Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Melepaskan

Najla.

Aku nggak tau apa yang sedang Dhanu lakukan, intinya Dhanu tiba-tiba muncul di pintu rumahku. Meminjam handuk, dan langsung menyebutkan diri ke kolam renang tanpa menunggu aku menyerahkan handuknya.

Aku memungut seragam, jaket dan tas yang dia tinggalkan begitu saja di samping kolam, lalu duduk di patio samping kolam. Wajah Dhanu frustrasi, itu yang dapat aku tangkap dan dia merealisasikannya dengan bulak-balik ujung kolam tanpa berhenti.

Setelah setengah jam menguasai kolam, akhirnya dia berenang ke pinggir dan duduk di dekat tangga. Aku menyodorkan handuk dan segelas susu cokelat hangat lalu ikut duduk di sampingnya.

Kaki ku yang berada di dalam air sebatas lutut, menimbulkan riakan kecil di kolam.

"Tadi, di plastik ada rokok juga," kataku setelah menyeruput cokelat milik ku.

Dhanu terdiam, dia menyeruput cokelatnya, lalu menghela napas berat. "Gue akhirnya benar-benar ngelepasin Thalia buat Fadli."

Sebenarnya itu bukan jawaban atas pernyataan ku, tapi itu alasan yang ia utarakan, untuk menjelaskan keberadaan nikotin itu di plastik ice cream ku.

Biasanya, aku akan memaki-maki Dhanu, tapi untuk malam ini, aku hanya akan membiarkannya. Apa yang Dhanu lakukan selama ini, sudah lebih dari cukup untuk disebut berjuang.

"Dalam hidup, ada orang-orang yang hatinya nggak akan bisa kita menangkan, nggak perduli sekeras apapun kita mencoba, dia memang nggak ditakdirkan untuk kita miliki, dan yang bisa kita lakukan cuma menerima." Dhanu tersenyum miring mendengar kalimat ku.

"Dan dalam kasus gue, Thalia."

Hening menyelimuti kami, aku tau banyak hal yang ingin Dhanu ceritakan, tapi dia hanya menatap ke dalam mug susu cokelatnya.

"Yang gue lakuin... nggak salah 'kan, Jla?" tanya Dhanu tanpa mengalihkan pandangannya dari mug.

"Ada yang tetap bertahan walau sakit, ada yang menyerah karena lelah, ada juga yang melepaskan karena terlalu sayang. Cinta punya kekuatannya masing-masing, Nu."

"Fadli udah suka sama Thalia sebelum gue suka sama Thalia, tapi dia mundur karena tau perasaan gue ke Thalia."

"Fadli kayaknya baik kok, feeling gue sih bagus ke dia." Aku tau, kalimatku tidak akan menghibur Dhanu, tapi semoga kalimat ini bisa sedikit meyakinkan dia, bahwa terkadang melepaskan bukan sebuah kesalahan.

"Tadi, waktu gue nungguin Thalia keluar dari rumah lo, Fadli ngeline kayak gini," Dhanu mengangsurkan handphonenya, menunjukan jendela obrolannya dengan Fadli.

Ahmad Fadli Admiral: Thanks Nu udah percaya sama gue. Lo udah nyerah jadi kalo kita mau saingan gue harap kita bisa fair, karna sekali gue perjuangin Thalia, bisa gue pastiin gue gak akan ngelepasin dia.

"Lo tau tadi Thalia tadi ke sini?" tanyaku sambil mengembalikan ponsel Dhanu. Tadi Dhanu masuk memang tidak lama setelah Thalia pulang.

"Iya, tapi gue tau, Thalia bakal langsung cabut kalau gue datang, jadi gue nunggu di luar dulu, tadi juga gue ketemu sama dia di luar."

"Terus?"

"Ya dia langsung cabut, sudi juga nggak ngeliat muka gue." Dhanu mengucapkannya setengah mendengus.

"Setelah ini, lo mau gimana? Stay jomblo, atau sama Nada?"

"Gue belajar tulus ke Nada lah, gue kan nggak kayak lo yang sekali patah hati langsung kapok jatuh cinta."

"Kadang lo memang kayak monyet ya, Nu," aku memukul lengannya pelan membuat Dhanu tertawa.

"Eh, serius lagi, Bara atau Bagas?" Dhanu menaikan sebelah alisnya menggoda.

"Nggak dua-duanya! Bentar lagi kuliah, rugi amat pacaran, sama senior lah entar." Dhanu terkekeh geli.

"Ternyata Bagas lebih ngenes dari pada gue ya." Aku berniat memukul lengannya lagi, tapi Dhanu menahan tanganku, lalu meletakan handuknya di atas kepalaku.

"Yaudah ah, gue mau balik, makasih ya Najla gemash!"

"Dhanu jorok!" Dhanu mengabaikan teriakanku dan malah beranjak memakai bajunya, aku baru mau menawarkan dia untuk mandi ketika Dhanu kembali melontarkan kalimat tengilnya.

"Nggak usah nawarin gue mandi, gue mandi di rumah aja, takut lo intipin."

"Najis!" aku bangkit dari tempatku, memutuskan untuk mengantar Dhanu sampai teras.

"Makasih ya, Jla, for everything," kata Dhanu sebelum memakai helmnya.

"Sama-sama," jawabku singkat. Tadinya aku tidak mau mengatakan apapun lagi, tapi tiba-tiba saja sebuah kalimat melintas di kepala ku.

"Nu?"

"Hmmm?" Dhanu menjawab sambil menresleting jaket hitamnya.

"Ikhlasin Nu, lo juga berhak buat bahagia." Dhanu tersenyum mendengar kalimat ku, dari balik helm full facenya dia menatapku dengan sorot penuh arti.

"Seharusnya lo juga bilang begitu ke diri lo, Jla."

Aku terpekur.

•••

Setelah memastikan Dhanu pergi, aku masuk ke dalam kamar.

Di handphone ku ada delapan chat dan empat puluh lima missed call. Delapan chat itu milik Bara dan Bagas, sedangkan empat puluh lima missed call seluruhnya dari Thalia, jadi aku memilih melewatkan chat-chat tersebut dan langsung mengkontak balik Thalia.

"Ha..." belum aku menyelesaikan salam pembuka yang hanya dua suku kata itu, suara Thalia sudah berteriak nyaring di ujung sana.

"Najlaaa! Lo kemana aja, sih? You have to know, Jla, Fadli ngeinvite dan ngechat gue! Gila! Keajaiban dari mana cobaaa?!"

Dari Dhanu, Tha, batinku.

"Chat apaan?"

"Udah, pokoknya besok lo baca aja sendiri! Yang penting gue udah laporan! Bye Najla sayang!" Aku tidak sempat menjawab salam Thalia, karena dia sudah terlanjur memutuskan sambungan.

Aku beralih pada aplikasi line, chat terakhir dari Bara membuatku berhenti menggeser layar.

M. Albara Sjarif: Kalo gue gak akan bisa milikin lo lagi. Kalo maafin gue dan terima gue lagi bener-bener susah buat lo. Gue harap seenggaknya lo bisa anggap kita gak pernah jadian dan tetap sahabatan kayak sebelumnya. Can we Jla?

Aku hanya menghela napas, teringat kata-kata ku yang Dhanu balik kan tadi. Aku memandangi foto ku bersama Thalia dan Dhanu. Foto kami tahun baru kemarin.

Can we Bar?

Aku mengambil foto kami bertiga dari frame sehingga kini yang terlihat foto di baliknya, fotoku bersama Bara.

This picture has been taken from a long-long-long time ago, beberapa hari setelah kami baru jadian. Refleks, aku tersenyum miris. Aku bahkan masih mengingat setiap detail dari foto itu.

Malam itu, aku sedang pms dan Bara yang jadi pelampiasanku. Karena aku ngambek nggak jelas, dia nggak membalas chat ku sampai tiga puluh menit kemudian. Aku baru mau memborbardirnya dengan telfon ketika ternyata dia sudah berdiri di depan kamarku, dengan sebucket cokelat yang di tengahnya terselip mawar merah.

Waktu aku tanya, gimana caranya dia bisa kepikiran bikin bucket cokelat ini, he said, "Demi lo nih, karena gue tau lo nggak suka makan bunga, makanya gue ikhlas sampai diusir empat tukang bunga."

Simple, but cute.

Dan cokelat-cokelat itu baru habis satu minggu kemudian, setelah setiap hari aku bagi ke Dhanu dan Thalia.

Ketika aku dan Bara putus, yang aku pikirkan hanya tentang bagaimana cara dia meninggalkanku, tentang bagaimana dia bisa menghancurkan kepercayaanku, aku berpikir kalau dia nggak pernah benar-benar jatuh cinta sama aku, dan selama itu aku hanya jatuh cinta sendirian.

Tapi aku harus mengakui, too much memories about him untuk mengatakan dia nggak pernah jatuh cinta sama aku. Dia pernah jatuh cinta sama aku, mungkin sama dalamnya seperti aku jatuh cinta ke dia, tapi bedanya aku terus jatuh cinta dan dia tidak.

It's just about change.

Aku pernah membaca suatu quotes yang sampai sekarang melekat dalam ingatan ku.

People change, feelings change. It doesn't mean that the love once shared wasn't true and real. It simply just means that sometimes when people grow, they grow apart.

Perasaan Bara berubah, dan saat itu dia memilih untuk pergi.

Can we, Bar? Kamu terlalu menyakitkan bahkan hanya untuk sekedar menjadi kenangan.

Aku kembali tercekat ketika mengingat bagaimana akhirnya dia memilih perempuan itu, saat itu yang aku lakukan adalah menganggap mereka tidak pernah hadir ke dalam hidupku. Ketika mereka meremukkan kepercayaan ku, maka saat itulah aku menganggap mereka tidak lagi kasat mata.

Dan sampai saat ini, aku masih melakukannya.

Beberapa waktu lalu, perempuan itu mengirim sms ke nomor ku. Karena berkat Thalia, seluruh akun social media perempuan itu resmi di blokir dari akun ku. Karena di banding aku, Thalia lebih membenci perempuan itu.

Dia meminta maaf, dan meminta aku untuk tidak kembali bersama Bara. Aku tidak perduli apapun yang dia lakukan, jadi aku memilih mengabaikannya.

Dia mengambil Bara ketika bersama ku, tapi memohon bahkan ketika aku tidak menggenggam Bara.

Aku menarik foto Bara dari frame dan merobeknya. Lalu membalas chat dari Bara.

No. So just stay away like you ever did.

Aku memasukan kembali foto aku bersama Dhanu dan Thalia ke dalam frame, sedangkan foto yang aku robek barusan sudah berada di dalam tempat sampah.
Sekarang aku menatap wajah Thalia dan Dhanu.

Kalau, kalau seandainya, if only, Thalia dan Dhanu jadian apa mereka akan berakhir seperti aku dan Bara? Atau kalau dulu aku dan Bara memilih jalan yang berbeda, apa kami justru akan seperti Dhanu dan Thalia?

Aku menghembuskan napas berat, sampai kapanpun pertanyaan itu mungkin tidak akan menemui jawabannya.

"Terserah kalian kalau mau berantem! Musuhan aja terus! Gue bodo amat!" Aku membalik frame itu, lalu pergi tidur.

Kadang persahabatan bikin ribet.

----
A/n: Yuhuuuu, akhirnya ngepost lagi, semoga masih ada yang nungguin ya, sebenarnya bukan aku publishnya lama, walaupun lg semi hiatus aku selalu usaha publish crush seminggu dua kali, tapi, kadang setelah aku publish ternyata ga ke publish dn aku baru sadar besokannya :( maafin ya, semoga ada yang suka sama cerita ini❤

Regards,

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro