20. The Truth is...
Thalia.
Seseorang tolong selamatkan aku dari sini. Kurang tega apalagi coba Najla, disaat aku harus berhadapan dengan setumpuk soal matematika yang nggak berprikemanusiaan itu, Najla malah menatapku dengan mata yang disipitkan, dan aku bahkan nggak berani bertanya kenapa.
Najla yang menatapku seperti ini, adalah Najla yang siap membunuhku dengan lidah ularnya dan aku masih mau hidup.
Handphone ku bergetar, membuatku meliriknya sekilas, dan langsung mengumpat dalam hati ketika membaca nama yang tertera pada layar; Radith.
Jangankan untuk membaca chat itu, kalau saja aku sampai berani menyentuh handphone ku sekarang, Najla mungkin akan menusuk-nusuk mataku pakai garpu.
Oke, jangan salahkan aku. Kalau Fadli benar-benar tidak tergapai, kalau semua laki-laki yang deketin aku lebih receh dari Radith, kalau sahabatku sendiri menyatakan perasaannya padaku, so the hell why, if i chatting with my ex?
Aku bisa menjamin seribu satu persen kok, kalau aku nggak akan jatuh cinta lagi sama Radith, aku masih atheis terhadap laki-laki lain karena Fadli. Tapi saat ini, mantan ku yang dulu bikin aku patah hati sedang ngesot-ngesot ngejar aku, menurut kalian, harus aku cuekin gitu? Sorry, babes, nothing i do better than revange.
Jadi, mari kita sedikit bermain-main dulu sama laki-laki satu ini.
Tiba-tiba saja, tangan Najla menutup buku di hadapanku, hingga kini yang tampak di depan mataku adalah kuku-kukunya yang di cat merah muda, bukan lagi rumus yang berasal dari planet mars.
"Mau cerita, atau nggak?" tanyanya tanpa toleran. Kalau saja ini bukan Najla, maka aku akan menggeleng-gelengkan kepala lalu belagak dungu. Tapi, ini Najla, she's know me, too well.
Aku nggak perlu menebak-nebak apa yang dia maksud sebenarnya, satu-satunya hal yang tidak aku ceritakan ke Najla cuma pernyataan Dhanu di malam dingin di puncak pas malam itu. Aku memang tidak berniat menceritakannya, tapi siapa aku bisa menyembunyikan hal seperti itu dari cenayang satu ini?
"Jla, gue mau belajar..." aku memasang tampang semelas mungkin, sambil berusaha menyingkirkan tangannya dari atas buku ku.
"Mau sampai kapan pura-pura nggak sadar perasaan Dhanu dan main-main sama Radith?" Najla menatapku nyalang, membuatku meneguk ludah. Dia memang mengintimidasi.
"Jla..."
"Thalia Maharani! Jangan panggil nama gue, kalau ternyara persahabatan kita nggak lebih dari sekedar haha hihi soal secret admirer gagal!" Telak! Aku tidak bisa mengelak. Kalau ada tatapan tajam Najla benar-benar bisa direalisasikan sebagaimana fungsi pisau, maka pasti aku sudah teriris tipis-tipis saat ini.
Aku akhirnya menghela napas panjang.
"Dhanu nggak tau, kalau gue dengar kata-kata dia malam itu, semua akan seperti biasa, dan Radith, gue janji nggak akan jatuh cinta lagi sama dia."
"Dhanu gak tau kalo gue tau perasaan dia, dan semua bakal kayak biasa aja dan Radith, gue janji gak akan jatuh cinta lagi sama dia"
"Lo sejahat itu sama sahabat lo sendiri Tha?" Nada suara Najla dingin, aku tau kalo begini dia marah sama aku.
"So what i have to do Jla? Gue harus bilang 'okay Dhanu i love you to, gue mau jadi cewek lo' terus tiba-tiba dia akan ngelarang gue main sama siapapun itu, gue juga gitu. Kita putus, terus kami jadi orang asing. Atau gue harus jawab 'sorry nu kita temenan aja' terus dia bakal sakit hati terus gue akan selalu ngerasa bersalah ketika sama-sama ama dia?"
"Dia udah tau, lo tau kalo dia suka ama lo. Kasih dia kejelasan, suruh dia nyerah. Kasian dia Tha, lo mungkin gak tau tapi dia bener-bener tulus sama lo dia rela sakit demi lo"
"Sebanyak apa lo udah tau soal ini Jla?" aku menyipitkan mataku menatap Najla.
"Udah lama. Dhanu suka lo sejak ospek"
"Lo tau, dan lo gak ada niat buat ngasih tau gue?" Kali ini Najla menatapku lebih tajam lagi, dia merubah posisinya tidak lagi dengan tangan menyilang tapi tatapannya saat ini justru lebih mengintimidasi.
"Dia langsung nyatain ke elo aja lo masih pura-pura gak sadar, gimana kalo gue yang bilang? Lo gak sadar ya lo gak cuma nyakitin Dhanu sebagai laki-laki, tapi juga gue sebagai sahabatnya?"
"Lo marah Jla?"
"Enggak. Gue gak marah, gue cuma kecewa. Sama lo berdua. Gue kira cuma Dhanu yang pengecut gak berani nyatain, ternyata lo juga, lo sama sekali gak berani keluar dari zona nyaman lo"
"Gue gak mau jadian sama Dhanu juga demi persahabatan kita Jla"
"Bukan demi persahabatan kita Tha, lo terlalu egois, terlalu sombong buat ngakuin satu-satunya alasan lo diem padahal tau Dhanu ngejar lo adalah, karna lo takut. Takut kalo lo sama dia lo gak akan bisa sama Fadli, lo takut kalo kalian putus, lo akan bener-bener kehilangan dia, lo juga takut, takut kalo lo nolak dia, dia akan sama yang lain, dia gak akan ngejar lo lagi, dia akan nyerah"
"Tapi Jla..." Aku belum selesai berbicara ketika Najla memotongnya kembali.
"Setiap orang punya titik lelah Tha, dan buat dia gue rasa titik lelah itu sekarang waktunya"
Aku diam. Zona nyaman? Apa ini yang selama ini aku pertahanin? Dia sahabatku. Dia selamanya sahabatku. Dengan bodohnya dalam hati aku bertanya pada diriku sendiri.
Iyakan Tha? Benerkan? Selamanya Dhanu harus tetap jadi sahabat lo? Gapapa kan kalo dia nyerah? Gapapakan kalo dia sama cewek lain?
Dan saat itu evil in my head meneriakiku. Yakin cuma sahabat Tha? Lo bahkan sadar kan kalo lo ga pernah rela dia sama yang lain? Crap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro