2.4 Thalia Delapan Tahun Kemudian
Thalia.
Aku hampir tidak percaya dengan pemandangan di hadapanku kalau saja Dhanu tidak memecah keheningan itu terlebih dahulu. Tidak, bukan, tapi kalau aja Dhanu tadi tidak memelukku.
Aku mungkin masih akan berpikir kalau ini imajinasi, halusinasi tapi wangi tubuhnya yang jelas masih aku ingat, sama dengan wangi yang biasa aku hirup delapan tahun yang lalu.
Bedanya dada yang tadi sempat meletakan kepalaku dalam dekapannya terasa lebih bidang dan berotot.
Sekarang pemilik dada itu sedang tertawa menyapa teman-teman SMA kami.
Harus aku akui delapan tahun berlalu namun Dhanu tetap terlihat tampan, bahkan garis wajahnya tampak lebih tegas. Ada sedikit rasa hangat dan air mata yang kutahan. Delapan tahun merindu, aku baru tau bagaimana rasanya melihat sosoknya berdiri hari ini.
"Hm, matanya tolong ya istriku." Aku mengalihkan pandanganku lalu menemukan Fadli berdiri di sampingku. Lagi-lagi tanpa Farel.
"Farel mana Pa?"
"Di pinjem sama Tante Karina, ngikut aja lagi. Lama-lama nih ya, Farel bisa punya mama baru." Aku mencubit lengan Fadli mendengarnya, enak aja anakku satu-satunya gitu. Ganteng lagi.
"Pasti pake sogokan deh Tante Karina pinjemnya?"
"Memangnya ada yang bisa bawa dia tanpa nyogok?" Aku hanya terkekeh mendengarnya. Anakku itu nggak cuma ganteng, dan berani. Walaupun dia suka manja-manja lucu di depan semua orang, kalo sogokannya nggak mempan nggak akan mau dibawa-bawa kesana kemari.
"Anyway, nggak cemburu aku dipeluk Dhanu?" Aku menggoda Fadli ingin melihat reaksinya, apakah hukum nggak-boleh-pegangan-sama-cowok-lain-kecuali-tangan itu juga berlaku buat Dhanu.
"Kamu nggak tau aja, kalau dia nggak lepasin pelukannya diitunganku yang ke sepuluh, dia udah aku mutilasi sekarang." Aku sontak tertawa mendengar kalimat Fadli.
Aku suka setiap kali Fadli cemburu, walaupun sebagai konsekuensi aku nggak bisa dekat-dekat dengan cowok lain, it's okay, i don't even care dengan laki-laki lainnya selama dia di sisiku.
Fadli benar-benar tidak cuek dan pecemburu level sejuta. Ini fakta yang aku ketahui sejak kami dekat namun benar-benar terealisasi setelah kami menikah.
Aku masih ingat, dulu saat kami belum menikah. Ketika ada seorang cowok yang membuatku ingin muntah karna linenya yang kacangan berusaha menggodaku, entah dari mana Fadli tiba-tiba muncul dan merangkulku.
Pertama kalinya dia bertindak secara nyata terhadap cowok yang mendekatiku.
"Maaf ya Thalia udah punya suami." Itu katanya, dan sampai sekarang aku masih sering meledek dia dengan kalimat itu, kalimat yang akan langsung membuat kuping Fadli memerah. He's so cute, Tuhan.
Ingat kejadian delapan tahun lalu di bandara? Setelah kejadian itu aku berusaha membentangkan jarak diantara kami, aku kacau dan berantakan. Aku tidak akan lupa, bagaimana mata ku kerap kali terbuka dipertengahan malam, lalu menangis seraya merindukan Dhanu.
Kadang, aku menghubungi ponsel Dhanu, lantas bercerita tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana aku merindukannya, sekalipun kalimatku hanya dijawab oleh sambungan operator.
Lebih dari satu tahun aku melakukannya, lebih dari setahun aku menangis Dhanu dan mengabaikan Fadli. Tapi Fadli tidak pernah pergi, ia selalu tinggal, ia ada di saat-saat tersulit.
Tanpa pernyataan, dan tanpa meminta ku untuk melupakan Dhanu.
Sepulangnya aku dan Najla dari Hamburg, ada sesuatu yang perlahan meredup di dadaku. Aku sakit, nyaris satu minggu penuh. Dan mungkin di masa itulah aku sampai pada tahap penerimaan.
Entah karena mulai ikhlas, atau hanya kelelahan berharap, pelan-pelan, aku melepaskan Dhanu.
Aku tidak ingat bagaimana akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada Fadli, mungkin karena eksistensinya selama masa terburuk ku, mungkin karena kalimat atau perlakuannya yang terasa begitu tulus, atau mungkin karena tanpa aku sadari ia telah menjadi orang yang aku butuhkan keberadaannya.
Saat ini ketika akhirnya aku kembali melihat Dhanu, perasaan itu sudah sepenuhnya menghilang. Kehadiran Dhanu kembali tidak berefek apapun terhadap perasaanku kepada Fadli. Seperti potongan puzzle, Fadli kini layaknya dasar gambar, potongan pertama dalam skema kebahagiaanku.
Kebahagian yang Fadli berikan berefek domino, mulai sejak aku merasakan begitu dicintai, aku memiliki Farel sampai pada saat ini, saat ketika Najla berada di kursi pelaminan di sana.
Aku tidak dapat mengungkiri bahwa pada awalnya aku takut menikah muda. Takut nggak bisa punya karir cemerlang, takut nggak bisa menyelesaikan studiku, dan ketakutan lainnya yang tak akan selesai jika aku jabarkan di sini.
Tapi setelah di nikahi Fadli, semuanya itu tidak berarti apapun.
S2 yang sampai saat ini aku belum ambil tidak lebih berarti daripada kebahagiaan yang aku rasakan ketika melihat Farel tertawa geli.
Karirku yang tidak bisa mendapat izin spesialis karena studi yang hanya sampai S1 sama sekali tidak sebanding dengan perasaan bangga ketika bisa membuat Fadli dan Farel tidur kekenyangan karena memakan masakanku yang berhasil.
Begadang tiap malam ketika Farel baru lahir, belajar ratusan resep ikan pesmol kesukaan Fadli yang sampai saat ini belum pernah berhasil, atau bekerja tiap jam delapan sampai jam tiga sore di kantor lalu melanjutkan pekerjaan lagi sebagai ibu rumah tangga dirumah tidak pernah membuatku merasa terlalu kelelahan.
Sederhana, tapi percayalah, kata bahagia bahkan tidak cukup untuk mendefinisikan rasanya.
Aku baru kembali menatap Dhanu, ketika tiba-tiba sebuah ingatan dan kesadaran menghantam kepalaku, akar dari segalanya kenapa aku bisa mencoba membuka hati untuk Fadli dan dengan begitu mudahnya melupakan Dhanu mungkin karena kalimat dia delapan tahun yang lalu di La Bridge.
Jawabannya adalah kalimat yang terdengar begitu tulus, dan bertekad, kalimat sampai saat ini membekas dalam ingatanku setiap suku katanya.
"Karena aku mau kamu bahagia, dengan atau tanpa aku. Tapi mulai saat ini, aku akan berusaha buat kamu bahagia, cuma dengan bersama aku."
Hangat menyebar dalam dadaku, kala mengingat kalimat tersebut. Aku belum memberikan jawaban atas kalimat itu, karena sebenarnya itu adalah pernyataan bukan pertanyaan, tapi tetap saja mengingatnya membuatku ingin memgatakan sesuatu untuk Fadli.
"Kamu inget kalimat yang dulu pernah kamu bilang ke aku?" Fadli yang sejak tadi memperhatikan Najla dan Rendi dengan wajah yang sama bahagianya dengan mempelai, mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Yang mana?" sebelah alisnya naik kebingungan.
"Yang kamu akan berusaha buat bikin aku bahagia cuma sama kamu. Yang di La Bridge loh, waktu aku balikin cincin kamu."
"Oh yang itu, yang kamu nangis-nangis gara-gara Dhanu ke Jerman ya?" kedua alis Fadli sekarang naik, berniat menggodaku dengan sikap pecemburunya.
"Bukan itunya yang harusnya kamu inget, tapi kata-kata kamunya." Aku mencubit lengan Fadli, membuat pandangan Fadli melembut.
"Iya sayang aku inget, aku tipe laki-laki yang inget semua janji yang aku pernah buat."
"Narsis!" Fadli langsung tertawa mendengar komentarku, tapi setelah tertawa Fadli kembali bertanya dengan nada santai.
"Kenapa memangnya?" Ia bahkan mengambil segelas soda dari pelayan yang menawarkan.
"Begini..." melihat dia yang begitu santai, bibirku merapat, entah kenapa pipis memanas. Inikan pembicaraan sentimentil, terlalu romantis, dan tentunya bukan aku banget.
Fadli kembali menatapku, menungguku dengan sabar untuk melanjutkan kalimat barusan.
Aku menghembuskan napas pelan, sebelum berujar lambat.
"Terima kasih, karena udah buat aku bahagia hanya dengan bersama kamu, terima kasih sudah bertahan setiap kali aku meminta pergi, terima kasih karena menetap dan bukan hanya singgah." Aku mengangkat kepalaku, menemukan kedamaian di mata teduhnya. "I love you."
Sesaat, hening menyelimuti kami, sampai Fadli menarik ku ke dalam rengkuhannya. Lembut, di kecupnya pipi di dekat telinga kananku, lantas berbisik pelan di sana.
"Bukan kamu yang harusnya berterima kasih, tapi aku, terima kasih karena udah mau menerima aku untuk menetap." Fadli menyelipkan anak rambutku di belakang telinga. "And i love you more."
Dan aku kembali meleleh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro