intinya."
Wajah Diandra sudah seperti ingin menangis, sedangkan gue masih kesal karena jawaban bokap yang terkesan terlalu ngegampangin. Kalo gue beneran bisa survive di sana, kalo nggak? Bisa jadi part-timer seumur hidup gue.
"Pa, harus banget pindah?" mata Diandra mulai berkaca-kaca. Let me guess, cowok yang tadi Diandra telfon lah penyebabnya.
"Banget! Di sana cantik-cantik ganteng-ganteng, masa kalian nggak mau pindah?"
Gue menghela napas panjang, "Pa, bukan masalah sekolah, bahasa, atau cowok-ceweknya, tapi Dhanu punya cita-cita di sini, Diandrapun begitu."
Diandra mengangguk menyetujui kalimat gue, sedangkan bokap dan nyokap gue hanya menatap kami.
"Papa sama mama ngerti, tapi kami minta Diandra tetap ikut apapun alasannya, sedangkan kamu, Nu, kamu udah besar, kamu boleh stay dan tinggal sama Budhe kamu di Yogya atau ikut, tapi tolong kasih Papa sama Mama jawaban paling lama tiga hari ya?" Diandra semakin melemas di tempatnya.
"Ya, mama sih maunya kamu ikut, Nu," ujar nyokap gue ikut berbicara.
"Okay," gue akhirnya hanya bisa pasrah, tiga hari, waktu yang gue punya untuk merubah banyak hal di hidup gue.
Setelah beberapa menit tidak ada yang berbicara, gue memutuskan untuk pamit, Diandrapun mengikuti gue naik ke atas.
Gue baru mau masuk ke dalam kamar, ketika melihat Diandra masih mematung di depan pintu kamarnya, kapalanya menunduk, dan kalau gue benar, air mata mulai menetes dari sudut matanya.
Gue membuka pintu kamar Diandra lalu mendorong bahu Diandra hingga anak itu duduk di bibir kasur. Gue menarik kursi lalu duduk di depan Diandra. Sesekali Diandra mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Di lagi deket sama cowok," kata Diandra setelah lebih dari lima menit hanya diam.
"Di udah suka sama dia dari kelas delapan, tapi dia baru tau Di kelas sembilan, sekarang giliran Diandra udah deket sama Angga, udah mau masuk sekolah yang sama, eh Diandra malah pindah, dia pasti marah." Diandra menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergerak naik turun, mulai sesegukan.
Gue menghela napas, lalu duduk di samping Diandra, benar dugaan gue soal cinta pertama.
"Di, dengerin kak Dhanu ya, suka sama orang bukan berarti harus terus memiliki, harus terus sama-sama, apa lagi masa depan kalian masih panjang, kamu terus di sini juga bukan berarti kamu bisa terus sama dia, 'kan?"
"Iya sih, tapi Di sayang kak," wajah Diandra sedikit memerah ketika mengatakannya.
"Memang kalian udah sejauh apa, sih?"
"Belum jadian sih, tapi udah saling nyatain."
"Apalagi itu Diandra, di sana nanti, kamu akan ketemu orang baru lagi, jatuh cinta lagi, bahagia lagi, dan sakit hati lagi, itu cuma lingkaran setan yang nggak akan berhenti, Di, dan kita cuma bisa menikmatinya, nikmatin prosesnya, jatuh cintanya, bahagianya, bahkan sakit hatinya." Diandra menatap gue lama, air matanya mulai berhenti, tapi menyisakan jejak di pipinya.
"Yakin segampang itu kak? Seklise itu? Bukannya kakak juga berat pindah karena kak Thalia?
Gue terpekur, kalimat Diandra menampar gue.
Dia benar, bahkan setelah tiga tahun gue belum bisa menikmati rasa sakit hati kayak gini, lingkaran setan itu, nggak seklise kelihatannya, jatuh cinta dan sakit hati merubah banyak hal dalam hidup seseorang.
Dan sampai detik ini, gue belum bisa jatuh cinta dengan orang baru lagi.
"Kak?" Diandra membuyarkan lamunan gue. Gue hanya tersenyum, mengelus kepala Diandra, lalu keluar dari kamarnya.
Setelah masuk ke kamar, gue merebahkan tubuh di atas kasur, menatap langit-lagit kamar gue.
Berapa lama sebenarnya gue tinggal di rumah ini? Tidur di kamar ini? Seingat gue, seumur hidup gue habiskan di rumah ini. Kamar ini, rumah ini, segala kenangan yang ada di sini sudah jadi bagian dari diri gue.
Walaupun banyak koruptor, walaupun orangnya jam karet, walaupun panas sama polusinya bikin gue mau bunuh diri, tapi harus gue akui, Indonesia memang rumah gue, dan nggak ada tempat yang lebih nyaman di banding rumah.
Gue menoleh, dan menemukan foto gue bersama Thalia dan Najla yang terpajang di dinding.
Gue menatap foto itu nanar, dengan potret Thalia sebagai fokus.
Apakah gue bisa Tha ngelupain lo? Apa gue bisa jatuh cinta lagi, bahagia lagi, dan patah hati karena orang lain? Sedangkan tiga tahun lamanya, dunia gue hanya berputar di sekeliling lo.
Tiba-tiba gue tersentak.
Mungkin ini memang jawabannya. Gue mungkin memang harus keluar dari zona nyaman.
Karena pada akhirnya move on bukan lagi perkara bisa atau tidak, bukan juga tentang mau atau tidak. Orang-orang yang kehilangan atau jatuh cinta sendirian, memang di paksa untuk terbiasa hidup tanpa orang yang mereka cintai, mereka di paksa untuk mengubah skema kebahagiaan mereka, menghapus daftar orang-orang tertentu agar bisa tetap melanjutkan hidup.
Gue bangkit lalu melepas pigura itu dari dinding, menatapnya baik-baik.
Sesak itu kembali hadir, dada gue bergemuruh, walaupun sudah beberapa kali merasakannya, gue tidak pernah terbiasa dengan perasaan ini. Melepaskan apa yang belum pernah di genggam ternyata memang sebegini menyakitkannya.
Tapi, rasa sakit ini akan terus ada, karena gue tetap berdiri di tempat yang sama, jadi gue membuka laci lalu menyimpan pigura itu dalam keadaan terbalik.
Maaf, Tha, gue harus tetap melangkah.
----
A/n: Masih ada yang nungguin nggak? Masih ada dong, plis wkwk
Btw maafkan Dhanu yang plinplan ya!
Lost of Love,
Naya❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro