Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Salah dan Thalia

Dhanu.

Thalia sedang menghindari gue. Seriously, apalagi namanya kalau bukan menghindar, kalau kami ada di kantin yang sama tapi meja yang berbeda. Satu sekolahan juga sudah tau, kalau gue, Thalia dan Najla ke kantin, kami pasti duduk di meja yang sama, tapi hari ini Thalia menolak mentah-mentah ajakan gue ke kantin, dan tiba-tiba saja dia ke kantin tapi duduk di meja terjauh dari meja gue, padahal dua bangku di depan gue masih kosong begini.

Selain itu, hari ini Thalia dengan sengaja mengajak Najla pindah ke meja barisan depan, padahal setau gue dia paling anti berdekatan dengan kaum-kaum pelajar rajin.

"Sendirian aja, Nu? Slek lu sama dua bidadari?" gue mengangkat kepala dan menemukan Egi sudah meletakan mangkuk baksonya di depan gue.

"Lu sendiri, sendirian mulu, udah kayak matahari." Egi berdecih, lalu mengikuti arah pandang gue ke meja Thalia dan Najla.

"Heran gue, pernah menyelamatkan dunia kali lo ya, bisa temenan sama mereka berdua."

"Antara pernah menyelamatkan dunia, atau justru menghancurkan dunia kali, Gi."
Kenyataannya, berteman sama Thalia bikin gue nggak bisa milikin dia.

"Hah?"

Gue menggeleng, nggak sedeket itu juga gue sama Egi sampai mau bongkar aib betapa bancinya gue.

"Thalia makin parah sih, makin hari makin bening, pantes aja si Fadli makin nggak berani ngedeketin," ucap Egi santai, tidak sadar bahwa kalimatnya hampir membuat gue tersedak bakso urat yang baru gue kunyah.

"Fadli?"

"Eh, memang lo nggak tau, ya? Fadli naksir Thalia dari kelas satu kali." Gue meneguk ludah, menyadari kenyataan yang baru saja Egi lontarkan.

"Sejak kapan?"

"Love at first sight, dari daftar ulang." Egi mengunyah makanannya, tidak sadar, kalau gue berharap nggak bertemu Egi saja hari ini.

***

Sial, cerita Egi di kantin, bikin gue semakin gelisah waktu masuk ke kelas. Kalau Thalia tau, bisa dipastikan, gue akan kalah sejuta persen.

Gue duduk di kursi gue, memperhatikan dua cewek di depan sana yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Najla dengan bank soalnya, Thalia dengan handphone nya. Thalia bangkit dari kursinya, sekilas tatapan kami bertemu sebelum dia melengos keluar dari kelas.

Ini nggak bisa dibiarin, Najla pasti tau ada apa sama sikap Thalia hari ini.

"Najla?" Gue duduk di kursi tepat di depan meja Najla, menempatkan tubuh gue menghadap ke Najla.

"Hm?" Najla tetap fokus ke soal matematikanya. Sial, gue dikacangin.

"Najlaaa?" gue menggoyang-goyangkan buku di hadapannya, membuat Najla mencubit kedua tangan gue.

"Apaan sih, Nu? UN dikit lagi, nih, masih banyak yang belum gue ngerti."

"Thalia kenapa?" sesaat Najla terdiam, sebelum mengedikan bahunya.

"Tanya aja sendiri."

"Serius, Jla, Thalia kenapa?" mendengar rengekan gue, Najla menghembuskan napas kasar, lalu menutup bukunya keras-keras.

"Thalia udah tau kalau lo sadar soal headphone tolol itu."

"Lo yang kasih tau?" gue tau pertanyaan gue ini dongo banget, memang siapa lagi mahluk di muka bumi yang paling paham soal gue dan Thalia.

"Iya, menurut lo, siapa lagi? Nenek lo?"

"Najla, serius, Thalia menghindari gue sekarang." Najla menghembuskan napas kasar, lalu menatap gue lekat-lekat.

"Be a gentle man, Dhanu. Hadapi risiko dari apa yang lo lakuin, trust me, hitam lebih baik dari pada abu-abu, kehilangan lebih baik dari pada digantung."

Gue terdiam.

***

Seperti biasa, kata-kata Najla selalu menusuk dan tepat sasaran. Karena wejangannya tadi, sepanjang sisa jam pelajaran setiap kalimat yang guru gue katakan, sama sekali nggak masuk ke otak.

Jangankan masuk kuping kiri, keluar kuping kanan, belum sempat masuk udah mental lagi itu kata-kata.

Dari meja gue, gue memperhatikan punggung Thalia. Sementara anak-anak lain sudah sibuk membereskan buku, Thalia masih sibuk menyalin tulisan yang ada di papan.

"Beneran nggak mau bareng, Tha?" dari tempat gue, gue bisa mendengar pertanyaan yang Najla lontarkan.

Thalia menggeleng pelan, sebelum merealisasikan tolakannya, melalui sebuah kalimat.

"Nggak usah, lo duluan aja sana." Najla mengangkat bahunya, sekilas, sebelum dia meninggalkan Thalia, pandangan kami bertemu, Najla melemparkan tatapan yang gue sendiri tidak mampu definisikan.

Tepat setelah Najla meninggalkan pintu, gue bangkit dari kursi, di ruangan ini cuma tinggal gue dan Thalia, mungkin ini satu-satunya kesempatan untuk memperjelas segalanya atau justru menghitamkan si 'abu-abu'.

"Tha?" Thalia mengangkat kepalanya, dan gue melihat raut kaget ada di sana.

"Eh, Nu? Lo belum balik?" gue menggeleng singkat, gue nggak berpikir bahwa gue akan memiliki banyak kesempatan, namun ternyata Thalia memang berniat menghabiskan kesempatan itu hingga tidak bersisa.

Dengan gerakan cepat, ia merapihkan buku dan alat tulisnya.

"Oh, yaudah, gue balik duluan ya?" bukan, itu bukan kalimat meminta persetujuan.

"Gue mau ngomong, Tha."

"Lain kali aja, Nu, gue buru-buru." Thalia menjejalkan segala benda yang ada di meja ke dalam tasnya tanpa merapihkan terlebih dahulu.

Entah mendapat keberanian dari mana, gue berdiri di celah sempit antara kursi dan meja Thalia, beruntung barisan kami berada di paling pojok menempel pada tembok, jadi dengan mudah gue bisa menutup satu-satunya akses jalan bagi Thalia.

"Tha, kita perlu ngomong!"

"Dhanu, apaan sih! Minggir, gue mau lewat!" biasanya gue akan langsung menyingkir, tapi kali ini gue tetap berdiri di tempat.

"Tha, lo kenapa?" Thalia tampak enggan mengangkat kepalanya, dia menolak menatap mata gue. Dan brengsek, itu nyakitin.

"Lo yang kenapa? Gue mau pulang, Dhanu!"

"Thalia, gue sayang lo!" gue nggak tau bagaimana kalimat sialan itu bisa keluar dari mulut gue dengan lancangnya, tapi satu-satunya hal yang gue tau, ketika Thalia menutup kedua kupingnya, dingin menjalar di sekujur tubuh gue. Gue membeku.

Sesalah itu, Tha, jatuh cinta sama lo?

"Thalia, please denger gue dulu, gue mau ngomong." Nada suara gue menurun, sejujurnya nyaris tidak terdengar.

"Diem, Nu! Jangan ngomong apapun, gue nggak mau dengar apa-apa." Thalia menutup matanya, dan setetes air bening meluncur dari sudut matanya. Tetes yang sama dengan tetes air yang gue lihat ketika dia tau Radith selingkuh, dan ketika Najla melihat si-adik-kelas-tidak-tahu-malu.

"Sekali aja, Tha, cukup sekali aja lo denger, setelah itu gue janji segalanya akan seperti biasanya." Gue berusaha meraih kedua tangan Thalia, melepaskan tangan itu dari telinga.

"Gue nggak mau deng--"

"Gue sayang sama lo, Tha, lebih dari yang lo tau!"

Plak.

Remuk. Sakit. Bukan berasal dari pipi kiri tempat Thalia barusan melayangkan tamparannya, tapi dari dalam tubuh gue, mungkin tepat di jantung.

Thalia menatap gue nyalang sekarang, tapi air mata itu terus meluncur, menyisakan jejak-jejak di pipi Thalia.

Ya, ternyata sesalah itu gue jatuh cinta sama lo, Tha.

"Lo brengsek, Nu! Berani-beraninya lo bilang begitu, setelah selama ini kita sahabatan?"

Melihat Thalia yang menangis, gue tercekat, dan satu-satunya kata yang dapat gue ucapkan adalah, "Maaf..."

"Kalau lo benar-benar cinta sama gue, jauhin gue." Hanya itu, hanya kalimat sesederhana itu yang Thalia ucapkan sebagai pemutus persahabatan kami selama tiga tahun lamanya.

Setelah itu, Thalia mendorong tubuh gue. Hopeless, gue hanya membiarkan dia berlalu. Tapi ketika gue berbalik, gue dan Thalia sama-sama mematung.

Tepat di sana, di ambang pintu kelas, Nada menatap kami dengan tatapan yang tidak mampu gue definisikan, dan tepat di sebelah Nada, cowok paling brengsek sedunia berdiri di sana. Radith. Menatap kami dengan tatapan sama seperti Nada.

Thalia menoleh ke arah gue, saat itulah, gue berharap tatapan mampu berbicara sejelas-jelas nya.

"Tolong, Tha, lo nggak akan balik ke bajingan itu lagi, 'kan?"

Seperti mengerti arti tatapan gue, Thalia langsung menjawabnya. Thalia tidak mengatakan apapun, tapi Thalia justru berjalan ke arah Radith, menggandeng tangannya lalu meninggalkan Nada di sana. Dan bagi gue, itu sudah cukup sebagai jawaban.

Gue menutup mata, merasakan sesuatu berdenyut di dada. Sakit. Sesakit ini ternyata rasanya.

Tepat ketika gue menghela napas, gue merasakan sebuah tangan menggenggam tangan gue, dan ketika gue membuka mata, yang gue temukan adalah Nada yang menatap gue penuh kelembutan.

"Udah belum, kak? Pulang yuk!" Gue mengangguk lemah, sebelum mengambil tas gue.

Sepanjang perjalanan ke rumah Nada, gue hanya diam, gue tau seharusnya gue meminta maaf karena lupa janji pulang bareng dia tadi, juga karena adegan yang seharusnya tidak Nada lihat setelahnya.

Tapi bukannya, kalimat yang tepat untuk meminta maaf, justru yang berputar di otak gue adalah adegan antara gue dan Thalia di kelas tadi, tentang apa yang gue ucapkan dan bagaimana respon dia terhadap pernyataan gue.

Thalia menolak gue, itu jelas. Dan Nada, justru mengulurkan tangannya untuk gue, itu juga jelas.

Pardon me, bangsat memang gue, di saat ada perempuan yang selalu ada seperti Nada, yang satu-satunya gue pikirkan justru bagaimana tadi gue membuat Thalia menangis.

Tapi maaf, Nad, si brengsek ini memang nggak bisa mengatur hati dan otaknya untuk perempuan bernama Thalia Maharani.

Tanpa sadar, kami sudah sampai di depan pagar putih milik rumah Nada.

"Makasih ya, kak," Nada tersenyum tulus, tapi ketika tangannya meraih gagang pintu, refleks gue menahannya.

Sesaat, dahi Nada berkerut, dia menatap gue dengan sorot bingung.

"Nad, sibuk nggak hari ini?" Mendengar pertanyaan gue, Nada tampak berpikir sesaat sebelum menggeleng pelan.

"Enggak, sih, besok juga libur, jadi nggak ada PR."

"Bisa nemenin gue nggak hari ini?" Nada langsung melepaskan pegangannya dari gagang pintu.

"Ayo! Culik gue kemanapun lo mau, asal traktir gue bakso ya! Gue lagi pengen banget bakso nih." Reaksi Nada membuat gue terkekeh.

"Jangankan bakso, sapinya pun gue beliin," kata gue sebelum kembali melajukan mobil.

Dan sekali lagi, di saat Thalia membuat gue menjadi banci perasaan, Nada di sini, membuat gue tertawa.

Mungkin memang gue membutuhkan sedikit oksigen dari Nada, setiap kali Thalia membuat gue merasa sesak.

Mungkin memang hanya Nada yang gue butuhkan untuk bisa melenyapkan Thalia dari otak gue, untuk sementara waktu.

Atau mungkin ini memang hanya pembelaan gue, karena sudah menjadikan Nada sebagai pelarian. Tapi, apapun itu, yang gue tau, dengan Nada ada di sisi gue saat ini, itu sudah cukup.

Terima kasih, Nad, lebih dari terima kasih.

***

A/n: Hua, maaf ya lama updatenya, banyak hal banget yg lagi ku urus, jadi nggak bisa sering publish cerita  apalagi ini editing, btw makasih banyak yang udah sering chat minta cerita ini dilanjut, i love you to the moon.

Regards,

Naya yang lagi pusing.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro