26. Fadli dan Toko Buku
Thalia.
Aku sudah mendengar pertanyaan, "Tha, lo lagi kesambet ya?" atau pertanyaan sejenisnya lebih dari dua belas kali pagi ini.
Aku cuma menjawab mereka dengan cengiran kecil. Karena aku hari ini, mungkin memang sedikit berbeda.
Mendengarkan guru berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaan, mentraktir Wahyu batagor, di mata teman-temanku semua hal itu nggak mungkin seorang 'Thalia' lakukan.
Cuma Najla yang terlihat sama sekali tidak berniat mengomentariku hari ini, dia bahkan tidak memberikan respon yang berarti setelah membaca chat dari Fadli.
"Lo nggak mau bilang selamat atau apa gitu?" tanyaku setengah merajuk pada Najla.
"Lo udah mau married sama Fadli?" jawab Najla cuek, matanya masih tidak lepas dari rumus trigonometri di hadapannya.
"Lo mah nggak bisa ngeliat temen seneng."
Najla akhirnya menutup bukunya, lalu menghembuskan napas keras.
"Gue juga nggak bisa ngeliat temen sedih," tukas Najla sambil melirik Dhanu yang duduk di pojok kelas.
Semenjak pernyataan Dhanu waktu itu, aku belum melakukan interaksi apapun lagi. Kami berada di kelas yang sama, tapi seperti berbeda dimensi.
Hate to admit it, but I missing him as hell.
Sepulang dari rumah Najla kemarin, aku bertemu Dhanu di teras rumah Najla, menyender di motor hitamnya.
Aku hampir saja berlari ke arahnya lalu merengek minta diantar pulang. Tapi yang kami lakukan hanya saling tatap, dalam beberapa waktu, aku merasa tersedot ke dalam mata cokelat pekat milik Dhanu, dari sorot itu, aku tau banyak hal yang ia ingin ungkapkan, tapi tidak dapat diutarakan dengan kata-kata tapi pada akhirnya akal sehatku kembali, dan aku memutuskan untuk pergi tanpa mengatakan apapun.
"Thalia?" suara Najla menarikku dari lamunan.
"Eh? Kenapa?" Najla menunjuk pintu dengan dagunya, sedangkan tangannya sibuk merapihkan buku dan alat tulis lainnya.
"Udah bel, gue balik duluan ya."
"Lah, katanya kita mau nonton?" protesku, membuat Najla memutar bola mata.
"Kan gue udah bilang, next time aja, gue hari ini mau belajar."
"Kok nggak ngajak gue?"
"Sama Dhanu, mau?" Najla bertanya sambil memakai ranselnya, matanya melirik ke arah Dhanu.
Aku menggigit bawah bibirku, lalu menggeleng pelan.
"Yaudah, lo balik sama siapa?"
Aku menimang-nimang, aku memang malas pulang sendirian, tapi bertemu Dhanu adalah hal terakhir yang aku inginkan hari ini. Radith? Sejak Fadli menginvite ku semalam, aku mengabaikan Radith.
"Gue ke kantornya kak Tio aja deh ntar," ujarku akhirnya, Najla hanya mengangkat bahunya, lalu berpamitan.
Sepeninggal Najla aku merapihkan buku ku, lalu beranjak keluar kelas, namun baru saja aku melewati batas pintu, sebuah suara menghentikan langkahku.
"Thalia?" aku membeku di tempat ketika menyadari Fadli sudah berdiri di sampingku, senyumnya merekah, sedangkan tangannya sibuk menyampirkan ransel di sebelah bahunya.
"Tha?" Fadli mengulangi sapaannya, membuatku tersadar.
Aduh, Fadli, ini mimpi bukan, sih?
"Eh? Iya?" Fadli tersenyum, membuat lubang di kedua pipinya terbentuk.
"Pulang sendiri? Najlanya mana?" tanyanya sambil melirik ke dalam kelas.
Eh? Aku nggak salah dengar nih? Fadli tau aku biasa pulang sama Najla?
"Najlanya lagi ada urusan, kok tau gue biasa sama Najla?" tanya ku berusaha sebisa mungkin terlihat tidak tertarik. Tapi siapa aku, bisa lepas dari pesona Fadli?
Fadli tertawa renyah, "Siapa yang nggak tau kalian berdua, sih? Anak cowok kelas gue aja lebih hapal sama kalian dari pada nama guru kimia."
Aku hanya tersenyum kikuk, sedangkan setan di kepalaku sudah berteriak.
What the hell, Thalia? Akhirnya lo bisa jalan sampingan sama Fadli, gini?
"Mau pulang bareng nggak?" pertanyaan Fadli sukses membuatku berhenti melangkah.
Eh? Serius?
"Pulang bareng sama lo gitu? Naik motor lo?" sedetik kemudian aku meruntuki respon ku yang kelewat bodoh.
Fadli menggaruk tengkuknya, kikuk, "Iya, nggak bisa ya? Atau lo nggak suka naik motor?"
Aku menggeleng cepat. Duh, Fadli, naik odong-odong kalo sama kamu sih, aku juga suka!
"Enggak, bukan begitu, cuma rumah kita kan beda arah." Fadli mengernyitkan dahinya, membuatku ingin menabrakkan diri ke pohon, menyadari kebodohanku.
"Kok lo tau rumah kita beda arah?" tanyanya bingung.
Kan bener, mampus aku!
"Tau dari Dhanu waktu itu."
"Dhanu tau rumah gue, ya?" tanya Fadli, lebih pada dirinya sendiri, lalu Fadli mengangkat bahunya tak acuh.
"Nggak apa-apa kok, tapi lo bisa temenin gue dulu nggak? Beli buku UN?"
Jangankan ke toko buku, Dli, ke Timbuktu sana pun kamu aku temenin.
"Boleh, gue juga lagi nggak buru-buru, lo baru mau beli buku UN?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Buku UN gue yang kemarin udah abis, lo tunggu sini ya, gue ambil motor dulu." Fadli tersenyum manis, sebelum kembali berteriak. "Jangan kemana-mana ya Tha, tungguin gue."
Kamu nggak suruh tunggu aja aku terus nungguin, Dli.
Setelah Fadli hilang dari hadapanku, aku berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, karena sepertinya aku lupa bernapas tadi.
Aku mencubit pipiku, lalu meringis saat merasakan cubitan itu. Ini kenyataan! Bukan mimpi!
Aku nyaris berteriak kesenangan, waktu Fadli dan CBRnya keluar dari parkiran. Dia membuka kaca helm full facenya, lalu tersenyum ke arahku.
"Nih, biar safety," ujarnya sambil menyodorkan helm yang tadinya dia letakan di atas tangki bensin.
Waktu aku hendak naik ke atas boncengan, Fadli menyempatkan diri menurunkan tempat pijakan, dan menyodorkan tangannya untuk membantuku naik.
Ya Allah, kalaupun ini mimpi, aku nggak usah bangun juga ikhlas.
Jangan protes, aku tau ini lebay, tapi setiap tindakan dia, respon dia, seklise apapun itu, membuat kupu-kupu rasanya keluar dari perutku. Ugh.
Bahkan rasanya aku meleleh, waktu dia bilang, "Udah bener belum Tha duduknya? Maaf ya, motornya nyusahin."
Fadli juga tidak sedingin yang aku kira, dia cool tapi hangat disaat yang bersamaan. Selama perjalanan, aku bahkan sudah tau hobby dan rencana Fadli setelah lulus nanti. Ya, aku memang udah tau lama sih, tapi kan beda rasanya, kalau tau dari mulutnya sendiri.
"Gue bener-bener nggak ngerti deh sama matematika, apalagi fisika sama kimia," ujarku ketika melihat tumpukan bank soal matematika.
Aku menepuk bibirku, menyadari kebodohanku mengakui kelemahan di depan Fadli.
"Lo nggak suka matematika, fisika tapi jadi anak IPA?"
"Ya, abis Dhanu maunya masuk IPA, jadi deh gue ikutan," aku membulak-balikan salah satu buku bank soal di hadapan ku, lalu menunjukannya pada Fadli.
"Kalo yang ini, gimana?" Fadli tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya menatapku.
Aku sama sekali tidak mengerti apa arti dari tatapannya.
Jangan jangan, dia ilfeel gara-gara aku bodoh pelajaran eksata?
Aku hampir memukul kepalaku dengan buku bank soal yang aku pegang, tapi untungnya gerakan Fadli lebih cepat beberapa detik. Ia tersenyum, lalu mengambil buku yang aku pegang.
"Boleh deh, yang ini aja," katanya membuatku bernapas lega.
Semoga cewek pintar bukan syarat khusus untuk jadi pacar Fadli.
"Bahasa Inggris, sama Bahasa Indonesia lo gimana?" tanyanya sambil meraih buku TOEFL.
Aku tersenyum lebar mendengar pertanyaan Fadli, akhirnya ada yang bisa aku banggakan.
"Wah, kalo dua itu sih, gue jago, jangankan Inggris sama Indonesia bahasa Korea juga gue bisa," selorohku sambil tersenyum puas.
Sombong, sombong deh. Biarin, yang penting bodohnya nggak kelihatan-kelihatan amat.
"Kalo gitu kita barter gimana?"
"Eh?"
"Ya, lo ajarin gue Bahasa Inggris sama Bahasa Indonesia, terus segala Matematika, Fisika sama Kimianya biar gue yang ngajarin, deal?"
Aku butuh waktu sekitar lima detik untuk mencerna kata-kata Fadli, sebelum akhirnya berteriak, "Deal!"
Aku berharap responku tidak terlihat murahan, tapi sepertinya aku memang murahan untuk segala hal yang ada pada Fadli.
Fadli tertawa, lalu mengacak-ngacak rambutku, tidak sadar hal itu membuat duniaku seperti berhenti berputar.
"Tha, tha, ekspresi lo, lucu banget sih."
Damn dude, wajahku pasti semerah tomat.
"Yaudah yuk, bantuin gue milih buku SBMPTN sekalian," katanya sambil berlalu.
Buku SBMPTN berada di sisi lainnya, di tumpuk bersama beberapa buku bank soal lainnya. Aku sedang membantu Fadli memilih ketika sebuah suara menghentikan pergerakan ku.
"Yang ini aja kali ya, Nad? Lumayan bonus TOEFL."
Aku mengangkat kepala, dan menemukan Dhanu dan Nada di sana, tepat di hadapanku, hanya terpisah oleh jarak yang diciptakan buku-buku tebal ini.
Dhanu dan aku sama-sama terdiam, terkunci di dalam refleksi mata satu sama lain. Kenapa diantara semua toko buku yang ada di Jakarta, dia harus ke sini? Sama Nada pula! Apapun namanya, ini bukan sebuah kebetulan yang bagus.
Aku meneguk ludah ketika menyadari Fadli yang memanggil Dhanu. Dhanu tersadar duluan, jadi ia membalas sapaan Fadli.
"Loh, Dli, pas banget! Nggak bilang-bilang nih Thalia mau jalan sama lo haha," Dhanu tertawa sambil menepuk tangan Fadli.
"Nggak, gue minta Thalia temenin gue nyari bahan UN sama SBMPTN aja," tukas Fadli sambil melirik buku yang ada di goodie bag.
"Najla mana, katanya dia mau belajar bareng lo?" tanyaku berusaha bersikap seperti biasa. Fadli tidak boleh tau kalau kami sedang bermasalah, apalagi penyebabnya, jangan sampai!
"Nanti pulang dari sini gue ke Najla."
"By the way, sama siapa nih, Nu?" Fadli bertanya, menyadari keberadaan Nada di samping Dhanu.
Nada menyapaku, tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman singkat.
"Eh, kenalin, Nada, XI IPS 3, cita-citanya jadi guru paud." Nada tertawa mendengar candaan Dhanu yang receh.
Ha, memang Fadli perlu tau cita-cita Nada?!
Nada dan Fadli bersalaman, sebatas formalitas, setelah berbasa-basi sedikit Dhanu pun pamit lalu menuju kasir. Dari tempatku, aku bisa melihat bagaimana punggung Dhanu dan Nada lenyap diantara kerumunan.
Melihat dia bersama Nada hari ini, i'm wondering, semua yang kejadian tolol antara aku dan Dhanu kemarin, nyata atau hanya imajinasi?
Aku menggelengkan kepalaku, di sampingku ada Fadli, jadi tidak seharusnya Dhanu yang berputar-putar di kepalaku.
Fadli akhirnya memilih buku yang tadi aku pilihkan, sebelum pulang aku mengajaknya mampir ke rak novel, oleh-oleh untuk Najla.
"Lo suka novel?" tanya Fadli ketika aku menimang-nimang, novel mana yang kira-kira belum ada di rak buku Najla.
Aku menggeleng lalu terkekeh, "gue nggak suka baca, novel sekalipun, ini buat Najla," aku mengacungkan sebuah novel bersampul biru dengan gambar anak laki-laki berseragam SMA di depannya. Seingatku, sejak Najla mengagung-agungkan novel ini, dia belum sempat beli karena terlalu sibuk belajar.
"Bukannya cewek biasanya suka banget baca novel ya? Suka berimajinasi soal cowok sempurna gitu?"
"Hehe, abis gimana ya, novel nggak ada gambarnya," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Kalau gitu, sini deh," Fadli menarik tanganku ke arah rak buku lainnya, tidak sadar kalau perlakuannya membuat ruh ku terbang entah kemana.
"Nggak suka juga, gambarnya hitam putih, nggak berwarna, nggak seru," kataku ketika ternyata Fadli mengajakku ke rak komik.
Aku merasa kalau aku sedang menjelek-jelekan diriku sendiri, baca itu kan identik dengan smart-- ya walaupun lebih smart kalau bacanya ensikopledia atau buku filsafat sekalian--tapi ternyata aku bahkan tidak punya bakat menjadi cerdas dalam dunia imajinasi sekalipun.
Mataku terhenti pada komik Conan yang terletak di salah satu sisi.
"Loh, volume yang baru udah terbit," tanganku refleks mengambil salah satu komik detektif tersebut.
"Katanya nggak suka komik?" Fadli mengerutkan keningnya, membuatku tersadar.
"Buat Dhanu, dia suka banget, kayak anak kecil, 'kan?" aku memasukan komik tersebut ke dalam goodie bag, bersamaan dengan novel Najla.
Aku mengangkat wajahku, dan menemukan Fadli menatapku dengan sorot yang sama seperti sorot matanya ketika kami mencari buku UN tadi.
"Kenapa, Dli?" akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
Fadli cuma tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak, nggak papa."
"Eh, sini deh, kalo yang ini lo pasti suka," lagi-lagi Fadli menarik tanganku, membuat oksigen menghilang di sekelilingku.
Bahkan setelah sentuhan yang kesekian ini, jantungku masih belum terbiasa. Fadli menyeretku ke rak buku dongeng, membuatku akhirnya tertawa.
"Lo niat banget ya, bikin gue doyan baca."
"Eh? Nggak suka juga ya?" katanya sambil menggaruk tengkuk, terlihat serba salah.
Aku mengibaskan tangaku, masih sambil tertawa, lalu mengambil buku dengan cover yang menurutku paling menarik. The Little Mermaid.
"Gue ambil ini deh," tukasku sambil mengangkat buku tersebut.
Fadli berniat membayar semua buku tersebut, tapi setelah aku bersikeras, ia membiarkan aku membayar novel Najla dan komik Dhanu, sedangkan ia membayar semua bank soal miliknya dan buku dongeng milikku.
Setelah membayar di kasir, aku dan Fadli berniat makan di restoran junk food yang berada di lantai yang sama dengan toko buku tadi. Tapi ketika sampai di sana, hal pertama yang aku dengar dari Fadli adalah, "Loh, Tha, itu kan Dhanu?"
"Eh?" aku mengikuti arah pandang Fadli, dan menemukan Dhanu yang sedang makan di meja yang sama dengan Nada.
What the hell! Kebetulan kenapa suka bercanda gini, sih?!
"Mau nyamperin nggak? Sekalian ngasih komiknya?" aku menggeleng cepat--mungkin terlalu cepat sampai-sampai kening Fadli berkerut.
Pertama, makan di meja yang sama dengan Dhanu, Fadli, dan Nada bukanlah suatu ide yang baik, mengingat bagaimana hubunganku dengan Dhanu saat ini--dan ya, harus aku akui aku tidak terlalu suka dengan Nada.
Kedua, aku saja sampai sekarang nggak tau mau aku apakan komik ini? Kenapa aku tadi membeli komik ini? Dan kenapa rasanya mau aku lemparkan saja komik ini ke makanan Nada.
"Jangan Dli, nggak enak ganggu Dhanu sama Nada, kita makan sushi aja gimana?" tanyaku, sekalian mengajak Fadli cepat-cepat pergi dari restoran ini.
"Sushi?" Fadli bertanya agak ragu-ragu, yang langsung aku berikan anggukan sebagai jawaban.
Aku mau makan apapun, dimanapun, asal tidak ada Dhanu dan Nadanya.
"Yaudah deh, ayo," kami pun berbalik meninggalkan restoran itu, tapi entah kenapa bahkan setelah berada cukup jauh dari restoran itu, aku masih menoleh, terfokus pada satu meja, tempat dimana Dhanu dan Nada duduk.
Mereka tertawa, sesekali aku melihat Dhanu menjahili Nada dengan ice cream cone di tangannya.
Yang aku tau, aku tidak suka melihat tawa keduanya.
Kami baru akan memasuki restoran sushi ketika setan di kepala ku mulai berteriak, "Thalia bodoh! Fadli nggak suka sushi!"
Aku otomatis menghentikan langkah ku, membuat Fadli menatapku bingung.
"Eh, Dli, lo kan nggak suka sushi?!"
Fadli menatapku tambah bingung, "Kok lo tau gue nggak suka sushi?"
Aku memaki diriku dalam hati. Ketemu Dhanu membuat aku jadi tolol begini!
"Kan tadi lo bilang di motor, makan bakso aja yuk?"
"Memang ya?" Fadli bertanya pada dirinya sendiri, tapi kemudian ia mengangkat bahunya.
"Yaudah yuk, memang ada bakso enak di sini?" tanya Fadli membuatku menghela napas lega.
"Ayo, gue tau tempatnya!" aku nyengir sambil menarik Fadli meninggalkan restoran sushi itu,
berjalan keluar dari Mall.
Aku mengajak Fadli ke salah satu warung bakso pinggir jalan langganan aku, Najla dan Dhanu. Selama menunggu pesanan datang, satu-satunya hal yang dapat aku lakukan adalah menatap menu.
Bukannya aku bosan menatap Fadli, tapi justru cowok itu yang sedang menatapku dengan intens, beda dengan dua tatapannya tadi, kali ini ia menatapku dengan tatapan tajam tapi lembut, senyumnya juga tidak lepas barang sedetik, kalau aku boleh geer tatapan Fadli tampak seperti sorot--- memuja?
"Kenapa sih, Dli? Ada yang salah ya dari diri gue?" tanyaku akhirnya, tidak tahan terus di perhatikan.
Fadli menggeleng, tapi tetap tersenyum, matanya pun tidak lepas dari menatapku. Kini ia malah memangku wajahnya dengan sebelah tangan, lalu memiringkan wajahnya sambil tetap menatapku.
"Gue nggak nyangka aja lo tau tempat beginian, gue kira perempuan kayak lo sama Najla nggak pernah makan di tempat begini," Fadli akhirnya melepaskan tatapannya dari ku, bola matanya berputar memindai warung kecil ini.
"Stereotype banget lo ya, memang sehedon apa gue sama Najla sampe nggak tau warung bakso?"
Fadli mengangkat bahunya, "Ya, gue bahkan mikir kalo kalian nggak suka naik motor."
Aku akhirnya tertawa mendengar kata-kata Fadli.
"For your information ya, gue sama Najla bahkan hobby wisata kuliner di SD Negeri, gue sama Najla sampai hapal, SD mana yang batagornya enak, cimolnya enak, cilungnya enak."
"Serina?" tanya Fadli--maksudnya serius--, yang aku langsung jawab dengan anggukan bersemangat.
"Serina gue! Orang-orang yang bilang jajanan SD itu nggak enak pasti cuma gensi aja itu," kataku sambil tertawa.
"Kalau gitu, next trip lo wisata kuliner, ajak gue ya!"
"Lo mau?" tanyaku tidah percaya, sebagai jawaban Fadli mengangguk bersemangat.
"Ya, asal lo nggak alergi debu aja sih."
Setelah itu pesanan kami datang, tepat ketika aku hendak menyuap, Fadli mengucapkan kata-kata yang membuat aku melayang di udara.
"Tha, ternyata lo unpredictable banget ya, tau gitu gue deketin lo dari dulu."
Semoga dia bilang begitu bukan karena baru menyesap kuah bakso yang kebanyakan micin.
Semoga.
----------
A/n: Holla! Gimana? Ada yang masih baca dan kesel sama Thalia? Semoga ga bosen ya kalian lufluf❤
Regards,
Naya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro